Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Changkyun turun dari mobil ibunya dan bergegas menuju gerbang sekolah yang cukup jauh dari jalan utama dengan jalan yang sedikit menanjak. Dari kejauhan bisa Changkyun lihat aktivitas yang terjadi di gerbang sekolah. Ada seorang guru yang menyambut kedatangan mereka setiap pagi. Dan pagi itu Changkyun merasa sedikit gelisah karena ia tidak bisa menutupi luka di wajahnya. Sudah pasti ia akan tertangkap basah.

Demi menjaga nama baik keluarganya, Changkyun mencari jalan lain. Berbelok ke kiri, Changkyun memutuskan untuk memanjat tembok setinggi dua meter agar bisa langsung memasuki area sekolah tanpa harus melewati gerbang. Bukanlah hal yang sulit bagi murid seperti Changkyun. Hanya dengan satu pijakan, ia melompat dengan tubuh yang tampak sangat ringan seakan-akan ia tengah terbang. Kedua tangannya langsung menjangkau bagian atas tembok. Dan dengan sedikit usaha dia berhasil menapakkan kakinya di atas tembok. Baru dia ingin turun ke dalam area sekolah, beberapa temannya datang dari dalam area sekolah.

"Ya! Ya! Cepat lompat! Cepat!" panik salah seorang.

Setidaknya ada lima orang yang kemudian melompat keluar, menyisakan kebingungan di wajah Changkyun yang masih berjongkok di atas tembok.

"Changkyun, kau sedang apa?" tegur salah satu teman Changkyun.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" tegur Changkyun. Dia memanjat tembok untuk masuk, tapi teman-temannya memanjat tembok untuk keluar.

"Kau tidak tahu?" Teman Changkyun tampak terkejut. "Ya! Cepat turun dari sana, cepat!"

Changkyun yang tak mengerti situasi lantas melompat keluar dan berhadapan dengan teman-temannya yang terlihat panik.

"Ada apa dengan wajah kalian?" tegur Changkyun dengan santai.

"Celaka, habislah kita semua." Pemuda itu langsung menarik kedua lengan Changkyun. "Kau ... ini karena ulahmu tadi malam."

Sebelah alis Changkyun terangkat. "Aku? Kenapa?"

Pemuda di hadapan Changkyun berbicara dengan frustasi, "gara-gara kau memukul opsir itu, polisi datang ke sekolah kita! Aku harus bagaimana? Jika ayahku sampai tahu, habislah aku."

Changkyun menepis pelan tangan rekannya, perlahan ia mulai mengerti situasi yang tengah mereka hadapi. Opsir yang ia pukuli tadi malam mencari mereka di sekolah. Tapi ada hal yang masih menjadi tanda tanya bagi pemuda itu.

"Dari mana mereka tahu jika kita bersekolah di sini? Adakah yang membocorkan identitas kita?"

"Ya! Sadarlah, Kim Changkyun ... hanya dengan melihat seragam yang kita pakai, mereka bisa langsung mengenali dari mana kita berasal."

"Lalu sekarang bagaimana?"

"Kita tidak bisa diam di sini?"

"Benar, mereka bisa langsung mengenali kita hanya dengan melihat luka di wajah kita."

"Aish! Seharusnya kalian menjalani prosedur operasi plastik terlebih dulu sebelum datang ke sekolah!" kesal pemuda yang selalu mengeluhkan tentang ayahnya. Di antara yang lainnya, dia adalah orang yang terlihat paling khawatir.

"Tapi bukankah ibu Changkyun adalah pengacara?" celetuk salah seorang. "Dia akan membela kita jika terjadi sesuatu pada kita."

Tiba-tiba semua orang menaruh harapan yang besar pada Changkyun yang justru berwajah datar. Alasan ia melarikan diri setelah membuat kekacauan adalah Agara keluarganya tidak mendapatkan dampak yang buruk atas perilakunya. Tapi sekarang teman-temannya justru ingin memanfaatkan profesi ibunya untuk menyelamatkan diri.

"Changkyun—"

"Lupakan," celetuk Changkyun, menolak mendengar rayuan maut dari teman-teman seperjuangannya. "Jangan pernah melibatkan ibuku atau aku akan membuat perhitungan dengan kalian."

Semua orang kecewa, dan satu orang yang dilema karena ayahnya melayangkan sebuah protes yang terdengar lebih putus asa. "Lalu kita harus bagaimana? Kau yang menghajar kedua opsir itu, kau memegang tanggung jawab yang besar dalam masalah ini. Kau adalah bos kami, masa depan kami ada di tanganmu."

Pemuda itu tiba-tiba memegang salah satu lengan Changkyun menggunakan kedua tangannya, berusaha meyakinkan Changkyun.

Changkyun sekilas menggaruk bagian samping lehernya. Dia bahkan tidak memiliki solusi untuk dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia harus bertanggungjawab atas keselamatan teman-temannya.

"Changkyun ... mulai hari ini kami akan memanggilmu dengan sebutan bos. Apapun yang kau inginkan, kami akan menurutinya. Kalian setuju?" Pemuda itu melempar pertanyaan pada keempat temannya. Dan dengan begitu mudahnya mereka mengangguk.

"Bukankah baru kemarin kalian menempel pada Baek Juho?" sinis Changkyun, menyebutkan salah satu bandit terkuat di sekolahnya. Dan tentunya mereka berdua memiliki hubungan yang tidak begitu baik meski sama-sama berdiri di garis depan saat baku hantam dengan murid dari sekolah tetangga.

"Eih ... kapan? Kapan kamu melakukannya?"

"Benar, kami bahkan selalu bersamamu. Kita berada di kelas yang sama," sahut salah seorang.

"Jika kalian bersikap terlalu baik padaku, orang itu pasti akan memakiku."

"Jika Baek Juho memakimu, kami akan berdiri di garis depan untuk melindungimu. Kalian juga memikirkan hal yang sama?" Pemuda itu kembali melempar pertanyaan dan sekali keempat temannya mengangguk setuju.

Changkyun tersenyum tak percaya. Jika semudah ini untuk menjadi bandit terkuat di sana, mungkin sudah dari dulu dia menghajar opsir yang mengejar mereka.

Pemuda problematik itu kemudian membujuk Changkyun dengan ucapan lembutnya. "Kalau begitu, Bos. Ke manakah kita akan pergi sekarang? Untuk saat ini sekolah bukanlah tempat yang aman."

"Benar, aku bahkan melihat bahwa Baek Juho dibawa ke ruang guru," sahut salah seorang.

Changkyun menarik tangannya dari si pemuda problematik. "Lakukan sesuka hati kalian. Aku pergi sekarang."

Changkyun kemudian meninggalkan teman-temannya.

"Ke mana?" tegur si pemuda problematik.

"Pantai," celetuk Changkyun yang seketika membuat semua orang sangat antusias.

"Pantai?"

"Ayo!" Si pemuda problematik itu lantas mengerahkan keempat temannya untuk menyusul Changkyun.

"Bos ... kami ikut denganmu!"

Dan hari itu Changkyun membolos guna menghindari razia. Jika hanya seorang guru yang menegurnya, dia masih bisa berjalan ke depan. Tapi jika sudah berurusan dengan polisi, dia rela untuk menjadi pecundang satu hari ini. Seperti yang ia katakan, mereka semua pada akhirnya pergi ke pantai. Melakukan hal yang menyenangkan sebagai pengganti kelas yang mereka tinggalkan. Bersenang-senang tanpa mengkhawatirkan apapun dan kembali ke Seoul setelah hari mulai sore.

Langit gelap telah menyelimuti Seoul sepenuhnya. Semua lampu di kota besar itu telah menyala. Ramainya lalu lintas di jalanan utama tersamarkan oleh aktivitas malam yang terjadi di beberapa sudut kota. Malam itu Changkyun berjalan sendirian. Mengakhiri pelariannya hari itu dan dalam perjalanan pulang.

Berhenti di halte. Tiba-tiba perasaan sepi menghampiri Changkyun ketika ia duduk seorang diri di dalam bus yang mulai berjalan, membawanya menikmati pemandangan kota di malam hari.

"Apakah Hyeong baik-baik saja?" gumam Changkyun.

Tiba-tiba saja pemuda itu teringat akan sosok sang kakak. Changkyun baru ingat jika pagi tadi kakaknya melakukan kunjungan rutin ke rumah sakit untuk memastikan keadaan jantungnya. Dan di saat-saat seperti inilah Changkyun menjadi orang yang penakut. Kadang kala ia akan pulang larut malam untuk menunda pertemuannya dengan sang kakak. Dan dia melakukan hal itu karena ia merasa takut untuk menghadapi kenyataan yang buruk. Tapi kali ini dia merasa ingin segera pulang meski hari masih terbilang sore. Dia ingin segera pulang dan bertemu dengan kakaknya, sehingga kekhawatirannya tentang teguran yang akan ia dapat setelah kembali ke rumah untuk sejenak menyingkir.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Changkyun memasuki jalanan perumahan di mana ia tinggal. Saat malam hari jalanan itu terlihat lebih sepi. Tapi dia tinggal di pemukiman yang aman sehingga tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Disepanjang jalan pun sudah tersedia CCTV.

Helaan napas Changkyun keluar ketika ia telah berdiri di depan pintu. Di luar gerbang rumah barusan dia melihat mobil milik ayah dan ibunya, itu artinya semua orang sudah berada di rumah. Menghilangkan keraguannya, ia membuka pintu di hadapannya.

"Aku pulang," gumam Changkyun. Berniat memberi salam, namun tak ingin ada orang yang menyadari kedatangannya.

Berjalan masuk, Changkyun merasa sedikit asing dengan suasana rumah yang terlalu sepi meski semua orang ada di rumah. Pada jam ini biasanya akan terdengar suara dari beberapa sudut bangunan rumahnya. Seperti kakaknya yang tengah bermain piano, ibunya yang menyiapkan makan malam dan ayahnya yang tengah berbicara di dalam kamar. Malam itu Changkyun tak mendengar suara apapun hingga langkahnya menjangkau tangga pertama yang terhubung dengan lantai dua.

"Meskipun ini sulit, kita harus melakukan ini. Hanya dengan ini kita bisa menyelamatkan putra kita ..."

Samar-samar Changkyun mendengar suara ayahnya yang berasal dari ruang keluarga. Mengurungkan niatnya untuk kembali ke kamar, Changkyun kemudian berjalan menuju ruang keluarga dan suara kedua orang tuanya yang tengah terlibat perbincangan semakin terdengar jelas.

"Tidak bisakah diundur lagi sampai kita menemukan pendonor? Bagaimana manusia bisa bertahan dengan benda seperti itu?" Suara Lee Yowon terdengar gemetar, dan hal itu mengundang tanya di wajah Changkyun.

"Jika itu memang bisa, kita tidak akan berbicara seperti ini di sini. Ini adalah satu-satunya tindakan yang harus dilakukan saat ini. Mari kita selamatkan putra kita, Istriku."

Changkyun mematung di ambang pintu setelah mendengar suara ayahnya dengan jelas. Sudah bisa dipastikan bahwa kedua orang tuanya tengah membicarakan kakaknya. Tapi apa yang terjadi pada kakaknya. Melihat hanya ada kedua orang tuanya di sana, perasaan takut Changkyun semakin besar.

Changkyun kemudian menegur kedua orang tuanya dengan ragu. "Aku pulang."

Kim Namgil dan Lee Yowon serempak memandang ke arah Changkyun. Keduanya tak tampak terkejut seakan pembicaraan yang mereka lakukan sebelumnya bukanlah sesuatu yang perlu dirahasiakan.

"Oh? Kau sudah pulang?" Kim Namgil menyahuti, namun tak seorang biasanya. "Kemarilah, Changkyun. Kami ingin berbicara denganmu."

Semua tampak baik-baik saja, tapi justru sikap normal Kim Namgil menjadi hal yang harus dipertanyakan. Ayahnya hampir tidak pernah berbicara dengan suara setenang itu. Pria itu hanya akan bersikap seperti itu dalam situasi yang serius. Dan dengan fakta itu, langkah Changkyun terasa sangat berat ketika ia berjalan ke tempat kedua orang tuanya berada. Terlebih lagi setelah ia menyadari kedua mata sang ibu yang terlihat seperti baru saja menangis.

"Apa yang terjadi di sini? Di mana Hyeong sekarang?" batin Changkyun yang dibayang-bayangi oleh perasaan takut yang semakin kuat.

"Duduklah." Kim Namgil mengulurkan tangannya, mengarahkan putra bungsunya untuk duduk di sampingnya.

Changkyun kemudian bergabung bersama kedua orang tuanya. Dan saat itulah ia merasakan sedikit kekosongan dalam hatinya. Perlahan, sudut hatinya terasa sakit bahkan sebelum ada orang yang melukai perasaannya.

"Kenapa hatiku tiba-tiba terasa sakit?" batin Changkyun. Dia kemudian memandang kedua orang tuanya bergantian sebelum akhirnya bertanya dengan ragu.

"Hyeong ... ada di mana? Kenapa Ayah dan Ibu berbicara di sini? Hyeong ada di kamar, kan?"

Kim Namgil menyentuh salah satu bahu Changkyun untuk menarik perhatian pemuda itu. Dia kemudian berbicara dengan sangat lembut seakan menganggap bahwa putranya memiliki hati yang rapuh.

"Changkyun, dengarkan apa yang ingin ayah katakan."

"Di mana Hyeong sekarang?" Changkyun sedikit menuntut ketika rasa takut itu semakin menguasai akal sehatnya. Rasa sakit di sudut hatinya tiba-tiba melebar tanpa sebab.

"Dengarkan dulu apa yang ayah katakan. Kakakmu ... saat ini tidak berada di rumah."

"L-lalu, di mana dia sekarang?" Changkyun menjadi ragu-ragu.

"Dalam waktu dekat, kakakmu ... akan menjalani operasi pengangkatan jantung."

Dada Changkyun tiba-tiba terasa sesak. Mereka sudah menunggu hal ini dalam waktu yang lama, saat di mana Taehyung menemukan pendonor agar bisa menjalani kehidupan normal seperti orang lain.

"Ayah sudah menemukan pendonor untuk Hyeong?" Changkyun tersenyum, tapi anehnya hatinya justru semakin terasa sakit. Dan rasa sakit itu terasa semakin kuat ketika sang ayah memberikan sebuah gelengan. Melenyapkan seulas senyum yang sempat menghiasikekhawatirannya.

"Karena tidak memiliki pendonor, dokter menyarankan agar menggantikan jantung kakakmu menggunakan jantung buatan. Itu—"

Perkataan Kim Namgil terhenti ketika Changkyun tiba-tiba berdiri dan menepis tangannya dengan kasar.

"Changkyun, ada apa?" tegur Kim Namgil yang bingung dengan sikap putranya.

"Ayah ingin memasukkan benda seperti itu ke dalam tubuh Hyeong?" Suara Changkyun sedikit gemetar, dadanya bergemuruh. Rasa sakit itu terus menjalar seakan ingin menyiksa dirinya.

Malam itu Changkyun meninggalkan rumah seperti orang yang tengah melarikan diri, bahkan ia tak sempat mengenakan sepatu dan hanya membungkus kakinya menggunakan kaos kaki yang memang belum terlepas dari kakinya.

"Tunggu aku, Hyeong ..."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro