Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

85 - Getting to Know Them Better

"Kasihan sekali. Itu ... pasti sangat sakit."

"Sayang, kau sedang bergurau? Itu sampai dibungkus, berarti mata kakinya sudah mau lepas."

"Bisakah mengatakan sesuatu yang terdengar lebih halus? Aku jadi tidak sanggup melihat Ava sekarang."

"Sayang, aku hanya bercanda. Itu untuk menopang kakinya saat berjalan."

"Astaga! Dia hanya terkilir dan kebetulan sangat parah, tidak sampai patah seperti ketika aku menendang bola dulu. Oh, dan kalian malah mengomeliku karena dianggap bermain tidak hati-hati." Pete akhirnya bicara setelah menyaksikan perdebatan pasangan pengantin baru kami. Wajahnya tertekuk, seandainya ada minuman beralkohol di sini, pasti dia akan menjadi orang pertama yang menenggaknya.

"Joo, kau menatap seperti kakiku sudah membusuk." Aku menegur wanita itu karena tidak berhenti menatap kakiku yang diselonjorkan di sofa dengan wajah ngeri.

"Aigoo ... aku sedang membayangkan bagaimana kau terjatuh." Akhirnya wanita Korea itu menatap wajahku. "Siapa yang membuatmu seperti ini?"

"Pertama, mari kita interogasi prianya."

Pete, disusul Hyunjoo dan Dave, melayangkan tatapan mereka pada Alby yang baru dari dapur. Tangan pria itu membawa nampan yang terisi penuh meski penampilannya sama sekali tidak terlihat seperti asisten rumah tangga. Maksudku, well, sulit untuk tidak memujinya jika terus berpenampilan baik. Aku yakin bukan hanya aku yang melihatnya seperti model pria yang baru keluar dari majalah, mengingat Hyunjoo juga kesulitan berkedip meski ada sang suami di sampingnya.

Lagi pula, Hyunjoo yang lebih dulu terpesona padanya. Jadi aku tidak akan menganggap rasa kagumnya sebagai ancaman atau menjadikannya alasan untuk merasa cemburu.

"Apa maksudmu aku harus diinterogasi?" Ada sedikit nada tidak terima di suaranya ketika merespons ucapan Pete. Dan begitu dia berada di hadapannya untuk meletakkan nampan di meja di antara mereka, Pete hanya mengangkat tangan sebagai tanda damai.

Satu hari setelah kepulanganku dari Jackson Hole—dan itu adalah hari ini, ketiga temanku memaksa ingin bertemu. Aku sudah setuju ke mana pun kami akan bertemu, sayangnya Alby mengetahui rencana kami dan menawarkan rumahnya sebagai tempat berkumpul kami. Dia tidak membiarkanku pergi meski aku masih sanggup berjalan menggunakan tongkat.

Aku benar-benar harus membiasakan diri dengan perhatian berlebihannya. Bahkan Jeff yang mengaku sangat mencintaiku tidak sampai seposesif itu. Awalnya aku sulit memercayai dia akan sebaik ini mengundang teman-temanku ke rumahnya, tetapi dia berhasil meyakinkanku dengan alasan bahwa kemajuan hubungan kami mengharuskannya untuk mengenal mereka juga.

Dua hari lalu aku mempertanyakan tentang kesepakatan dan poin-poin di dalamnya—tentu saja aku ingin hubungan yang normal tanpa obsesi atau ambisi untuk sesuatu yang lain—dan diputuskan bahwa kami tidak akan membicarakannya lagi. Terserah rencana itu akan berhasil atau tidak. Dan seandainya Claudia memang datang dan memohon, dia akan menganggapnya sebagai bonus. Setelah itu barulah aku benar-benar percaya bahwa dia mencoba serius padaku.

Walau rasanya situasi ini terasa sedikit aneh. Aku melihat Alby yang tanpa ambisi itu seperti hidangan tanpa bumbu. Hambar.

"Ava selalu menolak bermain ice skating, bisa jadi ada unsur paksaan dan berujung dirinya terjatuh. Yah ... walau ice skating mirip seperti memakai sepatu roda, akan tetapi di lintasan yang berbeda—semudah itu."

Aku tahu Pete hanya sedang menunjukkan sisi protektifnya sebagai sahabat, bukan untuk memancing emosi Alby. Namun, dia juga tidak menyembunyikan rasa tidak sukanya—untuk ini mungkin hanya aku yang menyadari, terlebih lagi dia tahu bagaimana hubungan kami berawal. Dan yang lainnya sama sekali tidak menaruh curiga padanya. Justru Hyunjoo dan Dave mengangguk, turut mendukung ucapan Pete.

Alby duduk di sebelahku sambil menatap dengan kening yang berkerut. Dia mungkin mulai kewalahan menghadapi sikap teman-temanku yang penuh rasa peduli, dan aku hanya mengedikkan bahu ketika dia menatapku penuh tanya. Lagi pula, siapa yang mengundang mereka ke rumahnya? Dia sendiri yang berkeinginan agar bisa mengenal baik mereka.

Seandainya senyumku bisa diterjemahkan sekarang, ia akan berarti nikmatilah selagi hangat.

"Ini seperti ... aku sedang berusaha mendapat restu untuk memiliki Ava." Dia mengeluh pada tiga temanku, tetapi tatapannya belum beralih dari wajahku sejak tadi, bahkan tersenyum manis sekarang.

"Jangan heran kalau kami penasaran, dia sudah banyak melakukan hal-hal yang tidak disukainya semenjak berpacaran denganmu."

"Wow, itu terlalu spesifik." Aku mengomentari ucapan Hyunjoo dengan rasa takjub. Betapa perhatiannya dia padaku.

Hyunjoo menjentikkan jari. Di antara kami semua, mungkin dia yang paling antusias di sini. "Bermain ice skating, mengenakan gaun, heels, mendatangi pesta amal—"

"Jangan lupa kau membuatnya minum bir dan berujung pingsan di bar."

Baiklah, aku akan menyebut itu sebagai cara terbaik untuk membuat Hyunjoo bungkam. Sudah lama aku tidak melihat seringai Alby yang mengintimidasi seperti yang diperlihatkannya sekarang.

"Sayang, kita semua tahu kalau kau hanya ingin mengajaknya melepaskan tekanan." Dave menyentuh lengan Hyunjoo untuk mendapatkan perhatiannya. Istrinya sedang dalam mode syok, apalagi setelah diingatkan tentang itu, dia akan kembali merasa bersalah padaku setelah ini.

"Kupikir Ava hanya tidak terbiasa, jadi agak sensitif dengan alkohol." Hyunjoo memandangku dengan wajah cemberut. Dan aku hanya bisa tersenyum dan tanganku memukul udara sebagai isyarat agar dia merasa tenang.

"Tolong abaikan mereka dulu, Alby, pertanyaanku belum terjawab." Tidak hanya mengatakan itu, Pete juga menggeser badan menjauhi pasangan suami istri tersebut.

Alby mendesah cukup panjang sebelum mulai bicara. "Ava berhasil menjaga keseimbangannya dengan baik di atas sepatu itu, dan aku merasa sangat bersalah karena melepas tangannya padahal sudah berjanji tidak melakukannya. Claudia yang kehilangan keseimbangan muncul dari sisi kanan dan saat terpeleset, ujung sepatunya mengarah pada kaki Ava. Kurasa dia bermain terlalu laju tanpa mempertimbangkan waktu yang diperlukan untuk berhenti sebelum menabrak orang lain."

Ada kesal yang tersirat di suaranya, padahal aku sudah berkata agar dia berhenti memikirkan soal itu. Mungkin aku sempat lupa bagaimana Alby. Untuk urusan patah hatinya saja dia berharap bisa membalas dendam. Aku tentu tidak akan heran kalau dia bermaksud membalas Claudia karena kecelakaan itu.

Satu dengkusan tawa yang keras dari Pete membuat alisku naik sebelah. Dia memberi reaksi terbaik dari dua teman kami lainnya. Hyunjoo dan Dave sudah seperti orang kaget. Mungkin yang mereka pikirkan adalah rasa sakit yang kurasakan setelah kejadian itu.

"Claudia yang jago bermain itu terpeleset? Aku tahu kecelakaan seperti itu bisa terjadi pada siapa saja, tapi yang kutahu dia lebih memilih risiko menjatuhkan dirinya sendiri daripada menjadikan orang lain sebagai korban." Pete benar-benar menganggap itu sebagai sesuatu yang tidak wajar.

"Bagaimana kau bisa sangat yakin soal itu?" Alby meremas tanganku dengan lembut tiba-tiba, entah untuk melampiaskan apa.

"Aku pernah menyukainya saat masa-masa senior, tapi aku berhenti memperhatikannya setelah tahu dia tidak ada bedanya dari orang elite lainnya yang malu berteman dengan orang-orang kecil seperti kami."

Aku hanya bisa tersenyum pasrah dan mengangguk untuk membenarkan ketika Pete menatapku.

"Claudia memang cantik, kupikir menerima banyak pujian seperti pompa yang meniup balon makin besar, begitu pula dengan kepalanya. Tapi aku pernah bertemu dengannya saat interviu untuk kolom tamu spesial majalah dan dia tipe orang yang sulit dibenci, kepribadiannya sangat hangat." Hyunjoo memang selalu melihat banyak hal dari sisi yang baik. Mungkin kalau kubilang Claudia merencanakan hal buruk tanpa bukti, dia akan sulit memercayainya.

"Bisa kita tidak bicara tentang hal-hal baik tentangnya dulu? Aku sudah melewati penyesalan yang luar biasa dan tidak ingin ingat hal-hal baik apa yang sudah membuatku suka padanya dulu." Pete mengakhirinya dengan decakan frustrasi.

"Seburuk itukah dia? Dan silakan nikmati camilannya dan minum minumannya, kalian terlalu kaku."

Alby mungkin menyadari perubahan raut wajah Pete ketika dia mempertanyakan sikap Claudia hingga buru-buru mengalihkan perhatian mereka dengan apa yang tersaji di meja. Well, dia tidak tahu saja, mereka hanya sedang menahan diri karena berada di tempat baru—milik orang asing pula—dan tidak ingin dianggap lancang. Namun, setelah dipersilakan, mereka bahkan tidak lagi peduli dengan pertanyaan Alby tadi dan menikmati semuanya. Alby terlalu baik menyajikan bir kaleng bermerk yang jarang dijual di minimarket, tentu mereka akan langsung menyambarnya. Belum lagi camilannya, dia menyediakan nachos dengan banyak variasi untuk isinya.

Melihat mereka menyantap dengan lahap seperti belum sempat makan siang membuatku kenyang meski tidak menyentuh apa pun. Dan Alby, sudah beberapa kali mengernyit karena menyaksikan mereka makan sambil saling bergurau.

"Apa mereka selalu seperti ini?" Dia bertanya padaku dengan suara pelan yang hanya bisa kudengar, tetapi matanya masih tertuju pada mereka.

"Memangnya siapa yang bisa menolak sajian enak?"
Dia menatapku dan mencebik. "Kau tidak makan satu pun?"

"Melihat mereka makan jauh lebih menarik."

Alby mencondongkan badan, tidak lagi melingkari bahuku dengan lengannya, tetapi dipakai untuk menumpu kepala pada puncak sandaran sofa. Dia memberiku pemandangan yang bagus—dadanya yang bidang menghadap ke arahku, dan aku ingat seberapa keras itu ketika ... lupakan. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengingat saat-saat itu. Wajahku terasa panas sampai perlu minum. Selain bir, Alby juga menyajikan kola dalam kemasan kaleng.

"Apa yang kulihat sekarang pun jauh lebih menggoda untuk dimakan."

Astaga!

"Hei, Ava, kau kenapa?"

"Kau baik-baik saja?"

"Bersihkan dengan ini."

Hyunjoo menyodorkan tisu padaku. Sementara Pete dan Dave masih dengan wajah kaget menungguku untuk menjawab pertanyaan mereka. Andai bukan karena kata-kata Alby, aku tentu tidak akan menyemburkan kola dari mulutku. Suaranya yang nyaris mirip desahan itu bahkan membakar telingaku, pasti sudah merah sekarang.

"Tidak apa-apa, aku hanya tersedak." Aku mencoba tersenyum hanya agar mereka berhenti khawatir. Tentunya aku tidak lupa aku kembali menyelesaikan urusanku dengan Alby. "Bisa-bisanya kau berkata begitu."

"Apa? Kau saja yang berpikiran buruk." Dia benar-benar menyebalkan dengan bersikap seolah-olah aku sudah salah paham, tetapi tidak berhenti menggodaku. Aku sampai menepis tangannya yang belum berhenti mengusap punggungku.

Bola matanya tiba-tiba melebar, seperti baru teringat sesuatu. "Ngomong-ngomong. Aku memesan masakan Italia, kalau kalian mau makan malam bersama di sini. Dan kuharap kalian cocok dengan masakan itu."

Wow. Aku tidak tahan untuk tidak tercengang saat ini. Kukira dia akan merasa risi dengan keributan yang mereka timbulkan, tetapi justru mempersilakan mereka untuk tetap berada di sini lebih lama lagi.

"Masakan Italia benar-benar menggoda, sayangnya kami harus makan malam bersama keluarga hari ini. Kami akan pulang kira-kira pukul—" Dave memandang arlojinya sebentar dan entah sesulit menghitung waktu sampai keningnya berkerut. Yah, dia memang agak payah hitung-hitungan. "—oh, kami harus pergi sekarang. Perjalanan ke rumah orangtuaku memakan waktu satu setengah jam dari sini."

Begitu mendapat sinyal kalau harus segera pulang, Hyunjoo beranjak dari kursi. "Maaf, Alby, kami tidak bisa tinggal lebih lama, apalagi membereskan sisa-sisanya."

"Tidak masalah, ini tanggung jawabku sebagai tuan rumah."

Mereka pulang. Hyunjoo sempat kebingungan mencari di mana posisi pintu keluar, padahal memang tidak ada selain elevator dan sebuah pintu yang hanya bisa diakses dari luar. Akhirnya Alby mengantar mereka menuju elevator, sedangkan aku hanya bisa melambai dari kejauhan. Dengan kaki seperti ini, Alby jelas tidak membiarkanku berjalan ke sana kemari untuk hal-hal yang dianggapnya tidak terlalu penting.

Alby kembali setelah memastikan elevatornya bergerak turun. Dia menurunkan sandaran sofa yang kududuki hingga posisiku menjadi berbaring dan segera merangkak sebelum aku sempat bangkit. Bagaimana mungkin aku tidak melotot karena perbuatannya sekarang. Meski seperti pria buas, tetapi dia tidak benar-benar melakukan hal-hal yang tidak membuatku nyaman. Dia hanya senang menggodaku, tanpa tahu kalau jantungku bisa meledak karena terus-terusan dibuat berdebar.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan? Tersisa kita berdua saja di sini." Dia membisikkan itu sembari menggesekkan hidungnya ke hidungku.

Dengan tenaga seadanya, aku mendorong dadanya agar menjauh. Aku baru akan meresponsnya, tetapi sudah didahului oleh dehaman keras seseorang dari sudut ruangan.

"Jangan lupa kalian masih punya satu tamu yang harus dilayani."

Oh, Pete.

•••

Satu makan malam penuh hidangan lezat berakhir. Porsi untuk lima orang dihabiskan dengan hanya kami bertiga. Pete benar-benar tidak melewatkan satu sendok pun tersisa, dia memanfaatkan makanan lezat yang gratis dengan sangat baik. Piring kotor di hadapannya lebih banyak daripada kami.

Alby dan Pete bersama-sama memindahkan peralatan makan kotor ke dishwasher. Sementara aku yang kesulitan berpindah-pindah posisi ini kedapatan tugas membersihkan meja—mengumpulkan sisa-sisa bungkusnya dan mengelap permukaan meja sampai tidak lagi tersisa minyak atau cipratan bumbu masakan. Setidaknya, aku masih cukup berguna.

Pete menyusulku ke ruang tengah lebih dulu dari Alby. Sebelum makan malam, kami sudah merapikan sisa jajanan dan minuman di ruang tengah agar setelahnya bisa lanjut bersantai.

"Kau mau pulang bersamaku? Aku belum pulang karena menunggumu." Pete bertanya ketika Alby sedang tidak ada di sini.

"Boleh, mungkin sebentar lagi aku pulang." Tawaran Pete jelas bukan sesuatu untuk disia-siakan, mengingat besar kemungkinan Alby akan menahanku di sini seperti yang sudah-sudah.

"Jadi, hubungan kalian sungguhan sekarang?"

Itu pertanyaan yang berisiko meski dia menanyakannya dengan suara yang pelan. Meski belum terlihat tanda-tanda kehadiran Alby, tetapi aku tetap memindai seisi ruangan dengan rasa gelisah.

"Bisa kita bicarakan itu saat di jalan pulang?"

Dia hanya mengangguk. Semudah itu membujuk Pete.

"Ngomong-ngomong, kau belum menceritakan alasanmu mencari tahu tentang artikel waktu itu."

"Artikel apa?"

Ah, damn. Bagian tersulit dari rasa ingin tahu itu terjadi. Aku tidak ingin Alby tahu kalau aku sedang membantu Jeff. Dan dia baru saja mendengarnya ketika baru kembali dari toilet. Aku dan Pete saling bertukar pandang, berkomunikasi tanpa suara tentang apakah kami harus membicarakan tentang itu di sini, dan aku memutuskan untuk tidak membicarakannya. Hanya Pete yang cukup peka untuk bisa menerjemahkan maksud tatapanku.

"Untuk keperluan pekerjaannya. Dia ingin tahu artikel yang pernah ibuku tulis sewaktu masih muda. Kau tahu, saat internet belum tersebar seluas sekarang."

Aku sempat mengernyit dengan alasan yang dibuat-buat Pete, tetapi dia tidak berbohong soal ibunya. Dalam waktu yang singkat, dia bisa menjadikan itu alasan dan mengaitkannya dengan pekerjaanku meski aku bukan penulis artikel.

"Itu bagus. Kudengar orangtuamu sangat banyak membantu Ava. Apakah bagus kalau aku mengundang keluargamu untuk makan malam? Sekalian untuk memperkenalkan diriku."

"Apa?" Aku bisa menerima alasannya bertemu dengan tiga teman dekatku, tetapi tidak dengan menemui orangtua Pete. Sepenting apa itu? Kenapa dia sudah ingin mengenal orang-orang terdekatku seolah-olah yakin bahwa kami akan bersama selamanya?

Aku tidak suka ketika ada terlalu banyak orang yang tahu tentang dengan siapa aku menjalin hubungan. Tidak, tidak hanya itu, tetapi risi sekali rasanya ketika orang-orang mengetahui terlalu banyak tentangku dan memberi tatapan yang menilai. Tidak ada yang bagus dari penilaian mereka semua.

Lagi pula, untuk apa menunjukkan semua itu pada orang yang jelas-jelas tidak perlu untuk tahu? Itu hanya akan memberi mereka bahan gunjingan ketika merasa kesal karena satu kesalahan yang kuperbuat. Bahkan hal baik-baik akan terlihat buruk ketika mereka sudah memasang kacamata kebencian. Apalagi diketahui kalau aku mengencani pria most wanted seperti Alby, tidak sedikit orang yang akan menilai kalau kami tidak cocok.

Tahu lebih sedikit, lebih baik.

"Hei, Bung, bertemu orangtuaku berarti kau serius pada Ava. Itu seperti kau sedang menemui calon mertua, tahu."

Nada tegas di suara Pete tidak pernah kudengar sebelumnya. Aku tidak mengira dia akan serius tentang tidak menyukai Alby. Kurasa lama-lama berada di sini hanya akan memancing keluar emosinya.

"Itu sangat intens." Alby membalas dengan tenang. "Aku tahu kau peduli pada Ava sebagai teman dekatnya, tapi aku tidak akan membuangnya seperti yang Jeffrey lakukan."

Andai Alby tahu, bukan itu yang Pete permasalahkan. Saat aku mengundang mereka ke rumah Alby, Pete mengirim pesan langsung padaku dan mempertanyakan kenapa kami harus ke rumahnya. Aku menceritakan bagaimana Alby menyatakan perasaannya dan Pete langsung mengernyit curiga. Dia tidak sepenuhnya mendukung hubungan kami. Bagaimana jika Alby masih belum benar-benar melupakan Claudia dan rencananya?

Pete bahkan membuatku overthinking dengan dugaan kalau Alby hanya terbawa suasana saat liburan. Kami banyak bertemu, apalagi dia juga tahu tentang vlog yang rutin diunggah Claudia di kanal Youtube-nya. Bisa saja dia ingin membalas kedekatan mereka, membuat mereka makin cemburu karena dengan menyatakan perasaan, akan membuat kami lebih leluasa memamerkan kemesraan.

Terkadang aku merasa Pete yang terlalu jujur akan pemikirannya sedikit melukaiku. Namun, dia cukup kritis untuk hal-hal tertentu dan aku sangat mengandalkan semua itu.

"Baiklah, aku akan menceritakan yang sebenarnya." Daripada mendengar mereka berdebat dan berujung mereka tidak jadi lebih dekat, lebih baik digunakan untuk hal lain. Lagi pula, tidak mungkin aku akan terus menyembunyikannya kalau Alby selalu ingin tahu apa yang aku lakukan. Mungkin dia bisa membantu.

"Aku sedang mencari tahu tentang siapa yang menulis berita perkelahian Jeff dan Claudia waktu itu. Jeff menduga Claudia punya seseorang untuk menulis berita tentang mereka dari kacamata fiktif."

Aku memperhatikan reaksi Alby yang agak aneh. Terkejut, tidak percaya, kesal, yang pada intinya adalah semua hal yang menggambarkan ketidaksukaan. Yang aku tidak mengerti, apakah karena dia percaya Claudia mempunyai rencana buruk, atau karena kami sedang membicarakannya? Oh, bisa juga karena dia tidak suka aku membantu Jeff.

"Ada buktinya?" 

"Kebocoran video kalian saat masih bersama. Seperti katamu, hanya kau dan Claudia yang memilikinya. Untuk berita mereka berkelahi, Claudia sama sekali tidak memedulikannya. Agensinya yang bergerak untuk menutupi itu."

"Agensi memang memiliki kewajiban untuk melindungi model di bawah naungannya. Bisa saja kebocorannya berasal dariku. Apa kau tidak berpikir ke sana?"

Aku terdiam. Satu hal yang menurutku sangat menyakitkan adalah ketika kita sudah percaya sepenuhnya pada seseorang, tetapi balasan yang kita terima justru sebaliknya. Daripada langsung melontarkan dugaan lain, akan lebih baik kalau dia menggali lebih dulu alasan dari tuduhan itu. Maksudku, aku baru membuka topik obrolan tentang itu, tetapi dia sudah mematahkannya.

"Kau melindunginya, alih-alih percaya pada kekasihmu sendiri?" Pete memicing pada Alby. Dia bahkan menegaskan statusku padanya.

"Perasaanku saja atau kau memang tidak menyukaiku sejak awal? Ini kali pertama kita benar-benar mengobrol, kita belum saling mengenal."

Wajar Alby merasa begitu. Pete memang tidak bisa menyembunyikan rasa tidak sukanya kepada seseorang. Karena undangan bertemu ini terlalu mendadak pun, aku jadi tidak bisa memberitahunya dulu harus bagaimana.

"Kau ... aku hanya ingin tahu, apakah sikapmu itu berarti kau masih peduli pada mantan kekasihmu. Aku tidak ingin Ava bersama seseorang yang belum benar-benar bisa melupakan mantannya."

"Jadi, kau meragukanku?"

Aku menghela napas yang berat, diiringi geraman untuk menarik perhatian mereka. Sisa lelah dari liburan kemarin belum benar-benar hilang, dan sekarang aku sudah harus menghadapi dua pria keras kepala berdebat. Siapa yang mengira situasi ini tidak akan berakhir menjadi adu jotos?

"Sudahlah. Pete, kita akan membahasnya setelah ini. Tunggu aku di mobilmu."

Pete pergi tanpa berpamitan dengan sang tuang rumah. Dia juga tidak harus diantar karena dengan mudah menemukan jalan keluar, tidak seperti Hyunjoo dan Dave tadi. Kepergiannya menyisakan atmosfer yang dingin dan mencekam. Oh, dan Alby masih memandang belokan menuju elevator dengan tajam, seolah-olah Pete masih berdiri di sana. Aku merasa baru melihat dirinya yang baru kukenal dulu.

"Aku tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti itu." Alby beranjak dari sofa, menuju kulkas dan mengambil sekaleng bir yang masih dingin. Aku hanya diam memperhatikan, berpikir dia akan kembali, tetapi ternyata tidak. Dia berdiri di balik pantri dengan kedua tangan menopang tubuhnya. "Apa aku pernah melakukan kesalahan padanya?"

"Dia menemukan artikel-artikel lama tentangmu dengan para model itu. Maksudku, yang seharusnya sudah dimusnahkan, tetapi dia tahu cara mengakses database terdalam." Tidak mungkin aku akan menceritakan kalau Pete tahu rencananya. Meski aku juga merasa kesal dengan responsnya, tetapi aku tidak ingin bermasalah dengan itu dulu sekarang. "Dia hanya perlu waktu untuk bisa lebih percaya padamu."

Alby mendengkus. Senyumnya tampak sinis, tetapi disempurnakan dengan gestur menyugar rambut. Mau kesal, tetapi berujung takjub karena punya kekasih setampan dirinya. Berkencan dengan orang yang good looking ketika diriku sendiri tidak sebagus itu terasa menyebalkan di saat-saat seperti ini. Seharusnya tidak begitu ketika aku belum suka padanya.

"Apa dia selalu menyeramkan? Untuk apa mengorek informasi tentangku sejauh itu?" Tawa remehnya membuatku kesal. "Dia terlalu peduli padamu, ya. Aku sampai cemburu."

Itu bahkan sama sekali tidak terdengar seperti cemburu. Makin lama di sini hanya akan membuatku kesal. Awalnya aku hanya ingin meluruskan kesalahpahaman, tetapi reaksinya justru menyebalkan.

"Kau mau ke mana?" Dia bertanya ketika aku memasang mantel.

"Pulang." Tongkatku tidak jauh dari sofa, aku bisa mengambilnya tanpa harus dibantu.

"Tidak. Aku saja yang mengantarmu." Alby sudah berjalan menghampiriku, tetapi aku mengangkat tangan, memberinya instruksi agar berhenti.

"Kau tahu, aku sangat kesal sekarang. Selama ini aku selalu yakin kau belum benar-benar bisa melupakan Claudia—aku menerima itu. Tapi ketika kau berusaha membelanya meski aku belum selesai bicara, tidak pernah kuduga akan terasa menyesakkan. Itu membuatku kecewa. Aku tahu kau berusaha bersikap objektif, dan betapa bodohnya aku sudah mengira kau akan selalu berada di pihakku. Mungkin aku sudah berekspektasi terlalu tinggi tentang hubungan kita dan bagaimana kita akan menjalaninya. Kurasa aku perlu menenangkan diri beberapa waktu."

Sebelah tanganku yang tidak sibuk mulai memijat kepala. "Berbicara terlalu panjang membuatku merasa aneh. Kau tidak ingin mengatakan apa-apa, bukan? Aku akan pergi sekarang."

"Tidak bisakah tetap tinggal?"

"Bisa. Tapi aku tidak ingin. Sampai jumpa besok."

Ya, besok. Kalau saja aku mau bertemu dengannya.

•••

3000 kata dalam satu bab itu apakah kepanjangan?
Banyak orang bilang iya, sih. Tapi aku bakal merasa sangat bersalah kalau satu babnya pendek padahal update lama :")

Anyway, thank you banyak buat yang masih bertahan membaca kisah Ava dan Alby :")

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
24 September 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro