86 - Risky Thing
Apa harapanku tentang sebuah hubungan?
Bagaimana hubungan itu seharusnya berjalan?
Apakah setiap hubungan harus selalu diawali dengan pengakuan dari kedua belah pihak?
Aku tidak tahu, aku tidak pernah tahu apa yang harus kulakukan. Berkencan dengan Alby jelas jauh berbeda dengan bagaimana aku menjalaninya saat bersama Jeff dulu. Jeff tidak membuatku berusaha terlalu keras, dia selalu menjadi pihak yang lebih banyak memikirkan bagaimana agar kami bisa bertahan. Karena itu, aku tidak pernah tahu apa yang harus kulakukan. Maksudku, apakah bicara terlalu jujur akan membawa masalah? Setelah mengutarakan apa yang kurasakan, aku justru khawatir Alby akan berubah pikiran.
Kejujuranku mungkin akan membuatnya merasa ilfeel. Setelah dipikirkan lagi, itu adalah pengakuan yang memalukan. Tanpa aku berkata kalau aku mencintainya pun, dia sudah bisa menangkap dengan jelas maksud dari perkataanku. Bagian terburuknya, ekspektasiku bisa saja membebaninya. Terlebih lagi aku tidak menjelaskan apa yang kumau. Kuharap dia tidak bertanya, karena aku belum memikirkan apa-apa untuk saat ini.
Memikirkan kejadian hari ini membuat kepalaku terasa berat. Aku memiringkan kepala hingga akhirnya membentur kaca jendela cukup keras. Lengkap sekali penderitaan hari ini.
"Apa kau sungguh baik-baik saja dengan dia bersikap seperti itu?"
Aku ingin sekali mengumpat karena Pete baru bicara setelah beberapa blok dari gedung apartemen Alby. Kesunyian yang tercipta tadi memberiku waktu untuk merenungi banyak hal. Tempat-tempat bagus yang kami lalui juga tidak berhasil mengalihkan pikiranku.
"Yang tadi itu ... kau terlalu jelas memperlihatkan rasa tidak suka padanya." Biar bagaimanapun, aku tidak bisa untuk marah pada Pete. Di samping sudah banyak membantu, dia adalah teman yang baik. Ah, satu-satunya yang terbaik.
Pete diam cukup lama, sampai-sampai aku melirik melalui kaca spion di atas dasbor hanya untuk melihat seperti apa wajahnya sekarang. Aku tidak tahu kalau kata-kataku terlalu rumit sampai dia harus berpikir keras meresponsnya.
"Aku hanya masih tidak bisa percaya kalau pria sepertinya akan benar-benar jatuh cinta padamu."
Jujur saja, aku sudah mendengar kata-kata itu sesaat setelah aku menceritakan bagaimana hubungan kami berubah. Aku bisa mengerti kalau dia mengkhawatirkanku, tetapi aku merasa lama-lama itu terdengar menyebalkan, apalagi di saat seperti ini.
"Apa aku perempuan yang tidak bisa disukai oleh semua orang? Seburuk itukah?"
"Eh? Bukan itu maksudku." Dia buru-buru menyela. "Aku hanya merasa ada ketidakseimbangan ketika melihat kalian bersama."
Baiklah, sekarang aku tertarik mendengar bagaimana pendapatnya tentang itu dan sudah mengubah posisiku menjadi menghadapnya. "Di bagian mana yang tidak seimbang?"
"Gaya hidup kalian. Dia terlalu ekstra."
Aku mencebik, merasa itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan alasan. Mungkin dia lupa kalau Jeff juga seorang pria kaya, yang tidak pernah absen membeli hadiah meski aku tidak butuh dan tidak pernah berbalik memberinya sesuatu.
"Apa itu masuk akal? Aku sudah bisa memakluminya karena, ya, begitulah orang-orang kaya membelanjakan uangnya."
"Dia terlalu angkuh, tidakkah kau merasa begitu?"
Pete berhasil mengingatkanku pada awal-awal pertemuan kami. Keangkuhannyalah yang membuat orang-orang terintimidasi berada di sekitarnya. Untuk yang satu itu, memang benar. Namun, makin ke sini, aku tidak lagi melihat itu sebagai sesuatu yang menyebalkan. Mungkin karena sudah terbiasa?
"Ya. Pete, aku tahu kau berusaha mengingatkanku agar tidak terbuai oleh sikapnya. Tapi aku sedang dimabuk asmara sekarang. Kau tahu apa hasilnya menasihatiku sekarang, 'kan? Seperti menuang air di gelas yang sudah penuh. Aku berjanji tidak akan mengganggumu ketika suatu saat nanti aku menyesali pilihanku sekarang."
Yang kuinginkan hanya menikmati bagian yang menyenangkan selagi bisa.
"Maaf, tidak kusangka sikapku akan terlalu berlebihan. Aku akan selalu siap kapan saja ketika kau membutuhkanku, Ava."
Senyum Pete membuat perasaanku menghangat. Sekali lagi dia membuktikan bahwa aku cukup berharga untuk tetap ada di dunia ini. Mengenal Pete melalui media sosial di internet adalah satu dari sedikit hal-hal baik yang terjadi dalam hidupku. Dan melanjutkan hidup di New York juga adalah keputusan terbaik yang pernah kuambil. Walau sulit pada awalnya, tetapi aku sudah terbiasa dengan itu.
"Ngomong-ngomong, tentang artikel itu, aku masih penasaran. Aku baru mengenal seseorang yang lebih jago menelusurinya kalau memang diperlukan."
"Karena ceritanya lumayan panjang, kau harus membelikanku minum—tentu saja kalau kau memang sangat penasaran."
•••
"Kau serius berangkat sepagi ini?"
Aku baru menggigit roti panggang ketika Nate muncul sambil menguap. Dia masih mengantuk, tetapi aku sudah mendesaknya agar segera bangun dan mandi. Dan sekarang dia menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Sebenarnya kasihan membuatnya harus bangun satu jam lebih awal, tetapi dia sendiri yang memaksa ingin menemani berangkat bekerja hari ini—hari pertama bekerja lagi setelah libur seminggu. Kami akan berangkat dengan taksi pagi ini, mengingat dengan kaki seperti ini akan berisiko kalau aku dibonceng dengan motornya.
Masih membekas di kepalaku betapa paniknya Nate saat tahu kakiku dibungkus gips. Dia tidak bertanya padaku apa yang terjadi, tetapi mencecar Alby seperti seorang inspektur yang sedang menginterogasi pelaku kriminal. Aku berusaha menjelaskan, tetapi dia menyuruhku diam. Dia berhasil membuat Alby kewalahan, tetapi tidak sampai membencinya seperti yang Pete lakukan. Nate mungkin tahu itu akan sangat berisiko karena biar bagaimanapun, Alby adalah atasannya.
Apa jadinya aku tanpa dirinya? Mungkin aku perlu berterima kasih pada Dad dan ibunya karena sudah membiarkan dirinya lahir ke dunia ini.
Aku menelan dulu roti yang sudah kukunyah sebelum menjawabnya. "Iya. Aku ingin berangkat sebelum Alby menjemput." Begitu menyebut namanya, kenyataan pahit menamparku. Sejak aku pulang, dia belum ada menghubungiku sampai pagi ini. Tidakkah dia sedikit merasa cemas apakah aku tiba di rumah dengan selamat?
"Hahh ...." Nate meraih dua lembar roti panggang dan meletakkannya ke piring kosong sebelum menjatuhkan diri di kursi sebelahku. Dia tampak frustrasi, tetapi aku enggan bertanya apa alasannya. "Aku tidak mengerti dengan kalian. Rasanya baru kemarin kau semringah menceritakan tentang keseriusannya, tetapi hari ini seperti orang yang bermusuhan."
Sindirannya membuatku mencebik. Kuakui sikapku ini memang agak kekanakan, bukannya menyelesaikan masalah, tetapi malah menghindar. Namun, aku masih belum siap bertemu dengannya. Dan aku tidak ingin menceritakan apa-apa dulu pada Nate. Dia tidak kalah cerewetnya dari Pete kalau tahu apa yang terjadi kemarin.
"Hei, aku tidak memaksamu untuk pergi bersamaku, 'kan?" Cara yang bagus untuk mengalihkan pembicaraan, Ava.
"Aku ingin menjadi adik yang berguna sedikit. Memastikan kau tiba di kantor dengan selamat adalah prioritasku hari ini."
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum geli karena nada bicaranya yang menggemaskan. Ya, setelah sekian lama, aku bisa kembali menyebutnya menggemaskan. Lagi pula, mau sedewasa apa pun dirinya, akan tetap menjadi adik kecil yang berharga bagiku.
"Jadi segera habiskan sarapanmu dan kurangi mengeluh."
Kami berangkat tepat setelah Nate menghabiskan sarapan dan membungkus sisanya untuk bekal makan siang. Jarang-jarang dia akan membawa sisa sarapan untuk dimakan lagi ke kantor, tetapi aku tidak akan repot-repot bertanya padanya. Dia mungkin ingin berhemat agar tidak pergi makan siang keluar karena sudah bosan dengan menu yang disajikan oleh kantin kantornya.
Ponselku berdering, dan aku buru-buru memeriksanya, karena berharap itu pesan dari Alby. Namun, aku harus menelan ludah kecewa karena itu hanya pesan masuk di pesan grup kerja yang memberitahukan kalau akan ada rapat internal hari ini sebelum istirahat makan siang. Itu bahkan tidak benar-benar berguna, setidaknya untukku yang tidak diperbolehkan untuk ikut.
"... kurasa aku perlu menenangkan diri beberapa waktu."
Kata-kataku semalam tiba-tiba terlintas di kepala. Apa karena itu Alby jadi tidak menghubungiku? Apa dia benar-benar akan menurut seperti itu?
"Kau terus-terusan mengernyit." Celetukan Nate membuatku menoleh padanya.
"Ah, itu, aku hanya sedang merencanakan bagian mana dulu yang harus kukerjakan hari ini."
Aku bisa dengan jelas melihat kalau Nate tidak benar-benar menerima alasan itu, tetapi dia cukup mengerti kalau aku tidak ingin membicarakannya. Dan menit-menit di perjalanan berikutnya diisi dalam kesunyian. Well, tidak benar-benar sepi karena Nate bermain di ponselnya dengan volume suara yang agak keras, sampai-sampai bisa kurasakan sang sopir Uber tersentak karena suara tembakan yang tiba-tiba muncul. Kami cukup bersyukur karena sopir kami tidak memiliki risiko terkena serangan jantung.
Taksi Uber yang kami tumpangi akhirnya tiba di depan gedung kantor. Setelah menegaskan kalau Nate tidak perlu pulang bersamaku juga, barulah aku keluar dari mobil. Cuti yang cukup panjang membuatku harus meyakinkan langkah yang terasa berat ini untuk tetap masuk ke sana. Sulit untuk bisa bekerja sepenuh hati ketika sudah mengetahui seperti apa buruknya perusahaan tempat kerjaku sekarang. Mungkin aku tidak akan peduli soal itu jika saja aku tidak tahu tentang persaingan yang sedang terjadi dengan perusahaan milik Jeff. Tidak hanya Jeff yang akan rugi jika perusahaannya hancur, tetapi para pegawainya juga. Apalagi Hyunjoo dan Dave masih bekerja di sana.
"Ingatlah, Ava, kau masih memerlukan uang mereka." Yah, usaha yang bagus untuk memotivasi diri, kurasa.
Aku sudah memasuki elevator yang pintunya nyaris tertutup rapat, tetapi terbuka lagi karena seseorang akan masuk. Aku harus tersenyum ketika pelakunya adalah Troy. Dia tampak jauh lebih rapi dari biasanya hari ini; setelan jas berwarna perak dengan celana senada dan rambut yang ditata sangat rapi, sepatunya juga dipoles sampai berkilau. Aku tidak menyangka dia juga datang sepagi ini.
"Selamat pagi, Ava. Senang bisa melihatmu lagi di kantor." Senyumnya yang cerah tiba-tiba lenyap begitu matanya tertuju pada kakiku. "Sepertinya liburanmu tidak berjalan cukup baik, apa yang terjadi pada kakimu?"
"Kecelakaan kecil saat baru belajar bermain ice skating." Kupikir Troy tidak perlu tahu bagaimana detail kejadiannya waktu itu.
"Ah, mengatur keseimbangan saat memakai sepatu itu pada awalnya memang sulit." Dia manggut-manggut seperti sesuatu sedang mengambil alih pikirannya. "Aku ingat saat kali pertama mencobanya, Matthew harus kerepotan menggendongku pulang karena aku terus menangis kesakitan. Kalau tidak salah itu saat usiaku tujuh tahun. Aku tidak berani memakai sepatu itu sampai musim dingin berakhir dan baru memakainya lagi di musim dingin berikutnya. Saat itu, Matthew baru benar-benar mengajariku."
Too much information, tetapi aku tetap mendengarkan untuk menghargainya. "Kau cukup beruntung mempunyai saudara yang sabar sepertinya kalau begitu."
Troy tersenyum lebar sekali. "Benar. Dia adalah seseorang yang bisa diandalkan."
Aku jadi penasaran, apa dia benar-benar tidak tahu tentang kecurangan yang saudaranya lakukan? Namun, dengan kedekatan mereka, aku tidak yakin kalau Troy tidak tahu apa pun. Lagi pula, mereka bersaudara, mungkin saja Troy berpura-pura tidak tahu untuk melindunginya. Well, satu hal yang perlu kutekankan untuk diriku sendiri, jangan mudah percaya pada orang lain.
"Ngomong-ngomong, kau sangat rapi hari ini. Apa ada sesuatu?"
Dia menghadap dinding elevator di sisi kanannya dan mulai membenahi dasinya. Padahal dia selalu membiarkan kancing teratas kemejanya terbuka daripada dililit dasi seperti itu.
"Hari ini ada pertemuan dengan orang-orang dari brand CG. Matthew akan mempresentasikan konsep proyek bulan ini sebelum mereka memilih siapa yang terbaik."
"Penilaiannya hari ini?"
"Benar. Tunggu, bagaimana kau bisa tahu bahwa akan ada penilaian?"
Ya, Tuhan, aku lupa kalau tidak diizinkan untuk tahu tentang proyek itu dan sekarang justru keceplosan. "Aku ... mendengar sedikit dari teman-temanku, secara tidak sengaja. Mereka benar-benar bekerja keras untuk keberhasilan proyek itu."
Dia mengernyit pada awalnya, sampai membuatku mengira dia mulai curiga padaku, tetapi setelahnya hanya mengangguk. "Kita pasti berhasil, aku akan mentraktirmu untuk merayakannya."
Aku tertawa setengah hati demi terlihat memberi dukungan padanya. "Aku menantikannya."
Tidak. Aku tidak menantikan apa pun tentang hasil akhir proyek itu. Aku tidak bisa tenang sekarang, apalagi aku belum sempat memperingatkan Jeff tentang kecurangan Matthew. Mungkin aku tidak memiliki tanggung jawab atas apa pun yang terjadi pada perusahaannya, tetapi aku yakin akan menghabiskan sisa hidupku dengan rasa bersalah jika tetap bekerja di perusahaan yang menjatuhkan perusahaan lain.
Kalau aku berhenti, aku akan bekerja di mana?
"Ava."
"Y-ya?" Aku terbata karena terkejut oleh suaranya. Astaga. Elevator ini kenapa rasanya bergerak sangat lambat?
"Aku mengikuti saranmu, minggu lalu aku mengirimkan manuskrip pertamaku ke penerbit."
"Oh, ya?" Harusnya aku bisa bereaksi yang lebih bagus dari ini, mengingat aku memang sempat mendukung hobinya yang satu itu. "Semoga itu akan menjadi buku yang best seller. Aku menunggu kabar baik darimu dan akan membeli satu kalau sudah dicetak. Jangan lupa untuk menandatanganinya."
Troy tergelak. Aku bisa saja terlihat aneh baginya karena bicara terlalu menggebu-gebu.
"Tenang saja, Ava. Cetakan pertama akan kuhadiahkan untukmu tidak lupa dengan cap jempolku." Dia bergurau dengan menggoyangkan jempol kanannya.
"Terima kasih, kalau begitu." Dan elevator berhenti di lantai di mana ruanganku berada.
•••
Kurasa aku mulai terbiasa dengan kesendirian ini. Orang-orang sedang rapat, meninggalkan aku bersama suara jarum jam dan ketukan jariku pada mouse. Sebenarnya aku perlu kopi, tetapi agak merepotkan mondar-mandir dengan tongkat. Jadi, aku harus menahannya sampai waktu makan siang tiba.
Lagi, proyek itu mengganggu pikiranku. Kalau penilaian di sini dilaksanakan hari ini, apakah di tempat Jeff juga sama? Kupikir tidak ada salahnya memanfaatkan waktu yang tersisa untuk memberitahunya. Setidaknya, aku sudah berusaha meski tahu sangat terlambat.
AvaClair – Hei, Jeff.
AvaClair – Aku ingin memberitahumu sesuatu.
Jeff – Senang mendengar kabar darimu. Ada apa?
Kurasa dia tidak sedang sibuk sekarang karena pesanku segera dibalasnya.
AvaClair – Apa hari ini sedang dilaksanakan penilaian dari brand CG?
Jeff – Aku tidak ingat pernah menceritakan soal itu. Tapi, giliran kami akan dilakukan besok.
Jeff – Ada apa?
AvaClair – Maaf, aku sangat terlambat memberitahumu. Ander-Ads berbuat curang untuk proyek ini, bahkan memanggil orang dalam untuk memberikan bocoran tentang apa yang mereka mau.
AvaClair – Kudengar mereka selalu menghancurkan perusahaan pesaing.
Jeff – Bagaimana kau bisa tahu?
AvaClair – Aku bekerja dengan mereka.
AvaClair – Jeff, aku sama sekali tidak dilibatkan dengan proyek itu, jadi jangan salah paham dulu. Tidak hanya mengundang orang dalam, tapi dia juga membuatmu terkecoh dengan membuat utas tentang berita pertunanganmu. Kau perlu berhati-hati, Jeff.
Sepertinya Jeff cukup terkejut dengan informasi itu sampai-sampai tidak kunjung membalas pesanku padahal sudah membacanya. Ini masalahku, selalu merasa gelisah ketika tahu seseorang yang kukenal sedang dalam masalah. Aku hanya tidak ingin menjadi orang jahat, itu saja.
Perhatianku teralihkan begitu orang-orang yang berada di timku kembali. Aku tidak tahu mereka sedang membicarakan apa, tetapi aku sempat mendengar nama Alfred MacKenzie disebut-sebut akan datang. Tentu saja aku ingat siapa pria itu. Orang-orang masih sibuk mengobrol dengan satu sama lain, tetapi isi kepalaku jauh lebih berisik lagi. Seharusnya aku bisa memanfaatkan kedatangannya untuk membongkar kecurangan perusahaan ini, tetapi bagaimana caranya? Tidak mungkin aku akan menyebarluaskan tentang itu ke seisi kantor mengingat semua orang mewajarkan hal itu.
Ugh! Beginikah rasanya ketika menjadi benar-benar berbeda?
Sementara itu, Jeff juga tidak kunjung membalas pesanku, padahal sudah satu jam berlalu dan aku sedang menikmati makan siang di kafe kantor. Sempat kudengar kalau tim penilai beserta si Alfred itu sedang menyaksikan presentasi Matthew dan sampai sekarang belum pergi. Sayangnya, aku tidak bisa benar-benar berpikir apa yang bisa kulakukan karena Lauren beserta tiga wanita lainnya agak berisik.
"Ava," panggil Lauren disertai pukulan di lenganku. Aku hanya merespons dengan gumaman karena mulutku penuh makanan. "Kau belum bercerita tentang bagaimana awal kau bertemu Alby. Dia mantan kekasih Claudia Avery, bukan?"
Damn it! Dia membuatku mengingat kejadian semalam dan fakta bahwa Alby tidak kunjung mengirimiku pesan sampai sekarang. Padahal aku sudah berhasil teralihkan dari itu dengan memikirkan masalah pekerjaan. Suasana hatiku juga makin buruk karena dia juga menyebutkan nama mantan kekasihnya. Oh, Lord, bisakah hari ini berjalan sedikit lebih baik?
"Hush! Kau seharusnya tidak menyebutkan nama wanita itu." Stacey, wanita yang duduk di sebelah Lauren menegur. Sayangnya, cara dia mengatakan itu seolah-olah aku akan sakit hati karena mantan kekasihnya jauh lebih memesona daripada aku.
"Hei, tidak apa-apa. Lagi pula, mereka pernah bersama adalah sebuah fakta. Apa pun reaksiku tidak akan mengubah itu." Aku bicara begitu karena mereka mulai memberi tatapan yang sarat akan rasa kasihan. Memangnya semenyedihkan apa aku kalau dibandingkan dengan Claudia?
"Berarti, tidak masalah kalau kami minta bercerita sedikit, bukan?" Aku ingat, Jessica ini yang pertama kali menyadari keberadaan Alby di kantor. Dan dia memang terlihat paling penasaran jika dibandingkan dengan tiga lainnya.
"Um, kami ... bertemu di acara Food Festival bulan Mei lalu. Dan itu terjadi begitu saja, kami akhirnya bersama." Aku tersenyum sendiri ketika ingat saat kali pertama aku melihatnya mengukur suhu kopi dengan termometer. Itu sangatlah konyol.
Namun, Stacey justru berdecak tidak puas dengan potongan kisah singkat itu. "Ayolah, ceritakan lebih spesifik."
Aku hanya sedang menghindari tatapan Stacey ketika tidak sengaja menemukan rombongan dari brand CG keluar dari elevator jauh di seberang pintu masuk kafe kantor. Ini kesempatanku, tidak boleh disia-siakan. Aku buru-buru memosisikan tongkat di tangan dan mencoba berdiri dengan hati-hati.
"Maaf, aku harus pergi, akan kuceritakan pada kalian nanti, sampai jumpa."
Aku buru-buru pergi. Pertanyaan mereka pun kuabaikan. Takada lagi yang kupikirkan selain menemui orang-orang itu meski aku tidak tahu pasti apa yang akan kulakukan. Kuharap aku bisa menyusul mereka; orang-orang yang berjalan normal tanpa bantuan tongkat sepertiku. Sungguh, aku ingin sekali melempar tongkat ini dan berlari mendatangi mereka. Sayangnya, itu tidak mungkin karena sudah pasti setelahnya aku akan mengesot.
Meski aku sudah berjalan secepat yang kubisa, tetapi rasanya jarak kami masih sangatlah jauh. Napasku sudah terengah, orang-orang yang kulewati memandang dengan wajah keheranan. Mungkin aku mereka menganggapku sebagai seseorang yang terlalu memaksakan diri, bahkan jika aku terjatuh pun tidak satu pun dari mereka yang berniat untuk menolong.
Sial, mereka sudah sangat dekat dengan pintu keluar.
"Alfred MacKenzie!" Sadar bahwa aku tidak akan bisa menghampiri mereka, aku pun berseru. Tidak hanya orang-orang itu yang terkejut, tetapi aku juga. Tidak pernah kuduga akan mampu berteriak senyaring itu sampai berhasil membuat mereka berhenti. Aku segera menghampiri mereka selagi ada kesempatan.
"Halo, Nona, ada yang bisa dibantu?" Pria bernama Alfred itu bertanya begitu aku sudah berada sangat dekat dengan mereka. Bola matanya bergulir takut-takut pada pria yang lebih tinggi di sebelahnya. Gesturnya mencurigakan meski tubuhnya tampak rileks.
Aku belum bicara, tetapi masih berusaha menetralkan napas. Pria yang tampaknya disegani oleh Alfred kemudian menyodorkan satu botol air mineral utuh kepadaku. Dia pria yang peduli, tetapi aku menolak kebaikannya dengan gerakan tangan.
"Maaf karena aku menghadang kepergian kalian dengan cara yang tidak sopan." Aku terpaksa memperlihatkan senyum terbaikku pada mereka. "Aku ... aku penggemar Alfred. Lihat, kemeja ini rancangannya. Aku beli saat baru dirilis." Aku mengangkat tanganku yang bebas, sekadar untuk memperlihatkan bagian pergelangan tangannya yang memiliki desain yang berbeda dari kemeja dari brand lain.
Kebetulan yang beruntung untukku. Alby membeli kemeja ini untukku ketika dia menginap di apartemenku. Ini memang dari brand CG, tetapi aku tidak tahu apakah memang Alfred yang merancang ini, tetapi kuharap aku bisa terlihat meyakinkan sebagai penggemar palsunya.
"Aku tidak ingat apakah pernah mendesain kemeja yang itu, tapi terima kasih atas apresiasimu terhadap brand kami." Alfred tampak semringah. Sepertinya aku berhasil membuatnya tersanjung.
"Kalau Anda memang menyukainya, kuharap Anda berkenan meninggalkan ulasan di situs kami." Pria yang disegani itu akhirnya bicara.
Aku mengangguk kuat, masih memainkan peran sebagai penggemarnya yang penuh semangat. "Aku akan melakukannya. Um, sebenarnya, aku ingin mengucapkan terima kasih pada Alfred, karena dia sudah berbaik hati membimbing kami untuk mengerjakan proyek ini. Dia ... memberikan insight yang luar biasa hingga kami bisa sampai di titik ini."
"Apa maksud Anda, Nona?"
Oke, sekarang aku merasa terintimidasi dengan tatapan si pria yang disegani. Tindakanku ini memang berisiko, tetapi aku tidak bisa melewatkannya. "Alfred datang dan memberikan pengarahan pada kami. Itu benar-benar sangat membantu."
Pria itu tersenyum ramah, tetapi dengan tatapan yang dingin. "Kami tidak pernah mendatangi perusahaan terkait di luar jadwal penilaian."
"Ya, mungkin kau salah orang. Seseorang yang mirip denganku, misalnya." Akhirnya ketua tim kreatif sialan ini bicara juga setelah dilanda rasa panik karena aduanku.
"Aku tidak berbohong. Sebentar."
Dengan sebelah tangan yang bebas, aku berusaha meraih ponselku dengan susah payah dari dalam kantong celana. Mereka tampak tidak sabar menungguku dan mungkin akan meninggalkanku seandainya aku terlambat tiga detik. Astaga! Memainkan ponsel dengan satu tangan juga merepotkan.
"Lihat ini." Aku menunjukkan layar ponselku pada mereka. Meski hanya sebentar, tetapi aku yakin itu sudah sangat cukup untuk membuktikan bahwa Alfred memang pernah datang. "Di sudut kiri atas layar adalah waktu ketika video itu kurekam. Aku sangat kagum padamu sampai tidak bisa menahan diri untuk tidak merekam."
Wajah Alfred langsung merah padam, sementara pria yang posisinya lebih tinggi darinya itu tampak sedang menahan amarah.
"Terima kasih, Nona. Sekarang itu akan menjadi urusan internal kami. Sampai jumpa." Pria tinggi itu memimpin rombongannya pergi dari sini. Namun, Alfred sengaja tetap tinggal hanya untuk melayangkan tatapan tajamnya padaku.
Sekarang dia mendekat sampai tersisa satu langkah saja di antara kami. "Kau baru saja menghancurkan kariermu, Nona." Dia mendesis. Meski terdengar seperti ancaman, tetapi aku masih dengan jelas menyadari ketakutannya.
"Tidak. Kurasa seseorang akan memiliki waktu luang untuk menikmati uang kotornya."
Kuharap apa yang kulakukan tadi bisa berarti sesuatu, karena setelah ini aku harus menanggung risiko yang sangat fatal. Well, Matthew jelas tidak akan tinggal diam setelah mengetahui apa yang terjadi hari ini.
"Nona Clairine." Aku berbalik ketika seorang wanita yang kuingat menempati meja resepsionis memanggil. "Anda diminta ke ruangan Tuan Anderson sekarang.
Speak of the devil.
•••
See you on the next chapter :)
Lots of love, Tuteyoo
26 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro