EPILOG
Kageyama Tobio terbangun tengah malam.
Keringat bercucuran seakan akhir hayat sudah di hadapan, nafas tak beraturan kepala juga pusing bukan kepalang.
Diliriknya jam yang tersimpan diatas nakas, pukul dua pagi.
Linglung. Kageyama Tobio bermimpi buruk tentang masa lalunya.
Voli. Teman. Kekalahan.
Ketakutan-ketakutan yang biasanya hanya terjadi didalam kepala kali ini terasa nyata. Laki-laki itu menggeram, mengacak rambut perlahan baru ingat keesokan hari akan ada pertandingan.
Lawannya Tim Hinata.
Segala pikiran mulai merasuk semena-mena, tak memberikan Tobio celah untuk mengingat mana khayal mana realita.
Netra biru laut menatap dalam, samping badan tempat kosong yang tak didiami siapa-siapa. Kemana perempuan itu pergi?
Apa mimpi buruknya yang tadi memang telah sungguhan terjadi? Bagaimana seorang [name] akhirnya menikah dengan Atsumu Miya, yang kemudian akan menjadi lawanya esok hari, dan meninggalkan Tobio seorang diri?
Suara pintu yang dibuka membuyarkan lamunan hampa. Garis-garis cahaya mulai menembus kedalam ruangan.
Tobio meraih saklar yang terletak dekat dengan ranjang, menyalakannya karena penasaran siapa yang baru saja datang.
Cklek.
"Papa."
Tobio menghela nafas, menutupi muka karena kebodohan yang masih melekat meskipun dirinya memasuki usia dewasa.
"Hm, kenapa? Tak bisa tidur?" Tobio melemparkan pertanyaan berturut-turut
Sudah bukan rahasia umum bahwa laki-laki itu berubah sembilan puluh derajat sifatnya setelah kelahiran anak pertama dengan [name]. Wajah kecut lebih sering dipaksa tersenyum, muncul paranoid tentang bagaimana tindak tanduk seorang ayah memperlakukan anaknya dengan benar.
Tobio kecil selalu ditinggalkan orang tua. Sibuk. Daisuke Kageyama, sang ayah, mengurusi bisnis serta pekerjaan pemerintah yang Tobio tak mau tahu detailnya bagaimana. Lalu sang ibu, Athalia Kageyama, terpaksa menemani Daisuke selama pekerjaannya berlangsung. Lagi-lagi Tobio tak tahu menahu mengenai masalah itu, yang pasti ia tinggal bahagia dengan Miwa, sang kakek yang telah tiada, dan tentunya voli.
Tentunya dasar yang menjadi bibit dari sifat Tobio itu ia kubur dalam-dalam, alam sadarnya bahkan tak mau repot-repot menjabarkan dalam kepala. Apa saja yang terjadi selama hidupnya? Derita-derita tak kasat mata, sayatan-sayatan yang dilupakan begitu saja. Kematian sang kakek saat dirinya baru memulai masa remaja, Tobio enggan mengingat itu semua.
Sepintas, perhatian yang terkadang berlebihan pada Rei tampak aneh bagi mata sebagian orang. Namun Tobio lagi-lagi tak ambil pusing, yang penting anak dan istrinya bahagia. Tak kekurangan uang maupun kasih sayang, jauh dari nestapa bernama kesepian serta kerinduan.
Rei mengangguk cepat, matanya tampak sangat berat, badan kecilnya terlihat menahan penat. "Mama bilang aku boleh tidur sama papa."
"Mama mana?"
"Di kamar mandi."
Tobio tersenyum hangat, "Sini."
Anak laki-laki itu sedikit berlari, cukup kesulitan saat harus menaiki ranjang. Badan kecilnya berakhir diangkat pelan oleh sang ayah, Tobio mendudukan sang putra seraya mengelus lembut rambutnya.
"Rei?"
"Mama!"
[name] memasuki kamar setelah menutup pintu, senyum tipisnya merekah melihat dua laki-laki kesayangan tengan duduk bersisian.
"Tidur, udah malem."
Ketiganya berbaring diatas ranjang. Menyelimuti diri, berlindung dari dinginnya malam.
Tobio menatap [name], tanpa sadar lengkungan manis tercetak pada garis wajah yang belakangan lebih sering menampakan air muka berbeda. Perempuan itu balas memasang senyum, netra coklatnya menghilang ditelan kelopak. Kurva manis tak lantas lepas, [name] dan Tobio terbiasa saling melempar gestur tanpa banyak berkata-ucap, selama lima tahun pernikahan mereka berlangsung.
Rei memunggungi [name], kepalanya menempel pada dada bidang sang ayah. Wajahnya tampak sangat tenang, memiliki raut wajah tak kalah tegas dari seorang Tobio.
[name] mendekat, tangan kanan bergerak mendekap kedua manusia tersayang. Tobio sedikit bangun, mempersempit jarak agar bisa mengecup dahi sang istri hangat.
"Terima kasih, [name]. Aishiteru."
[]
Rei [令] means "rule, order, command".
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro