22 [END]
So this is heartache?
So this is heartache?
"[name], p-plis. D-dengerin aku."
Kageyama mengerang keras, tangannya mengepal kuat-kuat dengan wajah yang tak bisa didefinisikan. perasaannya kalut, hatinya diselimuti rasa takut.
"Dengerin!"
"... jangan teriak?"
Laki-laki itu bergerak gelisah, menggeram dengan mata terpejam. Menggeleng-gelengkan kepala, menampar pipi dengan telapak sendiri.
"O-oke. Err, gini... aduh!"
[name] mengernyitkan dahi, "Kenapa?"
"I-itu!"
Tobio masih memejamkan mata, sungguhan takut dengan keadaan yang tengah menimpa. Kesempatan besar yang ada di depan mata, bisa saja hangus begitu saja kalau dirinya tak hati-hati dalam berkata.
"Tobio, tenang."
Bagaikan sebuah mantra, suara [name] yang memanggil nama membuat Tobio menghela nafas pelan. Lega, sedikit. Netra biru mulai membuka, bersiap menjelaskan semuanya yang dirasa beban selama beberapa tahun belakangan.
[]
Daichi mengecek ponselnya sesaat setelah Tim Karasuno mempersiapkan diri untuk kembali ke sekolah lagi. Satu notifikasi, Daichi tertawa dalam hati dan tersenyum dengan sendiri.
"Teletabis?" Celetuk Sugawara saat netra sayunya mengintip kepunyaan Daichi, "Grup apa?"
Sang Kapten mendengus geli, mengibaskan tangan di udara seakan jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan berisi kekonyolan. "Biasa, kepala suku."
Sugawara bergumam kecil, "Kayak anak kecil aja nama grupnya."
"Kageyama belum balik?" Daichi memastikan, mendapat senyum serentak dari semua anggota tim. Well, hampir semua. Nishinoya dan Tanaka malah memasang wajah envy, serasa si setter muda bergerak melangkahi.
Asahi menggeleng, "Belum. Tadi lari-lari di lorong, nggak tahu udah ketemu atau belum."
"Sampe lari-lari segala." Tsukishima mendecih, "Kayak yang bakal diterima lagi aja."
Coach Ukai, disisi lain tampak mengobrol dengan Takeda-sensei. Guru muda itu tertawa lepas, mendengar ringkasan cerita Kageyama dan si perempuan misterius dari pelatih tim asuhannya.
"Tak apa, biarkan saja!" Kacamata beningnya ia lepas, dibersihkan karena sedikit berembun terpengaruh udara sekitar. "Kageyama-kun sudah berusaha keras hari ini. Biarkan dia mengejar mimpinya yang lain."
Daichi melirik ponsel yang sedari tadi berkedip genit, menampilkan rentetan pesan tak penting yang berisi obrolan tak kalah penting dari para Kapten lain.
Tawa tak bisa dibendung. Bokuto Koutaro, Kapten tim unggulan milik Fukurodani yang super keren ketika beraksi di lapangan, nyatanya memiliki sifat kekanakan yang sulit dihadapi. Namun pada berbagai situasi, contohnya saat ini, sifat Bokuto justru mengundang tawa.
Well, tak ada yang bisa menyalahkan burung hantu itu, nyatanya hampir semua orang yang mengenal Bokuto pasti menaruh respek tinggi. Siapa yang menyangka? Dengan badan atletis dan wajah setampan itu, Bokuto Koutaro menyimpan sifat yang terbilang menggemaskan.
Daichi menghela nafas, menutup ponsel seraya berjalan menuju bus yang akan membawanya pulang. Dirinya menolak bertanya-tanya lebih dalam, toh Kageyama Tobio adalah manusia normal yang memiliki kehidupan sendiri. Juga Daichi yakin cowok itu bisa mengatasi masalahnya secara baik-baik, kalau ada apa-apa pun Kageyama pasti menghubungi.
[]
❝ what we meant,
what we said that night
why did I let you go?
Tobio sudah tenang. Kini mulutnya mulai terbuka, menjelaskan apa yang selama ini menjadi luka. Kalimat-kalimat yang salah diucap, perasaan-perasaan yang kian memaksa ingin dilepaskan.
"Aku tahu, aku nggak seharusnya biarin kamu pergi gitu aja. Sejak awal emang aku yang salah. Aku ngelampiasin semuanya ke kamu. Amarah aku. Rasa kecewa aku. Padahal kamu nggak tahu apa-apa, kamu cuma mau menenangkan. Tapi aku nggak tahu diri."
[name] menahan ringisan saat Kageyama menyelesaikan kalimat terakhir.
"Aku nggak tahu diri, [name]. Dunia ini udah ngasih aku semuanya. Bakat. Akal. Pamor. Perempuan yang selalu ada buat aku. Tapi aku... aku-"
"Kamu berbuat salah."
Kageyama menghela nafas, iris birunya tak sanggup menatap [name]. Cowok itu menunduk, menahan tangis dengan mengigit bibir kuat-kuat.
"Dan kamu belajar dari kesalahan itu."
Jemari dingin [name] bergerak mengelus pipi Kageyama, mengangkatnya pelan sehingga mau tak mau keduanya bertatapan.
Ada banyak hal yang bisa seseorang cerminkan dari mata. Perasaan. Harapan. Keinginan. Segala dekorasi kehidupan yang seringkali memicu permasalahan karena terlalu lama disembunyikan, dapat digali lewat indra penglihatan.
Seperti saat ini, [name] tahu Kageyama berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan apa yang ada di dalam kepalanya. Netra biru itu telah jujur, sejujur yang ia bisa, sebenar yang ia rasa.
"Tobio, dengar." [name] menghela nafas, menekan keningnya sendiri agar berada pada jarak cukup dekat demi bisa bicara hati ke hati.
"Lain kali, kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri."
"Jangan menyangkal. Rasakan semua amarah dan kecewa atas kesalahan kamu di masa lalu. Jangan ditepis. Jangan didorong sekuat tenaga hanya karena kamu nggak mau terlihat lemah."
"Aku nggak masalah kalau harus sama lelah karena bantu kamu menanggung semua rasa bersalah. Perasaan-perasaan itu yang membuat kita menjad manusia, Tobio. Jangan dihilangkan."
[name] tersenyum tipis, "Aku bangga banget lihat kamu yang sekarang. Kamu yang berusaha membantu teman-teman kamu, kamu yang nggak takut mencoba hal baru. Kamu yang pelan-pelan lepas dari bayangan buruk di masa lalu."
"[name]..."
"Aku bangga banget sama kamu, Tobio. Kamu berhasil."
Tangis mulai pecah. Tobio memeluk erat, menenggelamkan kepala pada ceruk leher. Membungkuk lama karena perbedaan tinggi yang terpaut lima belas senti. Sementara [name] menempelkan hidung pada pundak tegap, tersenyum dalam diam seraya menutup mata. Membiarkan air mata mengalir begitu saja, berbagi perasaan dengan laki-laki yang telah lama mengisi hatinya.
Gadis itu bisa merasakan tangan Tobio yang menempel pada kepalanya bergetar. pelukan dilepas, [name] menggenggam tangan cowok itu kuat-kuat. Suhunya dingin, keringat membuatnya lengket bukan main.
[name] menatap wajah Tobio lekat-lekat. Memperhatikan garis-garis wajahnya yang terlihat menguat. Sorot iris blueberry yang ia punya kian menajam, meskipun sembab tercetak jelas pada bawah mata.
Lalu tangan gadis itu kembali menyentuh pipi, mengelus pelan hingga usapan jatuh pada rahang. Mengalir sampai dagu, merasakan ketegasan dari peta muka laki-laki itu. Kageyama Tobio telah tumbuh dewasa.
Tetiba netra coklat melemparkan sorot hangat, tawa ringan ikut terdengar keluar. "Wajahmu serem. Pantes hewan pada takut."
"K-kata siapa hewan takut sama aku?!" Seperti layaknya anak kecil, perhatian Tobio teralihkan dengan mudah. Ekspresinya berubah gusar, dengusan-dengusan kesal mulai terdengar.
Tertawa lepas, [name] menepuk-nepuk pundak mantan kekasihnya sebagai bentuk pelampiasan. "Aku tahu dari dulu! Kucing peliharaanku aja nggak mau deket-deket sama kamu."
"Kucing kamu aja yang ngeselin."
"Enggak. Kamu serem."
Tobio menggeram rendah, memalingkan wajah karena tak tahu harus menjawab apa. Keduanya berjalan dengan tempo yang pelan, seakan terlalu sayang dengan keadaan dan tak mau cepat-cepat sampai tujuan.
[name] membawa Kageyama ke dalam ruang olahraga yang baru saja selesai dibersihkan. Keduanya menatap lapangan oren dari kejauhan, kursi penonton paling belakang yang tadi Oikawa gunakan.
Kageyama tak bertanya kenapa cewek itu berjalan ke tempat ini, sejak dulu [name] memang tak suka pada keramaian. Mau niatnya mengobrol serius atau cuma sekedar menatap hampa bersama, keduanya pasti akan mencari lingkungan sepi untuk ditempati.
Ah, betapa rindunya Tobio dengan kebiasaan-kebiasaan kecil ini.
Keduanya duduk bersisian, diam menikmati penglihatan.
"Padahal kamu dulu nggak suka banget duduk di bangku cadangan." [name] mendengus, melirik Tobio yang duduk dengan posisi menanggahkan kepala.
Cowok itu bergumam, "Daripada kecapekan. Lagian senpai pada jago semua. Dulu pas SMP kan gak ada senpai."
Netra coklat mengerling keatas, mengingat pertandingan terakhir Tobio yang diselenggarakan saat cowok itu berada di kelas tiga. Senyum [name] kemudian terpatri usil, "Kamu capek?"
"Banget."
"Terus kenapa nggak istirahat?" Siku ditempatkan pada ujung kursi sementara tangan menahan pelipis.
"Kenapa malah langsung nyari aku?"
Tobio menegakan badan, kepalanya berbalik menatap [name] dengan tatapan polos. "Capeknya ilang denger suara kamu."
i miss you,
i miss you. ❞
[]
heartache ↬ 2019 - 2020
end.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro