Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. After That

Disisi lain kendaraan yang dikendarai Tiffany sudah tertuju menuju suatu tempat.

"Tif. Jangan jauh-jauh keburu dia bangun." celatuk salah satu dari mereka di kursi penumpang.

"Biar jauh-jauh. Biar gak ada yang nemui." kekeh Tiffany sedikit tertawa. "Iya-iya ini uda mau nyampek."

Salah satu gadis itu masih tertidur nyenyak karena reaksi obat bius yang mereka diberikan. 

Saat gadis itu bertengkar dengan Sherin, Tiffany menyuruh Rossa untuk memberikan obat bius kepadanya lalu berpindah tempat dibelakang Alexa. Dan saat itulah Rossa dan Sherin mempobong badan gadis itu menuju parkiran sekolah.

Pak Somad sudah dialihkan arah oleh Sherin. Saat Pak Somad --satpam tersebut tak menyadarinya dengan cepat, Sherin mencari kunci gerbang lalu membukanya. Tiffany yang mengendari mobilnya segera meninggalkan lingkungan sekolah.

Sherin memperhatikan Tiffany memakirkan mobilnya disuatu tempat asing.  "Gila lo."

"Buruan turun, deh!" 

Tiffany langsung membuka pintu penumpang, membantu membopong gadis yang masih tertidur itu.

"Masa lo taruh di kuburan?" ujar Sherin tak percaya.

Hari semakin sore. Pastinya tempat ini jika menjelang malam sangat menakutkan. Apalagi tempat ini sepi dan jauh dari jarak mereka tinggal.

Tiffany menaruh gadis itu disalah satu bawah pohon ditengah tempat itu. Tak lain ialah kuburan. "Diem bentar bisa gak sih!" ujarnya kesal sambil menali kedua tangan Alexa yang masih tertidur dari balik pohon.

"Ini kuburan, loh. Habis gini udah malem." lagi Sherin berdecak jadi parno sendiri.

"Kalian tuh bisa diem gak sih!" bentak Tiffany kasar. Tiffany tak akan membuang waktunya lebih banyak lagi. Tak lupa ia mengikat kedua kakinya. 

***

Daffa, Vino, Regal dan Seo langsung menghampiri ke alamat yang diberikan oleh Raxel.

Riko dan Daffa awalnya tak percaya, jika Raxel memberikannya secara cuma-cuma. Mengingat Raxel ialah salah satu bagaian dari mereka. 

Mereka berempat menemui ke salah satu rumah dari Geng Baymon tersebut. Si bos. Ialah Tiffany. 

Tiffany yang barusaja datang dari luar mengetahui keberadaan keempar orang itu segera menetralkan raut expresinya. 

Apalagi keberadaan Daffa, dengan cepat ia tersenyum kepada lelaki itu.

"Eh lo, jangan senyum-senyum gitu dongs kayak gapunya dosa." cibir Seo muak dengan sandiwara gadis dihapannya ini.

"Eh lo syirik amat."

Tiffany kini memperhatikan lelaki itu. Tak lain ialah Daffa. Lelaki itu bersender di teras rumahnya. Sekarang ia ingin mengobrol dengan lelaki itu, namun keberadaan tiga temannya ini membuat niatnya terurungkan.

Lelaki yang diperhatikannya ini menanyakan sesuatu. "Lo nyekap Alexa di gedung? Terus bawa dia kemana?"

"Kamu nuduh aku?" Tiffany lagi menetralkan raut wajahnya. Karena pertanyaan itu seolah membuatnya tersontak.

"Iya!" bentak Daffa kasar.

Tiffany lagi-lagi mendapat bentakan dari Daffa. Kedua kalinya kali Tiffany dapatkan hanya masalah karena gadis berkepang itu. Alexa.

"Bukan nuduh. Lo ngaku gak?!" desis Regal lelaki itu mencengkram bahu Tiffany.

Gadis itu berusaha melepaskan cengkaraman lelaki itu lalu berkata, "Lo gak punya bukti!"

Teman-temannya melerai kedua orang itu.

Lagi lagi Tiffany berkata, "Jangan nuduh orang sembarangan!"

"Oke. Gue bakal kasih bukti." telak Regal menentang gadis itu.

"Disana gerbangnya masih dibuka." Tiffany menunjuk pagar rumahnya lalu memasuki rumah terlebih dahulu.

***

Ditempat lain, Alexa membuka kedua matanya. Isak tangisnya tak akan ada seseorang pun yang tau.

Gadis itu mendongak mengarah ke atas langit yang kini merubah menjadi gelap.

Tubuhnya kini basah, karena rintikan hujan. Hujan sekilas. Kini cuacanya kembali normal. Bintang dan bulan kembali menemaninya di tempat sepi ini.

Alexa masih ingat perlakuan terburuk beberapa temannya itu. Usai pertengkarannya dengan Rita, seseorang dari balik badannya memberikan alkohol. 

Dari situ, Alexa tak sadarkan diri. Dan saat membuka mata sudah berada ditempat asing nan sepi ini. Tangan dan kakinya ditali erat di bawah pepohonan.

Alexa ingin segera berteriak meminta tolong namun suara serak dari dekatnya membuat Alexa mengalihkan arah terlebih dahulu ke sumber suara. "Dasar lo jalang sialan!" umpat Alexa kasar selagi memperhatikan orang yang menyekap ini.

Tak lain ialah mereka..

Tiffany berjongkok mendekatkan ke arah Alexa agar gadis itu lebih memperhatikannya. "Jaga omongan lo ya!" 

"Awalnya. Lo gunain masalalu itu buat dekatin Daffa. Tapi cara lo itu obsesi. Cara lo salah dengan ngenjauhin siappun perempuan yang didekatnya. Termasuk gue?"

Tiffany menatap Alexa tak suka, dan itu ialah sebagai jawaban. "Gue gak biarin siapapun yang berani ngambil posisi gue didekat Daffa. Dan lo itu salah satu ancamannya." tutur Tiffany berlahan.

"Gue sama Daffa jauh lebih dekat dari itu. Gue kenal Daffa sebelum lo datang." tangkis Alexa. "Gue gak pernah ambil posisi lo itu, dan gue gak berniat gantiin lo." 

Alexa masih mengikuti permainan mereka.

Alexa juga berusaha menahan kesabarannya. Kedua kalinya, Tiffany memusuhi Alexa hanya karena Daffa. Alexa harus mendengarkan penjelasannya kali ini sebelum berakhir. 

"Sekarang gue tanya balik, emang Daffa nepatin posisi lo sebagai apa?" tanya Alexa menatap intens Tiffany.

Tetapi Tiffany memilih tak menjawab.

"Lo gak berhak ikut campur masa lalu gue." tutur Tiffany kasar.

Gadis itu seolah mengalihkan topik. Alexa tertawa akan hal itu. Terlebih, Alexa sudah mengetahui point dari jawaban itu.

"Gue kenal siapa lo, Tiffany." tangkas Alexa kasar. "Dan lo belum tau siapa gue."

Alexa memperhatikan silauan kilat di atas langit. Petir. dan juga mulai disambut dengan rintikan hujan.

Tiffany, Sherin dan salah satu dari mereka yang sedaritadi terdiam itu kini tergopoh-gopoh berlarian memasuki mobil.

"Gue gak bakal maafin lo!" Alexa memperhatikan ketiganya dari jarak kejauhan. Menolong saja tidak.

*** 

Sebenarnya mereka sudah mengetahui siapa dibalik masalah tersebut, dari rekaman CCTV yang di copy Alfian.

Tujuan mereka saat ini mencari informasi dari teman-temannya selagi menunggu kabar lagi, karena mereka juga tak tau keberadaan Alexa.

Secekecil apapun bisa dijadikan petunjuk. Kesimpulan dari Tiffany ialah gadis itu berbohong.

Usiran mendapat usiran dari rumah Tiffany, mereka kini menuju ke alamat rumah Ezza. 

Ezza itu paling pendiam diantara mereka. Gadis itu memang mengikuti kedua temannya, tapi Ezza tak pernah ikut berbicara meskipun itu ialah kesalahan dari salah satu temannya.

Riko mengetuk pintu rumah Ezza. Mencocokan sesuai alamat. Tak lama, gadis itu membukakan pintu dengan sopan.

"Zaa. Lo tau Alexa?" Gadis itu mengangguk singkat.

"Boleh minta penjelasan?" tanya Vino beralih setelah measuki ruang tamu. 

Ezza mengangguk lalu menjawab, "Murid baru kan? Tiffany ga suka sama tuh karna dekatin Daffa." ujarnya beralih menatap Daffa. "Caranya obsesi. Tapi niatnya beda. ..--" 

"Beda?"

Ezra mengangguk. "Tapi soal perasaan, i dont know. Kadang Tifany tuh egois." 

"Tunggu. Tiffany pernah gak sih, mikir celakain Alexa?"

"Dia benci banget." ujar Ezza singkat. "Lo pasti tau gimana sifat Tiffany." ujarnya tertuju ke arah Daffa.

"Kecuali Daffa, kita gak tau."

Ezza tertawa. "Sorry gue tau banyak. Lebih baik kalian tanya ke Raxel, dia lebih tau banyak daripada gue, meskipun gue teman mereka."

"Maaf ya nganggu waktu lo."

Kediaman rumah Ezza terlihat sederhana, bahkan lebih sederhana. Adanya hanya sebatas persegi panjang. Awalnya gadis itu terkejut dengan kedatangan mereka namun Ezza masih menyambutnya dengan sopan.

"Plis. Jangan nuduh gue engga-enga. Gue beneran gak ngelakuin apa-apa." tutur Ezza berlahan. "Sekecil apapun masalahnya berpengaruh ke beasiswa gue." cengir Ezza sedikit tertawa.

Oh. Ezza ialah anak beasiswa. Pantas saja ia paling engeh diantara kedua temannya. Anak beasiswa emang sangat diperhatikan, namun sedikit kesalahan akan berpengaruh.   

***

"Lo masih gak percaya sama gue?" Raxel menarik nafas lagi lagi melihat kehadiran Regal. "Terus kalian kesini ngapain lagi sih?"

Kediaman rumah Raxel lebih mewah dari kedua temannya itu. Memang. Tapi rumahnya kini terlihat sepi. Mungkin Raxel tingal sendiri? Maybe.

"Gue gak percaya." Regal berkata sinis.

Raxel mengalihkan arah menatap Regal, lelaki itu yang tiba-tiba menuduhnya tadi seusai sepulang sekolah, padahal Raxel juga memberikan alamat kedua temannya. "Lo mau minta sumbangan?" tanyanya tertuju ke arah Regal.

"Kan gue udah bilang, itu masalah teman gue, bukan urusan gue," lanjutnya kini beralih menatap mereka bertiga.

Pernyataan Raxel itu bukan pertanyaan seolah tanda tanya, melainkan seolah hanya pernyaataan biasa. Dan hal itu membuat mereka bertiga memilih mengunjungi Raxel. Raxel juga memberi alamatnya.

"Apa yang lo ketahui?" desis Daffa. Raxel masih terdiam. "Apa yg lo sembunyikan?"

"Melindungi kejahatan itu ada pasalnya, loh." sindir Regal.

Vino buru-buru menjitak Regal.
Rasanya Raxel ingin mencabik Regal saat ini juga.

"Oke.Oke."

"Sebelum gue jawab, emang lo ngangep Tiffany sebagai apa?" kini Raxel membuka suara mengarah ke arah Daffa.

"Teman."

Daffa menatap Raxel intens. Prilaku Tiffany terlalu menyangkutkan dirinya memang.

Raxel menatap Daffa dalam artian tak bisa dijelaskan. "Dibanding Alexa?"

"Alexa lebih dari itu."

Raxel tertawa.

Sedangkan Vino lagi-lagi menjitak Daffa. "Lebih dalam artian apa?"

"Seharusnya masalah ini enga harus dibuat rumit."

Tiba-tiba ponsel Vino terlebih dahulu  begetar. Lelaki itu mengangkat pangilan dari Arsen.

"Kalian buruan balik, gue udah send lock. Kita nyusul kesana."

Hanya mengatakan itu, lalu pangilan terputus. Itu ialah suara Alfian, lelaki itu mengunakan ponsel Arsen.

"Maaf ngangu waktu lo, kita buru-buru ada urusan lagi." pamit Vino diikuti oleh tiga temannya hendak beranjak pergi, namun perkataan Raxel kali ini membuat langkah mereka berempat terhenti sejenak.

"Maafin kelakuan teman gue ya." ujar Raxel sedikit tersenyum hangat. 

Dibalik Raxel yang menyebalkan, gadis itu masih mempunyai sisi lembut.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro