Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

97 - Heartbreaker

Aku hanya ingin menyambut kedatangan Alby dengan membuat kejutan kecil, tetapi justru aku yang mendapat kejutan luar biasa. Sekuat apa pun keinginanku untuk keluar dari ruangan ini, masih tidak mampu mengurungkan keputusanku untuk melihat lebih banyak. Padahal aku sendiri tahu, makin banyak tahu, makin menyakitkan pula rasanya. Telingaku sudah tidak bisa mendengar apa-apa lagi selain detak jantung yang sarat akan rasa frustrasi.

Ada sebuah meja besar di tengah ruangan ini, yang kupikir awalnya adalah sebuah papan tulis yang kemudian diberi empat kaki. Coretan-coretan, tempelan-tempelan kertas, dan foto-foto itu menunjukkan pribadi Alby yang sesungguhnya. Dia pria yang punya obsesi besar pada apa yang ingin diraihnya. Namun, obsesi itu membuatnya menjadi seseorang yang tidak berperasaan. Semua cara dilakukan untuk mendapatkannya. Dia bahkan lebih buruk dari Matthew.

Alasanku tetap berada di sini, alasan kenapa aku tertarik untuk tahu lebih banyak, adalah fotoku. Posisinya berada di tengah-tengah meja. Aku tidak tahu kapan dia mendapatkan foto itu, tetapi aku yakin dia mendapatkannya sebelum aku bertemu dengannya. Di sisi kanan ruangan juga terdapat sebuah papan tulis dengan isi yang serupa, tetapi foto Claudia yang ditempel di sana.

Di antara semuanya, kenapa harus aku? Ini memberiku rasa tidak aman. Tidak peduli seberapa banyak aku mengurangi publikasi di media sosial, menutup lingkaran sosial dengan tidak mudah dekat pada orang-orang baru, tetapi masih ada saja orang-orang yang berhasil menemukanku. Tidak ada yang menonjol dari diriku.

"Ava! Apa yang kau lakukan di sini?"

Melalui pantulan lemari kaca di seberang meja, aku bisa melihat betapa panik wajah Alby saat ini. Meski buram, tetapi melihat wajahnya saja sudah membuatku merasa jijik. Tanganku terkepal di sisi kiri dan kanan tubuh, berusaha sekuat tenaga menyembunyikan tremor, sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana cara membuka kepalan ini.

Dia mendekat, satu tangannya terulur ingin menyentuhku, tetapi aku buru-buru berbalik dan tanpa bisa dikontrol, tanganku melayang ke wajahnya. Kemarahan membuat tenagaku berkali-kali lipat lebih banyak. Namun, tenagaku terkuras habis setelahnya. Sampai pinggulku harus bersandar pada meja agar tidak ambruk di lantai. Sesak sekali rasanya.

"Bangkai yang disembunyikan lama-lama akan mengeluarkan bau." Mataku sudah sangat panas, tetapi aku tidak boleh menangis. Tidak di depan pria berengsek ini. "Bagaimana? Seharusnya itu tamparan, bukan tinju. Tanganku sakit sekali." Aku mengangkat tangan kanan yang masih terkepal.

Pipinya sangat merah dan lubang hidung sebelah kirinya mengeluarkan darah. Aku mungkin akan dituntut atas tindak kekerasan, tetapi itu bahkan tidak sebanding atas apa yang sudah dia perbuat. Aku juga bisa melaporkan tindakannya. Sayangnya, hukum akan kalah dengan uangnya yang banyak.

Dia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Itu mungkin akan membuatku terharu, tetapi tidak hari ini.

Permainan takdir macam apa yang sedang kujalani ini?

"Aku bisa jelaskan, Ava." Ketakutan tergambar jelas di wajahnya. Namun, ketakutan pada apa?

"Semuanya sudah sangat jelas di sini." Kutepuk meja di belakangku sambil tertawa miris. "Aku ... umpan yang sangat bagus, 'kan? Dibandingkan Claudia, aku memberimu lebih banyak keuntungan, bukankah begitu?"

Aku ingin menangis, tetapi yang kukeluarkan adalah tawa yang keras. Betapa mengerikannya itu. Aku seperti orang gila.

"Benar. Awalnya seperti itu." Alby berjalan mendekat dan berhenti di hadapanku. Ini jarak yang dekat sampai deru napasnya terdengar jelas. Aroma ketakutan, bercampur parfum yang memuakkan, bercampur menjadi satu, membuat sekelilingku berputar. Aku membuang muka karena tidak ingin melihat wajahnya. "Tapi sekarang aku sudah keluar dari rencana, Ava. Aku benar-benar jatuh cinta padamu."

Aku menjauh darinya. Berjalan memutari meja dan berhenti di posisi di mana aku ingin menunjukkan sesuatu padanya. "Lihat ini." Aku menunjuk tulisan pada salah satu kertas memo yang tertempel di sana. "'Nyatakan perasaan setelah dia jatuh cinta akan menahannya agar tidak pergi'. Kau menulis ini. Kau merencanakan semuanya! Kau tidak akan menulis ini jika perasaanmu sungguhan, Alby."

Kertas memo itu kucabut dan kulemparkan ke arah Alby setelah meremasnya. Dia sama sekali tidak berkutik. Setelah kuingat-ingat kembali, sebenarnya Alby terdiam bukan karena takut pada kemarahan ayahnya, tetapi karena dia merasa bersalah.

Kepalaku berdenyut makin hebat. Kemarahan yang sebesar ini, tidak pernah kurasakan sebelumnya, bahkan pada ayahku sekalipun.

"Pertama, kau memakai Claudia karena resort orangtuanya punya potensi bagus di masa depan dan kau ingin mengakuisisinya setelah menikah dengannya. Tapi rencanamu gagal ketika dia dijodohkan. Di sana ... ." Aku menunjuk papan tulis di salah satu sisi ruangan. "Kau belum tahu soal perjodohan itu ketika Claudia mengakhiri hubungan kalian dengan berkata tidak pernah mencintaimu selama ini. Kau kecewa dan patah hati, karena rencana yang kaubuat itu membuatmu benar-benar jatuh cinta padanya. Lihat, kau bahkan tidak menulis tentang perasaanmu di sana."

Dia melarangku untuk membandingkan diriku dengan Claudia, tetapi dia sendiri yang membuatku melakukannya. Karena sejak awal, Alby tidak pernah serius padaku. Dia benar-benar aktor yang hebat.

"Apa kau bersenang-senang bersama wanita yang kaucintai di sana?" Sial. Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mataku mengalir dari mata sebelah kiri.

"Ava, dengar. Itu rencana lama. Aku sudah tidak lagi menyentuh apa yang ada di ruangan ini." Dia berhasil meraih lenganku, tetapi kali ini aku terlalu lemas untuk menepisnya. Dadaku sakit sekali. "Ava, lihat aku. Lihat, kumohon."

Aku terpaksa menatapnya karena kedua tangannya sudah menangkup wajahku dan diarahkan menghadapnya. Wajahnya benar-benar kacau. Lebam, jejak darah di bawah hidungnya, dan mata yang merah. Namun, aku tidak bisa merasa kasihan karena ini adalah wajah pria yang mempermainkan hidup dan perasaanku.

"Aku benar-benar jatuh cinta padamu. Rasakan ini." Sebelah tangannya membawa tanganku ke dada kirinya. Itu memang kuat sekali, tetapi ada banyak alasan kenapa jantung bisa berdebar sangat-sangat kencang. Jatuh cinta bukan satu-satunya alasan.

"Bullshit." Itu terdengar sangat pelan, nyaris seperti bisikan. "Sekarang aku mengerti kenapa kau tidak ingin aku mencari tahu tentang artikel itu, dan kenapa kau sangat yakin kalau Claudia bukanlah pelakunya. Kau ... artikel-artikel itu sudah kau rencanakan, bahkan sejak awal. Seharusnya aku curiga padamu juga ketika kau bilang video itu hanya kalian berdua yang memilikinya. Kau memainkan peran dengan sangat bagus."

Aku mendorong dadanya menjauh dan bersandar pada lemari di belakangku.

"Pete sudah memperingatkanku tentang artikel yang bersumber dari perusahaanmu. Parahnya, aku justru memilih untuk percaya padamu daripada dia yang bertahun-tahun tidak pernah membuatku kecewa. Aku tidak pernah merasa sebodoh ini seumur hidupku."

Di meja dan di papan tulis, berisi strateginya untuk menjatuhkan perusahaan lawan. Mulai dari pertemuan kami yang seolah-olah tidak disengaja di Food Festival, sampai artikel yang beredar, semuanya adalah bagian dari rencananya. Tujuan awalnya untuk menggagalkan perjodohan Jeff dan Claudia. Karena rencana awalnya gagal, Claudia tidak kunjung meninggalkan Jeff, Alby mulai ikut campur pada proyek di mana perusahaan Jeff dan Matthew bersaing.

Dane adalah kambing hitam. Pria itu hanya seorang pemegang sebuah situs komunitas penggemar Claudia dan mendapatkan informasi dari orang Alby yang menyusup ke dalamnya. Dia tidak hanya orang kepercayaan Matthew, tetapi alamat situsnya menumpang di server situs Ander-Ads. Bisa dibilang, Matthew mensponsori komunitas yang dijalankan Dane.

Gara-gara terpengaruh oleh Alby, aku nyaris menghancurkan mereka. Aku tidak akan merasa sangat bersalah seandainya itu tidak termasuk dalam rencananya. Alby, yang berkali-kali mengakui sudah tidak mengusik perusahaan mantan suami Paula itu, masih menyimpan dendam. Menjadikanku sebagai umpan memberinya bonus untuk kehancuran Ander-Ads.

Sesak sekali. Aku menghirup oksigen tidak hanya melalui hidung, tetapi dengan mulut juga. Sementara itu, tanganku tidak berhenti bergetar. Bagian terburuknya, aku merasa sangat kotor karena sudah terlalu banyak bersentuhan dengan bajingan ini. Apa yang kudapat? Tidak ada. Sedangkan dia meraup banyak keuntungan setelah rencananya berhasil. Namun, percayalah, itu tidak akan terjadi. Aku akan mengakhiri semuanya. Tidak ada lagi berhubungan dengannya. Aku tidak mampu membalasnya, tetapi kuharap kuharap alam semesta akan memberinya karma yang setimpal, atau jauh lebih buruk dari yang kurasakan sekarang.

Benar. Aku harus pergi dari sini.

"Aku tidak lebih dari sebuah investasi untukmu, benar, 'kan? Kukira aku cukup berharga sampai kau tidak ingin melepaskanku. Tapi nyatanya ... kau memanfaatkanku. Apa salahku, Alby?" Aku menatapnya nyalang sembari melepaskan kalung yang dia berikan padaku saat Natal kemarin. Lagi, aku melemparkannya, kali ini mendarat di dahinya. "Aku tidak ingin melihatmu lagi. Jangan pernah mencariku, jangan coba-coba mengancam Nate, karena aku akan membawanya pergi bersamaku. Uangmu, barang-barang darimu ... akan kukembalikan. Kita selesai. Benar-benar selesai."

Aku beranjak pergi dan berdecih ketika melewatinya, tetapi tangannya meraih pergelangan tanganku. Dia mempererat genggamannya ketika aku berusaha menarik tanganku. Bahkan ketika aku mulai merintih, dia tidak melepaskannya.

"Jangan pergi." Suaranya serak, aku tidak tahu harus mengartikan itu sebagai rasa penyesalan atau kemarahan. "Aku membutuhkanmu, Ava. Aku ... maafkan aku, kumohon. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa masuk ke sini, tetapi aku sudah berniat ingin membuang semua ini. Sejak Natal lalu, aku tidak lagi memanfaatkanmu. Aku sudah tidak lagi menjadikanmu sebagai umpan."

Aku mendengkus keras. Takada hal lain yang kurasakan selain rasa sakit. Hatiku hancur. Permohonannya sama sekali tidak membuatku terenyuh. Cinta dan benci benar-benar berbeda tipis. Setengah jam lalu, kupikir aku sangat mencintainya, tetapi sekarang aku membencinya sebesar rasa cinta itu padanya. Sampai-sampai wajahnya yang tampan tidak lagi membuatku berdebar.

"Kau pikir semuanya akan sama? Melihatmu saja tanganku jadi gatal, ingin sekali menampar wajahmu."

Alby menyodorkan wajahnya setelah melepas tanganku. Pipinya yang merah berhadapan langsung dengan wajahku. Untuk itu dia bahkan membungkuk, agar wajah kami sejajar. "Tampar aku sepuasmu, pukuli aku, terserah. Lakukan apa pun yang bisa membuatmu puas, tapi kumohon jangan tinggalkan aku, Ava."

Tanganku sudah bergerak naik, tetapi terhenti ketika sudah sangat dekat dengan wajahnya. Aku menggigit bibir, menahan agar tidak menangis. Biar bagaimanapun, pria ini, cinta pertamaku. Kupikir akan sangat mudah menamparnya seperti refleksku yang sangat bagus tadi, tetapi aku justru tidak mampu. Karena sebanyak apa pun aku menamparnya, hatiku tidak akan kembali utuh. Ini jauh lebih menyakitkan dari membayangkan dia kembali bersama Claudia.

"Terima kasih atas pengalaman pertama yang kau tunjukkan padaku. Aku tidak akan pernah melupakannya, termasuk patah hati untuk yang pertama kalinya. Tanganku akan tambah kotor kalau menyentuhmu."

Aku pergi tanpa melihat ke belakang lagi. Benar-benar meninggalkannya kali ini, tidak peduli sebanyak apa dia memanggilku agar tetap tinggal. Tidak lupa mengambil tas dan jaket, lalu meninggalkan kunci penthouse-nya. Dia menjadi orang pertama yang kublokir nomornya. Tidak hanya dia, aku juga melakukannya pada orang-orang yang punya hubungan dengannya.

•••

Apa patah hati memang seburuk ini rasanya?

Semenyakitkan inikah?

Kenapa air mata ini tidak mau berhenti mengalir padahal aku tidak ingin menangis?

Dadaku masih terasa sesak, seperti terimpit oleh dua daun pintu yang ditutup--aku tidak pernah mengalaminya, tetapi kupikir rasanya akan seperti ini. Mom selalu mengingatkanku agar jatuh cinta pada laki-laki yang tepat. Sayangnya, dia tidak pernah memberitahuku kalau jatuh cinta pada orang yang salah akan semenyiksa ini rasanya. Kenapa seperti ini? Kenapa ada banyak hal dalam hidupku yang tidak berakhir sebagaimana mestinya?

Aku hanya menginginkan kebahagiaan yang sederhana, tetapi aku tidak tahu kalau itu permintaan yang terlalu berlebihan. Dan sekarang aku mulai mempertanyakan kenapa seorang Ava Clairine tetap hidup. Kalau semesta keberatan dengan banyaknya permintaanku, kenapa tidak memberiku jalan untuk bisa menyusul Mom?

Bodoh sekali, Ava. Bodoh.

Tubuhku merosot di samping pintu apartemenku sendiri. Untuk mengetuk pintu saja aku tidak sanggup. Air mataku, aku tidak menahannya lagi. Sekarang mataku sudah seperti keran yang mengalir. Aku tidak peduli penghuni lain akan keluar dari apartemennya karena merasa terganggu oleh raunganku. Aku perlu melepaskan semuanya, berharap setelah ini akan melegakan rasanya. Kupikir begitu, tetapi dada ini makin sesak saja rasanya, bahkan meski dipukul berkali-kali, aku tidak merasakan apa pun.

"Bodoh, Ava, bodoh."

Seharusnya sejak awal aku bisa lebih sadar diri sebelum jatuh cinta dengan pria sepertinya. Perbedaan level kami terlalu jauh. Orang kecil sepertiku, tidak akan pernah benar-benar menarik perhatian orang-orang besar sepertinya.

"Ava tidak boleh cengeng. Ava harus terus bahagia."

Tidak bisa, Mom. Tidak bisa.

"Tersenyumlah, Ava. Tersenyum akan mendatangkan hal-hal baik."

Tidak. Tersenyum hanya akan membuatku dianggap lemah orang lain. Itu tidak benar.

"Kau akan bahagia, Sayang."

"Ava, berbahagialah, Nak."

"Tidak. Itu semua tidak benar. Hentikan, Mom, hentikan!"

Suara-suara itu ... tolong berhentilah.

"Ava! Apa yang terjadi padamu? Ava! Ini aku."

Aku membuka mata dan menemukan Nate berjongkok di depanku. Kupeluk dia erat-erat, takut dia akan pergi jika pelukanku melonggar sedikit saja. Aku terisak di bahunya hingga membuat bajunya basah.

"Ava, ada apa denganmu? Ayo masuk dulu." Nate membantuku berdiri. Dia benar-benar kujadikan sandaran selagi aku masuk ke apartemen. Dan dia sama sekali tidak melepaskanku, bahkan sampai membantuku duduk di sofa dengan hati-hati.

"Kau kacau sekali, ada apa?" Dia menyingkirkan helai-helai rambut yang menempel di wajahku.

Sekarang aku benar-benar sangat malu. Sebagai seorang kakak, aku justru membuatnya khawatir. Bisa-bisanya dulu aku sangat percaya diri untuk bertanggung jawab atas dirinya, sementara mengurus diri saja masih belum benar. Benar-benar memalukan.

Aku hanya memandangnya dan masih terisak. Satu-satunya yang tidak kuinginkan adalah membuatnya mengkhawatirkanku. Namun, aku tidak bisa menghentikan ini, menangis terlalu kencang membuatku kesulitan bicara.

"Aku akan mengambilkan minum."

Namun, aku menggeleng dan menahan tangannya agar tidak pergi.

"Katakan padaku, apa yang Alby perbuat?"

"Berjanjilah kau, tidak akan, berbuat aneh." Aku tidak ingin Nate melakukan hal-hal yang akan merugikan dirinya. Dia mengangguk. "Alby ... aku umpan. Dia hanya ... memanfaatkanku. Fotoku, dia, dia menulis dengan huruf kapital di fotoku. Aku ... umpan untuk permainan bisnisnya. Aku tidak ingin menangis, tapi rasanya menyakitkan sekali, Nate. Bagaimana cara menghentikan ini?"

Nate kembali memelukku. Tangannya mengusap punggungku dan ajaibnya itu berhasil membuatku mulai merasa tenang.

"Tidak apa-apa. Kau boleh menangis sebanyak yang kau perlukan. Aku akan menemanimu sampai kau merasa tenang."

Cukup lama Nate menenangkanku sampai aku berhenti menangis. Air mataku sudah tidak lagi mengalir, dan yang tersisa adalah rasa lelah. Aku menangis terlalu banyak sampai benar-benar tidak bertenaga untuk melakukan apa-apa. Namun, aku juga tidak bisa tidur karena rasa lapar yang menyiksa. Akhirnya Nate memanggang roti lagi dengan telur dadar di tengahnya. Tidak mengherankan kalau aku sampai lemas, aku belum makan malam. Dan bahan-bahan yang kubeli tadi semuanya kutinggalkan di tempat Alby.

Apa jadinya aku tanpa Nate?

"Apa kau mengantuk? Mau kubantu membersihkan dirimu?" Nate bertanya ketika aku menguap.

Aku menggeleng sembari meletakkan gelas yang isinya sudah habis ke atas meja. "Tidak. Ada beberapa hal yang harus kulakukan agar aku bisa merasa lebih tenang. Barang-barang darinya, akan kukembalikan. Jadi aku titip padamu, tolong berikan pada Jacob. Pria itu saja yang akan memberikannya pada Alby."

"Aku akan mencari tempat kerja lain. Dia akan memakaiku untuk menemuimu, 'kan?"

Tidak bisa kupercaya kata-kata itu akan keluar darinya. Aku tahu dia pernah mengatakan hal serupa, tetapi tidak sampai serius seperti itu. Aku sempat berpikir itu ide bagus, dan kami akan pergi dari sini bersama. Namun, begitu kewarasanku kembali sepenuhnya, aku sadar kalau Nate sangat menyukai pekerjaan itu.

"Kau yakin?"

"Aku tidak masalah hidup susah asal bisa terus bersamamu. Kau mungkin sedang berpikir akan pergi tanpa membawaku, benar?"

Aku mengangkat bahu. "Itu ide yang buruk. Tapi aku takut akan menghalangimu untuk bahagia."

Nate memukul kepalanya sendiri dengan erangan frustrasi. "Aku panik setengah mati saat melihatmu meraung-raung seperti tadi."

"Maaf sudah membuatmu khawatir. Hatiku sakit sekali. Di sini, rasanya sesak." Aku menepuk pelan dadaku dan berakhir dengan mencengkeram baju yang kukenakan. "Semua pria sama saja, Nate. Sekarang aku takut percaya pada mereka. Mereka akan mengkhianatiku, seperti Dad. Tapi kau tidak. Pete tidak, Dave juga tidak. Kenapa di dunia yang besar ini, hanya punya sedikit orang-orang baik?"

Ponselku berdering ketika Nate akan mengatakan sesuatu. Layarnya menyala sendiri dan menampilkan pratinjau pesan. Nate juga ikut membacanya.

"Kurasa kau harus benar-benar memblokir nomornya sekarang, Ava."

•••

Aduh. Jelek banget kayaknya bab ini. Pas dibayangin di kepalaku sih nyesek, tapi aku masih belum bagus nuangin feel ke dalam tulisan :")
Maafkan 😥

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
26 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro