9 - Negotiation
🎶
One look at you, I'm powerless
I feel my body saying yes
Where's my self control?
🎶
"Nate!"
Aku segera menyambar berkas yang ada di tangannya. Panik menguasai hingga membuat napasku menghangat. Aku baru menempuh nyaris empat jam perjalanan pulang dan kelelahan. Tenaga yang tersisa langsung tersedot habis hanya dengan pemandangan Nate di kamarku. Satu-satunya yang tidak kuinginkan terjadi adalah Nate mengetahui tentang utang Dad. Dia sama sekali tidak ada urusannya dengan ini. Ini tentang aku, Dad, dan Mom.
Kertas yang kurampas dari Nate kini sangat kumal. Aku menggenggamnya tanpa sadar. Kertas-kertas itu kusembunyikan di balik punggung, tak ingin membiarkan Nate melihatnya walau aku sudah yakin dia menemukan nominal yang tertera di sana. Dia memandangku tidak percaya. Matanya yang cokelat terang membulat lebar. Nate tak bergerak sedikit pun, bahkan tangannya masih menggantung di udara, tak berubah saat dia memegang berkas tadi dan itu membuatku berkali-kali lipat gelisah.
"Seharusnya kau tidak melihat ini," ucapku sembari membawa berkas tersebut untuk disimpan kembali ke dalam laci nakas di samping tempat tidur, meletakkannya asal-asalan. "Dan kenapa kau membuka laciku, huh?"
"Aku sedang bersih-bersih," sahut Nate, datar. Dia jadi lebih rajin membersihkan rumah semenjak kakiku sakit. "Dan aku tidak bisa disalahkan karena kertasnya mencuat dari sela-sela laci. Aku tahu kau tidak suka menyimpan kertas di mana pun selain dalam dus. Jadi, aku mengira itu sampah."
"Dammit!" Aku merutuki kecerobohanku sendiri. Otakku memanggil kembali insiden tadi pagi, tentang aku yang menelepon Pete, membujuknya yang tidak bekerja hari ini untuk menemaniku pergi ke makam Dad. Lalu setelah dia berkata sepuluh menit lagi tiba di apartemenku, aku lekas-lekas membereskan berkas tadi dan menyimpannya ke laci tanpa memeriksa lagi apakah sudah tersimpan dengan benar atau tidak.
Aku kesal dan mengacak rambutku sendiri. Sial sekali hari ini.
"Kapan kita harus membayarnya?" Nate mundur sedikit dan bersandar pada lemariku. Kedua tangannya dilipat di depan dada. Matanya yang menggelap menjadi bukti bahwa dia sedang serius saat ini.
Aku duduk di tepian kasur, berhadapan dengannya. Aku sungguh benci ketika Nate sudah seperti ini. Dia akan melakukan segala cara, kusetujui atau tidak, sepengetahuanku atau tidak, sampai akhirnya dia mendapat apa yang diinginkannya. Keras kepala, tetapi aku suka usahanya.
"Nate, dengar. Jangan libatkan dirimu dalam hal ini. Fokus saja kuliah dan bekerja, biar aku yang menyelesaikan ini." Aku bicara dengan tenang, tetapi di dalam sana kegelisahanku tak berakhir.
"Bagaimana? Kau bahkan tidak bekerja." Nate mungkin mengatakan fakta, tetapi itu sungguh melukaiku.
"Aku akan menyebar lamaran, lalu menerima lebih banyak job di situs freelance. Tabunganku juga masih ada. Atau kalau tidak terkumpul dalam setahun, aku akan cari pinjaman. Apa pun asal tidak membuatmu repot."
Sebisa mungkin kubuat diriku tampak sangat meyakinkan agar Nate percaya kalau aku bisa melakukannya. Karena tentu saja aku harus berhasil. Urusannya akan sangat repot jika aku tidak berhasil melunasinya dalam setahun. Terkadang, di saat-saat seperti ini, aku dibuatnya merasa gagal sebagai seorang kakak. Dia jauh lebih protektif dariku.
"Aku bisa terima kau mencari pekerjaan, tetapi tidak dengan meminjam uang. Apa bedanya dengan sekarang? Kau menggali lubang untuk menutupi lubang yang lain, itu tidak akan menyelesaikan apa-apa." Nate menghela napas, seolah-olah sudah jenuh menghadapiku yang keras kepala. Padahal, kami sangat jarang akan mengobrol serius seperti ini. Kalaupun ada, paling membicarakan tentang kuliah Nate atau tentang belanja bulanan. Dia tidak akan cocok jika kuajak membicarakan tentang pekerjaanku.
"Setidaknya aku punya waktu lebih dari setahun untuk melunasi utang yang lain."
"Pakai sebagian gajiku untuk membantu membayar. Dad juga ayahku—kau tidak bisa membantah itu, Ava." Suara Nate semakin berat dan dalam, yang seperti itu jelas membuatku semakin tidak karuan. Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri kalau sampai melibatkannya.
"Nate, please. Aku tahu kau sedang menabung untuk membeli laptop baru."
"Keras kepalamu itu mengingatkanku pada Dad." Tanganku lantas terkepal begitu dia menyamakanku dengan Dad. "Utang harus dibayarkan dalam setahun, sementara aku masih bisa membeli laptop sepuluh tahun lagi." Nate berjalan ke arahku, sementara aku menantikan apa yang akan dilakukannya. Andai itu memelukku, aku akan menerimanya dengan senang hati, karena aku sangat memerlukan itu saat ini. Namun, dia justru melewatiku begitu saja. Ah, dia pasti kesal luar biasa sekarang.
"Terserah, tapi kau harus memberitahuku kalau perlu sesuatu."
Itu melegakan. Meski dia tampak lebih mengintimidasi jika berdebat, tetapi dia tidak pernah membiarkanku kalah. Nate adalah tipe orang yang tahu kapan harus mundur atau terus maju. Sedangkan aku masih bertanya-tanya sejak dulu, apa yang membuatnya selalu membiarkan aku menang.
Nate bisa jadi lebih keras kepala dariku mengingat watak dan garis-garis wajahnya sangat merepresentasikan Dad. Entah itu karena sopan santun mengingat aku adalah kakaknya, atau dia pikir harus berterima kasih padaku hingga merasa harus menghormati keputusanku. Walau kasih sayangku tulus untuknya, tetapi aku tidak tahu apakah Nate bisa menerimanya atau justru menganggap itu sebagai sesuatu yang suatu saat harus dibayarnya.
Tubuhku terempas di atas kasur, berbaring. Hari ini benar-benar berat, sedangkan besok akan lebih berat lagi karena aku harus menyebar berkas lamaran.
🎶
Termometer - Plan changed. Pergi ke tempat ini jam tujuh untuk makan malam.
Dan di bawahnya tertera alamat yang harus kutuju. Aku refleks menatap arloji sembari mengunyah roti lapis yang kubeli di pinggir jalan untuk makan siang yang sangat terlambat. Sekarang sudah jam tiga sore. Padahal kami tidak perlu bertemu. Aku sudah mengirimkan tiga desainku ke email Jacob tadi pagi dan pria itu bilang Alby sudah puas. Awalnya dia menjanjikan untuk bertemu jam empat, tetapi dia menundanya dan membuatku harus menunggu tiga jam lebih lama.
Sebenarnya itu bagus. Dengan waktu yang lebih banyak, aku bisa menyebar lamaran yang tersisa ke perusahaan yang memerlukan keahlianku.
Tas jinjing tempatku menyimpan berkas ada di bangku sebelah, tergeletak sembari mengasihani hidupku yang menyedihkan. Itu membuatku ingin sekali melemparnya ke tengah jalan, lalu menyaksikan bagaimana ban-ban mobil melindasnya. Satu alasan yang membuatku sangat membenci Jeff setelah memberhentikanku; New York mungkin luas, tetapi pertumbuhan penduduknya juga lumayan pesat hingga tak semua orang mendapat pekerjaan yang layak. Salah satunya aku, masih berjuang mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlianku.
Apa aku terlalu pilih-pilih? Ada banyak kafe kecil yang memerlukan pegawai dan aku bisa saja menawarkan diri dan langsung diterima jika aku ingin. Namun, aku sadar akan kemampuan yang kumiliki dan tidak ingin ilmuku terbuang sia-sia. Freelancer adalah satu-satunya pekerjaan terbaik untukku saat ini, tetapi penghasilannya sangatlah kurang. Terlebih lagi untukku yang namanya masih belum dikenal banyak orang.
Aku benar-benar berkeliling kota hari ini. Tersisa satu berkas dari lima belas salinan yang kubawa. Bawaanku jadi lebih ringan sekarang. Aku mencari taksi yang kira-kira akan mengantarku ke alamat yang dimaksud Alby, tetapi ini sudah hampir pukul tujuh. Kalau aku terlambat, dia mungkin akan kesal—walau aku tidak peduli, sayangnya dia secara tidak langsung adalah bosku. Jadi aku mencoba mencari jalan pintas di aplikasi peta dan berhasil kutemukan. Aku hanya perlu berjalan sepuluh menit melintasi gang-gang kecil di antara gedung-gedung pencakar langit.
Rumah makan tempat kami bertemu ternyata cukup fancy. Mobil-mobil mewah berjejer rapi di parkiran yang lumayan luas. Aku baru melihat dari luar pintu, tetapi sudah terasa kemewahannya. Aku sampai merasa tidak pantas ada di sana, bahkan staf pencuci piring pun mungkin memakai seragam yang jauh lebih rapi dari yang kukenakan sekarang.
"Good evening, Miss. Would you like to eat something?"
"Aku ke sini dengan pesanan atas nama Alby Mateo." Catatan penting, dia memintaku mengatakan itu pada siapa pun pelayan yang kutemui, termasuk pria berseragam hitam putih yang berdiri di dekat pintu ini.
"Oh, Tuan Mateo ada di lantai atas, mari saya antarkan."
Aku mengikuti pria ini menaiki tangga melingkar yang sangat besar. Tiap pijakan dilapisi oleh karpet serupa beludru yang lumayan tebal. Sementara tralisnya berwarna keemasan dengan kayu mahogani membentang di bagian teratas sebagai pegangan, warnanya berkilau dan terasa licin ketika kusentuh.
"Silakan masuk, Nona, Tuan Mateo ada di dalam." Pria tinggi besar ini bicara lagi setelah membukakan pintu yang lumayan besar pula.
Aku tidak langsung masuk, tetapi meniliknya lebih dulu. Alby tidak main-main dengan pertemuan kami ini. Dia terlalu berlebihan jika sengaja melakukan semua ini untuk membicarakan desain. Ruangan ini serupa private room untuk makan malam dua orang yang sedang dimabuk cinta. Gila. Kami bahkan sangat jauh dari hubungan itu.
"Terima kasih," balasku sebelum melangkah masuk ruangan tersebut. Kemudian pintu tertutup dan itu membuatnya menoleh ke arahku. Ini konyol, tetapi aku sempat berpikir untuk kabur sebelum dia menyadari kehadiranku.
Penampilan Alby tampak santai, dia hanya mengenakan sweter berlengan panjang warna broken white. Rambutnya tampak lembap seperti habis keramas dan disisir ke belakang. Tak ada apa pun di atas meja selain dua gelas dan sebotol anggur, vas bunga kecil, dan benda-benda kecil lain yang akan digunakan untuk makan. Kupikir akan ada laptop miliknya di sana, atau lembaran hasil print desainku.
"Kau membuatku menunggu," ujarnya sembari menyapukan pandangan di wajahku ketika aku mengumpulkan rambutku dalam satu genggaman sebelum diikat dengan karet.
"Impas, 'kan?"
"Kau berkeringat di musim semi, itu sangat seksi." Alby meracau dan menyeringai. Dengan gaya seperti itu saja dia sudah tampak seperti model iklan parfum yang biasa ada di majalah-majalah.
"You are pervert." Aku merotasikan kedua bola mata dengan kesal. "Aku berkeliling kota hari ini dan kelelahan, jadi tolong segera selesaikan pertemuan ini agar aku bisa segera istirahat."
"Bagaimana kalau makan dulu?" tawarnya sembari membuka buku menu.
"Tidak perlu. Aku masih kenyang." Aku membalas sembari mengingat roti lapis yang kumakan tadi dan aku yakin masih dalam proses cerna di perutku.
"Oh. Kalau begitu, aku pesan untukku sendiri." Setelah itu dia tenggelam dalam buku menu. Ekspresinya terlalu serius untuk seseorang yang memilih menu makan. Di halaman-halaman tertentu dia akan berpikir keras, dahinya berkerut dan matanya menyipit jadi tampak lebih tajam. Apa pesona Alby benar-benar tidak bercela?
Aku membuang muka ke arah jendela yang memperlihatkan balkon rumah makan, sebelum Alby menyadari kalau aku memandangnya cukup lama. Dan pertanyaan itu muncul, untuk apa aku ada di sini?
"Sebenarnya apa yang akan kita lakukan?"
Alby memindai sekeliling ruangan yang tidak terlalu luas ini. Pencahayaan tidak terlalu terang, tetapi juga tidak remang. Cahaya lampunya berwarna merah muda yang sangat muda-bisakah kalian bayangkan? Seperti yang kubilang tadi, tempat ini dirancang khusus untuk makan malam romantis.
"Mendiskusikan kontrakmu dan hal lainnya."
Aku mendengkuskan tawa remeh-temeh. "Di tempat menggelikan ini?"
"Aku berencana untuk membangun romantisme di antara kita. Itu sangat diperlukan oleh pasangan, 'kan?" Dia mengedipkan sebelah mata kepadaku sebelum kembali membaca buku menu.
"Apa ini tentang yang kemarin?"
Alby menutup buku menu dan menumpukan tangan di atasnya. Dagunya diletakkan pada dua tangan yang saling bertaut.
"Tentu. Aku selalu mendapatkan yang kuinginkan."
"But, I'm not a thing, I'm a human."
Dia mengangguk seolah-olah itu adalah informasi baru. "Bukan berarti tidak bisa kumiliki."
Aku membanting punggungku cukup keras hingga menghasilkan suara debam yang kecil. Tatapan penuh kebencian kulayangkan kepadanya. Memang benar takada yang sempurna, buktinya di balik fisik dan penampilan Alby yang mampu membuat wanita tergila-gila, dia tidak memiliki perangai yang baik. Aku tersinggung karena diibaratkan seperti barang yang bisa dibeli dengan uangnya yang banyak itu.
"Aku sudah bilang tidak akan sudi jadi pasanganmu, apalagi untuk melukai Claudia. Apa itu susah untuk diingat?"
"Sebenarnya, Ava, aku sudah berencana untuk merelakanmu jika usahaku yang ketiga ini tidak berhasil." Oh, dia juga pandai bicara untuk membuat orang lain merasa spesial. "Tapi aku menemukan sesuatu yang akan membuatmu tidak bisa menolak."
Sekarang aku mulai waswas dengan apa pun yang dimaksudnya itu.
"Apa?"
"Aku akan membantu membayar utang ayahmu, dengan syarat kau menjadi pasanganku selama setahun. Bagaimana?"
"What—oh! Damn, Nate!" Aku tidak sadar sudah mengempaskan kepalan tangan di atas meja. Kendati kedengarannya agak tidak mungkin kalau Nate membocorkan itu pada Alby, tetapi siapa lagi yang tahu tentang itu selain dia?
"Sekarang aku mengerti kenapa Nate mendadak pucat setelah tanpa sengaja menceritakan tentang itu padaku." Alby menatap kepalan tanganku dan mengangguk ringan. Maksud ucapannya adalah Nate mungkin takut dengan kemarahanku. "Aku mendesak Nate hari ini. Mengingat dia adalah adikmu, aku menanyakan banyak hal tentangmu padanya."
Aku sudah menduga hal itu akan terjadi.
"Rencanamu sudah terbaca sejak awal."
"Aku akan jujur padamu sekarang." Alby mencondongkan badan ke arahku dan menumpukan lipatan tangan di atas meja yang sempit ini. "Sebelum Nate diwawancara, aku sudah ingin meloloskannya. Dia sudah banyak memainkan banyak game dari perusahaan kami. Sebagai perusahaan yang mencari pegawai berkualitas, kami melakukan pengecekan pada akunnya. Pencapaiannya dalam bermain game sangat luar biasa asal kau tahu. Dan dia sangat kritis, contoh ulasan yang diberikannya dalam formulir lamaran kerja sangat terperinci. Dia menjabarkan tiap detail fitur dari programnya."
Alby tidak berbohong, aku bisa melihat itu dari matanya dan betapa dia sangat kagum dengan skill Nate. Adikku itu memang keren.
"Bisa dibilang ... aku sedang memanfaatkan kesempatan yang ada. Nate adalah kunci untuk mendapatkanmu."
Namun, bukan berarti aku berubah pikiran.
"Kuakui kau jenius, Alby. Tapi kau tidak akan berhasil membujukku."
Sekarang Alby yang mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Gurat-gurat wajahnya menunjukkan bahwa dia sudah kehabisan akal untuk membujukku. Dia perlu dibuat susah sesekali, setidaknya untuk menyadarkan bahwa untuk mendapatkan sesuatu perlu sebuah pengorbanan, dan itu lebih dari uang.
Aku mengernyit ketika dia mengeluarkan selembar kertas terlipat dari dompetnya-aku bahkan tidak sadar sejak kapan dia memegang dompet.
"Terima, atau kubuat kau merasa berutang karena ini akan segera kukirimkan pada perusahaan tempat kerja ayahmu itu." Alby mengatakan itu dengan penuh penekanan setelah membuka lipatan kertas dan meletakkannya di bawah daguku.
Mataku membola, beberapa kali memandang wajah Alby dan kertas itu bergantian. Selembar cek, dengan nominal utang ayah tertera di sana dan sudah ditandatangani atas nama Alby Mateo.
Tanganku mulai bergetar ringan saat kuraih selembar cek tersebut. Dengan tenaga yang susah payah kukumpulkan, aku merobek cek tersebut menjadi potongan-potongan kecil dan kulemparkan ke wajahnya. Wajahku memanas, ketika emosi mulai bergumul di ubun-ubun.
"Kaupikir bisa membayarku? Aku tidak ingin terlibat dalam sandiwaramu itu, Alby. Tak peduli sebanyak apa uangmu." Aku berucap frustrasi. Ini adalah kali ketiga dia melakukannya, sekali lagi aku menolak, dia akan benar-benar melepasku. Itu yang dia katakan tadi, aku masih mengingatnya.
"Kenapa kau terus menolak? Bukannya ini akan sangat membantumu? Lagi pula aku tidak merugikanmu, 'kan? Hanya jadi pasangan pura-pura." Mungkin Alby sama frustrasinya denganku. Tangannya bergerak lemah saat menyapukan potongan-potongan kertas yang tersangkut di kepala dan bahunya.
"Aku tidak suka niatmu untuk melukai Claudia."
"Kalau tujuan yang sebenarnya bukan itu, kau mau?"
Aku mengulum bibir dan menggeleng kaku. "Tidak juga."
Alby menyugar rambutnya, memamerkan dahi yang berkilauan ketika dibanjiri oleh cahaya lampu. "Aku sangat membutuhkan bantuanmu, Ava. Please." Suara Alby melirih dan caranya memohon lumayan tulus juga.
"Oke. Jadi begini, ada alasan lain aku harus menggagalkan pernikahan mereka. Satu, kau sudah tahu, aku memberitahumu tiga hari lalu. Dua, orangtua Claudia berusaha merebut saham yang seharusnya adalah milik kami. Itu tidak akan terjadi jika tidak ada bantuan dari perusahaan orangtua Jeffrey. See? Mungkin sejak awal kita memang berada dalam satu lingkaran takdir. Kau bisa memamerkan aku dan membungkam mulut kotor Jeffrey, sementara aku akan membuktikan kalau Claudia masih mencintaiku lalu memohon agar kami kembali. Ide bagus, 'kan?"
Aku kehabisan kata-kata. Tidak kusangka masalah ini sangat serius untuknya. Kupikir hanya keisengannya untuk melukai Claudia. Seandainya Claudia benar masih mencintai Alby, dia mungkin akan sangat bahagia jika mereka kembali bersama lagi. Meski ayahnya akan menentang cita-cita Claudia, tetapi Alby dengan kekuatan yang dia miliki bisa saja mewujudkannya.
Sial, aku jadi mempertimbangkan tawarannya dalam waktu yang singkat ini.
"Bagaimana?" tanyanya penuh antusias.
Baiklah, mungkin tidak ada salahnya mencoba. Dengan begini, aku tidak akan membuat Nate ikut membayar utang dan Claudia akan kembali dengan pria yang dicintainya. Aku baru sadar kalau tawaran Alby memang tidak ada ruginya.
"Hanya setahun?"
Sepintas aku melihat mata Alby berbinar senang.
"Ya. Jika berhasil sebelum setahun, kita bisa akhiri. Batasnya hanya setahun sejak disepakati."
"Dan kau benar-benar akan melunasi utang Dad?"
"Yap."
Aku diam. Masih ragu untuk menerima mengingat sejauh ini aku selalu menolaknya. Ini tidak seperti memutuskan warna apa yang akan kupakai untuk desainku. Tidak. Ini lebih rumit. Aku dibayar untuk berbohong kepada publik. Apa suatu saat akan datang karma kepada kami?
"Kenapa kau rela membuang uang sebanyak itu?" Rasanya sangat disayangkan bagi orang miskin sepertiku, yang barang-barang branded-nya berasal dari pemberian sang mantan. Lucu juga kedengarannya.
"Consider it a business investment, how does that sound?"
"Bisnis. Berarti harus ada kesepakatan antar kedua belah pihak. Mungkin semacam peraturan yang tidak boleh dilanggar? Atau mungkin hak dan kewajiban? Harus ada batasan-batasan dalam bisnis ini."
Alby mengernyit, tetapi hanya sebentar, karena kemudian dia mengangguk. Seseorang sepertinya tidak mungkin tidak mengerti maksudku. "Kita bisa bicarakan soal itu kalau kau menerima."
"Baiklah. Tapi dengan satu syarat, jangan pernah ganggu Nate lagi. Biarkan dia bekerja dengan baik dan jangan bebani dia dengan pertanyaan apa pun tentangku." Aku memainkan telunjukku yang masih agak bergetar untuk menunjukkan padanya bahwa aku serius.
"Tergantung. Kalau kau bersikap baik dan menurut, dia akan bebas dari terorku."
Tidak mengherankan kalau kalimat itu terlontar dari bibir kissable-nya.
"Oke. Pembicaraan berakhir. Kau sama sekali tidak membahas tentang kontrakku."
"Oh!" Reaksinya persis seperti orang yang baru saja melupakan hal penting. "Aku lupa bilang kalau aku sangat menyukai desainmu. Ketiganya bagus, kami memutuskan untuk mencetak semuanya. Desain yang kaubuat lumayan simpel, modern, dan rasanya seperti ... kau sudah mengenalku cukup baik, Ava, desain itu sangat mewakili diriku."
Aku lupa berkedip. Ava, lakukan sekarang sebelum kau menangis karena matamu pedih. Cara Alby memandangku terlalu intens, terlalu dalam, seakan-akan dia sedang berusaha menggali ke dalam diriku. Berbahaya. Aku berdeham untuk mengembalikan pertahananku yang nyaris runtuh karena insiden sepele ini.
"Kita sudah selesai? Aku ingin pulang." Aku bahkan lupa berterima kasih atas pujiannya tadi.
"Tidak. Aku tidak akan membiarkanmu pulang sebelum makan. Pesan apa pun yang kau mau."
***
Aloha~
Apa kabar? Selamat hari Selasa bersama Ava dan Alby. Bagaimana bab ini? *sobbing*
Seperti biasa, setelah membaca bab yang selalu kepanjangan ini, aku juga bawain cuplikan dari kisah Song Series yang lain. Salah satunya ini, nih, Slow Motion karya Tasyayouth.
***
"Saya gak tahu kalau kamu mau jemput saya. Kamu pulang cepat?" tanya Manna. Sengaja, mengorek lebih dalam agar Okka tidak lagi menyembunyikan segala hal, terutama kepeduliannya.
"Saya pulang cepat dan ...."
"Kebetulan lewat?"
"Ya."
Jawaban Okka begitu mantap sehingga siapa pun yang melihat akan merasa yakin. Namun, Manna tahu, Okka kembali berpura-pura tidak peduli. Sesulit itu?
"Terlalu banyak kebetulan di antara kita." Manna tersenyum tipis. "Kebetulan kamu diundang sebagai pembicara di acara talkshow KKK dan tidak memberitahu saya?"
***
See you on next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
29 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro