Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

91 - (Un)happy New Year

"Boleh aku bertanya?"

"Ini bukan tentang keraguanmu, 'kan?"

"Keraguan apa? Kenapa berpikir begitu?"

Tebakan Alby membuatku bertanya-tanya.

Tidak mudah menyuruhnya pulang jika sudah menginjakkan kaki di apartemen kami, bahkan dia menumpang mandi juga. Bajunya ada di sini tanpa kusadari kalau dia pernah sengaja meninggalkannya beberapa lembar. Alby menyelipkannya di antara baju-bajuku di lemari, bahkan meletakkannya sesuai dengan warna bajuku. Bajunya tersebar di beberapa tempat, tetapi beruntungnya dia tidak menitip pakaian dalam juga--aku pasti akan menjerit kalau menemukannya satu di antara milikku.

Namun, aku tidak akan membiarkan dia menginap malam ini, tidak untuk mendapat risiko bangun kesiangan karena tidur terlalu nyenyak di sisinya. Bahkan dalam posisi ini saja rasanya sudah sangat nyaman. Berbaring miring di sofa ruang tengah yang sempit dengan dia berada di belakangku, memelukku. Tubuh kami menempel dan aku bisa merasakan debar jantungnya di punggung. Napasnya berembus hangat di puncak kepalaku. Sesekali dia akan usil menggelitik perutku dan aku segera menegurnya dengan cubitan yang sama sekali tidak memberi efek jera. Meski begitu, sudah setengah jam seperti ini dan kami sama sekali tidak bicara, hanya suara televisi yang memenuhi ruangan.

"Kau cenderung tidak bisa langsung menerima suatu perubahan yang mendadak dan menentang apa yang sudah kau percaya." Dia menjawab dengan mantap, dan aku tidak mengelak karena itu benar. Sayang sekali sofa ini terlalu sempit untuk aku sekadar membalik badan dan melihat wajahnya. "Aku akan sedih kalau kau masih meragukan perasaanku."

Andai dia melihat wajahku sekarang; geli bercampur ngeri. Dia seperti orang yang kehilangan percaya diri. Lingkar tangannya di pinggangku seperti sebuah usaha untuk membuatku percaya. Dan aku tidak pernah berpikir untuk meragukannya, mengingat pengakuannya waktu itu adalah sesuatu yang sudah kunantikan. Aku tidak ingin keraguan menahanku untuk merasa bahagia. Apa yang terjadi besok, biar kupikirkan setelah menghadapinya.

"Tidak, bukan itu. Aku hanya ingin bertanya tentang ... keseharianmu. Kupikir kau cukup sibuk, tapi masih sempat bersantai seperti ini."

Pelan-pelan saja, aku tidak ingin dia curiga kalau aku langsung mempertanyakan tentang bisnisnya. Dia cukup tahu kalau aku tidak mengerti apa pun soal bisnis dan tidak senang membicarakannya. Well, salahkan Claudia.

"Serius kau bertanya itu?"

Dia bergerak tiba-tiba hingga membuatku hampir terdorong ke depan dan jatuh, tetapi terselamatkan oleh lengan kekarnya yang masih berada di pinggangku. Wajahnya sudah berada di atas kepalaku, tetapi aku harus menoleh agar bisa benar-benar melihat wajahnya. Apa memang terdengar tidak wajar kalau menanyakan itu?

Perubahan posisinya memberiku ruang untuk bisa telentang. Lengan kiriku sudah sakit karena tertindih sejak tadi.

"Aku penasaran bagaimana kau membagi waktu." Aku menyisir beberapa helai rambut lembapnya yang menutupi dahi. Namun, tanganku tidak berhenti di situ saja, tetapi menelusuri pipi, rahang, leher tidak terlewat bahunya juga. Aku bergerak pelan-pelan sampai berhenti di lengan dan sedikit meremasnya. "Misalnya kapan kau punya waktu untuk membentuk otot-otot ini."

Aku tidak tahu seberapa besar pengaruh sentuhanku sampai dia menelan ludah dan menahan geraman dalam mulutnya. Jakunnya yang bergerak-gerak gelisah itu menarik perhatianku.

"Kalau ingin menggodaku, sebaiknya tunggu kakimu sembuh. Kau akan menyesal sudah meloloskan singa lapar dari kandangnya."

Mendengar erangan frustrasi darinya membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa. Tentu aku sangat mengerti maksud kata-katanya. Entah sejak kapan aku menganggap itu sebagai sesuatu yang lucu dan bukan lagi sesuatu yang menjijikkan.

"Jadi, kau mau menjawab atau tidak? Aku ingin mengenalmu sedikit lebih banyak." Alih-alih berhenti, tanganku kembali menelusuri otot lengannya yang tegang karena dijadikan tumpuan.

"Ternyata kau ini cukup berbahaya juga." Dia bangun. Mengingat sofa ini nyaris tidak memiliki ruang yang benar-benar kosong, dia duduk dan memangku kakiku. Dalam posisi ini aku tidak bisa menyentuhnya lagi, padahal menyenangkan melihat Alby tersiksa. "Kau juga makin pandai memaksa."

Aku menutup mulut hanya agar tawaku tidak lolos. "Sudah kubilang, aku belajar dari ahlinya."

Dia menghela napas sembari membenahi posisi bantal di bawah kepalaku, sekarang jadi lebih nyaman. "Sejak lulus kuliah, Dad sudah menempatkanku di perusahaannya dan aku terus dituntut untuk mempelajari semuanya. Aku tidak punya waktu untuk dihabiskan bersama teman-teman sampai mereka mulai meninggalkanku."

Namun, dia tampak sangat populer untuk seseorang yang tidak berteman.

"Aku melanjutkan program pascasarjana sambil bekerja, di saat itulah aku mempekerjakan Jacob. Dia bertahan sampai sekarang karena aku lebih memercayainya daripada orangtuaku sendiri. Terjun ke dunia bisnis itu sendiri rupanya membuatku ketagihan, apalagi ketika memikirkan keuntungan apa yang akan kudapat."

"Pantas saja di pertemuan pertama kita, kau sudah berbau uang."

Tawanya yang rendah terdengar. "Awalnya aku kewalahan, terlalu banyak mengurus pekerjaan dan tugas kuliah yang bukan tentang bisnis membuatku kurus. Kau tidak akan menyangka bahwa itu aku. Aku belajar memanajemen jadwal sampai akhirnya punya waktu untuk mengembangkan otot-otot ini. Aku ke gym beberapa kali dalam seminggu, tapi sekarang aku membangunnya sendiri di perusahaan. Sudah tidak seintens dulu, aku melakukannya sesekali hanya untuk mempertahankan massa otot."

"Bisa lewatkan bagian otot?"

Wajahku sudah memanas karena membayangkan dia sedang bertelanjang dada dan berkeringat. Aku tidak bisa menahan itu karena muncul begitu saja di kepala. Itu tidak termasuk pikiran kotor, bukan? Karena, ya, aku bukan sedang ingin meraba-rabanya.

Alby tertawa dan mendaratkan kecupan di puncak lutut kakiku yang tidak sakit. "Bukankah kau bertanya?"

Sekarang aku yang menggeram. "Ayolah, itu hanya untuk memancingmu!"

"Dan kau harus ingat kalau itu sangat berbahaya. Jadi, jangan lakukan pada orang lain." Bicaranya terdengar sedikit mengancam, tetapi tidak berhasil untuk membuatku takut. Aku bahkan memutar mata untuk mengganggunya.

"Mari lupakan dan jawab pertanyaanku saja." Aku mendorong wajahnya menjauh. "Kalau semuanya sudah ditangani Jacob, sekarang apa lagi yang kaulakukan?"

"Aku berusaha memaklumi ketidaktahuanmu, walau Aleo sebenarnya cukup terkenal."

"Distro yang baru buka itu?" Entah apa yang salah dari pertanyaanku, tetapi itu membuat Alby menggaruk pelipisnya. Selain reaksinya, aku juga heran kalau distro itu bisa membuatnya lebih sibuk, padahal dari pengakuannya sendiri, distro itu diurus Paula.

"Kau hanya perlu mencari 'Aleo' di internet, dan jawabannya ada di sana."

Aku sempat ingin protes, tetapi terlalu malas mendebatnya. Rasa penasaranku jauh lebih besar daripada energi yang kupunya untuk adu mulut dengannya. Akhirnya aku meraih ponsel di atas meja, tetapi sebelum sempat kudapat, dia lebih dulu menangkap tanganku.

Sebelum aku sempat bereaksi, Alby sudah berada di atasku, menghalangi cahaya lampu menerangi wajahku. Masih ada jarak di antara kami karena dia bertumpu pada tangannya di sisi kiri dan kananku. Aku bisa mendorongnya agar menjauh dan tidak melakukan hal-hal aneh, tetapi tubuhku bereaksi sebaliknya; tanganku diam, terkepal begitu menantikan apa yang Alby mau lakukan.

"Yang itu nanti saja, setelah kita melakukan ini."

Alby memajukan wajah, tetapi aku bisa bilang kalau hari ini bukanlah hari keberuntungannya. Karena ketika napasnya sudah terasa panas di wajahku. Pintu di sisi kanan ruangan ini dibanting.

"Jam kunjungan sudah habis, Bos."

Well, thanks, Nate.

•••

Aleo. Ada banyak hasil yang keluar dari kata kunci yang kucari di mesin pencari. Aleo Group, yang menaungi perusahaan konstruksi, resort, pabrik tekstil, sampai produk perlengkapan kamar hotel. Kepalaku pusing hanya dengan memikirkan seberapa kaya dirinya. Aku merasa tidak siap menerima informasi sebesar ini.

Mungkin dia punya banyak orang seperti Jacob untuk menjalankan bisnisnya. Oh, dan kupikir itu bukan bisnis pribadi. Paula juga turun tangan untuk mengurusnya. Dari foto yang beredar, aku lebih banyak melihat Paula daripada Alby. Mereka benar-benar dua bersaudara yang sangat akur.

Namun, di samping semua rasa takjub itu, alih-alih merasa beruntung memiliki kekasih yang super kaya, yang tentunya mampu mewujudkan yang aku mau, aku justru merasa cemas. Aku tidak yakin bisa mengimbangi gaya hidupnya. Aku terlalu hemat dan masih memakai ponsel keluaran lama jika dibandingkan dengannya yang memesan kamar hotel hanya untuk menikmati balkon.

Aku agak menyesal tahu semuanya.

"Selamat tahun baru, Ava."

Aku buru-buru mengganti tampilan desktop begitu suara Matthew menyapa. Kehadirannya yang tidak ditandai oleh suara langkah itu sukses membuatku terlonjak. Mungkin siapa saja juga akan merasakan hal serupa ketika mendengar seseorang bicara tanpa menyadari kalau orang itu sudah berada satu ruangan dengannya. Lebih-lebih lagi pria itu adalah Matthew.

Pertama, dia adalah atasanku--meski aku benci mengakuinya. Kedua, aku tidak sedang membuka lembar kerja di laptop dan dia bisa saja melihat itu saat lewat di belakangku. Ketiga, tidak ada masalah dengan bekerja di tanggal 1 Januari ketika semua orang seharusnya libur, tetapi buruk rasanya ketika harus bekerja satu ruangan dengan pria itu. Apa dia sengaja melakukan ini untuk mengawasi setelah mengira aku kabur dari pekerjaan dua hari lalu? Ketika aku terlambat kembali ke kantor setelah menemui Claudia dan saat kembali ke kantor, aku disambut oleh wajah marahnya.

Well, kalau memang tujuannya adalah untuk menghukumku, dia berhasil membuatku jera.

"Ya, selamat tahun baru, Tuan Anderson." Aku merespons dengan nada malas, berkebalikan dengannya.

"Seharusnya kau pergi berlibur dengan kekasihmu hari ini. Tapi maafkan aku karena memintamu untuk datang. Kita punya banyak pekerjaan dan tentu saja aku tidak akan mengambil jatah cuti mereka."

Aku tidak mengerti kenapa aku tidak berhenti menemui pria-pria yang menyebalkan. Caranya menatapku membuat ruangan ini terasa sesak. Kursi yang empuk bahkan menjadi tidak nyaman hingga membuatku ingin hari ini segera berakhir. Ini adalah cara terburuk untuk memulai tahun yang baru.

"Dan aku tidak akan protes. Lagi pula, kekasihku cukup pengertian." Ya, setelah membiarkan dia memelukku semalaman.

"Said by the lucky girl."

Kata-kata itu meluncur dengan nada sarkastik dari mulutnya. Aku benci ketika dia terus berusaha mengaitkan aku dengan masa lalunya bersama Alby. Bahkan senyum yang terkesan merendahkan itu membuatku jelas tersinggung. Kalau dia masih berpikir aku adalah pion dari rencana Alby untuk balas dendam, aku tidak akan diam saja. Berita yang mereka rilis dengan membawa-bawa nama Alby, aku akan membongkar pelaku di baliknya.

"Aku tahu kau masih menyimpan dendam pada Alby, tapi bisakah tidak melampiaskan kebencianmu padaku?"

"Aku seperti ini karena kau nyaris menggagalkan proyek. Aku tidak hanya membenci kekasihmu, tapi membencimu juga." Dia menegaskan itu, seperti menancapkan paku agar terus membekas di ingatanku. "Di komputer itu, buka folder dengan nama 'New Year', itu adalah apa yang harus kaukerjakan. Selama kau belum menyelesaikannya, jangan pernah mengeluarkan suara atau aku akan merobek bibirmu."

Apa Matthew memang semenyeramkan ini saat marah?

Selama dua jam berikutnya, aku benar-benar patuh dan bekerja tanpa suara sedikit pun, kecuali untuk batuk. Aku tidak sempat mengambil air dan sekarang kerongkonganku kering. Namun, dengan kaki yang masih digips dan ke mana-mana harus membawa kruk, aku malas mondar-mandir ke dapur dan akan menunggu waktu istirahat saja agar bisa sekalian makan siang. Setelah itu aku tidak akan lupa untuk membawa sebotol air ke atas meja.

Sejak membuka folder yang dia sebutkan dan menemukan tujuh anak folder proyek di sana, aku tidak yakin akan selesai hari ini juga. Memang sedikit secara angka, tetapi aku tidak bisa tidak terkejut ketika membuka anak folder tersebut. Biasanya aku hanya menata beberapa foto yang sudah dipilih oleh bagian fotografi dan tinggal menatanya ke layout, tetapi kali ini aku juga harus memilih beberapa di antara ratusan foto. Itu benar-benar membuang waktu.

Aku baru bisa bernapas dengan lega ketika Matthew keluar ruangan. Kuharap dia pergi lama agar aku bisa sedikit bersantai, atau menguap setelah menahannya sejak tadi, atau mengeluarkan earphone untuk kemudian memasangnya. Kesunyian yang mencekam tadi membuatku mengantuk. Sayangnya, aku harus menelan kecewa ketika pintu ruangan ini kembali dibuka. Aku buru-buru menaruh jari-jari di atas kibor dan mouse setelah sebelumnya melakukan sedikit peregangan.

"Apa Matthew ada di sini?"

Oh, Tuhan. Aku sudah berpikir Matthew kembali, dan ternyata hanya Dane. Aku memang bukan satu-satunya yang tetap bekerja di tahun baru, tetapi tidak kusangka akan bertemu pria itu hari ini.

"Dia pergi, aku tidak tahu ke mana."

Pria itu tidak masuk, tetapi hanya berdiri di ambang pintu dengan anggukan ringan. Dia menatap meja Matthew cukup lama sebelum akhirnya menatapku. "Kau ... Ava, 'kan?"

Aku berusaha untuk tidak terlihat merasa terganggu oleh fakta bahwa dia tahu namaku. Karena semenjak kejadian itu, namaku mungkin membekas di ingatan mereka. "Benar."

Kupikir dia akan mencelaku, atau menghakimi apa yang sudah kuperbuat, tetapi yang dia lakukan hanya mengangguk, lagi.

"Matthew tidak seburuk yang kaupikirkan, kau hanya belum terbiasa."

Apa masukan itu cukup berguna setelah Matthew terbukti berbuat curang dan yang mengatakannya sendiri adalah pria yang sudah menulis rumor palsu? Mungkin di dunia mereka, definisi baik tidak sama seperti baik yang selama ini kupikirkan. Tidak mungkin kalau aku memaksakan opiniku untuk menentangnya.

"Akan kuingat." Aku hanya merespons begitu karena terlalu malas berdebat. Waktuku tidak banyak untuk sebuah omong-kosong.

"Kalau begitu, aku hanya akan menaruh berkasnya di sini." Dia masuk ke ruangan dan langsung meletakkan sebuah map plastik berkancing berwarna bening di samping komputer Matthew. Aku bahkan tidak perlu mendengar dia berkata akan melakukan itu. "Terima kasih."

Pria yang aneh. Untuk apa berterima kasih padahal aku tidak melakukan apa-apa?

Tidak lama setelah Dane pergi, Matthew kembali ke ruangan. Aku menatap layar komputer segera setelah dia muncul sepenuhnya, meski begitu dia tidak berhenti di mejanya, tetapi berjalan terus menghampiriku. Apa dia ingin memeriksa sudah sejauh mana progres pekerjaanku? Tidak. Tanpa dia repot-repot mendatangiku, dia bisa memeriksanya langsung melalui komputernya. Dia punya semua akses untuk memantau pekerjaan karyawan secara remote.

"Kuharap kau suka kopi. Kalau tidak, kau bisa minum air putihnya saja."

Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kaget, yang mungkin saja itu bisa membuatnya merasa tersinggung. "Oh, terima kasih."

Dia menatapku dengan mata memicing dan langsung ingat akan larangannya agar tidak bicara, tetapi aku tidak mungkin menerima kebaikan seseorang tanpa mengucapkan terima kasih. Apalagi minum adalah sesuatu yang sedang sangat kubutuhkan saat ini. Setelah itu, seperti instruksinya, aku kembali bekerja dalam diam.

Matthew mengangguk satu kali sebelum kembali ke mejanya. "Apa Dane berkata sesuatu saat meletakkan berkas ini di atas mejaku?" Dia bertanya sembari membuka map plastik itu.

"Ya, dia bilang sebenarnya kau tidak seburuk itu." Aku baru benar-benar menatapnya sekarang. "Dan aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba berkata begitu."

"Abaikan saja. Kau sendiri tahu kalau aku adalah orang jahat."

"Apa alasannya?"

"Alasan?"

Karena tahu akan mengobrol banyak dengannya, aku menyempatkan diri untuk beristirahat sekalian dan menyesap kopi pemberiannya selagi masih hangat. "Kau melakukannya? Aku mungkin saja menilaimu terlalu cepat."

Kedua alisnya bertaut, aku menduga keraguan menahannya untuk menjawab pertanyaanku sekarang. Makin lama dilihat, dia memiliki aura yang mirip seperti Troy, tetapi lebih gelap dan muram. Mereka berdua seperti siang dan malam, perbedaan yang terlalu kontras ketika dilihat sekilas.

"Apa yang membuatmu berpikir aku akan menjawab pertanyaan itu?"

Dia merespons dengan baik sejak tadi sampai aku telanjur merasa santai mengobrol dengannya. "Hanya ingin menyamakan persepsi dengan yang Dane katakan tadi. Dia adalah orang kepercayaanmu, dan orang-orang seperti itu tentu tidak akan mengatakan hal-hal buruk tentangmu."

"Kau tentu sudah mendengar dari Alby tentang alasanku menceraikan Paula, bukan? Kira-kira perbuatan apa yang lebih jahat daripada itu?"

Seseorang tidak akan ragu menatap lawan bicaranya ketika mengakui kejahatannya, tetapi Matthew terus berusaha bertemu tatap denganku.

"Tapi kau tidak menikah lagi? Kalau kau memang memerlukan seorang anak dari pernikahanmu, seharusnya kau sudah punya satu sekarang. Ada banyak wanita dengan rahim sehat yang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk bersama pria mapan sepertimu." Tidak kusangka akan mengatakan sesuatu yang baik kepadanya. "Kecuali kau masih mencintai Paula."

Aku hanya menebak-nebak, tetapi reaksi Matthew seolah-olah sedang membenarkan ucapanku. Bahunya langsung tegang, dan rasanya akan jauh lebih menarik ketika aku mengetahui lebih banyak tentang Matthew. Maksudku, sebelum aku benar-benar menuduhnya sebagai orang jahat, aku harus punya dasarnya terlebih dahulu, bukan? Seperti pondasi yang diperlukan saat membangun rumah, harus kuat.

"Kau bisa pulang kalau sudah selesai, Ava."

Wow. Aku berhasil merusak suasana hatinya. Dari nada bicaranya aku sudah cukup sadar kalau dia tidak ingin membicarakannya lagi. Tidak masalah, toh aku tidak bisa membuang waktu lebih banyak lagi kalau tidak ingin terlambat makan malam bersama keluarga Alby.

"Maaf kalau itu mengusikmu."

Aku kembali bekerja. Sudah dua anak folder yang kuselesaikan dan sekarang aku mulai mengerjakan anak folder ketiga. Kuharap ini bisa selesai sebelum makan siang. Terlalu banyak melihat foto-foto yang nyaris sama sejujurnya membuat mataku sakit, tetapi aku tidak punya pilihan lain. Bagian yang paling menyebalkan adalah, Dane juga dipekerjakan hari ini, tetapi tidak ditugaskan untuk memilah foto.

"Untuk folder 'project 5' sampai 'project 7' tidak perlu dikerjakan. Aku akan periksa fotonya dulu hari ini, baru kaukerjakan besok."

Gerakan tanganku terhenti begitu saja. "Serius?" Apa maksudnya tiba-tiba meringankan pekerjaanku?

"Ya. Ada kesalahan di sana. Aku sudah menghapusnya dari komputer yang kaupakai." Dia terlalu fokus pada layar komputer untuk seseorang yang sedang berbicara dengan orang lain.

"Baiklah."

Aku berencana ingin kembali fokus pada pekerjaan, tetapi suara dia membanting setumpuk kertas ke atas meja kembali menarik perhatianku. Helaan napas yang dia keluarkan sarat akan kefrustrasian. Kuharap itu bukan berarti bahaya akan menghampiriku.

"Kau benar. Seseorang menjadi jahat karena punya alasan. Ada yang memotivasinya untuk berbuat curang.Termasuk aku." Matthew menyugar rambut panjangnya sampai dahinya yang berkerut terlihat jelas. "Mateo adalah keluarga yang ambisius. Mereka tidak berhenti membicarakan bisnis, bahkan sering kali membandingkan Ander-Ads yang masih dirintis dengan perusahaan iklan lainnya. Paula tidak seharusnya menerima pelampiasan atas kekesalanku pada orangtuanya, tapi lama-lama dia juga menekanku. Butiknya sukses, dan dia ingin aku segera mengejarnya agar kami bisa berkolaborasi. Perusahaanku, menerbitkan katalog untuk brand fashion-nya. Itu ide yang bagus dan aku juga menginginkannya, tetapi dia sangat tidak sabar."

"Lalu kau emosi dan menceraikannya?"

"Itu adalah keputusan paling gegabah yang pernah kuambil." Dia mengusap wajah yang penuh penyesalan itu. Untuk kali pertama, aku mengasihaninya. "Aku tidak peduli dia bisa mengandung atau tidak, tapi hanya itu alasan yang kupunya dan cukup masuk akal untuk meninggalkannya."

"Seburuk itukah mereka?" Sebagai seseorang yang mendapat perhatian dari orangtua Alby dan Paula, aku tentu tidak bisa membayangkan tekanan seperti apa yang Matthew dapatkan dari mereka. Albert memang tidak berhenti membicarakan tentang bisnis bersama putranya, tetapi tidak seburuk ceritanya, kurasa. Mungkin karena aku perempuan dan bukan orang bisnis, jadi mereka tidak menekanku. Namun, seharusnya mereka akan langsung menentang kebersamaan kami kalau memang bisnis lebih utama, 'kan?

"Ya. Aku tidak bisa memikirkan apa pun lagi selain membuktikan bahwa aku bisa sukses juga. Ander-Ads yang kau pijak saat ini adalah percobaan ketiga setelah dua di antaranya dihancurkan Alby. Semua cara kulakukan. Kau mungkin tidak akan percaya priamu selicik itu. Sampai akhirnya dia berhenti mengusikku karena berkencan dengan Claudia."

Ah, itu menjadi alasan kuat kenapa dia menyuruh Dane untuk menyebarkan rumor palsu, dan cukup menjelaskan kenapa dia tidak berhenti mencurigaiku yang bekerja di sini setelah tahu kalau aku adalah kekasih Alby.

Makin aku masuk ke dalamnya, makin aku mencari tahu lebih banyak tentang mereka, aku justru menemukan dunia yang jauh lebih gelap dari apa yang terlihat.

"Entah kenapa aku justru bicara terlalu banyak." Matthew yang disegani, bisa terlihat selemah ini.

"Kau mungkin memang sedang perlu berbagi?" Aku membalas hati-hati.

"Kau percaya?" Sebelah alisnya naik dan dalam sekejap senyum yang licik ada di wajahnya. "Aku jahat, dan bisa saja aku mengarang cerita untuk menakut-nakutimu."

Aku baru mengasihaninya, tetapi dia sudah bersikap menyebalkan. "Setidaknya ceritamu memperkuat kecurigaanku atas apa yang sudah kau dan Dane rencanakan untuk merusak nama baik kekasihku. Terima kasih sudah bercerita padaku."

"Kau!" Wajahnya merah padam dengan alis yang menukik. "Apa pun yang kami lakukan, sama sekali tidak seperti yang kaubayangkan. Jangan pernah membawa-bawa Dane kalau kau memang tidak menyukaiku."

Wow. Dia melindunginya.

"Bukankah kalian yang--" Tunggu, kurasa ini sudah bukan waktu yang tepat lagi untuk mempertanyakan kebenaran bahwa dia memang orang di balik berita skandal tersebut. "Tidak apa-apa. Maaf sudah mengganggumu."

•••

Perubahan cuaca di tempat teman-teman gimana? Di sini ekstrim banget. Sehari bisa panas banget dan bisa hujan deras banget :")
Akhirnya banyak yang flu. Gak enak banget ngapa²in pas flu tuh.
Teman-teman di sana stay healthy, ya.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
8 November 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro