92 - I Trust You
⚠️
Setelah melalui banyak kesulitan dalam hidup, bukankah seharusnya aku mulai banyak bersyukur sekarang?
Aku punya pekerjaan, tempat tinggal yang tidak besar--tetapi nyaman untuk ditinggali bersama Nate, teman-teman yang baik, kekasih yang perhatian dan mampu mewujudkan apa pun keperluanku, dan ... mantan kekasih yang belum berhenti menyimpan perasaan padaku. Untuk poin terakhir, aku tidak yakin akan mensyukurinya, mengingat aku hanya terus merasa bersalah karena tidak bisa membalas perasaannya.
Terlalu banyak hal tidak terduga yang terjadi tahun lalu, bahkan sejak Mom meninggal, untuk yang pertama kali, aku merasa bahagia di hari ulang tahunku. Tahun ini, walau diawali dengan tidak menyenangkan, setidaknya aku masih punya kira-kira 364 hari untuk hidup lebih baik dan merasa lebih bahagia. Alby sudah memutuskan agar melupakan kesepakatan kami, tetapi aku sendiri belum bisa benar-benar melupakan itu. Maksudku, aku masih memiliki keinginan untuk pergi dari New York ketika hal-hal di kemudian hari tidak berjalan sesuai harapan.
Tawaran Pete untuk pergi bersamanya masih kupertimbangkan.
Aku menatap arloji, lantas mengernyit karena tidak biasanya Alby terlambat menjemput tanpa kabar. Apalagi malam ini ada rencana makan malam bersama keluarganya. Tidak mungkin aku akan menemui mereka tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Alby sempat mengajak Nate juga, tetapi anak itu merasa tidak nyaman dan memilih merayakan tahun baru bersama teman-temannya.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Mobil Alby di hadapanku yang sedang berdiri di teras. Aku mendekat dan berhenti ketika dia keluar dari sana. Awalnya aku tidak bisa menahan senyum, tetapi sekarang aku justru kesal karena dia sudah berpenampilan sangat rapi. Rambutnya sedikit lebih pendek, agak tipis di bagian atas kedua telinganya. Ah, dia mengubah gaya rambutnya. Rupanya dia pun tidak ingin melewatkan momen tahun baru dengan memperbarui penampilannya juga.
Untung saja sedang sepi, aku tidak akan tahan kalau dia dihujani tatapan lapar wanita lain.
"Sudah lama menunggu?" Curang sekali dia tersenyum begitu menawan ketika aku bermuka masam.
"Kau membuatku menunggu hanya untuk menarik perhatian wanita lain?"
Alby tersenyum dan mendaratkan satu kecupan di dahiku. Bibirnya terasa dingin. "Tidak ada wanita lain di sini."
"Kalau begitu, aku sedang beruntung, karena tidak harus membagimu dengan orang lain."
"Ada apa denganmu?" Dia berdeham sebentar, tetapi sekaligus membuang muka. "Bukannya merasa tidak senang, tetapi menghadapimu yang posesif dan sedang cemburu membuatku ingin memakanmu."
Aku memukul dadanya, mencegahnya melakukan sesuatu yang tidak kuinginkan karena bukan itu tujuanku menggodanya. "Kau tampak luar biasa, aku sampai ingin bersembunyi karena tidak punya sesuatu untuk mengimbangi penampilanmu. Dan tolong jangan bilang aku akan memakai baju baru untuk makan malam hari ini. Jangan. Aku bisa memakai baju yang ada di rumah."
Aku bicara cepat-cepat ketika dia mau menyela. Baru satu tangannya yang naik, aku sudah mengerti ke mana maksud pembicaraannya.
"Aku tidak akan memaksamu. Kau pasti akan sangat cantik meski tanpa memakai apa-apa."
"Pikiranmu, Alby."
Mari hentikan sebelum dia memikirkan hal yang lebih buruk lagi.
•••
Aku cukup terkejut ketika Alby mengatakan bahwa kami akan makan malam di penthouse-nya alih-alih memesan satu ruangan di sebuah restoran mahal. Bukan berarti aku berharap akan mendatangi tempat yang seperti itu, di mana akan ada beberapa pramusaji berseragam rapi yang akan menghampiri meja kami dan bertanya apa yang kami perlukan. Tidak. Aku hanya tidak menduga sebuah keluarga dengan uang berlimpah dan bisnis yang lancar akan memikirkan sesuatu yang sederhana.
Jangan salahkan aku, Alby sendiri yang memberiku pandangan soal itu.
"Kau cantik."
Aku mendelik setelah Alby berkata begitu sambil membukakan pintu mobil. Dan aku sama sekali tidak merasa senang mendengarnya. Apalagi dengan dia tersenyum miring begitu, alih-alih menemukan ketulusan, aku justru merasa dia memuji karena ada maksud terselubung.
"Kau mau apa?"
"Astaga, reaksi macam apa itu? Sinis sekali." Dia tertawa kecil di sela-sela gelengan. Sikapnya sudah seperti menghadapi aku yang bersikap tidak biasa, padahal kupikir dia lebih tidak masuk akal. Saat aku keluar kamar tadi dan bertanya apakah baju milik Mom yang kukenakan tidak tampak terlalu kuno, dia hanya mengacungkan jempol tanpa berkata apa-apa. Sekarang dia tiba-tiba memujiku.
"Apa tidak boleh memuji kekasihku sendiri? Kukira itu akan membuatmu senang." Dia bicara lagi karena aku mengabaikannya dan memasuki mobil yang pintunya sudah dibukakan untukku. Krukku diambilnya untuk diletakkan di bangku belakang.
Dan aku masih belum menjawab karena menunggunya menyusul memasuki mobil. Udara di dalam mobil lantas dipenuhi oleh aromanya. Kapan dia memakai parfum lagi? Aku yakin tidak sekuat ini aromanya saat kami berjalan beriringan, keluar dari apartemenku. Aku tidak membencinya, tetapi ini membuatku makin menyukainya. Maksudku, siapa yang tidak suka pria yang wangi?
"Well, mungkin aku akan menerima pujian itu jika diucapkan di waktu yang tepat." Aku diam sebentar hanya agar dapat mendengarkan suara kunci dari sabuk pengaman. "Aku sudah bertanya bagaimana penampilanku, tapi kau hanya diam."
"Itu membuatmu kesal?"
Itu terdengar seperti dia mengecualikanku sebagai manusia yang memiliki perasaan. Aku sampai menarik napas dalam-dalam karena itu membuatku makin kesal. Apa aku terlalu sensitif? Mungkin untuk saat ini, itu benar.
"Hei, aku hanya merasa takjub karena baju lama itu menjadi sangat bagus saat kaukenakan. Aku perlu diberi waktu untuk mengembalikan kesadaran karena kau tampak memukau."
"Kau seharusnya fokus mengemudi dan berhenti merayu." Mobilnya baru meninggalkan parkiran ketika aku mengatakan itu. "Aku belum terbiasa dengan pujian dan aku tidak merasa kau adalah pria yang suka memuji. Ada apa denganmu hari ini?"
Alby menoleh padaku sebentar-sebentar, berusaha agar pandangannya tidak meninggalkan jalan di hadapan kami terlalu lama. Meski begitu, aku bisa melihat dahinya yang berkerut kebingungan.
"Hanya mengungkapkan perasaanku. Dan aku tidak sedang merayu kalau kubilang, kau makin menarik setiap harinya. Mungkin begitulah bagaimana kondisi mata orang yang sedang jatuh cinta terus memburuk dari hari ke hari. Lalu orang normal memiliki pendapat lain akan menganggapku buta. Dibutakan oleh cinta. Tapi kau tidak perlu mendengarkan orang lain, cukup dengar dariku saja."
Sebelah tangan Alby meraih tanganku, menggenggamnya cukup erat. Tiap kata yang keluar dari mulutnya adalah waktu yang sangat lambat untuk menarik tanganku sampai bibirnya mendarat di sana. Aku tidak tahu dia bisa seromantis itu. Dia bukan seorang pria yang mengoleksi buku-buku romansa di rumahnya, atau menonton film roman picisan di mana seorang pria kaya akan jatuh cinta dengan wanita miskin, tetapi dia berhasil mengucapkan kata-kata yang membuatku merasa diperlakukan seperti seorang putri.
"Serius, Alby, apa yang membuatmu begitu bersemangat hari ini?"
Dia menurunkan tanganku ke atas pahanya tanpa dilepaskan. "Aku merasa akan ada hal baik hari ini."
"Hal baik, serius? Sejak kapan kau percaya pada ... intuisi?"
Satu erangan dia loloskan. Lucu melihatnya menjadi frustrasi karena diremehkan, tetapi aku berusaha menelan rasa ingin tertawa. Aku menyukai usapan jempolnya pada punggung tanganku dan tidak ingin dia berhenti melakukannya. "Tunggu dan lihat saja."
Karena dia sudah berkata begitu, aku tidak lagi mengeluarkan suara. Meski dia bilang akan ada hal baik, tetapi aku justru merasa tidak nyaman. Alby menyadari kegelisahanku, jika sebelah tangannya tidak sibuk, dia akan mengusap pundakku.
Mobil Alby akhirnya berhenti di parkiran dan kami segera keluar dari sana. Kami berjalan menuju elevator yang langsung tertuju ke penthouse Alby sambil bergandengan tangan. Sudah cukup lama sejak terakhir aku menemui orangtuanya. Meski sebelumnya sempat merasa akrab, tetapi sekarang perasaan itu sudah lenyap. Entah kecanggungan macam apa yang akan kuhadapi nanti.
Ludahku nyaris seperti gumpalan ketika elevator akhirnya berhenti. Genggamanku pada tangan Alby juga mengerat. Rasanya seperti aku akan menemui mereka untuk yang pertama kalinya.
"Aku tidak berhenti merasa gelisah." Akhirnya kuucapkan itu pada Alby ketika kami sedang melepas mantel. Terakhir, Alby yang menggantungnya ke tempat gantungan.
"Ini bukan seperti mereka tidak akan menyukaimu, tapi aku mengerti kau merasa cemas karena sudah lama tidak bertemu. Tenang saja, aku akan berada di sampingmu terus." Dia mengakhiri kata-katanya dengan satu kecupan di pelipis kiriku. Itu berhasil membuatku merasa sedikit rileks. Mungkin seharusnya aku meminta Alby melakukan itu sejak tadi.
Di ruang tamu sudah ada Susan dan Paula bersama setumpuk majalah yang kupikir sedang bertukar pikiran tentang mode terkini—sesuatu yang tidak akan bisa kumengerti jika aku berada di tengah-tengah mereka sekarang. Keduanya benar-benar tenggelam dengan itu sampai tidak menyadari kedatangan kami. Namun, aku tidak melihat keberadaan Albert di mana pun.
"Halo, Mom."
Suara Alby berhasil mengalihkan mereka dari majalah-majalah itu. Susan beranjak dari sofa dan menghampiri kami. Kupikir dia akan memeluk Alby terlebih dahulu, tetapi dia justru melingkari kedua tangannya di tubuhku. Aku sampai harus melepas tangan Alby hanya agar dapat membalas pelukan Susan.
"Apa kabar, Ava? Bagaimana kakimu? Alby langsung meneleponku saat kau terjatuh. Dia seperti seorang anak laki-laki yang mainannya direbut orang lain." Susan tidak pernah gagal membuatku takjub dengan tutur katanya yang lembut. Paula dan Alby beruntung memiliki ibu yang penuh perhatian sepertinya.
"Mom tidak perlu menceritakan itu. Aku bahkan tidak mendapat pelukan darimu."
Aku mendelik sambil menahan tawa. Di samping terkenal dengan pembawaannya yang tampak keren, Alby baru saja menunjukkan bagaimana seorang anak bungsu bersikap.
"Aku punya anak perempuan baru sekarang. Apa tidak malu masih minta dipeluk padahal badannya sudah sebesar itu?"
Alby yang disindir, aku yang malu. Terlebih lagi ketika Susan menyinggung tentang badan besarnya. Aku tidak bisa menahan pikiranku untuk tidak membayangkan bentuk tubuhnya—hanya bagian atas, tentunya. Aku belum melihat semuanya.
"Setidaknya anak laki-lakimu sudah tahu cara menjaga wanita, Mom. Buktinya adalah dia masih membawa wanita yang sama di pertemuan keluarga."
Aku tidak tahu kalau pertemuan keluarga bisa berarti ajang roasting untuk Alby. Lihat bagaimana mereka menyerangnya sejak tadi. Dan aku tidak yakin Alby masih berpikiran sama tentang akan ada hal baik yang terjadi hari ini. Aku tidak bisa berhenti tersenyum hanya karena mendapati perubahan ekspresinya.
"Aku selalu suka melihat wajah kecut Alby saat sedang diganggu." Itu refleks, spontan terucap begitu saja.
Alby sudah mendelik padaku, tetapi reaksi Paula yang berdiri di sebelahnya sekarang benar-benar sangat berharga. Dia tergelak, bayangkan saja tawa yang rasanya seperti berasal dari hati, terdengar puas sekali.
"Sekarang kau tahu alasanku suka sekali menyindirnya. Dia tidak akan bisa mengelak kalau itu adalah fakta." Wanita yang berusia lima tahun di atas Alby itu lantas menerima pukulan keras di punggungnya. Kasar memang, tetapi itu wajar terjadi pada dua orang bersaudara. Aku dan Nate pun tidak bisa menghindari aksi baku hantam seperti itu tidak peduli sekecil apa masalahnya.
"Alby."
Apakah hanya aku yang merasakannya, atau atmosfer di ruangan ini tiba-tiba terasa mencekam. Aku ingat suara ini, intonasinya, caranya menyebutkan nama itu, ini seperti ketika Albert menemukan berita skandal Claudia dan Alby waktu itu. Ya, persis seperti itu. Dengan intonasi seperti itu, dia sukses membekukan suhu ruangan ini.
Pria yang rambutnya separuh putih karena uban itu berjalan dari ruangan di samping kamar Alby dengan selembar map plastik bening di tangannya. Meski tidak tahu apa isinya, tetapi aku yakin itu bukan sesuatu yang baik. Dan tepat ketika Albert sudah berada cukup dekat, pria itu melemparkan map tersebut dengan keras ke dada Alby. Kali ini, bukan hanya Alby yang akan menerima kemarahan Albert, tetapi aku juga.
Map plastik itu jatuh ke lantai dan memperlihatkan tanda tangan kami. Ini buruk, Albert menemukan surat kesepakatan kami dan sekarang semua orang melihatnya.
"Kapan kau akan berhenti membuat masalah? Sekarang kau juga menipu semua orang?" Kepalan tangan Albert di kedua sisi tubuhnya mengerat. Kuharap itu tidak lagi melayang ke wajah Alby seperti sebelumnya. Begitu memikirkannya, jantungku mulai berdebar kencang.
Bagian terburuknya, Susan justru memungut map tersebut dan membacanya dengan saksama. "Apa maksudnya ini? Kalian bukan sepasang kekasih sungguhan?"
Kelemahan Alby adalah menghadapi kemarahan Albert. Dia kalut, bahunya tegang. Dalam posisinya, dia hanya menunduk menatap lantai dan napasnya agak berat. Ketika tidak ada yang menyadari, aku mendekati Alby, menggenggam tangannya sekadar untuk memberi kekuatan.
"Alby, apa maksudnya ini?" Susan mungkin sama kecewanya dengan Albert, tetapi wanita itu masih menekan emosinya. Namun, melihat kesabarannya justru membuatku merasa sangat bersalah padanya. Aku tidak sanggup melihat wajahnya lama-lama dan ikut menunduk seperti Alby.
"Ini gila. Aku sudah sangat percaya pada kalian dan memberi dukungan penuh, tapi semuanya hanya permainan, huh?" Paula mengambil alih map di tangan Susan, mengeluarkan kertasnya dan merobeknya menjadi dua bagian. "Dan Ava, aku tidak tahu kau akan setuju mengikuti permainan kalian."
Aku sudah membayangkan hal terburuk ketika mereka akan tahu bagaimana hubungan kami berawal, tetapi aku tidak menyangka kalau akan seburuk ini dan secepat ini. Parahnya, kami terlena dengan perasaan sampai lupa memusnahkan surat tersebut. Rencana makan malam berubah menjadi petaka.
"Aku bisa jelaskan yang sebenar—"
"Tidak, Ava. Kau adalah korban di sini. Aku ingin mendengar langsung dari mulut anak nakal ini." Albert buru-buru memotong ucapanku.
Alby memberanikan diri menatap Albert. "Kami membuat kesepakatan pada awalnya, Dad. Tapi itu sudah berakhir, aku lupa belum membuang itu."
Tatapan Albert yang tajam itu seolah-olah mampu mengoyak Alby tanpa ampun. "Setelah satu tahun kesepakatan itu berakhir, apa lagi hubungan kalian? Kau terlalu egois sampai memanfaatkan wanita seperti Ava untuk permainanmu yang tidak masuk akal ini, Alby. Aku malu membesarkan anak sepertimu. Sekali lagi, apa tujuanmu? Untuk apa membuat mantan kekasihmu cemburu?"
Aku spontan mencengkeram tangan Alby dengan kuat. Kata-kata itu sungguh menyakitkan untuk didengar. Tidak bisa kubayangkan seberapa terlukanya Alby sekarang. Tangannya terasa dingin di ruangan yang hangat ini.
"Aku ingin rencana perjodohan mereka gagal, Dad, untuk meminimalisir persaingan. Resort-ku sudah cukup dikenal, tapi kalau milik orangtua Claudia bangkit kembali akan—"
"Bisnis? Kapan aku mengajarkanmu untuk bermain licik, Alby Mateo? Sudah kubilang fokus saja dengan Mate Inc., tidak perlu membangun bisnis yang lain kalau kau sendiri tidak mampu menjalankannya!"
Intonasi Albert yang meninggi sukses membuatku tersentak. Tempat ini sekarang sudah dikuasai oleh kemarahannya. Bahkan Susan dan Paula tidak mengatakan apa-apa lagi dan hanya duduk di sofa.
"Kau mendapat keuntungan dari Ava, tapi apa yang dia dapatkan? Apa yang kau janjikan padanya?" Aku bisa merasakan tatapan Albert tertuju padaku sekarang. "Dia hanya memanfaatkanmu, Ava. Sebaiknya kau jauhi dia, jangan pernah temui dia lagi. Aku tidak ingin kau bernasib sama seperti para model yang dulu dia kencani."
Itu ide yang buruk. Saking buruknya bahkan melebihi ketakutanku. Aku sampai berani membalas menatap mata Albert sekarang.
"Tidak. Alby ... sudah banyak membantuku. Dia membayar utang ayahku, begitulah hubungan kami dimulai. Kami saling memanfaatkan pada awalnya, Albert. Kami benar-benar minta maaf kalau itu mengecewakan kalian, tapi itu sudah berakhir. Kami berkencan sungguhan sekarang." Aku tidak lagi berpikir apakah dengan memberi tahu kebenaran itu akan memperbaiki situasi atau memperparahnya, yang kupikirkan hanya mengakhiri kesalahpahaman. Aku tidak bisa diam saja dan membiarkan Albert terus menghakimi Alby tanpa mengetahui bagaimana yang sebenarnya.
"Itu sama sekali tidak mengubah pemikiranku untuk memintamu berhenti menemuinya. Akhiri hubungan kalian sekarang juga. Kau hanya akan terluka. Lupakan saja utang itu. Nominal yang dia keluarkan untukmu tidak sebanding dengan keuntungan yang akan dia dapatkan."
Alby pernah memberitahuku kalau kesepakatan itu juga memiliki keterkaitan dengan bisnis, tetapi tidak seburuk seperti ketika Albert menjabarkannya. Maksudku, apakah aku harus peduli soal itu lagi ketika perasaanku berbalas? Alby sudah menegaskan untuk melupakan kesepakatan itu dan kami menjalin hubungan yang normal, apalagi yang harus kukhawatirkan? Karena merasa terlalu tenang, kami sampai melupakan kalau surat itu seharusnya dibuang. Kecerobohan kecil yang berujung menjadi masalah besar.
"Aku sangat mencintai Ava, Dad. Jangan pisahkan kami, kumohon. Kami tidak bermaksud membohongi kalian, aku pun tidak menduga kau akan menemukan surat itu di ruang kerjaku. Aku benar-benar serius kali ini."
Bagaimana mungkin aku tidak terenyuh dengan cara Alby memohon sekarang? Suaranya sarat akan kefrustrasian, sampai-sampai aku yakin Albert pun tidak akan tega melihatnya.
"Buktikan. Kau akan berangkat ke Inggris besok. Waktumu tiga tahun untuk memimpin di sana sampai kutemukan orang yang tepat untuk mengurusnya. Dan Ava, sebaiknya jangan langsung percaya mulut pebisnis ini. Dia sudah terbiasa merayu untuk mendapatkan investor, bukan berarti dia tidak akan menerapkan itu untuk menjeratmu dalam perangkapnya. Aku ujian untuk keseriusannya padamu. Apakah dia akan kembali untukmu, atau terpikat oleh wanita di sana."
Tiga tahun? Itu terlalu lama, padahal belum sampai satu bulan aku mendengar pengakuannya, tetapi kami justru harus berpisah selama itu. Tidak bisakah semua hal berjalan lancar di kehidupanku?
"Kita batalkan makan malam hari ini. Sayang, ayo kita pulang." Albert beranjak pergi setelah mengatakan itu, disusul Susan dan Paula. Dua wanita itu pun sama sekali tidak mengatakan apa-apa pada Alby. Kupikir perasaan Alby akan membaik seandainya mereka memberi sedikit dukungan untuknya, tetapi mereka mungkin terlalu kecewa atas apa yang Albert temukan hari ini.
Alby melepas tanganku dan berjalan menghampiri jendela besar di ruang tamunya. Situasi ini bukan sepenuhnya salah Alby. Aku juga melupakan surat kesepakatan itu. Namun, dampaknya justru berat sebelah. Ini tentu bukanlah hal baik yang sempat Alby pikirkan saat di perjalanan tadi, seperti hidangan di meja makan yang tidak jadi disantap bersama. Hari ini benar-benar sangat kacau.
Aku menghampiri Alby, ingat di saat seperti ini dia suka punggungnya diusap, tetapi yang kulakukan adalah memeluknya. Krukku terjatuh di lantai dan aku menjadikan punggung Alby untuk menopang tubuh. Bahunya yang tegang pelan-pelan menjadi rileks. Setidaknya pelukan ini berarti sesuatu untuknya.
"Maafkan aku, Ava. Aku tidak menyembunyikan surat itu dengan baik sampai Dad menemukannya."
Aku mencium punggungnya cukup lama sebelum berkata, "Kebenaran memang akan selalu terungkap. Mungkin ini hukuman karena kita pernah membohongi mereka. Tidak apa-apa, kita akan menghadapinya bersama-sama."
"Aku benar-benar malu sekarang. Di saat aku selalu menunjukkan sisi terbaikku pada mantan kekasihku, aku justru memperlihatkan banyak kekurangan padamu. Aku bahkan tidak sanggup menatapmu saat ini."
Aku melepas pelukan dan memutar badannya. Dia tidak mengelak dan itu memudahkanku bisa kembali memeluknya. Aku bukan sedang bersikap terlalu romantis untuknya, tetapi aku memang perlu banyak berpegangan padanya untuk menahan keseimbangan.
Senyumku terukir untuknya, seperti memberi janji bahwa kami akan baik-baik saja. "Aku ... percaya padamu. Aku percaya kau akan kembali untukku. Aku bersamamu bukan untuk kesempurnaan yang kaumiliki, aku menemukan rasa aman dan nyaman padamu. Itu sudah lebih dari cukup."
Tangan Alby yang semula terkulai kaku di kedua sisi tubuhnya kini menangkup wajahku. Telapak tangannya sudah tidak sedingin tadi. "Aku benar-benar sangat mencintaimu, Ava. Maaf, aku harus meninggalkanmu untuk waktu yang lama."
"Ya, aku tahu." Sebenarnya aku nyaris membalas dengan mengatakan kalau aku juga mencintainya, tetapi aku masih ingat akan membuatnya menunggu untuk mendengarkan itu dariku. Sebelah tanganku mulai bermain-main di dadanya, sengaja untuk menggodanya. "Maka dari itu, kembalilah agar aku bisa membalas pengakuanmu."
Kekasihku benar-benar sangat tampan—dan sekarang aku sudah bisa mengakuinya tanpa ragu. Dia tersenyum, dengan memamerkan lesung pipit samar-samar yang aku sempat lupa kalau dimilikinya. Matanya yang indah menghipnotisku hingga tidak mengelak ketika dia menghapus jarak wajah kami. Hingga akhirnya, bibir kami bertemu.
Dia melakukannya dengan lembut dan sangat pelan seolah-olah tidak ada lagi kesempatan untuknya merasakan ini lagi. Kedua tangannya bergerak turun, mencengkeram pinggangku dan menariknya hingga tidak ada ruang tersisa di antara kain yang membalut tubuh kami. Aku terlalu sibuk menerima pergerakan bibirnya hingga tidak merasa keberatan ketika tangannya makin turun ke bawah. Remasannya sana berhasil meningkatkan gairah dan untuk yang pertama kalinya aku berharap sesuatu yang lebih dari ini.
Satu lenguhanku lolos ketika lidahnya ikut bermain. Bersamaan dengan itu, dia mengangkat tubuhku hingga wajah kami sejajar sekarang. Setidaknya ini lebih nyaman daripada aku harus terus mendongak. Ini memabukkan, akal sehatku sudah terbius oleh kenikmatan yang diberikannya. Dan aku tidak bisa menahan desahan ketika ciumannya mulai menelusuri rahang dan berhenti di leherku. Dia melakukannya sambil berjalan menuju ke kamar. Aku tidak peduli kalau itu akan menyisakan ruam merah besok harinya.
Namun, kesadaranku dipaksa kembali ketika tubuhku terempas di kasurnya. Tangannya sudah bergerak di atas dadaku, membuka satu per satu kancing dengan bibir yang belum meninggalkan leherku. Sebesar apa pun keinginanku akan sesuatu yang lebih dari ini, aku tetap harus menghentikannya.
"Alby, uh, apa kita akan melakukannya?" Aku spontan mencengkeram kemeja depannya ketika dia menggigit bahuku. Dia tidak menjawab dan hanya mengeluarkan gumaman. Aku menganggap itu sebagai jawaban iya.
"Kita, tidak bisa, melakukannya." Desahan yang kukeluarkan membuatku bicara terpatah-patah.
Alby mengangkat kepalanya hingga aku bisa menatap penuh wajahnya. "Apa kau masih merasa takut?"
Aku hanya menggeleng sambil menggigit bibir karena tangannya tidak bisa diam di dadaku. "I'm on my period."
Alby langsung menggulingkan tubuhnya hingga berbaring di sebelahku. Semua bentuk kontak fisik yang kami lakukan berakhir dan aku sudah merindukannya. Dia mengerang keras, dan kali ini kupikir aku turut merasakan kefrustrasiannya.
"Astaga. Seharusnya kaukatakan itu sedikit lebih cepat."
"Kau membuatku bersuara untuk hal lain. Itu sulit, tahu."
"Sebagai gantinya, aku akan memelukmu semalaman, Ava. Aku tidak menerima protes, jadi tidurlah."
Oh, Lord. Bagaimana aku bisa tidur kalau tangannya tidak bisa diam?
•••
Jujurly, aku overthinking nulis bab ini :"
Nanti tak edit lagi. Hehe.
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
16 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro