Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

81 - Ice Skating

Aku masih merasa takjub dengan keberadaan kami di sini bersama Jeff dan Claudia. Sekali lagi aku pergi berlibur tanpa tiga teman terdekatku. Setidaknya kali ini aku tidak menggagalkan rencana seperti musim panas lalu. Lihatlah bagaimana mereka meributkan soal itu di grup chat kami. Aku sampai tidak tahu harus menceritakannya mulai dari mana.

Hyunjoo - Punya kekasih seperti Alby memang menguntungkanmu, Ava.
Hyunjoo - Berjanjilah kau akan menceritakan semuanya!
Hyunjoo - Seperti apa Jackson Hole?

Dave - Seperti ladang di daerah pegunungan, Sayang. Hanya saja saat ini diselimuti salju.
Dave - Kau hanya perlu memeriksanya di internet.
Dave - [📷 photo] Lihat, penuh dengan lumbung.

Pete - Bung, kau mengirim foto yang salah. Itu salah satu daerah di Wyoming dan diambil saat kemarau.

Dave - Setidaknya aku berusaha. Ada seseorang yang tidak kunjung membalas pesan kita.

Hyunjoo - Dia sedang menikmati liburannya. Sabarlah.

Dave - Dan meninggalkan kita.
Dave - Alby menguasai Ava kita, dan itu menyebalkan.

Hyunjoo - 😒😒

Pete - Abaikan aku.
Pete - Aku hanya kebetulan ada di sini untuk menyaksikan perdebatan sepasang suami istri.
Pete - Ava, kau sudah membaca pesan ini, jangan lupa untuk membalas.

Hyunjoo - Kau benar. Aku tidak sadar dia sudah membaca.

Pete - Kalian terus berdebat.
Pete - Sedangkan aku di sini berusaha menghibur ibuku yang gagal membuat kejutan ulang tahun untuknya.
Pete - Bagian terburuknya, dia mengutus Nate untuk mewakilinya meniup lilin.

Dave - Hei, orangtuamu tidak mengundang kami?

Pete - Kau harus berhasil mencuri hati ibuku.

Dave - Sayang sekali aku tidak bisa mencuri hati yang lain selain istriku.

Hyunjoo - 😚😚

Aku mendengkus geli karena keributan mereka di grup diakhiri dengan emoji menggelikan dari Hyunjoo. Pete tidak pernah tahan dengan emoji itu dan memilih tidak lagi muncul di grup. Dan tentunya sepasang suami istri itu akan meneruskan obrolan mereka di chat pribadi.

Aku menyimpan ponsel ke tas saat mobil berhenti di depan sebuah bangunan kecil. Ada banyak orang berkumpul di sana untuk menyewa sepatu ice skate. Dan aku yang tidak pernah melakukan ice skating justru ikut mengantre untuk memakainya juga. Jangankan melakukan ice skating, berjalan di atas sepatu roda saja tidak pernah.

"Bagaimana kalau aku hanya menonton dan kau bermain dengan yang lain?" Aku cukup sadar seharusnya mengatakan ini sebelum tiba di arena ice skating, tetapi aku sempat merasakan keinginan untuk mencobanya. Namun, begitu melihat ke luar jendela dan menemukan seseorang terjatuh di atas danau yang membeku, keinginan itu menguap begitu saja, tergantikan oleh kengerian. Bagaimana kalau ketika aku terjatuh tiba-tiba es di bawahku pecah?

"Kenapa?"

"Aku belum pernah melakukannya."

Alby mendengkus jenaka. Kurasa dia sudah banyak direpotkan semenjak melibatkanku ke kehidupan elitenya. Kehidupan orang-orang kelas atas benar-benar di luar dari kebiasaanku. Aku takjub pada hal-hal tidak masuk akal yang mereka lakukan, seperti menggelontorkan banyak uang pada acara lelang. Dengan nominal sebanyak itu, masa depanku mungkin akan terjamin.

"Aku akan mengajarimu, jangan khawatir. Tidak akan kubiarkan kau sampai terjatuh." Baik, senyumnya yang menawan sukses meyakinkanku untuk percaya, meski takada jaminan aku tidak terjatuh oleh ketidakseimbangan diriku nanti.

"Apa kau juga sudah memikirkan sesuatu untuk membuat Claudia bereaksi?" Sekali lagi, aku yang harus mengingatkannya tentang tujuan utama kami bersama. Beruntungnya kami mengantre jauh di belakang mereka. Sejauh ini berhasil, hanya perlu sedikit dorongan sampai Claudia tidak tahan dan memohon untuk kembali bersama Alby. Namun, sebelum itu, aku perlu jawaban atas dugaan Jeff bahwa dia juga terlibat dalam penyebaran rumor palsu itu.

Alby menggandeng tanganku dengan erat. Entah apa tujuannya melakukan itu. "Kita akan bersenang-senang. Itu sudah akan membuatnya cemburu tanpa perlu kita lebih-lebihkan."

"Mungkin akan lebih menyenangkan kalau dia menunjukkan usahanya untuk mendapatkanmu. Gerak-geriknya terlalu buram untuk bisa dibaca."

"Misi ini akan berhasil, Ava. Aku tidak mengada-ngada soal menyerahkan diriku sepenuhnya padamu." Dia menatapku sangat intens. Sorotnya berhasil membakar sesuatu di dalam diriku hingga membuatku frustrasi.

"Kalau kau memang yakin, kenapa untuk bersamaku saja harus menunggu sampai rencana itu berhasil? Kau pikir perasaanku akan bertahan selama itu?" Parah, aku memikirkan itu lagi di saat-saat seperti ini. "Aku masih tidak mengerti kenapa kau membuat semua ini terasa rumit."

Satu napas panjang Alby embuskan. Mungkin dia sudah muak mendengarkan hal yang sama terus-menerus. Setelah kuingat-ingat, kami memang tidak berhenti membicarakan soal ini--dengan aku yang selalu memulainya. Boleh jadi aku tidak akan memikirkannya andai dia bersikap seperlunya.

"Kepuasan. Aku ingin merasa puas saat melihatnya memohon. Dan percayalah, kau yang membuat semua ini rumit, Ava. Apa susahnya menikmati kebersamaan kita, hm? Kita sepasang kekasih, jadi jangan tahan-tahan dirimu."

Mudah mengatakan itu bagi seseorang yang tidak merasakan apa-apa di hatinya. Aku menarik tanganku agar terlepas dari genggamannya dan bersedekap. Bahkan di saat dia baru saja meyakinkanku tentang hubungan kami, aku sudah harus menemukan tatapannya tertuju pada Claudia.

"Kau saja yang mengantre, aku akan menunggu di luar."

Sebelum mendengar responsnya, aku sudah lebih dulu keluar dari barisan antre. Dia sudah tahu nomor kakiku, jadi aku tidak perlu repot-repot mencoba sepatunya lebih dulu.

Di luar, aku menemukan sebuah kursi panjang yang kosong di tepian danau yang membeku. Dari posisi ini, aku bisa melihat barisan pegunungan yang diselimuti oleh salju. Pemandangannya sangat cantik sampai aku tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"Mom, aku ada di sini. Kau pernah melukis pegunungan penuh salju dari foto yang kaulihat di internet dan menuliskan harapan agar bisa mendatanginya bersamaku. Namun, kau sudah pergi sebelum itu terjadi. Maaf, karena aku datang ke sini melihatnya langsung tanpa mengajakmu."

Aku beralih menatap langit sebelum air mata yang mulai menggenang jatuh mengalir di pipi.

"Kau melihatku dari sana, kan, Mom? Apa yang kulakukan ini sudah benar? Aku tidak bisa berhenti memikirkannya padahal itu membuatku sakit." Aku terpejam, menikmati angin yang berembus meski itu membuat cuacanya menjadi lebih dingin. "Apa aku yang berharap terlalu banyak? Seharusnya itu tidak berakhir seperti ini. Seharusnya, aku bisa mengontrol diriku agar tidak terjatuh dalam pesonanya. Memang dari awal seharusnya aku tidak melibatkan diri dalam hal apa pun dengannya. Mom, itu salahku dan sepertinya aku memang harus menerima risikonya."

Apa yang sudah kulakukan? Bicara sendiri di tempat umum seolah-olah Mom memang sedang tersenyum padaku di atas awan. Orang-orang bisa saja mendengarnya, tetapi setidaknya mereka tidak mengenalku dan akan melupakannya begitu pergi dari tempat ini.

Aku memperhatikan sekitar, mencari-cari sesuatu yang menarik untuk mengalihkan pikiran. Benar kata orang-orang, jatuh cinta hanya akan membuatmu lemah. Aku jadi lebih sering merasa ingin menangis hanya karena patah hati. Parahnya, aku justru memperhatikan pasangan di bagian kanan danau. Si pria dengan sabar membantu si wanita menyeimbangkan diri di atas sepatunya. Tidak tampak sedikit pun beban saat mereka tertawa. Mereka bersenang-senang. Apakah akan terlihat seperti itu ketika Alby mengajariku? Yah, mungkin saja seandainya aku berhenti memikirkan tentang ketidakpastian perasaannya.

Oh, aku juga melihat Jeff dan Claudia sudah berada di tengah danau dengan sepatu mereka. Mereka menikmatinya seolah-olah sudah lupa kalau kebersamaan mereka terjadi karena keterpaksaan. Ini baru hari pertama berlibur, tetapi aku sudah merasa frustrasi. Ah, andai aku bisa kembali ke penginapan seorang diri.

"Ava."

Aku menoleh pada Alby yang berdiri di sisi kananku dengan membawa dua pasang sepatu. Namun, aku yang tidak berhasrat untuk melakukan apa-apa ini beralih menatap danau beku dengan malas. Terlalu banyak orang di sana, aku khawatir akan menabrak salah satunya.

"Aku tidak ingin ke sana."

"Apa kau masih kesal karena pembicaraan tadi?" Dia duduk di kursi, dengan dua pasang sepatu yang dibawanya tadi sebagai jarak di antara kami.

"Aku tidak tahu. Aku hanya ... overthinking, kurasa." Aku menggaruk pelipis untuk menyembunyikan kalau aku tidak tahu harus berkata apa lagi. "Lupakan. Kau mau aku mencoba ini?" Telunjukku mengarah pada sepatu di antara kami.

Cukup lama aku menunggu responsnya, tetapi yang kutemukan justru dia sedang menatapku. Tatapannya yang lembut sukses membuat hatiku nyeri. Lagi-lagi hati yang rapuh ini mengharapkan sesuatu yang lebih.

"Maafkan aku, Alby. Seharusnya kita di sini untuk membuat Claudia cemburu, tapi aku justru mengacaukannya. Aku merasa seperti bukan diriku sendiri. Apa yang kurasakan padamu mempersulit semua ini--benar katamu. Ayo, kita perlihatkan betapa kita sangat bahagia."

Aku melepas sepatu botku, menyisakan kaus kaki. Kemudian meraih sepasang sepatu yang ukurannya lebih kecil untuk kupakai. Aku menyadari tatapan Alby masih tertuju padaku, tetapi aku berusaha mengabaikannya. Dia pasti berpikir aku bersikap konyol saat ini.

"Kau membuatku seperti orang bodoh, Alby." Bodoh karena memakai sepatunya lebih dulu padahal tahu tidak bisa berdiri seimbang dengan itu.

Aku merasa makin buruk ketika Alby mulai mengganti sepatunya, tetapi masih tidak kunjung bicara. Lagi-lagi aku mengacaukannya. Mungkin karena ini adalah kali pertama aku jatuh cinta, aku tidak siap untuk patah hati. Terlalu banyak yang kukhawatirkan meski itu tidak akan terjadi.

Alby berdiri. Dia melakukannya dengan mudah meski di atas sepatu skate. Oh, Tuhan, memangnya apa yang tidak bisa dia lakukan?

Aku mendongak, tetapi langit yang cerah membuat mataku menyipit. Pahatannya masih tampak sempurna meski tampak seperti setengah siluet.

Dia mengulurkan tangan ke arahku dan aku menyambutnya. "Berdirilah pelan-pelan."

Aku baru mengangkat pantatku sedikit, membiarkan tubuh bertumpu sepenuhnya pada kaki, tetapi aku sudah hampir terjungkal ke depan. Ini belum es dari danau yang membeku, tetapi sudah sangat licin. Aku menggenggam tangan Alby makin erat dan dia meraih tanganku yang satu lagi. Dengan berpegangan dua tangan, aku mampu berdiri meski kakiku bergetar.

"Dorong kakimu ke depan secara bergantian pelan-pelan, seperti ini." Alby memberi contoh bagaimana aku harus bergerak tanpa dia berpindah. Dia melepas satu tanganku dan berdiri di sebelah kananku. "Bengkokkan lututmu sedikit saat mengganti kaki yang lain. Itu akan membantumu menyeimbangkan tubuh."

Dia tampak sangat serius, seperti seorang pelatih yang ingin aku memenangkan perlombaan ice skating. Kalau begitu, kuharap dia cukup sabar mengajariku.

Aku melakukannya persis seperti yang dia ajarkan. Beberapa langkah berhasil dengan Alby mengiringi pergerakanku. Namun, ketika memutuskan untuk berhenti, aku hampir terjatuh seandainya Alby tidak sigap menangkap pinggangku.

"Kau mempelajarinya dengan cepat." Akhirnya seulas senyum muncul di bibirnya.

"Aku hampir menabrakkan wajah ke atas es."

Dia tertawa pelan. "Ayo, kita coba lagi."

Alby melangkah pelan-pelan agar aku bisa mengiringinya. Ini tidak seburuk bayanganku dan kakiku mulai bergerak dengan tempo yang stabil. Aku memberanikan diri melepas tangan Alby dan merentangkan tangan untuk menyeimbangkan diri. Namun, Alby tidak berjalan jauh-jauh dariku. Ini menyenangkan, rasanya seperti membelah udara ketika aku terus bergerak maju.

Aku mencoba berjalan agak serong, sekaligus menghindar agar tidak menabrak orang lain. Sekarang aku mencoba untuk berhenti, tidak lagi mendorong kakiku agar terus bergerak. Aku harus tetap menyeimbangkan tubuh ketika sepatu ini masih menggelincir di atas es. Makin pelan, hingga akhirnya aku benar-benar berhenti.

Sayangnya, aku terlalu fokus memperhatikan kaki sampai tidak menyadari kalau dari sisi kananku, seseorang kehilangan kendali dan sepatu skate yang dia kenakan menghantam kakiku. Aku tidak sempat lagi mempertahankan keseimbangan hingga akhirnya terjatuh. Suara teriakan Alby sempat kudengar sebelum yang bisa telingaku dengar hanyalah dengungan. Setelah itu yang bisa kurasakan hanya sakit di mata kaki.

•••

"Benturan yang diterima terlalu keras sampai pergelangan kakinya bengkok ke arah yang tidak seharusnya. Itu mengakibatkan adanya robekan pada ligamen. Beruntungnya, tidak perlu penanganan yang serius meski akan terasa sakit selama beberapa waktu ke depan."

Aku tidak bisa tidak meringis ketika dokter yang sedang menjabarkan kondisi kakiku tidak sengaja menekan area yang sakit, padahal hanya bermaksud menunjuknya. Aku pun tidak bisa berhenti bergidik ngeri pada setiap penuturan wanita berjas putih itu. Apalagi setelah mendengar suatu jaringan di dalamnya robek.

Parahnya, ruangan yang didominasi oleh warna hijau mint ini juga tidak membuatku merasa nyaman. Kamar rumah sakit membuat kepalaku pening. Perutku mual, bahkan kupikir isi perutku sudah naik sampai kerongkongan, menunggu dimuntahkan. Ini adalah kali pertama aku ke rumah sakit lagi semenjak kematian Mom. Perasaan yang menyiksa itu membuatku berharap bisa cepat-cepat pergi.

Dokter itu menunjukkan sebuah gambar hasil rontgen kakiku yang bengkok sebelum ditangani dan spontan membuat mukaku berpaling. Bagian paling sakit adalah ketika dia mengembalikan posisi kakiku agar kembali normal saat penanganan. Saking sakitnya, aku sampai tidak merasakan telapak kakiku lagi. Ini adalah kondisi terburuk yang pernah dialami tubuhku.

"Akan ada pembengkakan di area mata kaki, tapi tidak perlu khawatir, itu biasa terjadi. Kami akan tuliskan resep obat untuk penghilang rasa nyeri dan obat untuk memperbaiki robekan ligamen. Sementara waktu, kami akan memasang gips untuk melindungi area pergelangan kaki. Itu saja, ada yang mau ditanyakan?"

"Apa dia perlu rutin berperiksa ke spesialis ortopedi atau melakukan terapi rehabilitasi medis?" Pertanyaan Alby membuat napasku tercekat.

"Tidak perlu. Robekannya tidak separah itu. Tulang-tulang yang bergeser masih bisa dikembalikan ke posisi semula, tidak ada yang patah."

Membayangkan tulang yang bergeser saja sudah membuatku merasa ngilu. Aku bahkan tidak sanggup memandang hasil rontgen lebih dari tiga detik. Ya, tidak sanggup mengingat rasa sakitnya.

"Itu sungguh melegakan."

"Baik. Kalau begitu, saya harus pergi. Perawat akan datang untuk membantu memasangkan gips."

"Terima kasih, Dokter."

Aku tidak sanggup bicara lagi karena menahan rasa sakit. Ini sudah tidak separah sebelum aku dibawa ke rumah sakit, tetapi aku tidak sanggup jika merasakan nyeri yang berkepanjangan. Air mataku masih berusaha untuk lolos, dan aku terus menahannya agar tidak membuat orang lain khawatir. Meski aku tahu, itu gagal. Ada satu orang yang tidak kupercaya akan sangat mengkhawatirkanku.

Alby kembali ke sebelah ranjangku setelah menutup pintu ruangan. Sekitar matanya memerah, bukti bahwa dia juga menahan diri agar tidak menangis. Aku tidak biasa melihatnya seperti ini, jadi itu cukup menghiburku. Kapan lagi aku dikhawatirkan oleh pria seperti Alby? Dia meraih sebelah tanganku hanya untuk diciumi berkali-kali. Sikapnya sudah seperti orang yang mau ditinggal mati kekasihnya yang sakit parah.

"Aku berjanji tidak akan membiarkanmu jatuh, tapi kau justru berakhir di sini." Dia menarik napas dalam-dalam dengan mata terpejam, lalu mengembuskannya agak keras. "Seharusnya tidak kulepaskan tanganmu tadi."

"Ini hanya terkilir. Jangan khawatir berlebihan." Suaraku terdengar seperti desisan. Aku tidak sengaja menggerakkan kaki kananku hingga nyeri yang hampir hilang itu kembali menyerang.

"Tapi kau tidak bisa berjalan dengan benar selama berminggu-minggu. Bagaimana bisa aku merasa tenang?" Suaranya yang seperti erangan itu terdengar mengerikan, apalagi ditambah dengan wajah yang merah. Aku sampai mengira dia sedang menahan emosi yang entah disebabkan oleh apa.

"Kau terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja, sekali lagi kutegaskan, hanya terkilir."

Tidak, kurasa kata 'hanya' kurang tepat dipakai untuk menggambarkan situasiku--maksudku, jika memandang dari seberapa sakit kakiku sekarang. Namun, tetap saja terkilir tidak membuatku harus dipasangi selang infus. Tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan pula. Atau Alby memang seperti ini jika khawatir? Aku ingat insiden pingsannya Claudia, dia sampai mengabaikanku.

"Satu informasi tentangmu yang kudapat dari Nate, tingkat toleransimu terhadap luka atau rasa sakit sangat rendah. Begitu tubuhmu menghantam es, kau menjerit keras sampai berkeringat dingin. Wajahmu bahkan masih pucat." Dengan sebelah tangannya yang bebas, Alby menangkup wajahku. Jempolnya bergerak lembut di pipi, memberi rasa nyaman, hingga aku terpejam.

"Maaf, aku mengacaukan liburannya."

Aku ingat mereka sempat membicarakan aktivitas-aktivitas outdoor yang bisa mereka lakukan saat musim dingin. Ada banyak hal yang ingin mereka lakukan, bahkan Alby sangat bersemangat menyebutkan satu per satu yang ingin dia lakukan. Sulit dipercaya, tetapi dia memang jadi sedikit lebih akrab dengan Jeff.

Decakan kesalnya mengisi ruang hening di antara kami. "Claudia yang membuatmu seperti ini, Ava. Dia yang bermain tidak hati-hati sampai menabrakmu. Sekarang di mana wanita itu, sejak kau dibawa ke sini, dia tidak terlihat lagi."

"Oh, Claudia?"

Begitu kakiku dihantam seseorang, aku tidak peduli lagi pada sekitarku. Nyeri di kakiku memenuhi kepala. Takada yang kupikirkan selain bagaimana cara meringankan sakitnya. Sungguh, aku sama sekali tidak menyadari kalau Claudia yang melakukannya.

"Dia juga terjatuh, tapi tidak ada cedera serius sepertimu. Kuanggap itu sedikit tidak adil." Alby menjatuhkan kepalanya ke sisian ranjang yang kutempati.

"Aku tidak tahu kalau dia yang menabrakku."

Dia mendongak, tetapi dagunya enggan meninggalkan empuknya ranjang. "Aku tidak akan tinggal diam kalau ternyata dia sengaja melakukan itu." Suaranya yang berdesis menandakan bahwa dia tidak main-main memperingatkan.

"Apa yang membuatmu sampai berpikir dia sengaja?"

"Ice skating, dia melakukannya dengan sangat baik. Bahkan tahun lalu dia melakukan photoshoot sambil menari di atas sepatu skate."

"Kecelakaan bisa terjadi pada siapa saja, tidak peduli kau sudah ahli atau pemula."

Aku cukup mengenal Claudia, meski dia berbuat buruk, dia akan menghindari sesuatu yang berisiko dan tidak bisa dia pertanggungjawabkan. Jika dibandingkan dengan rumor palsu, risiko kakiku akan patah jelas lebih dia hindari. Well, setidaknya jika dia masih seperti itu, tidak berubah.

Alby bergeming, dia hanya menatapku dengan sorot yang tidak bisa kuartikan. Lebih tepatnya, aku tidak berani menyimpulkan sendiri maksud dari tatapannya. Aku khawatir itu berakhir membuatku tidak mampu mengontrol perasaanku. Aku tidak ingin salah paham meski kurasa dia berusaha menyampaikan kekhawatirannya padaku.

"Kapan aku bisa pulang?" Aku bertanya hanya agar terlepas dari keheningan yang tidak nyaman. Selain itu, aku juga tidak merasa nyaman kalau harus mendengar hal-hal tidak menyenangkan tentang Claudia. Oke, dia mungkin sudah merencanakan hal buruk--meski belum terbukti, tetapi memikirkan kalau dia sengaja ingin mencelakaiku rasanya jauh lebih buruk.

"Setelah gipsnya dipasang di kakimu. Mereka mungkin sedang mempersiapkannya."

Aku hanya mengangguk, tidak lagi mengeluarkan suara. Sampai akhirnya, pintu ruangan terbuka dengan Claudia muncul dari baliknya. Namun, kenapa dia menangis?

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
31 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro