Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

90 - Their Agreement

Tidurku terusik ketika ponselku tidak berhenti berdering. Terlalu pagi bagi seseorang untuk meneleponku. Melalui celah di antara tirai jendela kamarku, di luar sana masih cukup gelap. Biasanya aku memang memasang alarm, tetapi hari ini aku sengaja tidak ingin bangun terlalu pagi karena baru tiba di rumah pukul satu.

Alby tidak membiarkan aku pulang sebelum kami makan malam dan menonton film. Selain balkon, kurasa dia sangat suka melihatku tertidur ketika menonton film bersamanya. Namun, usahanya untuk membuat kami menginap di hotel gagal total. Aku terbangun ketika Nate menelepon. Dia protes karena aku lupa memberi tahu kalau akan pulang sangat terlambat.

Aku berguling ke sisi kasur yang lain-saking malasnya bagun. Sebelah tanganku terulur meraba-raba nakas demi menemukan ponsel yang baru saja berhenti berdering. Kupikir ada yang salah dengan mataku, atau karena baru bangun tidur jadi aku belum bisa melihat dengan jelas, tetapi meski sudah mengucek mata, nama kontak yang tertera di ponselku sama sekali tidak berubah.

Apa Claudia kurang kerjaan sampai meneleponku sepagi ini?

"Kuharap ada sesuatu yang penting sampai kau meneleponku sepagi ini." Bukan cara yang ramah untuk menerima telepon, tetapi aku harus melakukannya. Setidaknya agar dia mengerti bahwa tidak semua orang bisa mengikuti jadwalnya yang terkadang bisa sangat tidak manusiawi.

"Maaf mengganggu tidurmu. Hanya ini waktu yang kupunya sebelum berada di pesawat selama beberapa jam ke depan."

Sekarang aku mulai terusik untuk memberi simpati padanya. Berprofesi sebagai model, apalagi yang sudah punya jam terbang tinggi, mengharuskannya bepergian ke luar negeri untuk melakukan pemotretan.

"Dan seharusnya kau sudah memberi tahu apa tujuanmu meneleponku."

Tawa rendahnya terdengar. Ada kesan kalau itu hanya dibuat-buat, atau mungkin dia terlalu lelah untuk tertawa. Namun, aku tidak sedang berada di situasi di mana aku akan mengasihaninya.

"Aku perlu bertemu denganmu hari ini. Akan kukabari kapan aku tiba."

"Kau membuat janji seolah-olah aku pasti akan mengiakannya, padahal aku berencana menolak."

Sikap Claudia mengingatkanku pada sosok Alby. Tidak mengherankan kalau orang-orang menyebut mereka adalah pasangan sempurna. Tidak hanya secara penampilan, kepribadian mereka juga sama cocoknya.

Kepalaku berdenyut hanya karena membayangkan mereka bersama. Aku tidak sedang berharap mereka kembali bersama, tetapi untuk dua orang yang saling mencintai dan sudah bersama selama dua tahun, benar-benar sangat disayangkan perpisahannya. Aku tidak tahu kalau dibandingkan denganku yang empat tahun bersama Jeff, apakah akan sama berharganya.

"Aku ingin meluruskan sesuatu dan ... mungkin sedikit memerlukan bantuanmu."

Lagi? Ada apa dengan orang-orang ini. Jeff sudah meminta bantuanku, sekarang tunangannya. Kalau ini tentang hubunganku dengan Alby, aku benar-benar berharap mereka segera menikah saja. Dengan begitu, aku dan Alby dapat menjalani hubungan yang lebih normal tanpa harus mendapat gangguan dari para mantan kekasih.

"Aku tidak bisa melakukannya, Claudia. Hari ini aku bekerja." Dan akan seberat apa yang akan kuhadapi hari ini. Akhir tahun dengan tugas yang banyak sungguh bukan sesuatu yang keren.

"Saat makan siang saja, Ava, kumohon. Kau hanya perlu memberitahuku makan siang di mana, aku akan ke sana."

Nada memelasnya membuatku mulai mempertimbangkan untuk menerima. Di satu sisi, aku penasaran, ingin tahu apa yang sedang berusaha dia luruskan. Namun, dengan aku tahu apa yang akan dia beri tahu padaku, berarti aku harus siap menerima risiko untuk membantunya. Yah, walau aku punya hak untuk menolak, tetapi kalau situasinya buruk hingga membuatnya frustrasi, mungkin aku akan kembali menjadi orang bodoh.

Aku diam cukup lama, membiarkan Claudia mendengarkan deru napasku yang lambat laun mulai terasa berat.

"Aku yakin kau tidak akan melewatkannya kalau yang kubicarakan berkaitan dengan Alby juga, bukan?"

•••

Claudia berhasil membujukku hanya dengan membawa nama Alby. Aku bahkan membawa iPad dan mencicil pekerjaanku di kafe yang kujanjikan untuk menemui Claudia. Dengan Matthew menambah pekerjaanku, aku tidak yakin akan selesai sebelum waktu istirahat, jadi kubawa pergi lima menit sebelumnya. Takada yang peduli aku berada di ruangan atau tidak dan aku yakin Matthew juga tidak sedang menganggur sampai repot-repot memantauku melalui CCTV yang terpasang di ruangan ini. Lagi pula, kantor lumayan sepi mengingat orang-orang sedang mengambil libur akhir tahun sekaligus merayakan tahun baru-termasuk Lauren.

Sekarang aku harus menunggu Claudia yang katanya sedang dalam perjalanan ke sini. Bersedia menemuinya hari ini sudah merupakan sebuah kebaikan, jadi aku tidak menunggunya datang dan sudah menikmati makan siang. Aku tidak tahu kapan dia datang, dan terlambat kembali ke kantor bisa saja berisiko.

Ponselku berdering singkat dan nama Jeff mencuat di sana. Setelah beberapa hari berlalu sejak aku mengirim pesan padanya, dia akhirnya membalas juga. Aku tidak sedang menunggu dia membalas pesanku, tetapi hanya ingin tahu reaksinya. Sebenarnya aku bisa bertanya pada Hyunjoo atau Dave tentang pekerjaan mereka dan kondisi kantor, tetapi aku tidak ingin mereka berujung ikut terlibat dalam rencanaku. Dengan memberi tahu mereka, sama saja dengan membongkar kondisi kami sebenarnya dengan pasangan masing-masing.

Jeff - Hei, Ava. Kau benar tentang Ander-Ads. Maaf karena tidak membalas pesanmu kemarin.
Jeff - Kemarin aku terlalu terkejut sampai tidak tahu harus bereaksi apa. Rasanya mengecewakan saat tahu kau bekerja di sana, tapi aku tidak pantas untuk memakimu. Jadi, aku diam.
Jeff - Pihak CG menghubungiku tentang penundaan proses penilaian karena kecurangan Ander-Ads terbongkar. Aku tidak tahu bagaimana itu terjadi, tapi sangat melegakan.
Jeff - Aku menghubungimu karena merasa tidak enak, apalagi aku belum berterima kasih dengan benar saat kau peringatkan. Kalau kau perlu sesuatu, jangan sungkan menghubungiku.

Kupikir Jeff tidak perlu tahu kalau aku membuat Ander-Ads mendapat masalah karena kecurangan mereka. Dengan mengetahui bahwa teman-temanku tidak dipusingkan dengan proyek itu, sudah cukup bagiku.

AvaClair - Baguslah.

"Maaf membuatmu menunggu, Ava."

Perhatianku teralihkan oleh kehadiran Claudia. Dia memamerkan wajah lelah setelah melepas topi yang dipakai sampai menutup separuh wajahnya. Rambutnya pun tidak ditata dengan baik hari ini.

"Kau tidak memesan dulu?"

Dia menggeleng selagi menatap sisa spagetiku seolah-olah itu membuatnya ingin muntah. Aku menyesal menatapnya karena itu membuat nafsu makanku hilang begitu saja. "Masakan pesawat membuatku mual," sahutnya dengan suara yang rendah.

"Oke." Aku meletakkan garpu ke piringku dan tentu saja masakan yang membuatnya mual tidak akan kami bicarakan lebih jauh. "Jadi, apa yang mau kaukatakan padaku?"

Alih-alih menjawab, dia justru merunduk sebentar hanya agar bisa melihat kakiku. "Bagaimana kakimu?" Rasa bersalah tersorot jelas di matanya saat menanyakan itu.

"Membaik. Alby merawatku dengan baik, tidak perlu kaupikirkan." Aku tahu jawaban itu bisa melukainya, tetapi mengakui itu terasa menyenangkan. Mungkin ini yang sejak awal diinginkan Alby; melihat mantan kekasihnya tampak menyedihkan.

"Dia ... memang tidak pernah gagal untuk urusan menjaga orang terkasihnya." Senyumnya bahkan tampak menyedihkan. Kalau dia mulai bernostalgia sekarang dan tidak kunjung mengatakan maksud dan tujuannya bertemu denganku di sini, aku akan segera kembali ke kantor begitu waktu istirahat habis.

"Waktuku tidak banyak, Claudia."

Claudia memperhatikan sekitar sebentar sebelum tatapannya menyorot ke wajahku. Kafe ini sudah tidak seramai saat aku baru tiba tadi, mungkin dia sedang memastikan tidak ada yang mengambil gambarnya. Ada seorang model di tempat umum, jelas akan menarik perhatian. Aku sudah tahu soal itu dan sengaja memilih posisi di pojok, dengan aku yang menghadap ke ruangan dan dia menghadap dinding.

"Kembalilah pada Jeffrey."

"Pardon?" Kalau ini tentang obsesinya ingin kembali pada Alby, aku pasti akan angkat kaki sebentar lagi.

"Aku mendengar pembicaraan orangtuaku dua hari lalu. Proposal yang kami ajukan ke sebuah perusahaan asal UAE tidak kunjung diproses karena perusahaan Alby belum mengakhiri kerja sama dengan mereka."

Astaga, pembicaraan tentang bisnis ini tidak akan pernah bisa kumengerti.

"Sedangkan di kesepakatan kerja sama antara keluargaku dan Jeff tertulis bahwa kami baru bisa menikah setelah proposal yang diajukan diterima. Bekerja sama dengan mereka sangat menjanjikan, jadi orangtua kami tidak bisa melewatkannya. Yang kusadari adalah, Alby mungkin sengaja menundanya dengan mengajukan banyak proyek pada perusahaan UAE tersebut. Kemungkinan lainnya adalah, dia sengaja ingin menggagalkan pernikahan kami."

Aku mengangkat tangan, memintanya berhenti bicara sebentar. "Apa hubungannya dengan aku kembali pada Jeffrey? Kau sudah gila, ya?" Oke, aku melibatkan emosi sampai-sampai intonasiku meninggi. "Dan bagaimana Alby bisa memperebutkan investor padahal perusahaannya dan perusahaan orangtua kalian bergerak di bidang yang berbeda?"

Claudia membuatku tersinggung ketika dia bersandar pada kursi disertai dengkusan. Dia tidak lagi tampak seperti wanita lemah lembut yang pernah kukenal dulu. "Rupanya masih banyak yang tidak kauketahui tentang kekasihmu sendiri."

"Serius, Claudia. Kalau kau sudah selesai, aku harus kembali ke kantor."

"Bisnis Alby, tidak hanya game. Untuk itu, akan lebih baik kalau dia sendiri yang memberitahumu. Soal kau kembali dengan Jeff ... karena kupikir itu yang terbaik untuknya. Perusahaannya berkembang, dalam waktu dua tahun, dia mungkin akan melebihi orangtuanya dan mampu membantu mereka. Dan aku akan membujuk Alby untuk berinvestasi untuk orangtuaku. Masalah selesai."

Claudia sungguh membuatku geram. Bisa-bisanya wanita seegois dirinya pernah kusebut sebagai sahabat?

"Kau hanya sedang mencari celah untuk bisa kembali pada Alby."

"Tidak. Yang itu hanya bonus." Claudia menatap ke luar jendela dan menelan ludah seolah-olah ingin menelan apa yang baru dia ucapkan tadi. "Caranya menatapku ... aku sudah seperti tidak mengenal dirinya lagi. Aku tidak buta, dia sudah tergila-gila padamu meski aku tidak tahu aspek apa dalam dirimu yang membuatnya sampai seperti itu."

Bisakah sebuah kepala mengeluarkan asap? Karena aku yakin seharusnya itu terjadi padaku sekarang. Emosiku terbakar, darahku mendidih, napas yang kuembuskan pun mulai terasa panas. Ingin sekali aku menuangkan isi dari gelas yang ada dalam genggamanku sekarang ke wajahnya, seperti yang pernah kulakukan pada Jeff dulu.

"Untuk seseorang yang pernah menjadi kekasihnya, kau terlalu sombong, Claudia. Seandainya dia merasa kau benar-benar berharga untuk dilepaskan, dia pasti sudah melakukan banyak cara untuk mendapatkanmu kembali. Tapi lihat, apa yang dia lakukan? Berpaling pada wanita lain. Aku merasa kasihan karena posisimu digantikan oleh wanita yang tidak tahu cara merias diri ini."

"Tapi ... apa kau tidak merasa ada banyak masalah yang muncul akhir-akhir ini? Rumor-rumor itu, bahkan orang-orang merestui kami dan menginginkan agar kami kembali bersama."

Aku tidak mengira Claudia adalah seseorang yang suka berpikiran delusif. Dia tampaknya senang dengan rumor-rumor yang meromantisasi kebersamaan tidak disengaja antara dirinya dan Alby. Yang mana itu makin memperkuat dugaan Jeff kalau dia memang membayar seseorang untuk menulis artikel palsu.

"Maksudmu, rumor yang kaubuat sendiri?" Meski tahu dia tidak akan mengaku, tetapi aku tetap bertanya. Minimal reaksi yang kudapat darinya setelah ini bisa membuktikan sesuatu. "Kau berhasil membuat Jeff kalang kabut, tetapi itu juga membuat Alby mendapat masalah."

"Aku? Mana mungkin aku akan merusak namaku sendiri dengan hal-hal bodoh semacam itu." Itu sungguh bantahan yang kuat dan masuk akal. "Perlu perjuangan besar untuk bisa sampai di titik ini, Ava, mana mungkin aku akan menghancurkannya. Kau sendiri tahu betapa ambisiusnya aku terhadap sesuatu, 'kan?"

Dia terlalu meyakinkan untuk sebuah klarifikasi atas tuduhan yang bisa dibilang tidak berdasar. Dan goyah pada apa yang kupercaya sebelumnya. Jeff seharusnya melihat ini agar berhenti mencurigai Claudia, apalagi dia tidak punya bukti yang akurat. Mungkin Alby benar, semua rumor-rumor palsu itu memang berasal dari Matthew untuk menghancurkan lawannya.

"Bagaimana dengan potongan video saat kalian saat masih bersama, di hotel?"

"Menurutmu hanya aku yang memilikinya? Aku bahkan lupa menyimpannya di ponsel yang mana. Kenapa kau tidak tanya pacarmu juga? Selain aku, dia juga memilikinya."

"Sekarang kau mulai mengada-ngada?"

"Aku tidak berharap pembicaraan kita berakhir dengan tekanan emosi seperti ini, Ava." Suaranya melembut kali ini.

Apa dia tidak sadar kalau itu berawal darinya?

"Kau mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal, Claudia."

"Aku masih sangat mencintainya, Ava. Mungkin akan lebih sedikit menyakitkan kalau saja dia berkencan dengan orang lain. Kau pasti merasakan hal yang sama, bukan? Aku, dengan mantan kekasihmu."

Aku sudah bisa tersenyum sekarang. "Aku tidak semenyedihkan dirimu, Claudia. Seperti yang pernah kaukatakan dulu, mudah bagimu untuk mendapatkan hati pria lain. Ke mana rasa percaya dirimu? Mungkin kau juga bisa mendapatkan pria yang jauh lebih baik daripada Alby."

Entah apa yang dipikirkan wanita itu, tetapi senyum yang dia tunjukkan sarat akan penyesalan. Padahal dia tidak perlu sampai merasa seperti itu mengingat bukan salahnya mereka berpisah. Dan yang membuatku heran adalah, kenapa baru sekarang mulai memikirkan alternatif lain untuk menyelamatkan perusahaan orangtua mereka? Kalau seandainya sejak awal tidak terima dijodohkan, seharusnya sejak saat itu pula mereka memikirkan cara untuk menggagalkannya.

"Apa kau sudah selesai? Aku harus kembali bekerja." Makananku sudah habis, tidak ada lagi alasan untuk mendengar apa yang mau dia bicarakan setelah ini. Aku juga tidak mendapat sesuatu yang layak untuk membayar waktu dan tenagaku untuk menemuinya.

Claudia memasang topinya lagi. "Kuharap kau juga punya cara untuk membuat Alby segera melepas kerja sama dengan perusahaan di UAE, agar rencana orangtua kami segera terlaksana. Daripada rencana untuk kembali pada Alby, kau ... ingin kami segera menikah, bukan?"

Tadi memintaku kembali pada Jeff, sekarang meminta bantuan agar perjodohan mereka berjalan lancar. Wanita ini labil sekali.

•••

"Aku boleh mampir?"

Aku menatap Alby dengan alis bertaut. Serius dia meminta izin begini? Terakhir saja dia memaksa menginap. "Mobilmu sudah terparkir di sini dan aku tidak protes sejak tadi." Parkiran bawah tanah gedung apartemenku. Mengantar pulang saja bisa dia lakukan dengan berhenti di depan gedung.

"Itu berarti iya."

Dia keluar dari mobil lebih dulu dan membuka pintu di sebelahku. Aku dengan senang hati menyambut uluran tangannya ketika akan keluar dari mobil. Tentu di tangan lain dia sudah memegangi krukku.

Perjalanan ke apartemen yang kutempati cukup singkat. Kami tidak bicara sama sekali karena Alby sibuk bicara di telepon. Meski suaranya terdengar jelas, tetapi aku tidak mengerti apa yang dia bicarakan. Itu memberiku waktu untuk memikirkan betapa banyak sekali hal-hal yang tidak kuketahui tentang Alby. Dia menjadi terasa asing meski sedang berdiri di sebelahku. Kedekatan yang terasa sangat jauh. Mungkin akan lebih baik seandainya aku tidak bertemu Claudia hari ini.

"Halo, Nona Clairine."

Aku memutar badan ketika suara yang tidak asing menyapa. Di sana ada Mrs. Shelley dengan sestoples kukis cokelat.

"Halo, Mrs. Shelley. Anda tampak semringah hari ini."

Wanita itu tertawa. "Tentu saja, anak-anakku akan berkunjung hari ini. Sudah lama sejak mereka memutuskan tinggal sendiri."

Rasa bahagianya tertular padaku hingga aku turut tersenyum. "Senang mendengarnya, Mrs. Shelley."

"Apa dia pacarmu?" Suaranya lantas berubah menjadi bisikan. Dia mengerling pada Alby yang masih sibuk dengan telepon di belakangku.

Dengan penampilan seperti itu; setelan jas biru tua dengan kemeja hitam di dalamnya, jelas terlihat kalau Alby adalah seorang atasan yang punya banyak uang. Apalagi sepatunya sangat berkilau. Mantelnya tadi sudah dilepas dan dia tinggalkan di mobil.

"Iya. Kamu sudah bersama beberapa bulan." Termasuk ketika status hubungan kami masih pura-pura.

"Ah, dia tampak sibuk. Sepertinya pebisnis, ya?" Untuk menjawab yang satu itu, aku hanya mengangguk. "Kau pasti sudah tahu risikonya, bukan? Memiliki pasangan sepertinya, kau akan banyak diabaikan. Karena bagi mereka, satu detik saja terlambat menerima telepon, uang melayang."

Mrs. Shelley terlalu cepat menyimpulkan, kurasa. Baru sekali, kan, dia melihat Alby sibuk dengan telepon. Sedangkan selama ini, dia justru banyak melewatkan jadwalnya saat bersamaku. Bukankah dengan begitu dia sudah rugi banyak sekali?

"Kurasa, aku juga akan menyibukkan diri ketika dia mengabaikanku. Itu sudah kupikirkan sebelumnya." Bohong, tentu saja baru kupikirkan hanya agar Mrs. Shelley tidak menganggap Alby seburuk itu. Lihat, sekarang aku bahkan peduli bagaimana tanggapan orang-orang padanya.

"Baguslah. Aku bisa tenang kalau begitu. Ini untukmu dan Nate, aku membuat terlalu banyak. Stoplesnya tidak perlu kaukembalikan."

"Biar saya yang bawa ini."

Alby, yang aku tidak tahu sejak kapan berhenti bertelepon dan mungkin saja mendengar obrolan singkat kami tadi, tiba-tiba sudah berada di sisi kananku dan menerima stoples dari Mrs. Shelley. Itu cukup membantu karena aku tidak mungkin membawa stoples yang lumayan besar itu dengan satu tangan saja.

"Tolong jaga Ava, dia sudah seperti anak kami."

Wow. Itu pengakuan paling baik yang kudengar dari Mrs. Shelley mengingat dia agak ketus selama ini, apalagi ketika menagih stoples atau piringnya kembali. Sekarang aku tahu 'memasak lebih' hanyalah alasan untuk menyembunyikan rasa pedulinya pada kami. Lihat, aku tidak benar-benar menyedihkan karena masih ada yang peduli padaku dan Nate.

"Terima kasih, Mrs. Shelley."

Dia pergi setelahnya, kembali ke apartemennya yang berjarak satu pintu dariku. Wanita gemuk itu memang tidak pernah gagal membuatku takjub.

"Bukankah dia tampak mengintimidasi? Aku sampai tidak tahu harus merespons apa." Dahi Alby berkerut ketika menanyakan itu.

Aku meresponsnya dengan senyuman sebelum meninggalkannya masuk ke apartemenku. Dia menyusul kemudian. Aku melepas mantel setelah perutku bersandar pada meja pantri, dengan begitu aku tidak perlu memegang kruk.

"Jangan macam-macam, Alby. Nate mungkin sedang di kamarnya sekarang." Setelah melihat gelas kotor di wastafel, itu sudah menjadi bukti kalau Nate sudah pulang.

Bukannya berhenti, Alby justru mempererat pelukan hingga punggungku menempel ke dadanya. Tidak sampai di situ, bibirnya sudah menjelajah dari leher sampai rahangku, memberi kecupan-kecupan ringan saja. Dia melakukannya seolah-olah kami sudah tidak bertemu berbulan-bulan. Namun, aku juga tidak menolak sensasi-sensasi yang dia berikan. Kukira ada yang salah denganku, tetapi Hyunjoo pernah bilang bahwa normal saja menginginkan sesuatu seperti itu dan menikmatinya.

"Apa dia akan keberatan?" sahutnya sebelum meletakkan dagu di bahu kananku. Itu terasa geli, tetapi aku justru menelengkan kepala ke kiri, memberinya akses lebih banyak di sana.

"Dia bisa mengusirmu, dan itu tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Kau tidak bisa memecatnya." Aku menantang profesionalismenya kali ini. Aku akan membencinya kalau melibatkan masalah pribadi ke dalam pekerjaan, seperti aku membenci tuduhan Matthew padaku.

"Tidak. Aku lebih suka menyogoknya dengan cara lain agar memberi kita waktu berdua saja."

"Astaga! Hentikan, Alby!" Aku spontan berteriak ketika dia menggigit secuil daging di leherku. Perlu kutekankan, benar-benar menggigit dan menimbulkan rasa sakit, bukan sesuatu yang akan meninggalkan ruam kemerahan.

"Kau membuatku menahan diri selama berbulan-bulan. Percayalah, setiap jengkal dirimu membuatku kecanduan."

Mataku berotasi. Andai bukan karena memerlukan tubuhnya untuk menyeimbangkan tubuh, aku sudah menjauh darinya. Belum lagi krukku sudah dilemparnya ke sofa saat menghampiriku.

"Kau bersikap seolah-olah kita sudah berbuat jauh."

"Lebih tepatnya, hampir." Suaranya yang serak dan rendah itu benar-benar menggodaku.

Aku menghela napas. Alby yang posesif sama sekali bukan tandinganku. Pergerakan yang terbatas membuatku tidak bisa melakukan perlawanan selain meminta dengan kata-kata. "Ayolah, lepaskan aku. Aku sudah gerah memakai baju ini seharian."

Parahnya, itu justru memberi Alby bahan untuk terus menggangguku. "Aku bisa melakukannya untukmu di sini."

Mulutnya benar-benar meresahkan.

"Kau akan berurusan denganku meski hanya satu lembar kain yang kau lepaskan, Bos."

Nate menyelamatkan. Dia membuat Alby melepas pelukan dan meletakkan tangannya di kedua sisi kepalanya. Aku memutar badan sambil bertumpu pada ujung meja pantri hanya untuk melihat Nate memicing pada Alby. Dia membuktikan kalau ucapannya tidak main-main.

"Tentu aku tidak akan melakukannya jika Ava tidak mengizinkanku." Alby membalas dengan tenang dan bersedekap. "Apa Jacob membuatmu sangat repot?"

Nate tidak langsung menjawab, tetapi mengedik sembari membawa gelas kotor ke wastafel. Kupikir dia akan sekalian mencuci dengan yang kotor sebelumnya, tetapi malah membiarkannya di sana. Dia mungkin berpikir aku tidak akan marah-marah karena Alby sedang ada di sini.

"Aku bersama timku mengerjakan semuanya dengan baik, justru aku merasa kasihan padanya. Apa kau terlalu sibuk sampai memintanya mewakilimu di hampir setiap pertemuan?"

Aku tidak tahu seberapa sering mereka bertemu saat di kantor, karena aku benar-benar takjub dengan betapa kasualnya interaksi mereka sekarang.

Oh, untuk sesaat aku lupa meski Alby adalah atasan yang jarang berinteraksi dengan anak buah, mereka punya urusan lain untuk dibicarakan, salah satunya adalah ketika Alby mengorek informasi tentang aku.

"Aku punya hal lain untuk diurus. Lagi pula, Jacob melakukannya jauh lebih baik."

Nate mengernyit sambil berjalan menuju sofa untuk mengambil kruk. Aku sempat memberinya kode melalui tatapan untuk melakukan itu. Kalau dua pria ini ingin bicara tentang pekerjaan, aku lebih baik pergi dan membersihkan diriku.

"Kau perlu memanusiakannya sesekali."

"Bisnis itu berat, Bung."

Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar. Bisnis, pebisnis, pembicaraan dengan Claudia tadi siang kembali berputar di kepalaku. Apalagi yang dia kerjakan selain sebagai game developer? Apa dengan satu bisnis saja dia sampai punya uang lebih dan memakainya untuk sebuah lukisan?

•••

Tuteyoo kembali setelah memutuskan akan menyelesaikan ini dulu sebelum direvisi total nanti.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
30 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro