99 - Is this the end?
Gedung milik Aleo Group. Sudah belasan tahun aku tinggal di New York, tetapi aku tidak ingat pernah melewati gedung ini. Di hadapanku, dengan desain yang futuristik, tetapi terasa hampa karena masih ada bahan-bahan bangunan di sisi kiri gedung. Penerangan yang menyala hanya di halaman gedung, di lantai satu, dan lantai teratas mengingat Alby ada di sana, selebihnya gelap. Aku sampai menelan ludah karena setelah ini akan melewati lantai-lantai yang gelap itu untuk bertemu Alby.
"Yakin tidak kutemani sampai ke atas?"
Aku memandang Pete dan satu helaan napas terembus. Pete menawarkan diri untuk mengantarku saat kubilang ingin pulang lebih dulu, tetapi dia tidak langsung pulang setelahnya, melainkan menunggu di depan gedung apartemen. Awalnya aku tidak tahu dia masih di sana kalau saja aku tidak keluar lagi. Kemudian sekali lagi dia menawarkan tumpangan padaku.
Aku sempat bertanya kenapa dia tidak langsung pulang, tetapi dia sudah menduga kalau aku ingin pergi lagi karena buru-buru pergi setelah menerima telepon.
"Tidak apa-apa, kau bisa langsung pulang. Aku bisa mengatasinya sendiri. Lagi pula, aku harus menyelesaikan beberapa hal di antara kami."
Namun, Pete tetap tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menyalakan mesin mobilnya kembali. Dia justru memperhatikanku yang kerepotan keluar dari mobil. Meski begitu, aku tetap mengucapkan selamat malam dan dengan cepat berjalan memasuki gedung.
Tempat ini memang tidak dijaga atau sengaja dikosongkan untuk malam ini? Kurasa opsi kedua lebih tepat. Gedung ini tidak terlihat terbengkalai, bahkan sangat bersih. Lantai yang kuinjak benar-benar berkilau. Menyadari bahwa aku hanya sendiri di tempat besar ini membuatku mempercepat langkah dan buru-buru memasuki elevator begitu pintunya terbuka.
Apa Alby benar-benar masih di atas? Pertanyaan itu mulai menghantui pikiran. Dia bukan orang yang akan melanggar janji, tetapi berada seharian di gedung kosong akan membuatnya kebosanan. Belum lagi kalau dia lapar, dia harus pergi. Tiba-tiba aku merasa tidak yakin akan keputusan untuk menemuinya. Sayangnya, elevator sudah berhenti di lantai teratas. Aku tidak punya pilihan selain segera menemuinya.
Di sini tidak jauh berbeda dengan lantai satu. Bersih dan hampa, tetapi lantainya sudah separuh dipasangi karpet berwarna krem. Di depanku ada sebuah pintu kaca buram yang besar, atau mungkin satu-satunya pintu di sini karena di sisi kanan dan kiriku hanyalah lorong dengan meja yang ditata di sepanjang jendela. Alby tidak pernah menceritakan tempat ini sebelumnya. Namun, sebuah logo di samping pintu, yang kuingat mirip dengan tato huruf A di pergelangan tangan Alby, menandakan bahwa tempat ini benar miliknya.
Aku mendorong pintu dan menemukan kekosongan. Penyesalan mulai meremas dadaku, tetapi satu tubrukan di punggung membuatku menjatuhkan tas besar yang kubawa. Pelukan yang familier ini, tidak kusangka sudah sangat kurindukan.
"Akhirnya kau datang." Suara Alby terdengar lemas, sampai-sampai aku tidak tega menarik lepas lingkaran tangannya.
"Aku hanya ingin memberi tahu kalau Jacob mencarimu, ponselmu tidak bisa dihubungi. Dia akan datang untuk menemuimu di sini. Dan aku ingin mengembalikan barang-barangmu."
"Barang-barangku?"
"Ya. Sepatu, baju, beberapa hadiah. Semuanya. Aku tidak ingin menyimpan barang-barang investasi darimu lagi."
Pelan-pelan Alby melepaskanku. Aku berbalik hanya untuk melihatnya mundur beberapa langkah. Pria ini apa sungguhan kacau atau hanya dibuat-buat? Pakaiannya kumal di beberapa sisi. Dua kancing teratasnya juga tidak terpasang. Rambutnya mengalahkan kekacauan yang terlihat saat baru bangun tidur. Sayangnya, semenjak semua itu terungkap, aku jadi meragukan ketulusannya. Untuk merasa kasihan saja aku sampai gengsi.
"Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Ava." Suaranya yang serak benar-benar seperti orang yang tidak mendapat air seharian. Dan tempat ini juga sangat kosong. Aku tidak melihat ada kemasan makanan atau minuman yang dia konsumsi seharian ini.
"Aku tidak mau mendengarkan apa-apa lagi. Seperti yang tertulis di suratmu, kau memintaku datang ke sini untuk menemuimu. Sudah kulakukan, jadi aku akan pulang." Aku beranjak, membiarkan tas besar berisi barang-barang yang kumaksud tetap tergeletak di lantai. Dan seperti biasa, Alby selalu meraih tanganku. Dia selalu tahu cara untuk membuatku kembali padanya.
"Pintunya belum terpasang dengan benar. Itu bisa dibuka dari luar, tapi tidak dari dalam. Kau pikir kenapa aku masih berada di sini?"
Aku membuktikan ucapannya dan memang benar, pintu ini tidak memiliki gagang untuk ditarik. Aku lantas menatapnya nyalang. Sekali lagi dia membuatku seperti orang bodoh yang sudah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak benar-benar terjadi.
"Kau gila?" Kemarahan mulai menguasaiku. "Kau sengaja membuatku tetap di sini, terjebak bersama penipu sepertimu?" Aku melepaskan tanganku dari genggamannya dengan satu sentakan kuat.
"Aku ingin meminta maaf dengan benar padamu kali ini, Ava. Tolong, dengarkan saja. Aku tidak akan berusaha untuk membantah keputusan apa pun yang kau ambil setelahnya. Aku tidak tenang kalau kau pergi begitu saja."
Aku menyugar rambut sembari berjalan menjauhinya sejauh yang kubisa, agar aroma yang menguar darinya tidak membuatku pening. Lagi pula, aku tidak punya pilihan lain selain mendengarkannya. Ponselku, aku meninggalkannya di kamar saat memasukkan sisa barang-barang yang belum kubereskan ke dalam ke tas.
"Tolong jangan buang waktuku."
"Benar, aku sudah merencanakan semuanya sejak awal. Ketika aku mendengar kabar mereka akan dijodohkan, aku langsung mencari tahu tentang Jeffrey dan menemukan kalau dia punya pacar. Aku juga mencari tahu tentangmu dan membayar seseorang untuk mengikutimu."
Aku merinding begitu tahu secuil dari rencananya. Apa yang terlihat di bagan rencananya saja sudah mengerikan, dan mendengar langsung dari mulutnya lebih-lebih membuatku merinding. Dia punya citra seperti seorang mafia yang menargetkan seseorang untuk ditawan.
"Sayangnya, tidak banyak yang kutemukan tentangmu karena kau sangat tertutup. Sampai akhirnya aku sendiri yang mengikutimu di hari festival makanan. Apalagi aku sudah tahu kalau mereka akan datang. Tapi pertemuan pertama kita, saat aku menabrakmu, sama sekali tidak direncanakan. Dan aku tidak menyangka kau sudah pernah melihatku mabuk di sebuah bar. Penolakanmu juga membuatku makin tertantang."
Aku mendengkus keras, tidak peduli kalau dia sedang tersenyum miris saat ini. "Seharusnya aku curiga saat itu. Seorang pria yang patah hati tiba-tiba mengajakku untuk bekerja sama. Tidak masuk akal."
"Ya, kau benar. Awalnya aku melihatmu seperti sebuah proyek yang harus kudapatkan. Saat itu aku hampir menyerah, tetapi kupikir takdir juga merestui pertemuan kita. Adikmu, Nate, melamar kerja di perusahaanku dan tidak sengaja mengatakan sesuatu tentang utang ayah kalian. Kebetulan tidak akan terjadi sesering itu dan rencanaku belum benar-benar matang sebelum aku bisa mendapatkanmu." Alby menatapku penuh damba, seperti yang kulihat ketika Dave menatap Hyunjoo. "Tidak semuanya berjalan sesuai rencanaku, Ava."
Tanganku terkepal di kedua sisi tubuh. Ada gejolak asing yang muncul, sebuah perasaan untuk membuatnya kembali berada di sisiku. Namun, apa dia benar-benar mencintaiku? Semuanya tertulis di sana, seolah-olah dia sedang memaksakan diri untuk bisa menyukaiku, yang kemudian membuatku menyimpulkan bahwa sejak awal kami terlalu berbeda untuk bersama.
"Pelan-pelan rencana itu mulai menunjukkan tanda-tanda berhasil. Membuat Claudia cemburu adalah satu dari beberapa tujuanku. Reaksi Jeffrey juga menarik, pria itu masih menyimpan perasaan padamu dan caranya melihatmu sedikit membuatku kesal." Alby mulai berjalan mendekatiku. "Aku makin serakah sejak menciummu untuk pertama kali. Muncul keinginan untuk membuatmu tetap berada di sisiku meski kesepakatan kita hanya berlaku setahun. Aku ingin kebersamaan yang lebih lama, padahal perasaanku belum pasti. Aku dengan sangat sadar memanfaatkanmu, menjadikanmu senjata untuk perang bisnis; senjata mematikan yang mampu mengelabui musuh tanpa mereka sadari."
Alby sudah berada di hadapanku. Tangannya terangkat ingin menyentuh wajahku, tetapi berakhir dengan menggenggam udara. Kupikir dia cukup sadar diri untuk tidak sembarangan menyentuhku.
"Dan aku benar-benar sudah berhenti menjadikanmu sebagai umpan sejak kita pergi berlibur bersama Claudia dan Jeffrey. Yang kaubaca saat itu, sudah lama tertulis, Ava. Aku bahkan lupa sudah menulis itu." Alby menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahku dengan sangat hati-hati, seakan-akan sesuatu yang buruk terjadi jika kulit kami bersentuhan. Dan aku tidak berusaha menepisnya. "Aku berencana ingin menyingkirkan itu semua sebelum kau melihatnya."
"Kau yakin? Rencanamu dengan memanfaatkan Claudia saja tidak dibuang."
Pria ini melakukan kecurangan dengan tersenyum sangat tampan. Atau dia tidak ingin aku menatapnya berlama-lama? Jantungku terus berdebar jika lama-lama melihatnya. Aku tidak akan membuang muka kali ini. Keberadaanku di sini bukan untuk terpesona padanya.
"Itu patokan untuk melanjutkan rencanaku, untuk memberi tahu poin-poin mana yang tidak berhasil dan di mana letak kesalahanku. Kau tahu, semua yang kukatakan malam ini adalah kejujuran, Ava. Aku tidak akan berbohong padamu."
Di ruangan yang luas ini, tawaku yang sarat akan rasa frustrasi menggema. "Bukankah sejak awal kau sudah berbohong? Kau bilang rencana balas dendam itu ide yang muncul begitu saja ketika kau bertemu denganku. Kau tahu, aku benci orang yang tidak jujur. Aku lebih suka kau berkata sejujurnya selagi aku masih membencimu. Kukira percaya padamu, bergantung padamu, adalah tindakan yang tepat. Tapi aku salah besar."
Ruang udaraku makin sesak karena tercampur oleh aromanya. Aku menjauh, disertai erangan putus asa. Kenapa tidak ada orang yang datang untuk membuka pintu ruangan ini dari luar? Di mana Jacob? Aku sudah memberitahunya lokasi Alby dan berkata akan menyusul, tapi dia tidak kunjung datang.
"Kalau kau berpikir kedatanganku akan mengubah sesuatu di antara kita, kau salah."
"Aku mencintaimu, Ava. Sangat." Dia mendekat dan kembali memelukku dari belakang. Aku suka pelukan seperti ini, tetapi sekarang bukan saat yang tidak tepat. "Aku merombak lantai ini, dan merenovasi tempat ini untukmu. Ini akan menjadi Studio Ava dan kau bisa melakukan semua hal yang kau suka di sini."
"Apa?"
Seberapa banyak yang dia tahu tentang itu? Membicarakan tentang tempat ini berhasil memancingku kembali pada keinginan lama, yang harus kupendam dalam-dalam karena tidak punya cukup uang untuk mewujudkannya. Menyuarakannya saja aku tidak berani. Memiliki sebuah studio seni awalnya adalah keinginan Mom. Aku berpikir ingin punya satu karena Mom tidak berhasil mewujudkannya.
Namun, aku tidak lagi bisa melihat ini sebagai hadiah. Alby hanya berinvestasi padaku. Aku terus meyakini itu agar tidak terjebak kembali ke perangkap yang sama.
"Tujuanku pulang adalah untuk menunjukkan tempat ini dan tidak akan kembali ke Inggris sampai kau melihatnya. Kau bebas menata tempat ini sesuai keinginanmu, Ava. Aku ingin mewujudkan semua impianmu."
Pelukannya mengerat dan dagunya mendarat di bahu kananku. Membiarkan dia melakukan ini bukan berarti aku menerima dirinya kembali. Aku terus mengatakan itu pada diri sendiri, hingga akhirnya aku berhasil melepaskan diri darinya.
"Aku tidak bisa menerimanya, Alby." Menyebutkan namanya saja terasa pahit di lidah. "Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama."
Alby berpindah ke hadapanku. Dua tangannya memegangi kedua lenganku sebelum aku sempat berpikir untuk mengambil jarak lagi darinya. Tatapan sendunya, yang seakan-akan dunianya sedang ambruk, apakah benar-benar merefleksikan apa yang dia rasakan sekarang?
"Kesalahan apa yang kaumaksud? Aku yang salah, dan aku ingin menebusnya, dengan memulai kembali hubungan kita." Alby mengangkat tanganku dan menciuminya beberapa kali. Aku hanya meringis menyaksikannya. "Aku mencintaimu, dan kau juga merasakan hal yang sama. Sudah seharusnya kita bersama."
"Aku tidak pernah berkata kalau aku mencintaimu, 'kan?"
Kalau dia tidak lupa, aku sengaja membuatnya berusaha agar aku membalas pengakuannya. Aku benci berbohong, tetapi aku perlu menggoyahkan keyakinannya. Setidaknya satu kali saja pria ini merasakan ketidakadilan, sekali saja dia tidak mendapatkan yang dia mau, sekali saja benar-benar berjuang tanpa mengandalkan uangnya. Aku bukan barang yang bisa didapatkan dengan uangnya. Meski terasa menyakitkan, tetapi aku tetap harus melakukannya. Tidak apa-apa membohongi diriku sendiri satu kali.
"Tidak peduli apa yang terucap dari bibir, Ava. Yang terpenting adalah yang sama-sama kita rasakan. Aku akan menunggu sampai kau mengatakannya."
Aku menarik tangan darinya dan berbalik. Pelan-pelan menjauhinya sembari memperhatikan sekeliling; pada dinding bata berwarna cokelat dengan jendela yang besar-besar, lantai marmer abu-abu, aku bahkan bisa membayangkan ada beberapa kanvas, rak-rak tinggi untuk menyimpan peralatan melukis, cat-catnya. Aku bukan seorang pelukis andal, tetapi sketsa-sketsa kasar yang pernah kugambar mungkin akan terlihat lebih bagus jika digambar ulang dengan ukuran lebih besar dan diberi warna.
Sialan, Ava, kenapa kau memikirkan tentang ini ketika berencana untuk mengakhiri semuanya?
"Alby ... apa kau tidak mengerti? Aku mungkin mengikuti permainanmu, membiarkanmu berspekulasi sendiri, hingga menganggap aku jatuh hati padamu. Bersama pria sepertimu, akan memberi keuntungan bagi wanita susah sepertiku." Ini akan membuatnya berpikir aku wanita yang hanya mengincar hartanya. Mungkin dengan begini, dia akan berhenti menemuiku. Seharusnya itu bagus, tetapi aku juga merasa kecewa pada diri sendiri.
"Tidak mungkin, Ava. Kau bukan seseorang yang akan berbuat licik pada orang lain, tidak akan sanggup melukai mereka. Kau bahkan menolak tawaranku karena tidak ingin Claudia terluka, padahal hubungan kalian sangat buruk."
"Apa yang membuatmu berpikir aku tidak akan berbuat buruk? Memangnya hanya kau yang mampu memanipulasi orang lain?"
"Tidak, Ava. Aku tidak percaya kau akan seperti itu, setidaknya lihat aku saat kau bicara."
Tentu saja dia tidak akan percaya semudah itu. Aku sudah membuat citra yang baik di depannya, akan sulit baginya untuk membayangkan hal seburuk itu terjadi, bahkan aku sendiri tidak mampu.
"Ava, lihat aku."
Aku mengabaikannya.
"Ava!"
Itu bukan teriakan, tetapi panggilan yang lantang dan berhasil membuatku tersentak. Aku berbalik, dibuat lebih terkejut lagi karena dia sudah berada sangat dekat denganku. Aku menatapnya tanpa ragu, dan kuharap itu terlihat cukup meyakinkan untuk membuatnya percaya.
Pria setangguh Alby, yang mampu menjatuhkan sebuah perusahaan, mampu membuat rencana untuk balas dendam, punya segalanya untuk mendapatkan apa saja yang dia mau, kini membalas tatapanku dengan mata yang berkaca-kaca. Dia serius kali ini. Perasaanku mungkin benar-benar berbalas. Dan pemikiran itu membuat air mataku ikut mengalir meski aku tidak ingin menangis.
Tidak boleh ada lebih banyak air mata yang dikuras karena pria ini.
"Kau menangis. Kau tidak boleh menangis, Ava. Aku ingin menjadikanmu wanita paling bahagia." Dia menangkup wajahku dengan tangannya yang hangat, kemudian menyapukan air mataku dengan jempolnya.
"Kau mau aku bahagia?"
Anggukannya sangat kuat. Karena aku tidak menolak sentuhannya, dia jadi berani lebih mendekat dan menyatukan dahi kami. Kukira hanya tangannya yang hangat, ternyata dahinya lebih panas. Apa dia demam? Atau karena terlalu lama berada di ruangan yang AC-nya tidak bekerja dengan baik?
"Kalau begitu lepaskan aku. Biarkan aku pergi, biarkan aku bahagia dengan caraku sendiri. Aku akan sangat berterima kasih."
Rasanya hampa ketika dia menjauh dariku, melepaskan segala kontak fisik yang nyaris membuat perasaanku menghangat. Aku sudah merindukannya meski sosoknya masih berada dalam jangkauan. Perasaanku tidak akan benar-benar hilang kalau masih menemuinya.
Ayolah, aku harus membencinya.
"Itu yang kau mau? Sungguh?"
Aku lantas mengangguk tanpa ragu, tidak ada jeda untuk mempertimbangkan apa-apa lagi. Aku pernah berkata kalau tidak akan mengambil sampah yang kubuang. Semoga saja dia bukan sampah yang bisa didaur ulang, karena hatiku belum rela melepaskannya. Namun, aku ingin menuruti akal sehatku kali ini. Aku memilih untuk tetap waras. Itu bukanlah upaya untuk menghukumnya, tetapi aku perlu mengobati rasa kecewa dengan cara ini.
"Kalau begitu ... ." Dia merogoh tas besar yang kubawa tadi, kemudian menghampiriku dengan membawa sesuatu di kedua tangannya. Alby terus menunduk bahkan ketika dia sudah berada di hadapanku. Itu kotak kalung yang baru dia kembalikan tadi pagi, aku juga memasukkannya ke tas bersama benda yang lain. Dia memaksa tanganku untuk memegangi itu, dan menahannya agar tidak kujatuhkan. "Kumohon bawa ini bersamamu. Aku ingin dikenang sebagai seseorang yang pernah terlibat dalam hidupmu, tidak peduli jika kau mengingatnya dalam kebencian. Terima kasih, Ava."
Itu kata-kata paling tulus dan sarat akan pengharapan yang pernah kudengar darinya. Karena menunduk, rambutnya jatuh menutupi separuh wajahnya, dan aku baru sadar kalau itu lebih panjang dari yang kulihat saat dia belum berangkat ke Inggris. Tato di pergelangan tangannya, adalah gambar terunik yang pernah kulihat. Aku tidak mengira jika A di sana juga berarti Ava. Awalnya itu tidak bisa kubaca, tetapi setelah melihat papan di depan ruangan ini, aku baru benar-benar bisa membaca bahwa di situ tertulis namaku.
Dia baru melepaskan tanganku setelah aku memegangi kotak tersebut dengan benar, setelah itu dia mengeluarkan ponsel dari kantong celananya. Itu ponsel yang berbeda dari yang biasa dipakainya.
Lihat, aku tertipu lagi. Dia bisa menghubungi Jacob dengan itu, tetapi tidak melakukannya. Keputusanku benar untuk meninggalkannya.
"Ini aku. Maaf tidak mengabarimu. Kau sudah sampai? Baiklah, tolong bukakan pintunya." Alby mengakhiri obrolan di telepon dan kembali menatapku. Matanya merah. Namun, perhatianku tertuju pada pintu yang tiba-tiba terbuka dengan Jacob muncul di sana.
"Aku akan membawa ini, tapi aku tidak berjanji akan menjaganya dengan baik. Selamat tinggal, Alby."
"Tidak. Sampai jumpa lagi, Ava."
•••
Selamat tahun baru~
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
4 Januari 2022
(Bye-bye, Alby)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro