82 - Apologize
Claudia tidak kunjung bicara sejak memasuki ruanganku, tetapi hanya sibuk menyeka air mata yang sesekali masih mengalir. Tatapannya tertuju pada kakiku yang berbalut perban elastis, seolah-olah tidak ada hal lain yang menarik selain itu. Aku sudah bertanya tiga kali tentang apa yang terjadi padanya, dan tentunya itu bukanlah tanda bahwa aku peduli. Aku hanya merasa risi oleh kehadiran seseorang dengan air matanya tanpa alasan yang jelas, dan aku selalu kaku begitu menghadapinya.
Beberapa kali aku saling lirik pada Alby yang sudah berpindah duduk di sofa dekat jendela--karena Claudia menempati kursi yang sebelumnya dia duduki. Dia pun tidak mengerti kenapa Claudia sampai bersikap seperti itu. Alih-alih menangis, aku lebih suka kalau wanita itu mengoceh saja. Terserah dia mau membual, pamer, bernostalgia, membandingkan bagaimana Alby saat masih menjadi pacarnya dengan menjadi pacarku, atau apa pun itu. Setidaknya dengan begitu aku tahu harus merasa kesal padanya daripada menunggunya selesai menangis, tetapi tidak tahu harus bersikap apa.
"Serius, Claudia, kalau kau tidak mau bicara apa-apa, silakan keluar. Ava perlu istirahat selagi menunggu perawat memasang gips di kakinya."
Aku tidak bisa tidak terkejut pada cara Alby mengatakan itu. Boleh kubilang agak sedikit kasar karena terang-terangan mengusirnya. Well, meski sebenarnya dia punya alasan yang cukup masuk akal. Ini sudah hampir petang dan perutku lapar.
Claudia kembali menyeka air matanya. "Sebentar, aku ingin meminta maaf."
"Kalau begitu cepatlah."
Dia menatap Alby dengan tatapan terluka. Anehnya, aku merasa senang karena itu. Maksudku, itu bisa disebut sebagai kemajuan, bukan? Sikap Alby sedikit lebih kasar. Apa dia masih berpikir kalau Claudia memang sengaja? Rasanya aneh saja melihatnya bersikap seperti ini, sedangkan di satu waktu bisa sangat panik hanya karena hal sepele menimpa wanita itu.
Claudia saja tampak terkejut dengan nada dingin pada bicara Alby. Air matanya mengalir lagi di salah satu matanya. Tangan yang sejak tadi memilin tisu pun tidak bergerak lagi. Dari sini aku mengerti, kalau Alby adalah kelemahannya. Dia boleh saja mengangkat dagu saat hanya ada aku, atau memamerkan keunggulannya atas diri Alby, tetapi bentakan Alby saja mampu membuatnya menunduk sangat dalam.
"Maaf, Ava, aku benar-benar tidak sengaja." Suaranya sangat pelan, mirip bisikan. Dan itu membuatku meragukan keseriusannya meminta maaf.
"Ya, tidak apa-apa. Lupakan saja, ini bukan tentang kau membuatku lumpuh atau semacamnya." Benar, kuharap aku juga bisa melupakan tentang kemungkinan Claudia sengaja melakukannya--seperti yang Alby katakan.
"Kau serius? Aku tidak bisa berhenti memikirkan tentang kakimu sampai menangis."
Aku tidak bisa bilang kalau ekspresi takjubnya adalah sesuatu yang bisa dimaklumi. Rasanya selama ini dia menganggapku orang jahat yang tidak bisa memaafkan kesalahan orang lain. Well, untuk sesuatu yang di luar batas toleransi, tentu saja tidak bisa kumaafkan. Dan sejauh ini aku belum menemukan sesuatu yang buruk sampai tidak mampu memaafkannya.
Perhatianku beralih sebentar karena suara langkah Alby. Dia beranjak pergi. Yang sempat kulihat hanya punggungnya saat membuka pintu ruanganku sebelum akhirnya lenyap di balik pintu. Lebih melegakan kalau dia pergi, aku tidak perlu bersandiwara lagi kepada Claudia.
"Memaafkanmu atau tidak, tidak akan mengubah apa-apa. Daripada memikirkan tentang kakiku, kau justru terlihat seperti seseorang yang takut aku akan membalas dengan mendorongmu agar terjatuh dari tangga."
Claudia menyeka air matanya dengan punggung tangan. Isi dari kotak tisu yang tersisa sudah habis dia pakai dan aku tidak ingin mengorbankan satu kotak lainnya. "Ava, aku benar-benar menyesal. Aku tidak sengaja."
"Aku tahu, tidak perlu mengklarifikasi seolah-olah aku tidak percaya padamu, Claudia. Jujur saja, aku malas memikirkan bagaimana kakiku bisa seperti ini. Aku tidak pernah mendapat keuntungan jika berurusan denganmu. Kalau kau berharap aku akan membencimu, bukan seperti ini caranya."
Claudia menutup mulutnya dengan wajah syok. Untuk sepersekian detik di situ aku merasa sedang melihat sosoknya yang kukenal dulu. Yah, bukan sesuatu yang baik pastinya.
"Aku tidak ingin kau membenciku."
"Jadi, tolong jangan memancingku. Aku merasa kau sedang berusaha membuatku mengatakan sesuatu yang buruk. Apa kau sedang merekamku?" Aku melihat sekeliling, berpura-pura mencari kamera meski aku tahu dia tidak akan sempat meletakkannya.
Claudia menggeleng pelan, seolah-olah aku baru melayangkan tuduhan padanya. Kuakui aku memang berusaha memancingnya, mengingat usahaku saat di Corbet's Cabin tadi diinterupsi oleh kembalinya Alby dan Jeff.
"Kau ... tidak ada bedanya dengan Jeffrey." Oh, tidak, air matanya mengalir lagi. "Dia tidak berhenti memaksaku agar mengaku kalau sengaja membuatmu terjatuh. Tunggu, apa kalian sudah merencanakannya?"
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi selain mengernyit. Tuduhan tidak berdasarnya membuat lidahku kelu, tidak tahu harus bereaksi apa lagi.
"Apa yang membuatmu dan Jeffrey yakin kalau aku sengaja melakukannya?" Dia hebat sekali masih bisa menuntut penjelasan meski sedang kerepotan dengan hidung yang setengah tersumbat oleh sisa-sisa tangisannya.
"Tunggu sebentar sebelum kau merasa menjadi korban di sini. Pertama, aku tidak menuduhmu sengaja menabrakku, tetapi bertanya apakah kau merekam sesuatu di sini--karena kurasa sikapmu aneh. Aku percaya kau tidak sengaja. Kedua, Jeffrey selalu punya alasan atas apa pun dugaannya, tidak mungkin dia akan sembarangan menuduhmu seperti itu. Dan kudengar dari Alby kalau kau jago bermain ice skating, mungkin itu alasannya."
Aku bukan bermaksud membela Jeff, tetapi aku tidak bisa membiarkan dia mengada-ngada untuk membuatnya terlihat seperti korban atas insiden tadi. Lagi pula, aku yang kesakitan di sini, aku mungkin tidak akan rela dia menerima belas kasihan meski tidak sengaja menabrakku. Dan pembicaraan yang panjang itu membuatku haus.
Beruntungnya, Alby sudah meletakkan beberapa botol air mineral di atas nakas dan berada dalam jangkauan tanganku tanpa harus berpindah posisi. Pria itu baik sekali sudah memikirkan hal sekecil itu.
"Tapi itu saja tidak cukup untuk melayangkan tuduhan kalau aku sengaja melakukannya, bukan?"
Mulut botol baru menyentuh bibirku, tetapi aku harus menunda minum hanya untuk mendengkuskan tawa pada ucapannya. "Itu berarti Jeff punya hal lain yang membuatnya yakin kalau itu adalah kesengajaan."
Kedua tangannya terkepal di pangkuan. Aku melihat itu melalui lirikan mata karena untuk melihat wajahnya, terhalang botol minum. Sejak tadi aku sudah berharap dia lekas pergi, itu sebabnya aku selalu mengatakan hal-hal yang menyebalkan. Namun, seperti yang kulontarkan sebelumnya, aku merasa dia memancingku untuk mengatakan sesuatu. Aku makin yakin soal itu setelah mengingat apa yang Jeff ceritakan padaku.
"Sepertinya itu akan menjadi urusanku dengan Jeffrey. Aku akan memaklumi kalau kau membenciku--karena aku masih belum menyerah untuk mendapatkan Alby kembali. Tapi, sekali lagi aku minta maaf, Ava. Aku benar-benar tidak ingin melukaimu."
Aku baru bisa tersenyum begitu dia bangkit dari kursi. "Aku akan merasa lebih baik kalau kau berhenti meminta maaf, Claudia."
***
Dua hari berikutnya, tidak banyak aktivitas luar yang kami lakukan. Rencana Alby untuk melakukan olahraga musim dingin pun batal. Paling hanya pergi ke tempat-tempat bagus, dengan aku yang selalu berakhir meminta istirahat. Sulit berjalan dengan tongkat. Alby sempat menawarkan agar aku memakai kursi roda, tetapi itu agak berlebihan untuk seseorang yang kakinya hanya terkilir.
Hari ini kami ke toko suvenir yang berada di tengah mal. Claudia bilang dia mendapat tawaran untuk mengiklankan tempat tersebut, jadi dia merekam hampir setiap momen untuk digabungnya menjadi sebuah vlog. Saat liburan saja dia bisa menghasilkan uang. Aku setuju ikut pergi karena ingin membeli hadiah untuk Nate dan teman-temanku. Sayangnya, aku sudah duduk di kursi padahal belum menemukan benda yang cocok untuk mereka.
Claudia meminta izin melanjutkan pekerjaannya, Jeffrey tentunya mengiringi mengingat dia harus ikut terlihat di dalam video. Mereka bilang, itu bisa meredam rumor tidak mengenakkan tentang mereka. Aku tidak mengira akan ada usaha untuk memperbaiki citranya. Tersisa aku dan Alby di sini.
Jujur saja, aku tidak enak membuatnya harus menungguiku di sini. Meski mengaku merasa tidak kerepotan, tetapi aku bisa melihat dia ingin pergi mendatangi suatu tempat. Bahkan melalui ponselnya, dia beberapa kali kedapatan sedang memeriksa katalog online beberapa produk. Namun, aku tidak bisa melihat dengan jelas benda apa yang sedang dilihatnya.
"Aku tidak apa-apa di sini sendirian." Aku berceletuk ketika Alby baru saja memandang sebuah tenant yang menjual pakaian olahraga pria.
"Aku tidak akan meninggalkanmu di sini sendiri. Kalau memang perlu, aku bisa pergi sendiri setelah kita kembali ke vila, seperti kemarin."
"Kita pergi seharian, apa kau tidak merasa lelah? Serius, aku akan menunggu di sini, kau bisa melihat-lihat. Kalau aku perlu sesuatu, aku akan meneleponmu."
Kernyitannya kuhadiahi dengan anggukan kuat. Aku berusaha meyakinkannya dengan tersenyum selebar mungkin, tetapi tatapannya justru turun ke kakiku yang masih dipasangi gips. Aku berharap bisa menyembunyikan kakiku sekarang. Sayangnya, untuk bergerak saja aku takut, mata kakiku serasa mau lepas. Aku pernah terkilir dengan sendirinya saat berada di atas hak, tetapi tidak separah ini sakitnya.
"Aku tidak merasa itu ide yang bagus."
"Kau sudah banyak kurepotkan. Mengambilkan pakaian dari lemari, mengantarku ke kamar mandi, membantuku turun dari tangga, lalu--" Aku harus berhenti bicara karena dia tiba-tiba memajukan wajah.
"Bisakah berhenti menganggap kau merepotkanku? Aku melakukannya atas keinginan sendiri. Aku kesal mendengarmu bicara seperti itu terus. Aku bertanggung jawab atas dirimu selama di sini, mengerti?"
Aku mendorong wajahnya menjauh. Sulit untuk mengabaikan kalau seseorang terlalu banyak membantuku, tidak peduli meski bukan aku yang meminta.
"Claudia mengirim pesan, mereka sedang membeli pernak-pernik dekorasi untuk pohon Natal di vila, mau menyusul?" Untuk beberapa saat, Alby menunggu jawabanku. Namun, diamnya aku sudah cukup untuk membuatnya mengerti dan buru-buru menyela, "Maaf, sebaiknya tidak. Aku akan memberi tahu mereka kalau kita kembali ke vila lebih dulu."
Alby mungkin ingat kalau aku tidak benar-benar menyukai Hari Natal. Hari yang dianggap spesial oleh orang-orang dan seharusnya jauh lebih spesial bagiku karena aku lahir pada hari itu, tetapi lagi-lagi Dad menodai hari itu. Andai waktu itu aku tidak pulang, mungkin selama beberapa tahun ke belakang, aku dan Nate masih bisa merayakannya. Apartemen kami tidak bisa seterang milik orang lain. Beruntungnya, Nate tidak keberatan kami tidak pernah menghias pohon Natal. Dia bukan orang yang suka repot-repot mendekorasi.
Mengingat itu semua membuatku marah dan kesal. Dan di sini bersama Alby, tidak benar-benar membuatku merasakan itu semua. Dia merangkulku, menarikku mendekat hingga kepalaku bersandar di bahunya. Aku ingat dia pernah menjanjikan Natal yang lebih baik untukku dan aku menantikannya. Merayakan Natal berdua saja dengan Nate jelas akan berbeda dengan ketika aku merayakannya bersama Alby, bukan?
"Apa kau juga keberatan melihat pohon Natal di vila? Aku akan hubungi mereka agar tidak jadi mendekorasi." Dia mengusap lengan kananku dengan lembut dan membuatku merasa jauh lebih nyaman.
"Tidak perlu. Aku tidak apa-apa melihat pohon Natal, lagi pula itu cantik. Aku hanya terlalu emosional kalau memikirkannya lama-lama."
Aku merasa Alby akan menganggap itu adalah alasan yang konyol. Karena terlalu emosional? Setiap orang punya kemampuan untuk mengontrol itu, aku saja yang payah karena membiarkan emosi menciptakan kehidupan yang penuh kegelapan. Seharusnya aku bisa melupakan soal itu sedikit demi sedikit, bukan malah membiarkannya tetap membekas di kepala.
"Aku mengerti, pasti berat untukmu. Kalau begitu, kita kembali ke vila? Kunci mobil ada padaku."
Dia mengerti? Semudah itukah?
"Bagaimana dengan mereka?"
"Mereka orang dewasa, bisa memikirkan bagaimana cara untuk kembali ke vila."
***
"Kau sudah bisa menurunkanku di sini."
Alby berhenti sebentar begitu melewati pintu masuk ke vila. Kukira dia akan menurunkanku dari gendongannya, tetapi justru menjatuhkan tongkat yang membantuku berjalan. Padahal jarak antara lahan parkir dengan vila lumayan jauh dan dia sudah menggendongku dari sana. Yah, aku tahu dia mungkin tidak ingin otot-ototnya hanya berakhir menjadi pajangan untuk menggoda para wanita. Namun, tidak nyaman dimanja seperti ini.
"Repot sekali membawa tongkat itu sambil menggendongmu. Akan kuambil nanti."
Dia melanjutkan langkah dan menaiki tangga, sementara aku tidak berhenti memandang tongkatku--hanya untuk memastikan benda itu tidak terbelah dua karena Alby menjatuhkannya sembarangan.
"Kau gila, ya?"
"Jangan terlalu banyak bergerak, kita sedang naik tangga, nanti jatuh."
Aku mencengkeram jaketnya di bagian di mana aku berpegangan padanya sejak tadi, tidak peduli itu akan membuat lehernya tercekik. Dan benar saja, dia melayangkan tatapan protes padaku. Keseimbangannya mulai goyah. Aku tahu ini akan membuat kami sama-sama terjatuh, tetapi aku tidak tahan ingin memberinya pelajaran karena tidak mau mendengarkanku.
"Berhenti menggendongku seperti ini. Aku merasa risi."
Alby menatapku dengan alis yang terangkat sebelah. Mungkin dia belum terbiasa memperlakukan wanita yang berbeda jauh dengan mantan-mantannya dulu. Siapa yang tidak suka diperlakukan seperti ini? Kuakui aku tidak membencinya juga, tetapi tidak ketika pria itu adalah Alby.
"Kukira itu akan memudahkanmu. Kau tahu, aku senang melihat wanita itu tampak kesal ketika aku memanjakanmu."
Ah, aku lupa kalau sebagian besar dari bentuk perhatiannya adalah bagian dari rencananya membuat Claudia cemburu. Aku bodoh sekali sampai melupakan itu. Yah, jujur saja aku terlena oleh perlakuannya.
"Kalau begitu jangan lakukan di saat dia tidak melihatnya." Aku melonggarkan peganganku pada jaketnya.
Di sisa anak tangga yang kami naiki, Alby hanya diam. Aku akan menganggap itu kalau dia mengerti maksud permintaanku.
Alby kesulitan menarik knop pintu kamar, jadi aku yang melakukannya. Dia menurunkanku pelan-pelan agar duduk di tepi kasur. Setelah melepas mantel miliknya, dia juga membantu melepas milikku. Alby sudah melakukan ini sejak pulang dari rumah sakit dan memang aku membutuhkan bantuannya untuk itu. Terakhir, dia melepas gips di kakiku, menyisakan perban elastis yang harus diganti sehari sekali agar bisa diolesi salep. Bengkaknya sudah berkurang, tetapi aku belum berani terlalu banyak menggerakkan kaki karena rasa sakitnya akan menghantuiku sepanjang hari.
"Saat ada Claudia, aku ingin membuatnya terluka. Tapi saat tidak ada dia, aku sedang berusaha menunjukkan keseriusanku tentang apa yang kurasakan. Ava, Ava, tidak bisakah kau menikmatinya saja? Sepertinya aku sudah beberapa kali memintamu seperti itu." Dia bicara begitu sembari melepas gips kakiku. Begitu selesai, dia memandangku terlalu lembut sampai-sampai aku tidak tahan ingin menyentuh wajahnya. Itu membuatku harus mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh, menahan keinginan itu karena seharusnya aku sedang merasa kesal saat ini.
"Aku tidak tahu harus berkata apa." Tatapanku turun untuk menatap garis rahangnya yang tajam. "Yang pasti, aku sangat berterima kasih karena kau merawatku dengan baik. Seperti yang Nate katakan padamu, toleransiku pada rasa sakit sangat rendah. Parahnya, aku juga memperlihatkan sisi terlemahku ini padamu. Kurasa kita impas."
"Aku senang mengetahuinya. Itu memberiku alasan agar bisa memperhatikanmu." Alby mengedikkan bahunya sebentar. "Yah, mengingat pertemuan pertama kita dulu, kau memberi kesan wanita yang kuat dengan dinding baja yang sulit ditembus."
Aku tertawa hambar, tidak tahu ingin menanggapi ucapanya sebagai pujian atau sindiran. Ekspresi wajahnya terlalu menyebalkan untuk bisa menganggap itu sebagai pujian.
"Aku tidak bisa bergantung pada siapa pun selain diriku sendiri. Mau tidak mau, aku harus membangun sisi pertahananku agar tidak semua orang bisa dengan mudah membuatku kacau. Sampai akhirnya aku bertemu pria yang lebih keras dari batu."
Alby tampak sedang menahan senyum di balik kuluman bibirnya. Menyenangkan berbicara dengan keterbukaan seperti ini dengannya. Aku berharap momen seperti ini bisa bertahan lama, tanpa aku harus memikirkan bahwa di balik semua ini ada misi yang harus diselesaikan.
"Aku tersanjung mendengarnya darimu." Alby yang sebelumnya setengah berjongkok untuk melepas gips, sekarang berubah menjadi berdiri di atas lututnya. Wajahnya sejajar denganku sekarang, ya, walau posisi matanya masih sedikit lebih tinggi dariku. "Beginikah caramu menggodaku?"
Tangan kanannya naik untuk melepas ikat rambutku, sementara tangan kiri bertumpu di pinggiran kasur--bersamaan dengan wajahnya yang mendekat. Aku bertanya-tanya apa dia membutuhkan ikat rambutku atau apa, tetapi dia justru melemparkannya ke sisi lain kasur. Dia membuatku menelan ludah karena tangan itu sekarang menangkup rahang kiriku.
Aku merasa dia akan menciumku ketika tatapannya tertuju pada bibirku. "Alby." Mataku terpejam ketika memanggil namanya, dan di saat itu, hidungnya sudah bertemu hidungku. "Tongkatku."
Aku bisa merasakan dia tersenyum. Mataku baru kembali terbuka setelah dia melepaskan rahangku.
"Kau merusak suasana." Dia berdiri dengan ogah-ogahan dan wajahnya tertekuk.
"Kau sudah berjanji, Alby."
"Ya, ya, ya, kau beruntung kali ini, Ava. Cara yang bagus untuk melepaskan diri dariku." Dia mengatakan itu sambil berjalan ke luar kamar.
Bayangkan saja apa yang akan terjadi sekarang kalau aku tidak segera menghentikannya?
***
Hai, ini Tuteyoo, Author yang benar-benar berdosa karena sudah menelantarkan anak-anaknya. Aku akan bercerita sedikit, tapi ini bukan bermaksud meminta teman-teman memaklumi, ya, tapi cuma mau berbagi. Karena biar bagaimanapun, Tuteyoo bersalah karena sudah lama nggak update.
Jadi, begini, sejak awal 2020 Tuteyoo nggak punya laptop lagi karena rusak dan nggak bisa dibenerin. Oke, laptopnya udah tua, sih, jadi ya begitu. Selama dua tahun ke belakang, nulisnya pake hape, kadang usil curi-curi kesempatan nulis di PC kantor. Niat nabung buat beli baru tuh ada, bangeet. Biar kayak gimana pun, nulis di laptop lebih enak daripada hape.
Sayangnya, sebagai anak pertama dengan tiga sodara yang semuanya masih menimba ilmu, ada tanggung jawab lain yang harus diutamakan. Kupikir nggak papa deh, nanti-nanti aja belinya, nulis di hape kan masih bisa. Walau kadang masih sering mikir, kenapa aku nggak bisa kayak orang-orang yang penghasilannya utuh buat dia sendiri, nggak perlu buat bantu yang lain-lain. Itu tuh pikiran-pikiran jelek yang mengganggu aja, sih. Heheh.
Nah, Jumat minggu lalu, Tuteyoo dapat rezeki nggak terduga. Dia dikasih laptop sama orang baik. Walau nggak baru, tapi masih bagus banget. Spesifikasinya lebih dari yang dibutuhkan buat sekadar nulis, yang bahkan kalau mau beli sendiri, kayaknya nggak kepikir bakal beli yang sebagus itu.
Pelajaran yang bisa kutangkap dari ini tuh, menjadi baik itu susah, apalagi buat ikhlas. Tapi percaya aja, kalau setiap perbuatan yang kita lakukan akan berbalik ke kita. Tuhan udah menjanjikan itu ke kita. Tentunya dengan cara yang nggak terduga. Tuteyoo perlu uang buat beli laptop, tapi alih-alih dihujani uang, Tuhan titipin melalui orang-orang di sekitarnya. Emang sebaik-baiknya manusia adalah berbuat baik kepada manusia lainnya, kita nggak tahu Tuhan nitipin rezekinya lewat siapa.
Dan, ya, balik lagi ke atas, karena euforia punya laptop baru ini, Tuteyoo terlalu asyik mengisinya dengan hal-hal yang dia suka, sampai nggak nulis. Mulai dari update dari Win10 ke Win11, sampai unduh font-font bagus biar nambah semangat nulisnya di Ms. Word. Heheh.
Itu aja, teman-teman. Terima kasih dan maaf buat kalian yang masih menunggu dan membaca cerita ini
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
11 September 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro