83 - Truth or Drink
Mereka benar-benar serius tentang mendekorasi pohon Natal yang sudah ada di vila ini. Kemarin Jeff dan Claudia pulang dengan taksi bersama sekotak besar penuh barang-barang untuk menghias. Hari ini, kami semua berkumpul di ruang tengah karena posisi pohonnya memang ada di sana. Aku tentu ikut menemani mereka meski lebih banyak diam di sofa. Lagi pula, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan saking lamanya tidak menghias pohon Natal. Saat di rumah orangtua Pete pun, aku jarang ikut membantu karena harus bekerja.
Oh, andai kantor tidak libur, aku pasti punya kegiatan sekarang.
Claudia dan Jeff entah bagaimana tampak sangat kompak. Mereka lagi-lagi tidak memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir. Dan aku belum melupakan fakta kalau Claudia sudah dibuat menangis kemarin karena dipaksa Jeff mengakui sesuatu yang tidak dia lakukan. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka berdua? Apa mereka juga memainkan peran di depan kami?
"Kau seharusnya mengurai kabel lampu, bukan malah membiarkan pikiranmu ikut kusut."
Alby datang menghampiriku setelah dari dapur untuk mengambil camilan dan minuman. Dia duduk terlalu dekat denganku, sampai lengan kami bertemu. Aku tidak bisa protes atau memintanya bergeser sedikit karena tidak ingin menarik perhatian pasangan lain di sini—Claudia dan Jeff terlalu serius sekarang, entah karena mereka memang bersemangat ingin membawa semangat Natal di tempat ini, atau karena keperluan vlogging karena Claudia akan mengeluarkan handycam-nya sesekali untuk merekam progres menghias pohon.
"Kau baik?" Alby meraih bagian lain kabel lampu dari tanganku dan ikut mengurainya. Karena tidak bisa banyak berdiri, aku hanya mampu membantu mereka melakukan ini.
Jeff membuat kabel lampu menjadi kusut karena meletakkannya sembarangan saat mencari sesuatu dari kotak. Namun, kecerobohannya itu memberiku sesuatu untuk dikerjakan tanpa harus bolak-balik berdiri untuk ikut memasang ornamen.
"Ya, aku baik." Aku tersenyum padanya. "Hanya merasa asing dengan situasi ini."
Mulai liburannya sampai momen menghias pohon Natal, aku tidak yakin ini adalah suasana yang benar-benar bisa kunikmati.
"Aku bisa mengantarmu ke kamar kalau tidak tahan lama-lama di sini." Suaranya terdengar lebih pelan, hanya agar Claudia dan Jeff tidak mendengar.
"Aku tidak bisa selamanya menghindar. Mungkin saja di masa depan nanti, aku harus merayakannya bersama pasanganku." Aku mengernyit ketika Alby tersenyum mesem-mesem. "Kau pikir itu dirimu?"
Aku terpaksa menyikut pinggangnya karena makin menempel padaku. Senyumnya masih bertahan di sana. "Apa kau menginginkan pria lain?"
Kalau dia bertanya sekarang, tentu saja aku belum menemukan satu. Namun, aku juga tidak bisa dengan gamblangnya menyebutkan bahwa aku menginginkan hubungan yang lebih normal bersamanya. Karena itulah, aku tidak bisa lama-lama membalas tatapannya, khawatir dia menyimpulkan sendiri melalui ekspresi wajahku. Tanpa sengaja, aku justru melayangkan tatapan pada Claudia. Wanita itu baru saja memalingkan muka setelah memandang kami berdua. Aku baru sadar kalau dia mencuri-curi pandang ke arah kami.
"Aku mungkin akan menemukan satu suatu saat nanti." Aku menepuk sebelah pipinya dengan pelan—yang tentunya sangat tidak berhubungan dengan apa yang kami bicarakan, demi menciptakan adegan yang sedikit romantis untuk dipertontonkan pada Claudia.
"Jangan lupa ada aku yang bisa kaumiliki." Bisikan Alby meninggalkan jejak napas yang hangat di telingaku. Aku sampai bergidik, refleks menjepit udara di antara bahu dan sisi kiri kepalaku. Namun, itu justru memberinya akses untuk mendaratkan kecupan di pelipisku. Itu menggelikan, tetapi aku tidak membencinya.
Alby mungkin akan melanjutkannya andai seseorang tidak berdeham saat ini. Kami berdua spontan menoleh pada Jeff, sumber suara dehaman itu. Dia sudah menaiki tangga lipat yang diletakkan dekat dengan pohon Natal—kurasa sejak tadi dia memang berada di sana untuk menghias bagian atas pohon.
"Bagaimana kalau kurangi lovey-dovey, perbanyak membantu?" Sindiran Jeff jelas membuat Alby tertawa.
Namun, alih-alih segera menghampiri Jeff, Alby masih sempat-sempatnya menyeringai padaku. "Itu tawaran yang berlaku selamanya. Jangan dilupakan."
Sial. Apa Alby memang seorang penggoda yang andal? Tidak mengherankan kalau dia mendapat julukan playboy-nya para model.
•••
Hari yang kuharapkan bisa dilewati tanpa sempat melihatnya di kalender pun tiba. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang, tetapi aku sudah mengenakan gaun selutut yang cantik berwarna hijau berkilau. Wanita-wanita di luar sana mungkin akan sangat iri karena aku mendapatkan gaun ini secara gratis. Alasan Alby membawa koper lebih banyak adalah karena dia membawa baju-baju khusus untuk kupakai di sini. Pertama mantel, sekarang gaun ini. Dengan melihatnya saja, aku tidak pernah terpikir akan memilikinya satu.
Aku jadi penasaran apakah Alby membayar Paula atau tidak, karena jika tidak, wanita itu akan rugi sangat banyak. Gaun-gaun cantik jelas tidak murah harganya.
Jujur saja, Natal kali ini pun takada ubahnya dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kami sudah saling mengucapkan Selamat Natal tadi pagi, sarapan bersama sambil merayakan ulang tahunku—dan bagian ini sama sekali tidak membuatku terkesan, berfoto bersama meski senyumku tampak kaku, dan dari siang sampai sore ini tidak banyak yang kulakukan selain menunggu waktu makan malam tiba. Seperti hari-hari sebelumnya, Jeff dan Claudia akan mengambil banyak video untuk kebutuhan vlog wanita itu.
Dan Alby, dia pergi ke suatu tempat, tetapi tidak memberitahuku tempat apa itu. Awalnya dia mengajakku, tetapi aku menolak karena tidak ingin membuatnya repot. Berjalan saja masih memakai tongkat, itu akan menghalangi Alby untuk bepergian secara leluasa.
Di luar, salju-salju halus berguguran. Kuharap tidak makin lebat sebelum Alby kembali ke vila. Jalanan bisa saja ditutup dan dia akan terjebak di sana. Akan sangat tidak menyenangkan kalau itu sampai terjadi. Aku masih ingin merayakan hari ini berdua saja dengannya—seperti yang pernah dia janjikan.
Aku baru berpikir ingin pergi keluar kamar ketika terdengar suara benda terjatuh. Serpihannya terdengar menyebar di lantai. Kalau suaranya saja senyaring itu, bayangkan sebesar apa benda itu. Aku buru-buru meraih tongkat di samping kasur dan bertumpu dengan itu untuk berjalan. Kuharap seseorang tidak terluka karena itu.
"Apa suaranya mengganggumu?"
Di dekat tangga menuju lantai satu, aku menemukan Jeff sedang mengumpulkan pecahan yang besar dari benda berbahan keramik berwarna biru malam. Pecahannya benar-benar tersebar di sekitar kaki pria itu. Aku tidak ingat kalau di dekat tangga terdapat vas besar sebagai dekorasi.
"Jangan mendekat, pecahan yang kecil-kecil tidak terlihat. Debunya bisa membuatmu terpeleset."
Ya, lantainya memang agak berdebu karena serpihan keramik yang terlalu kecil. Sementara kami hanya memakai sandal tipis seperti yang biasa disediakan di tiap-tiap kamar hotel.
"Kau baik-baik saja?"
Gerakan Jeff terhenti hanya untuk memandangku dengan takjub. Itu mungkin terdengar agak asing baginya, terlebih lagi dengan aku yang merasa khawatir sejak benda itu pecah. Namun, pertanyaan itu terdengar biasa saja, bukan? Kuharap begitu dan hanya Jeff yang bereaksi agak berlebihan.
"Aku baik. Senang mengetahui kau ... sedikit peduli. Padaku." Dia melanjutkan aktivitasnya.. Yang besar-besar sudah dia sisihkan dekat dinding, sisa yang berukuran kecil yang sekarang dia kumpulkan.
"Apa yang terjadi?" Baiklah, ini terasa canggung. Aku berusaha untuk tidak peduli seperti yang dia pikirkan, tetapi kerap melontarkan pertanyaan yang membuatnya salah mengira. Dia seperti seseorang yang terlalu melibatkan perasaan.
"Aku terpeleset karena sandal ini dan berharap bisa bertumpu pada guci, tapi aku justru merusaknya." Jeff berdiri setelah menyisihkan serpihan lainnya. Kini tersisa debu dan serpihan sangat kecil yang sulit diambil dengan tangan. "Aku sudah menghubungi petugas kebersihan vila dan akan datang sebentar lagi."
"Oh, baguslah." Hanya itu responsku.
Jeff memandang sisa-sisa serpihan guci di lantai dalam diam. Kurasa kecanggungan itu tidak hanya kurasakan sendirian. Diamnya lebih seperti berpikir. Meski menunduk, aku masih bisa melihat kalau dahinya berkerut.
"Aku akan ke dapur untuk membuat cokelat panas. Kau mau satu?"
Dia seorang pria, tetapi cokelat panas adalah minuman kesukaannya. Setahuku itu jarang terjadi mengingat jenis mereka kurang suka sesuatu yang manis. Namun, Jeff berhasil membuat cokelat panas yang enak. Hatinya ikut terlibat saat menyajikan cokelat panas. Dia pernah memberitahuku resepnya, tetapi aku tidak berhasil membuat yang seenak buatannya. Tidak peduli dengan menggunakan yang sama, takaran yang sesuai, tetap tidak akan menghasilkan sesuatu yang sama jika dikerjakan oleh tangan yang berbeda.
Aku tidak menolak tawarannya. Setelah semuanya berakhir, kurasa aku menemukan satu hal baik yang lain tentang dirinya. Tidak pernah kukira akan merindukan cokelat panasnya sampai aku menghirup aroma dari uapnya yang menguar. Bukan hanya cokelat, tetapi juga aroma vanila, keningar, sampai ... jahe? Kuharap tidak ada yang salah dengan penciumanku, tetapi ini jelas aroma jahe.
"Kau mau ditambah jahe?"
"Ugh." Aku refleks bereaksi seperti itu karena tidak bisa membayangkan rasa cokelat akan bercampur dengan rasa jahe yang panas. Dia pasti bergurau soal itu, mengingat saat ini dia tertawa sangat puas.
"Aku tahu kau tidak suka. Tapi aku sedang mencoba racikan itu. Aku menambahkan sedikit vodka jahe ke milikku."
"Kau akan membunuhku jika memberi vodka ke minumanku."
Cekikikannya mengisi kesunyian ruangan ini. Jeff masih membelakangiku yang sedang menunggunya di meja makan. Dia amat terampil seolah-olah melakukannya setiap hari. Dulu juga seperti ini, dia memintaku menunggu dan menonton. Kemudian tersenyum bangga begitu melihatku sangat menikmati cokelat panas buatannya. Bisa-bisanya aku melupakan sesuatu yang menyenangkan seperti itu hanya karena satu kesalahannya yang menyebalkan.
"Aku kira kau ikut pergi." Sambil mengatakan itu, Jeff meletakkan dua cokelat panas ke atas meja. Salah satunya diletakkan dekat denganku, mempersilakan hidungku menghirup lebih banyak uap dari minuman itu yang mengudara. Setelahnya dia menempati kursi di seberangku. "Sekadar informasi, kurasa Claudia menyusul Alby sekarang."
"Gerak-gerik Claudia sulit kubaca. Aku tidak melihat dia sedang berusaha merebutnya meski cemburu berat." Aku memainkan bibir gelas karena masih terlalu panas untuk diminum. Tatapanku tertuju pada warna cokelat dari isinya. "Aku penasaran kenapa kau mendesaknya untuk mengaku kalau dia sengaja menabrakku. Dia menangis sangat lama di ruanganku sampai kami kebingungan harus bagaimana. Aku tahu kau pasti punya alasan kuat."
Sebelah sudut bibir Jeff naik dalam sebuah seringai. Dia tidak segera menjawab pertanyaanku, tetapi menyesap cokelat panasnya dengan sengaja menciptakan suara yang keras. Itu berhasil menggodaku untuk segera meminum milikku, tetapi aku cukup sadar akan risiko bibir melepuh.
"Dia memisahkan diri dari kalian. Awalnya kupikir karena tidak sabar ingin segera bermain—maksudku, semua orang tahu dia sangat jago ice skating. Bahkan ada banyak pengunjung yang merekam aksi cantiknya. Dan aku terjebak di sekitarnya demi memperbaiki nama baik kami. Saat melihatmu bermain bersama Alby, dia tidak lagi bermain dengan apik."
"Kurasa itu tidak cukup untuk menjatuhi tuduhan padanya."
Lagi, Jeff menyesap cokelatnya. Aku sempat curiga miliknya lebih dingin daripada milikku. Namun, itu terpatahkan setelah melihat uap tipis keluar dari mulutnya yang terbuka sedikit. "Dia tidak akan kehilangan keseimbangan seandainya memakai ukuran sepatu yang tepat. Aku bahkan terkejut ketika dia meminta sepatu dengan dua nomor lebih besar dari yang biasa dipakainya. Tapi aku tidak bisa protes karena kami akan berujung berdebat di sana."
"Kau yakin bukan karena tempat itu kehabisan ukuran sepatu yang sesuai dengan kakinya?" Meski aku sudah tidak menganggap Claudia sebaik dulu, tetapi aku masih berusaha percaya kalau dia memang tidak seburuk itu. Aku hanya tidak ingin merutuki kebodohan karena pernah berteman baik dengan perempuan licik sepertinya.
Kukira Jeff akan melontarkan alasan lain yang menguatkan tuduhannya pada Claudia, tetapi bibir itu terkatup rapat. Bahkan dia hanya mengedikkan bahu. Namun, aku merasa dia menyembunyikan sesuatu yang lain, sesuatu yang dia ketahui, tetapi enggan menceritakannya. Aku tidak akan mendesaknya. Obrolan ini berakhir, kurasa. Dan aku mendapat kesempatan untuk menyesap minumanku yang sudah mulai sedikit dingin. Meski begitu, aku tetap harus meniupnya dulu.
"Bagaimana hubungan kalian? Alby terlalu sering menunjukkan perhatiannya padamu, apa itu hanya peran, atau?"
Aku beruntung tidak sampai tersedak setelah mendengar pertanyaan itu. "Kukira kau bisa menilainya sendiri."
Dia hanya mengangguk, menciptakan kesunyian lagi di sekitar kami. Namun, situasi yang mencekam ini diakhiri oleh kedatangan Alby dan Claudia. Mungkin Jeff benar, wanita itu menyusul Alby. Bawaan mereka sangat banyak, masing-masing membawa dua kantong plastik besar. Sebagai seorang pria yang mungkin tidak ingin dianggap tidak sejati mengingat ada Alby di sini, Jeff buru-buru berdiri dan mengambil alih belanjaan dari tangan Claudia. Sedangkan Claudia, tampak terlalu bahagia untuk ukuran seseorang yang baru selesai belanja.
Claudia dan Jeff mulai sibuk mengeluarkan isi dari dalam plastik, sedangkan Alby menghampiriku.
"Apa yang kaulakukan di sini?" Alby membisikkan pertanyaan itu setelah meletakkan belanjaan yang dibawanya ke atas meja. Keningnya berkerut tidak suka, terlebih setelah tahu aku hanya berdua dengan Jeff.
"Aku bosan di kamar terus sendirian, setidaknya di sini aku bisa mengobrol dengan Jeff." Aku tersenyum tipis dan membuang muka, menghindari menatapnya yang sedang kesal lama-lama. Kuharap Alby akan menjelaskan bagaimana dia bisa pulang bersama Claudia, padahal tidak berangkat bersama. Namun, tanpa aku perlu repot-repot bertanya. Sayangnya, aku justru kesal karena Alby mungkin tidak akan mengerti itu jika aku hanya diam.
"Aku punya sesuatu yang menarik untuk merayakan hari ini."
Perhatian kami semua beralih pada Claudia. Senyumnya sangat lebar, dan mungkin berhasil menarik minat dua pria di sini. Namun, aku tidak merasa itu sesuatu yang baik.
Tangan Claudia yang tersembunyi di dalam plastik akhirnya keluar, tetapi sudah tidak kosong lagi, melainkan dengan memegangi dua leher botol yang aku yakin adalah minuman beralkohol.
"Kita akan bermain truth or drink. Tenang, aku punya satu yang aman untuk Ava."
Apakah itu memang benar-benar aman?"
•••
Setelah makan malam, kami duduk melingkar di atas karpet. Semuanya bersila, kecuali aku yang harus menyelonjorkan satu kakiku yang terkilir. Lampu ruangan dimatikan dan kami hanya mendapat pencahayaan dari lampu-lampu pohon Natal. Benda menjulang itu tampak sangat cantik saat ini, sampai aku saja selalu mencuri-curi pandang hanya untuk melihatnya. Kemudian terbesit di kepalaku sebuah pertanyaan, bagaimana bisa aku melewatkan keindahan ini setiap tahunnya?
"Jawabannya adalah ya atau tidak, dan jika kalian tidak mau menjawab, silakan minum. Satu shot saja. Oke, aku akan lebih dulu memutar botol ini. Ke mana pun ujung botolnya tertuju, aku akan—"
"Begini, ini permainan yang dulu sering kita mainkan. Kita semua tahu peraturannya, langsung kita mulai saja." Jeff buru-buru menyela ucapan Claudia.
Perlu kuakui kalau wanita itu memang agak mengulur waktu, tetapi senyumnya sama sekali tidak luntur.
"Baiklah, aku mulai."
Botol kosong di tengah-tengah kami diputarnya. Besar sekali harapan botol itu tidak berhenti di arahku. Ronde pertama ini harapanku terkabul, botolnya berhenti di Jeff.
"Apa yang harus kutanyakan padamu?" Claudia bergelayut pada sisi tubuh pria itu. Model mungkin diajarkan untuk berakting juga, karena dia benar-benar terlihat seperti seseorang yang menginginkan Jeff.
"Belum tentu kau sudah tahu semua tentangku, Sayang." Jeff balas bermain peran. Dia masih tidak tahu kalau Alby sudah kuceritakan tentang bagaimana perasaannya. Dan mungkin itu alasan Alby berdecih pelan saat memperhatikan keduanya—kepalsuan yang tampak terlalu jelas bagi kami.
"Aku penasaran tentang ini, apa kau punya penyesalan yang sangat besar dalam hidupmu?"
Keduanya saling menatap. Claudia yang menunggu jawabannya, serta Jeff yang pelan-pelan luntur senyumnya.
Satu helaan napas Jeff embuskan sebelum akhirnya menjawab, "Ya." Dia lalu meraih botol di tengah meja. "Baiklah, giliranku."
Botol itu berputar lagi. Cukup lama sampai akhirnya berhenti pada Alby.
"Apa akan ada hukuman kalau aku terus minum tanpa menjawab?" Padahal belum ditanya, tetapi dia sudah mengajukan keringanan seperti itu. Padahal, aku pun ingin tahu beberapa hal tentangnya, tetapi mungkin dia memang lebih suka menyimpannya sendiri.
"Kau akan membuat permainan ini tidak seru." Aku menyentuh lengannya hanya agar mendapat perhatiannya. Tidak pernah kusangka kalau melihatnya tersenyum hanya padaku saat ini adalah sesuatu yang menyenangkan.
Alby meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Baiklah, karena pacarku sudah berkata begitu."
Claudia tiba-tiba tersedak. Jeff segera meraih sebotol air mineral dari meja di belakangnya dan memberikannya pada Claudia. Suaranya sukses membuat kami mengakhiri kontak mata.
"Perasaanku saja, atau dia hanya ingin mengusik kita?" Alby berbisik padaku.
"Dia sangat cemburu."
"Kita akan berhasil." Bisikannya diakhiri dengan mengecup punggung tanganku. Kurasa aku mulai terbiasa dengan hal-hal manis yang dia lakukan. "Jadi, pertanyaan apa yang harus kujawab?"
Jeff tampak berpikir keras. Dia juga mencuri-curi pandang ke arahku. Aku mulai mengira dia akan menanyakan sesuatu yang ada kaitannya denganku. Satu gumaman panjang lolos ketika tatapannya melayang pada Claudia.
"Setelah menghabiskan satu botol penuh minuman itu, apa kau akan mabuk?"
"Hah?" Itu refleks, terjadi begitu saja setelah aku menahan napas karena menantikan pertanyaannya.
Kurasa tidak hanya aku, tetapi Claudia juga kebingungan dengan pertanyaan konyol itu. Yah, tapi dia berhasil membuat Alby tergelak. Dia mungkin menganggap Jeff aneh karena melontarkan pertanyaan itu kepadanya.
"Tidak. Dan apa itu penting untuk diketahui?"
Jeff hanya mengangkat bahunya. "Kau harus memutar botolnya dulu sebelum bertanya, Tuan Muda. Dan pastikan tutupnya mengarah padaku." Dia menegakkan badan dan bersedekap. Jeff memang punya sisi humoris kadang-kadang.
"Aku lebih berharap botol ini berhenti ke orang lain." Alby memutar botol. Tatapannya fokus ke benda kaca itu seolah-olah sedang menghipnotis agar berhenti ke orang yang dia inginkan. "Tepat sasaran."
Claudia? Serius? Ada hal menarik apa yang membuatnya sampai ingin bertanya pada wanita itu?
Oh, dan lihat bagaimana ekspresi Claudia sekarang; berakting seolah-olah sangat terkejut menjadi seseorang yang Alby harapkan untuk ditanyai, padahal gagal menyembunyikan betapa dia sangat senang sekarang. Jelas sekali dia berharap masih ada hal baik yang terjadi di antara mereka.
"Aku tidak tahu kau masih tertarik untuk tahu tentangku, Alby." Wanita itu melirikku, seolah-olah sedang meminta maaf karena semua apa yang terjadi adalah di luar keinginannya.
"Oh, kau jangan tersanjung dulu, Claudia." Alby menoleh dan tersenyum padaku.
Sikap Alby membuatku bingung, tetapi sebelum aku sempat membalas senyumnya, tatapannya sudah mendarat ke kakiku yang dipasangi gips. Tunggu, sepertinya aku bisa menebak apa yang akan dia tanyakan.
"Apa terdapat unsur kesengajaan saat kau menabrak Ava?"
Nada bicaranya sangat dingin. Tidak hanya itu, Alby berhasil membekukan atmosfer di sekitar kami. Semuanya mematung, bahkan jika itu berwujud suhu, dia bisa saja mematikan perapian. Bagian terbaik dari situasi ini adalah, aku tidak perlu melihat Claudia terus-terusan merasa tersanjung. Wajahnya kaku, tanpa ekspresi, seolah-olah kebahagiaan direnggut paksa darinya. Ekspresinya tidak jauh berbeda dari yang kulihat saat di Food Festival—ketika Alby berada di sisiku.
Peraturan dari permainan ini adalah, kita harus menjawab dengan jujur. Meski pada kenyataannya tidak ada jaminan pemain tidak berbohong saat menjawabnya. Sayangnya, Claudia tidak cukup pandai menyembunyikan apa yang dia rasakan. Ini seperti aku sedang kembali ke hari itu, di mana dia tampak tidak rela saat Alby berkata bahwa dia bersamaku.
"Kami semua menunggu jawabanmu, Claudia." Alby bicara lagi setelah menunggu Claudia cukup lama.
Wanita itu tersenyum tipis, dalam diam menuangkan minuman ke gelasnya. Dia memutuskan untuk tidak menjawab dan menenggak itu dalam sekali tegukan. Dia berhasil membuat kami menduga-duga, apakah dia menyembunyikan sesuatu, atau dia sudah bosan terus-terusan berusaha mengklarifikasi.
"Kau membuat kami overthinking." Alby seperti sedang menyuarakan apa yang baru kupikirkan.
"Tentu saja aku tidak sengaja. Aku kehilangan keseimbangan saat mencoba melakukan gaya yang baru kupelajari. Sayangnya, sepatuku kebesaran."
"Kau masih bisa menukarkannya kalau mau. Itu tidak bisa dijadikan alasan, siapa pun tidak suka bermain dengan sepatu yang tidak nyaman. Andai kau tidak seceroboh itu, kecelakaan itu tidak akan terjadi."
Di seberang Alby, Jeff tampak mengulum bibir untuk menahan senyum. Aku merasa dia menyukai situasi di mana Claudia tampak tersudut.
Aku sempat mengira Claudia akan berusaha melontarkan pembelaan, tetapi kedua belah bibirnya terkatup rapat, seolah-olah apa pun yang dia katakan tidak akan berarti apa-apa. Bahkan semangat bermainnya sudah surut. Bibirnya mungkin terasa kaku untuk tersenyum lagi. Untuk beberapa saat aku merasa kasihan padanya. Dia memutar botol dalam diam dan senyumnya kembali begitu botolnya mengarah pada Jeff lagi.
Permainan berlanjut. Aku tidak tahu sudah berapa kali botol itu dibuat pusing. Namun, aku cukup beruntung karena benda itu baru tiga kali mendarat ke arahku dan aku memutuskan tidak menjawab hanya satu kali. Meski sempat muncul ketegangan karena pertanyaan Alby kepada Claudia tadi, tetapi dia dan Jeff berhasil memperbaiki suasana dengan melontarkan lelucon pada satu sama lain. Itu menjadi hal tidak biasa lainnya yang terjadi hari ini. Mereka tampak akrab, itu membuatku takjub.
Sekarang botol itu mengarah padaku lagi. Setelah Claudia dan Alby mendapat kesempatan, kali ini giliran Jeff. Kurasa permainan ini sudah bisa diakhiri karena semua orang sudah bertanya pada satu sama lain.
"Ava, ini pertanyaan serius. Apa kau sudah memaafkanku?"
Kalau yang Jeff maksud adalah cara tidak baiknya saat mengakhiri hubungan kami, aku tidak yakin kalau bisa memaafkannya. Namun, aku juga tidak menyimpan dendam padanya. Yang kulakukan hanya berusaha untuk melupakan kalau itu pernah terjadi, bahkan jika bisa, aku ingin lupa kalau pernah bersamanya.
Karena aku merasa tidak sanggup menjawab pertanyaan itu, aku memilih untuk minum. Claudia benar kalau botol milikku sangat aman dengan kadar alkohol tidak sampai lima persen, meski masih memberi efek panas pada tubuhku. Rasanya gerah meski tidak ada yang menaikkan suhu ruangan atau menambahkan kayu bakar pada perapian.
"Kuharap kau bisa menyimpulkannya sendiri, Jeff."
Jeff tersenyum, tetapi tampak kelegaan di wajahnya. "Aku akan menganggap itu sebagai sesuatu yang baik. Jadi, putarlah."
Botol yang kuputar berhenti pada Alby. Jujur saja, aku tidak tahu harus bertanya apa padanya sekarang. Rasanya semua yang ingin kutahu sudah ditanyakan oleh yang lain.
"Bolehkah pertanyaannya kulimpahkan pada orang lain?" Aku menatap Alby dan memberinya senyum yang agak menggoda, meski bukan itu maksud sebenarnya. Aku hanya ingat masih harus berakting di sini. "Aku lebih suka bertanya secara personal padanya."
Alby tersenyum puas karena itu. "Untukmu, apa pun itu, Sayang."
Hidungku mengerucut saat mendengarnya. Panggilan itu masih terdengar menggelikan di telingaku.
"Kalau begitu aku yang akan bertanya." Jeff mengangkat tangannya. "Mantan terakhirmu ... apa masih ada perasaan yang tersisa untuknya?"
Begitu Jeff menanyakannya, aku baru ingat kalau aku juga cukup penasaran akan hal itu. Apa dia masih menyimpan perasaan itu untuk Claudia? Well, aku tahu dia berusaha untuk membalas perasaanku, tetapi itu mungkin tidak akan terjadi jika dia masih menyimpan perasaan pada Claudia, wanita yang pernah benar-benar dicintainya.
"I'd rather not say it." Dengan itu, dia menuangkan minuman ke gelas dan meminumnya.
Dia membuat kami berspekulasi macam-macam, termasuk aku yang justru memikirkan kemungkinan terburuk. Ini benar-benar Natal terburuk yang lainnya. Atau bolehkah aku menyalahkan Jeff karena sudah menanyakan sesuatu yang sensitif seperti itu?
•••
Jadi, begini ... tiap mau nulis di laptop bawaannya cepet ngantuk. Jadilah aku tidur cepet terus :")
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
16 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro