
84 - Under the Mistletoe
⚠️
"Kukira kau sudah tidur."
Melalui kaca jendela di depanku, aku menemukan pantulan Alby baru saja memasuki kamar dan sekarang meletakkan nampan berisi camilan serta beberapa botol air mineral. Dia punya kebiasaan terbangun di tengah-tengah tidurnya karena lapar. Sementara aku biasanya minum air putih sebelum tidur. Tahu kebiasaan satu sama lain seperti ini membuatku merasa hubungan kami lebih dari rencana untuk membuat Claudia cemburu.
"Aku lelah duduk dan berbaring terus." Aku merespons asal-asalan. Suasana hatiku sedang tidak baik sejak permainan tadi. Oh, aku juga kecewa karena hari ulang tahunku tidak terasa spesial seperti yang pernah dia katakan, sampai-sampai ponselku sudah menunjukkan tanggal 26 Desember. "Kau bisa tidur lebih dulu kalau mengantuk. Ini sudah jam satu pagi."
Aku tidak lagi memperhatikan pantulan Alby, tetapi memandang lahan kosong di belakang vila yang sudah diselimuti salju sangat tebal. Tidak terlihat lagi jalan setapak yang seharusnya mengantarkan orang-orang menuju lereng pegunungan. Lampu-lampu jalan pun tampak buram.
Sesuatu yang dingin menyentuh pangkal leherku. Dengan Alby berbisik agar aku tetap diam, membuktikan bahwa posisinya sudah berada di belakangku. Lagi, melalui pantulan kaca jendela, leherku sudah dihiasi oleh kalung dengan bandul mistletoe kecil yang berkilau. Aku menyentuhnya, merasa tidak percaya diri akan memakai kalung secantik ini.
"Aku tahu ini terlambat, tapi, Happy birthday." Lengan kekar Alby melingkar di pinggangku bersamaan dengan mendaratnya kecupan kilat di pipi kananku.
Kuharap saat-saat ini tidak pernah berakhir, karena aku tidak pernah tahu kalau sangat membutuhkannya. Pelukannya adalah hal terbaik yang terjadi hari ini. Bukan berarti dia tidak menyentuhku sama sekali semenjak kami berada di vila ini, tetapi rasanya sangat berbeda ketika tanpa ada Jeff dan Claudia yang menyaksikan. Pelukan ini terasa lebih tulus dan hangat.
"Bisa-bisanya kau berpikir memberiku kalung?" Hidungku mengerucut, masih tidak terbiasa dengan kehadiran benda itu di leherku. "Bukan berarti aku tidak menyukainya, aku hanya ...kau tahu, benda ini terlalu mewah dan tidak cocok untukku."
"Itu hanya pendapatmu. Rencanaku gagal. Seharusnya kita merayakan ulang tahunmu di suatu tempat di mana hanya ada kita berdua. Aku tidak ingin membuatmu lelah karena menopang tubuh pada satu kakimu saja. Kau tidak punya keinginan yang spesifik soal hadiah. Hanya itu yang bisa kuberikan padamu. Aku sengaja memilih bandul mistletoe, karena itu mengingatkanku pada dirimu."
Aku mengernyit, sama sekali tidak merasa tersanjung. Mistletoe memang cantik, tetapi rasanya ada sesuatu yang dia lewatkan. "Kau menganggapku parasit?"
"Ah, aku lupa kalau mistletoe tumbuh di ranting pohon." Dia mengeluarkan decakan yang sarat akan keputusasaan. "Tapi sungguh, aku tidak menyamakanmu dengan mistletoe karena alasan yang satu itu."
Wajah paniknya memberi hiburan tersendiri untukku. Aku memutar badan hanya agar bisa melihatnya lebih jelas. Pinggulku bersandar pada meja yang diletakkan menempel pada bingkai jendela.
"Aku mau mendengar bagaimana kau menyamakan aku dengan mistletoe ini."
Dia sudah repot-repot mempersiapkan kalung ini sebagai hadiahku, tentu aku harus tetap menghargainya. Bahkan pada kenyataannya, aku mungkin memang parasit dalam hidupnya.
Alby membasahi bibirnya dan itu terlihat seksi. Kilau bibirnya membuatku harus memikirkan kembali betapa lembut benda itu saat bertemu dengan milikku. Panas yang menguar dari tubuhnya membuat pikiranku menjadi agak liar.
"Mistletoe mungkin parasit, baiklah akan kuanggap itu juga sama denganmu karena kau menyedot seluruh pikiranku. Akhir-akhir ini aku tidak berhenti memikirkan bagaimana agar kau tidak pergi dariku. Seperti parasit itu, kau juga sulit disingkirkan. Terkadang aku terjaga, berharap segera mengantuk, tetapi yang kulakukan justru melihat wajahmu tidur sampai mataku terpejam dengan sendirinya. Astaga, sekarang aku lupa apa lagi yang sempat kuhafalkan untuk kujabarkan padamu."
Aku hanya bisa tertawa ketika wajahnya mendarat di bahuku. Sempat kulihat semburat merah mencuat di pipinya. Fakta bahwa hanya aku yang bisa melihat sisinya yang satu ini membuatku merasa senang. Di depan wanita mana pun, dia akan memunculkan sosok yang keren, berani, yang menjanjikan perlindungan penuh jika menjadi pasangannya. Namun, mereka tidak pernah tahu kalau Alby bisa seperti ini.
Tanganku melingkari tubuhnya yang besar. Dadanya keras, tetapi merupakan tempat bersandar yang nyaman. Aku mengusap punggungnya dengan pola melingkar. Kupikir dia pantas menerima sesuatu yang dia suka-diusap punggungnya-sebagai bentuk terima kasih.
"Terima kasih. Aku belum pernah mendapat hadiah yang dipertimbangkan dengan memikirkanku seperti itu."
Tubuh Alby terasa lebih rileks sekarang. Diusap punggungnya memang memberi efek yang seluar biasa itu.
"Kurasa aku sudah harus mengatakannya padamu."
"Oh? Apa itu?"
Alby melepas pelukannya dan menatapku lamat-lamat. Sedangkan aku mulai merasa cemas karena gelagatnya tidak seperti akan mengatakan sesuatu yang baik.
"Jawabanku ... saat Jeffrey bertanya tentang apa yang kurasakan pada mantanku."
Daripada tahu tentang kebenarannya yang menyakitkan, aku lebih baik tidak mendengarkan apa-apa sekarang.
"Aku tidak bisa berkata jujur karena itu akan mengubah rencana Claudia. Sayangnya, aku justru membuatmu memikirkannya." Dia tersenyum geli, padahal tidak ada yang lucu dari kata-katanya. "Dan aku merasa, dengan memikirkanmu berhasil mengikis sisa-sisa perasaan itu. Sampai akhirnya aku yakin kalau aku sudah jatuh cinta padamu, Ava. Rasanya suka saja tidak sampai membuatku seperti ini."
Tunggu. Apakah aku salah dengar atau Alby memang mengatakannya? Sepertinya telingaku tidak bisa mendengar dengan baik kata-katanya karena lebih dulu dipenuhi oleh suara debar jantungku yang menggila. Aku sudah berdebar karena berada di dekatnya, diperparah oleh detik-detik yang menyiksa sebelum dia melanjutkan perkatananya.
"Apa yang kau katakan tadi?" Seandainya kakiku baik-baik saja, aku pasti sudah menjauh darinya sekarang. Aku sudah kewalahan dengan gema suara jantungku sendiri.
Alby menarik pinggangku mendekat, hingga tubuh kami menempel. Tangannya bertaut di balik punggungku, membatasi pergerakanku.
"Perasaanmu berbalas. Aku mencintaimu. Apa itu kurang jelas?"
Aku menganga, tidak menyangka akan mendengar pengakuan itu dari mulutnya. Pandanganku berpencar, menyapu seluruh wajahnya, berusaha menemukan bukti bahwa dia sedang bercanda. Namun, makin lama aku mencarinya, yang kutemukan justru ketulusan di matanya.
Air mataku mengalir begitu saja. Entah bagaimana aku harus bereaksi sekarang. Ini terlalu mengejutkan meski aku sudah menunggu selama berbulan-bulan. Benar, setelah ini lalu apa? Apa yang akan terjadi di antara kami setelah mengetahui perasaan satu sama lain? Kesepakatan itu ...apakah akan berubah?
"Aku ... tidak pernah memberitahumu apa yang kurasakan."
Aku yang baru sekali jatuh cinta ini belum tahu bagaimana harus mengatakannya. Aku khawatir dia akan bertanya apa alasanku jatuh cinta padanya, meski kebanyakan orang berkata bahwa perasaan tidak selalu membutuhkan alasan untuk datang. Perasaan adalah salah satu dari contoh ketidaktahudirian, ia tidak pernah diminta untuk datang, tetapi selalu mengobrak-abrik hati yang disinggahinya. Ia adalah hal kecil yang mampu mengacaukan sistem kerja pada diri manusia.
Mungkin perasaan itulah yang mengubah Alby menjadi seseorang yang lembut. Dia sudah jauh berbeda dengan Alby yang dulu baru kutemui.
"Aku bisa saja merencanakan sesuatu untuk membuatmu merasa bersalah jika meneruskan permainan ini. Aku membiarkanmu mengira kalau aku merasakan itu padamu agar kau berhenti. Tidakkah kau pernah berpikir ke sana?"
Senyum Alby entah bagaimana membuat air mataku justru mengalir makin deras. Jempolnya terasa hangat di wajahku. Ugh, semua tentangnya saat ini benar-benar menghangatkan. Apa yang harus kulakukan setelah ini?
"Kau tidak akan menangis jika memang merencanakan semua itu, Ava. Kau mungkin terlihat kuat di luar, tetapi kau terlalu baik untuk menyakiti perasaan orang lain. Ingat bagaimana kau berusaha menghentikan rencanaku hanya karena kau tidak ingin Claudia terluka? Padahal kalian sudah tidak saling berhubungan selama bertahun-tahun dan karena perjodohannya dengan Jeffrey membuat kariermu hancur. Seandainya situasimu terjadi pada orang lain, dia pasti akan langsung setuju dengan rencanaku."
Aku sukses tersenyum karena ujarannya yang manis. Air mataku sudah tidak mengalir lagi sekarang. Seperti inikah rasanya bahagia ketika perasaanmu berbalas? Aku merasa seperti wanita paling beruntung di dunia. Bukan karena aku berhasil mendapatkan hati Alby, tetapi karena aku tidak sendirian menghadapi perasaan ini.
"Bukankah ini terlalu mudah untukmu?"
"Apa yang terlalu mudah?"
"Aku jatuh cinta, tapi harus menunggu selama berbulan-bulan untuk menerima balasan. Tapi kau, kau hanya membutuhkan satu ucapan dan perasaan itu sudah berbalas. Sangat tidak adil, bukan?"
Aku mengusap piyama bagian depannya yang kumal karena sisa berpelukan terlalu erat tadi, sekaligus sebagai alibi untuk menghindari tatapannya.
"Lalu apa?" Nada bicaranya terdengar menantang.
"Kau juga harus menunggu sampai aku mengakui perasaanku. Aku ingin tahu apakah kau sanggup menunggu? Karena sejauh ini kau selalu mendapatkan semuanya dengan cepat, jadi jangan harap aku akan membiarkan itu terjadi."
Aku nyaris memekik ketika dia mencengkeram pinggangku dan mengangkatnya hingga pantatku mendarat di atas meja. Sekarang wajah kami sejajar. Oh, Gosh, dia benar-benar menggodaku ketika membasahi bibirnya lagi. "Aku lelah terus-terusan menunduk." Caranya mengatakan itu seolah-olah aku bertubuh sangat pendek. "Mungkin aku akan berhasil membuatmu mengatakannya lebih cepat dari yang kaurencanakan?"
"Aku tidak akan menghalangimu untuk berusaha." Aku bermain-main dengan memukul pelan dadanya.
Tawa Alby mengisi kesunyian di sekitar kami. Setelahnya kami hanya saling pandang dalam diam. Namun, dia masih mempertahankan senyumnya hingga membuatku juga ikut tersenyum. Kalau dibandingkan kemarin dan tadi siang, dia terlihat jauh lebih berseri-seri. Kuharap aku tidak terlalu pecaya diri karena menganggap dia tampak lebih bahagia karena sudah mengungkapkan perasaannya kepadaku.
"Kita sedang berada di bawah mistletoe." Celetukannya membuatku mengernyit kebingungan. Wajahnya yang mesem-mesem tampak sangat lucu sekarang.
Aku mendengkus. "Siapa yang akan menggantung mistletoe di sini?"
"Mendongaklah," suruhnya dengan sangat yakin kalau parasit yang cantik itu ada di atas kami berdua.
Aku menurut dan seketika tertawa. Ada satu ikat kecil mistletoe yang berinya sudah berwarna merah dan diikat dengan tali asal-asalan hanya agar itu tergantung di sana. Aku yakin tidak melihatnya tadi siang-ketika aku mendekam di kamar cukup lama. Lalu kapan Alby memasangnya di sana?
Suara dehamnya yang agak keras menarik perhatianku kembali padanya. Sementara itu, dia justru mendongak memperhatikan mistletoe itu. "Seharusnya kita sedang berciuman sekarang, 'kan?" Dengan nada bertanya yang seperti itu, berhasil membuat siapa pun yang mendengarnya mengira dia seperti orang polos yang dipaksa melakukannya.
"Kau tidak harus menggantung itu dulu kalau mau menciumku, Tuan." Aku tertawa geli saat mengatakannya. Kalaupun seseorang dari pengurus vila yang melakukannya, agaknya tidak mungkin hanya menggantung satu mistletoe. Demi memberi kenyamanan pelanggan, mereka pasti akan menggantung lebih banyak dan tentunya akan membuat kamar ini menjadi lebih cantik.
Dia menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Oh, ya? Lalu siapa yang dulu menolak keras untuk dicium?" Apa aku pernah berkata kalau dia akan berkali-kali lipat lebih memesona kalau sedang menyeringai?
Lakukan ketika hatimu menginginkannya. Aku ingat dia pernah mengatakan sesuatu yang seperti itu. Karena hal itu pula, aku memiliki keberanian untuk menangkup wajahnya, bahkan aku tidak berhenti memandang bibirnya yang kemerahan dan entah bagaimana tampak sangat menggoda. Ini berbeda dengan tindakan impulsif yang kulakukan saat lebih dulu menciumnya di apartemenku. Kali ini, keinginan itu muncul dengan sendirinya.
Meski bukan kali pertama, tetapi tanganku bergetar ringan di wajahnya ketika aku mempersempit jarak. Hingga akhirnya, bibir kami bertemu. Aku berdebar sekaligus merasa malu karena Alby membiarkan aku yang bergerak aktif. Aku mencoba melumat bibirnya pelan-pelan, berharap itu bisa sedikit membuatnya puas. Maksudku, dia menginginkan ciuman dari seorang amatir, seharusnya bukan salahku kalau tidak sesuai harapannya.
Aku menjauh. Kurasa tidak perlu lama-lama menghisapnya. Aku mengulum bibir, berusaha menyapu seluruh rasa bibirnya yang belum benar-benar hilang. Sungguh, aku tidak berani menatapnya sekarang. Itu hanya akan membuat hawanya terasa makin panas, apalagi dia sudah menatapku agak buas. Well, seperti seseorang yang belum merasa terpuaskan.
"Sudah. Kita bisa tidur sekarang, 'kan?" Kuharap aku bisa menguap sekarang, setidaknya untuk bisa menguatkan alasan agar kami berhenti. Posisi ini bahkan rasanya terlalu intim. Entah sejak kapan tubuhnya sudah berada di antara kakiku.
"Satu ciuman untuk satu beri mistletoe, Ava. Lihat, ada berapa banyak berinya."
Sial. Dia menggantung banyak beri kecil mistletoe di sana. Mana sanggup aku menciumnya sebanyak jumlah beri itu?
"Bagaimana kalau kita cicil saja?"
Alby tergelak karena usulanku. Aku sendiri cukup sadar kalau itu adalah hal terkonyol yang pernah kupikirkan. Ciuman di bawah mistletoe akan kurang berkesan jika dilakukan di luar Natal. Padahal, ini pun sudah lewat satu hari. Seharusnya tidak berlaku lagi ketentuan harus mencium sesuai jumlah berinya. Demi usiaku yang sudah dua puluh sembilan tahun, aku sangat ingin mengakhiri sensasi yang panas ini.
"Tidak. Mari kita selesaikan malam ini juga, Ava."
Alby menangkup wajahku demi meraup bibirku sebanyak yang bibirnya mampu. Dia melakukannya agak terburu-buru, tidak kasar, tetapi tidak lembut juga, melainkan seperti orang kelaparan yang sudah lama menantikan untuk melakukan ini. Padahal seingatku ciuman terakhir kami tidak sampai satu bulan yang lalu.
Kepala Alby miring ke kiri dan kanan secara bergantian, dan aku dengan pergerakan yang terbatas harus miring ke arah yang berlawanan. Ciumannya makin dalam hingga satu lenguhan kuloloskan begitu tahu lidahnya sudah melesak masuk untuk mengeksplorasi isi mulutku. Kami baru berciuman dan dia sudah menyerangku dengan kenikmatan bertubi-tubi.
Ini benar-benar membangkitkan gairah. Piyama Alby sudah benar-benar tidak terbentuk lagi begitu aku meremasnya dengan kuat. Sebelah tangannya perlahan turun, membuat jalannya sendiri menuju ujung kain atasan piyamaku. Rambut-rambut di sekitar tengkukku berdiri tepat ketika telapak tangan Alby yang panas mengusap kulit punggungku. Sensasinya yang menggelikan membuat tubuhku melengkung, dada kami menempel, memaksa udara pergi dan mengisi ruang yang lain.
Aku terengah, mengambil kesempatan untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin ketika bibirnya meninggalkan milikku. Baru sebentar dan aku sudah merindukannya. Alby menghujani rahang dan leherku dengan ciuman. Sesekali akan ada hisapan sampai erangan lolos dari bibirku. Aku berusaha menahannya, tetapi benar-benar sulit jika aku terus dibiarkan merasakan semua sensasi dan ledakan kupu-kupu terbang di perutku.
Satu tangannya menyusul tangan yang lain menjalajahi punggungku. Atasanku tersingkap dan aku bisa merasakan belaian udara. Aku berjengit ketika dia berhasil melepas pengait braku. Sebelah tangannya kembali menangkup wajahku demi mempersatukan bibir kami lagi. Dia membuatku kewalahan.
Sekarang dia mengarahkan tanganku ke kancing piyamanya, memberi isyarat agar aku melepasnya. Tanganku bergetar ketika melepas kancing atasannya satu per satu. Aku menurut karena tangannya yang berada di punggungku membuatku juga ingin membelai punggungnya. Aku tidak pernah merasa haus akan sentuhan dan menyentuh lawan jenis sebelumnya. Dan ini adalah kali pertama aku merasakannya.
Alby mengakhiri sentuhannya hanya untuk menyingkirkan kemejanya. Dia bertelanjang dada, dan itu membuatku nyaris menahan napas ketika menyaksikan betapa sempurna bentuk tubuh bagian atasnya. Lagi, dia membawa tanganku untuk menyentuh tubuhnya yang padat.
Aku sudah tidak bisa memikirkan apa pun lagi selain sensasi-sensasi yang kurasakan melalui tiap jengkal sentuhannya. Sampai-sampai kupikir malam ini hal itu akan terjadi. Kami mungkin akan mengikat perasaan kami dalam penyatuan tubuh. Seharusnya aku tidak membiarkan itu sampai terjadi, tetapi aku juga tidak mampu mengakhirinya. Tidak, tubuhku bahkan enggan mengakhiri semua ini. Bahkan ketika dia mengangkat tubuhku dan membaringkannya ke kasur, aku tidak protes.
Dia sudah berada di atasku dengan tangan yang kembali mengeksplorasi tubuhku. Jantungku berdebar makin kencang ketika dugaan bahwa itu akan terjadi sebentar lagi. Aku bahkan tidak mempersiapkan apa pun. Namun, tiba-tiba Alby mengangkat sedikit badannya, menggunakan kedua tangannya untuk menumpukan separuh badan di kedua sisi tubuhku.
"Apa kau yakin? Karena aku mungkin tidak bisa berhenti." Suaranya serak dan berat, seperti ada sesuatu yang tertahan di kerongkongannya.
Aku menutup wajahku dengan sebelah tangan dan tertawa hambar. Aku tidak sanggup menatapnya dalam kondisi seperti ini. "Kau merusak suasana, Alby. Seluruh tubuhku bergetar hanya karena memikirkan itu akan terjadi."
"Rasanya tidak adil bagimu kalau aku mendapatkanmu malam ini. Kau menjaganya dengan baik, hanya agar diberikan pada pria yang tepat untukmu. Kurang ajar sekali kalau aku yang mendapatkan kali pertamamu. Aku tidak bisa melakukannya. Tidak untuk merugikanmu." Alby mengoceh sembari membenahi piyamaku; mengancingkannya kembali--yang mana aku tidak sadar sudah dibuka--dan menariknya untuk menutupi perutku. Sikapnya yang seperti ini membuatku makin jatuh cinta padanya.
Sayangnya, dia lupa mengaitkan kembali braku. Namun, kubiarkan saja, aku terlalu malas memberitahunya atau membiarkan dia menyentuhku lagi.
"Terima kasih karena tidak mengambil kesempatan yang sudah berada di bawah hidungmu."
Alby mengecup dahiku cukup lama dan tersenyum. Kemudian bangkit dari tubuhku hanya untuk melepaskan gips kakiku. "Tidurlah, Ava." Dia mengatakan itu sembari menarik selimutku dan meletakkan gips itu di depan nakas.
"Kau mau ke mana?"
Dia baru saja meraih atasan piyamanya dari lantai, tetapi tidak kembali ke tempat tidur. Alby menunduk, menatap sesuatu yang ditutupinya dengan piyama dan tersenyum kaku. "Well, aku harus menuntaskan gejolak hormon ini dulu. Jangan tunggu aku." Dan dia buru-buru memasuki kamar mandi setelahnya.
Wajahku terasa panas karena aku sangat paham maksudnya, bahkan aku pun masih merasakannya-sensasi-sensasi yang panas itu. Aku meraih satu botol air mineral dan menenggaknya dengan kuat, berharap itu juga bisa meredakan rasa haus akan sesuatu yang lain. Setelah ini aku akan tidur, berharap besok pagi aku tidak akan memikirkannya lagi.
•••
Maafkan atas adegan bersodanya yang abal-abal :")
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
19 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro