Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

80 - Day One

"Pagi-pagi kau sudah tidak ada di kamar. Ke mana saja?"

Suara Alby membuatku kaget. Aku tidak melihatnya tadi, mungkin baru keluar dari kamar mandi di saat yang sama aku berbalik menutup pintu.

"Ke dapur karena haus dan mengobrol dengan Jeff sebentar."

"Aku bangun tadi kau sudah tidak ada, lalu kembali setelah aku selesai mandi. Menurutmu itu sebentar?"

Dia itu sedang cemburu atau apa?

Kamar ini memang jauh lebih hangat dari ruangan lain--mungkin efek dari perapian yang tampaknya ditambah kayu bakar lagi oleh Alby, aku sampai lekas-lekas melepas mantel dan menggantungnya ke tiang gantung. Setelahnya aku mulai membuka koper dan ingin merapikan bajuku, tetapi sekarang isinya sudah kosong. Aku ingat saat mengeluarkan piyama dan mantel tadi malam, isinya masih penuh. Dan aku juga belum memindahkannya ke lemari. Tidak mungkin ada orang lain yang lancang membongkar koperku selain Alby, dan itu valid.

Tatapanku tertuju padanya sekarang. Dia sedang mengeringkan rambut menggunakan handuk di depan cermin. Aku tidak mengerti bagaimana konsepnya memakai jubah mandi karena bagian atasnya tidak terpasang dan jubah sepanjang lutut itu menggantung dari pinggang. Bagian lengannya dibiarkan menjuntai menyapu lantai saat berjalan. Dan aku memaksa otak agar tidak memikirkan apa yang dia kenakan di balik jubah itu. Apalagi tato di punggungnya itu membuatku sulit untuk bisa fokus.

"Apa kau memindahkan isi koperku?" Aku menatapnya dengan mata menyipit melalui cermin dan dia membalasnya.

"Kau tidur terlalu nyenyak. Aku sampai tidak tega membangunkanmu untuk makan malam. Dan ketika aku sedang memindahkan isi koper, aku sekalian merapikan milikmu. Aku berencana membantumu kalau sedang merapikannya, tapi aku tahu kau akan menolak. Punyamu ada di pintu paling kanan." Alby menunjuk lemari tiga pintu di sisi kananku.

Bahkan untuk hal sekecil itu, Alby memikirkannya. Seperti inikah rasanya menjadi sebenar-benarnya kekasih Alby? Perhatian-perhatian kecil seperti itu sukses membuatku tersipu. Suhu ruangan ini tiba-tiba terasa naik sampai harus mengipasi wajahku sendiri. Namun, di samping kebaikannya, aku tetap tidak bisa terima dia sudah membongkar koperku.

"Aku tidak memintamu melakukannya." Aku melangkah lebar-lebar mendatangi lemari untuk memastikan hasil pekerjaannya.

Oh, semua yang kukemas dalam koper ada di sana, lengkap sampai dompet alat rias dan produk perawatan diri. Dia melakukannya dengan baik persis seperti ketika aku yang menatanya. Celana, atasan, mantel, baju setelan, ditata menjadi masing-masing satu tumpukan. Semuanya dilipat sangat rapi, termasuk pakaian dalamku. Menyadari bahwa dia menyentuh bra dan celana dalam milikku membuat wajahku panas, mungkin sudah merah padam.

Alby mendekat dan berhenti tepat di belakangku. "Barangku lebih banyak, tapi menata punyamu membutuhkan waktu lebih lama. Aku pernah memeriksa lemari di kamarmu dan begitulah caramu menyusunnya. Kuharap aku tidak melakukan kesalahan. Kau sangat teliti untuk urusan menata lemari."

Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Aku ingin sekali marah karena dia sudah lancang, tetapi dia terlalu berdedikasi untuk seseorang yang bermaksud membantu, sampai-sampai rasanya akan sangat keterlaluan kalau aku marah-marah padahal sudah dibantu.

"Yah ... kau melakukannya dengan sempurna." Aku berbalik pelan-pelan menghadapnya, sebelum akhirnya melayangkan kepalan tanganku ke perutnya yang padat-dan aku tidak yakin kalau dia menyimpan lemak di sana. "Tapi aku tidak tahan ketika kau menyentuh pakaian dalamku."

Jeritan kesakitan Alby cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih baik. "Apa kau pernah belajar tinju sebelumnya?" Dia masih meringis dan membungkuk sambil menekan-nekan perutnya. Dia berakting terlalu berlebihan, padahal aku yakin tinjuku tidak semenyakitkan itu.

"Kau membuatku malu, Alby!" Aku menutupi wajah dengan kedua tanganku. Rasanya jauh lebih baik daripada menerima tatapan dari seseorang yang sudah tahu ukuran tubuhku. Aku tidak pernah merasa semalu ini sebelumnya. Tidak pernah aku menunjukkan sisi lain diriku ini kepada orang lain selain Nate dan Pete.

"Hei, santai saja." Dia memelukku, membiarkan tubuhku menempel pada dadanya meski masih dibatasi oleh kedua tanganku. "Lain kali kalau malu, kau boleh bersembunyi seperti ini."

Aku seketika melupakan rasa malu itu hanya untuk mengernyit. Lagi, Alby membuatku kebingungan. Apa dia memang seperti ini? Saking manisnya sampai membuatku bergidik ngeri. Ke mana perginya Alby yang menyebalkan itu? Dia bahkan mengecup dahiku sampai dua kali. Was that necessary?

"Apa yang kaulakukan?" Aku memundurkan kepala hanya agar bisa menatapnya, tetapi tubuhku masih belum bisa bergerak banyak karena ditahannya. Lingkaran tangannya berada di pinggangku.

"Memelukmu. Aneh kau menanyakan sesuatu yang sudah jelas terlihat." Tawa renyahnya sukses membuatku mengernyit kebingungan. "Kenapa wajahmu begitu?"

Aku ingin sekali bertanya kenapa dia mencium dahiku--well, hanya agar aku tidak salah paham mengartikannya, tetapi kuurungkan karena yang kudengar pasti tentang perasaannya yang tidak pasti. "Ini tidak seperti kita sedang berusaha membuat Claudia mengejarmu lagi."

"Tapi dia akan sangat cemburu."

Bola mataku berotasi karena ujaran jenakanya. "Dia tidak ada di sini."

"Anggap saja latihan."

Aku tidak lagi membalas. Meski merasa alasannya sedikit tidak masuk akal, tetapi aku juga tidak berusaha melepaskan diri darinya. Aku suka berada di pelukannya dan berharap ini bukan sesuatu yang akan berakhir secara tidak baik. Mungkin tanpa disadari, aku sudah menginginkan Alby mengakhiri rencananya dan kami tetap bersama sebagai pasangan normal.

Di titik ini fakta bahwa dia baru menyukaiku dan tentunya rasa itu tidak cukup besar dari rencana balas dendamnya, jelas membuatku sangat sedih. Sayangnya, tidak ada yang bisa kulakukan mengingat kebersamaan kami pun dimulai dari rencana itu. Namun, kenapa untuk menikmati bagian enaknya saja rasanya sulit untuk kulakukan? Aku berusaha mengabaikan semua itu, tetapi setiap kali aku merasa berdebar, aku terus diingatkan bahwa ini hanya bersifat sementara.

Jujur saja, aku lelah dibuat merasa bimbang.

"Apa yang kaupikirkan?" Dia bertanya sambil menarik tanganku dan melingkarkannya ke tubuhnya sendiri. Lagi, aku tidak menolak. Dia cukup peka soal ini, karena tanganku mulai kram karena terlalu lama terlipat di antara tubuh kami.

Aku hanya menggeleng. Punggung Alby terasa panas di bawah telapak tanganku. Aku berharap bisa menikmati momen ini lebih lama, tetapi aku justru menjauh darinya.

"Berpakaianlah sana, aku mau mandi." Aku memukul dadanya dua kali dan mendekati lemari yang sudah terbuka pintunya sejak tadi.

"Mau kugosok punggungmu?"

"Pertanyaan itu lagi? Aku tidak akan bosan menolak, Alby."

•••

"Apa kalian selalu menghabiskan waktu yang lama di pagi hari?"

Suara Jeff terdengar seperti sindiran yang dibuat-buat ketika kami baru tiba di lantai satu. Dia dan Claudia sudah menunggu di ruang tamu dan duduk berseberangan. Benar-benar tidak menunjukkan sikap sebagai pasangan. Yah, aku bisa mengerti kalau mereka memang terpaksa bersama, tetapi apa gunanya melakukan liburan berpasangan ini kalau mereka tidak menikmatinya?

"Perkara menggosok punggung memang selalu menghabiskan waktu lama."

Aku langsung memukul punggung Alby ketika dia membahas soal itu. Kami memang berdebat soal punggung tadi, tetapi caranya mengatakan itu pada mereka seperti sedang menunjukkan bahwa kami memang saling menggosok punggung satu sama lain. Aku bahkan tidak bisa tersenyum dengan benar karena ucapannya.

"Tidak perlu malu, Ava. Kudengar itu bisa memperkuat ikatan dengan pasangan." Jeff bahkan membenarkan tindakan itu. Dia alihkan tatapannya pada Claudia dan berkata, "Kita juga harus mencobanya lain kali."

Bisa kubilang Claudia tidak merasa baik-baik saja saat ini. Dia terlihat kalem seperti biasa, tetapi senyum yang ditunjukkan tidak sampai ke matanya. Kuharap aku bukan orang yang peka untuknya, tetapi semua itu jelas terlihat di mataku.

"Bukankah kita sudah melakukan yang lebih dari itu?" Dia model yang buruk dalam permainan peran. Alby yang bekerja di depan komputer bahkan masih jauh lebih baik.

"Menggosok punggung terdengar jauh lebih intens." Senyum Jeff yang menyebalkan itu kembali. Aku bisa mengingatnya dengan jelas, karena pada hari itu juga aku harus bertemu Alby dan rencana buruknya.

Claudia tiba-tiba berdiri dan memakai mantel berbulunya yang tampak halus. Bulu-bulunya bahkan bergoyang ketika dia mantel itu mengibas udara. "Oke, cukup pembicaraan soal itu. Apa kalian tidak lapar? Ini sudah lewat dari waktu sarapan." Dia mengatakannya sambil menarik ritsleting mantel ke atas.

"Tunjukkan jalannya." Alby mempersilakan.

Aku berusaha meraih mantel yang dia bawa-bawa sejak keluar dari kamar kami. Sebenarnya itu bukan milikku, tetapi dari pengakuan Alby, Paula yang memberikannya untukku. Mantelnya tebal, sangat lembut di bagian dalam dan kata Alby lapisan luarnya waterproof. Terkadang aku bertanya-tanya bagaimana cara mencucinya jika air tidak bisa menembus lapisan tersebut. Barang-barang mahal selalu berhasil membuatku takjub.

Alih-alih memberikannya, Alby justru berdiri di belakangku dan menuntunku agar memasukkan tangan ke bagian lengan mantel satu per satu. Ini membuatku risi sebenarnya, tetapi harus kulakukan sebagai bagian dari rencana.

"Angkat kepalamu sedikit," katanya dan membenahi sesuatu yang entah apa di bagian leher. Dia menarik keluar rambutku dan diposisikan di sisi kiri dan kanan leher, dan diakhiri dengan menaikkan tudung mantel agar menutup kepalaku. Sekarang aku merasa seperti anak kecil.

Aksi Alby ini menciptakan reaksi lucu dari Jeff dan Claudia. Dari banyaknya hal yang bisa mereka lakukan--misal, keluar lebih dulu, atau memastikan mereka sudah membawa apa saja yang perlu mereka bawa-mereka justru memperhatikan kami sampai terbengong-bengong. Kurasa Alby berhasil mempertontonkan aksi pacar romantis pada mereka.

Claudia dan Jeff berjalan di depan kami. Mereka bergandengan dan Jeff tampak membantu Claudia menyeimbangkan diri beberapa kali. Tidak hanya itu, Alby juga beberapa kali terkesiap dan bersikap siaga untuk menangkap kalau Claudia jatuh. Jelas dia masih mengkhawatirkan mantan kekasihnya. Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya meski tidak bisa dipungkiri kalau rasa tidak rela itu tetap hadir.

Kami berjalan beberapa saat sampai tiba di sebuah kafe. Di dinding bagian luarnya terdapat bermacam-macam papan seluncur salju yang ditata sedemikian rupa hingga menciptakan seni yang abstrak berkat campuran warnanya. Bangunannya mirip lumbung pada peternakan, tetapi dengan atap yang rata, dan tentunya jauh lebih bersih daripada lumbung yang sebenarnya.

Seperti namanya, yang sempat kulihat sebelum memasuki kafe ini, Corbet's Cabin: Best Waffle in the World. Interiornya khas kabin-kabin di tengah hutan; hangat dan didominasi dengan furnitur kayu-kayuan. Aroma seisi kafe tercium manis. Perpaduan susu dan keningar, lelehan madu di atas wafel yang tersaji di meja pelanggan, berhasil menggugah selera. Apalagi tadi malam aku tidak ikut makan bersama yang lain, jelas sekali membuat perutku sangat lapar.

Kami menempati meja di sudut ruangan, dekat perapian. Aku duduk berhadapan dengan Claudia dan di sebelahku ada Alby. Karena untuk memesan harus ke konter, jadi para pria meminta aku dan Claudia untuk tetap menunggu selagi mereka memesan. Kami sudah memberi tahu pesanan kami sebelum mereka pergi. Dan selagi menunggu mereka, aku mengeluarkan laptop. Antreannya agak panjang, dan aku tidak bisa diam saja atau berswafoto seperti yang dilakukan Claudia saat ini.

Seperti janjiku pada Matthew, aku akan tetap bekerja meski sedang cuti.

"Aku sangat cemburu melihat interaksi kalian."

Meski wajahku tertuju pada laptop, tetapi mataku tetap bergulir untuk melihat apa yang dia lakukan.

"Topik yang bagus untuk memulai pembicaraan," balasku tanpa berhenti mengerjakan layout.

"Kita tidak mungkin diam terus, 'kan?"

Aku mengangkat kepala sebentar ketika merasa dia terlalu banyak bergerak. Dan yang kutemukan dia hanya masih bermain dengan ponsel, berusaha menyesuaikan angle dari foto yang mau dia tangkap.

"Aku tidak bisa mengobrol dengan seseorang yang sedang mengambil foto kekasihku." Aku tidak bisa menahan senyumku ketika menyebut Alby sebagai kekasihku. Seperti ada sesuatu yang menggelitik perutku dan rasanya menyenangkan.

"Bagaimana kau tahu? Bisa saja aku sedang mengambil foto Jeff. Mereka berdiri berdekatan."

Aku melirik kaca lemari etalase di sebelah kanannya. Cukup lama aku melakukan itu, sengaja membuatnya penasaran. "Kaca di sana memantulkan apa pun yang ada di layar ponselmu."

Dia menoleh ke arah tunjukku dan tersenyum. Percayalah, itu senyum yang ramah, yang selalu dia tunjukkan kepada orang baru demi menciptakan kesan pertama yang baik.

"Apa tidak boleh? Kita sama-sama tahu kalau aku masih mencintainya."

"Aku tidak melarangmu, tapi aku berhak menentukan bagaimana harus bersikap padamu, bukan?" Lama-lama melihat senyumnya tidak lagi terasa menarik, itu berubah menjengkelkan, jadi aku kembali fokus dengan pekerjaan.

"Kau tahu, rasanya makin sulit memisahkan kalian yang sudah sangat lengket dengan satu sama lain."

Itu adalah perumpamaan yang terdengar menyebalkan. "Lengket bukan cara yang tepat untuk menjelaskan bagaimana hubungan kami."

"Bagaimana kalau ternyata hubungan kalian adalah kebetulan yang menguntungkan satu sama lain? Alby masih sangat mencintaiku saat kami berpisah. Terlalu cepat kalau dia berpaling padamu. Bisa jadi kau hanya pelarian, Ava, dan kau juga memanfaatkannya karena hubunganmu dengan Jeff waktu itu juga baru berakhir. Jangan lukai perasaanmu sendiri."

Baiklah, sekarang dia benar-benar membuatku tidak bisa fokus dengan pekerjaan. Apa selama ini dia memang penuh percaya diri seperti ini? Aku tidak menyangka pernah menganggap orang sepertinya sebagai teman dekatku. Tanganku menjauh dari kibor, beralih melipatnya di atas meja. Dia membuatku ingin memperjuangkan perasaanku pada Alby.

"Kuakui kau memang cantik, fisikmu jauh lebih sempurna. Oke, kami pernah patah hati. Tapi bukan berarti luka itu akan mengendalikan hidup kami. Alby tidak sepertimu, yang masih dibayang-bayangi penyesalan atau berusaha kembali pada mantan kekasih yang sudah punya pasangan. Jadilah perempuan yang bermartabat. Alby berhak menjalani hidup yang lebih baik, terlepas dari luka di hatinya. Hanya karena banyak orang memujamu, bukan berarti Alby tidak bisa berpaling darimu. Dia bahagia bersamaku. Kau tidak perlu khawatir."

Claudia tampaknya kehabisan kata-kata. Memangnya apa yang bisa dia lakukan selain menyombongkan kelebihannya? Claudia pernah mendapat predikat jenius, tetapi semua itu sudah tidak berarti apa-apa lagi semenjak dia terlena oleh popularitas. Yah, pengunjung di sini bahkan diam-diam mengambil gambar dirinya. Mungkin Claudia menyadarinya, itu sebabnya dia terus memasang ekspresi yang apik agar fotonya juga juga bagus.

"Apa kau tidak sedang sengaja menjalin hubungan dengannya untuk membalas Jeffrey? Kalian berpacaran lebih lama daripada kami. Itu bisa jadi alasan yang bagus. Atau kebersamaan kalian bertujuan untuk membalas kami?"

Well, itu hampir benar meski dia salah sasaran. Namun, aku tidak ingin itu terlihat jelas. Permainan peran ini lama-lama terasa natural, apalagi melihat Claudia cemburu menjadi sesuatu yang menyenangkan.

"Kami punya hal lain untuk dikerjakan daripada membalas kalian." Aku menggeleng ringan, lantas bertopang dagu dengan sebelah tangan. "Sampai sekarang aku tidak melihat usahamu untuk kembali pada Alby. Aku ingat kau sangat bertekad. Oh, atau skandal itu adalah bagian dari rencanamu? Kau berusaha memisahkan kami dengan menyebarkan rumor."

Aku memikirkan tentang artikel yang disebarkan Dane, pesuruh Matthew. Namun, kurasa akan menyenangkan kalau memancingnya, sekadar memastikan apakah dugaan Jeff benar atau tidak.

Sayangnya, aku tidak sempat melihat reaksinya lebih banyak karena Alby dan Jeff kembali. Masing-masing mereka membawa nampan.

"Aku tidak sadar kalau kau membawa laptop." Itu yang Alby katakan ketika meletakkan nampan di sisi meja yang kami tempati. Aku spontan menggeser laptop agar nampannya bisa mendarat penuh di sana.

"Aku belum setahun bekerja dan sudah cuti seminggu. Ini adalah caraku agar mendapatkannya, jadi jangan protes."

Mungkin karena sudah kuperingatkan, bibirnya jadi terkatup rapat. Aku tidak ingin berdebat di sini. Alby jelas tidak akan senang dengan keputusanku, atau menganggap Matthew keterlaluan. Jelas aku tidak bisa membiarkan ada perkelahian lagi di antara mereka.

Alby meletakkan wafel milikku di depannya, dan ketika aku ingin memindahkannya ke depanku, dia justru menangkap tanganku. Sekarang apa lagi yang mau dia lakukan? Aku sudah sangat lapar sekarang.

"Kau lanjutkan pekerjaanmu agar cepat selesai. Kita akan bermain ice skating setelah ini. Biar aku yang menyuapimu."

"Oh?"

Meski bukan kali pertama, tetapi aku tidak siap disuapi di depan Jeff dan Claudia. Maksudku, akan secanggung apa jadinya nanti?

"Um, tidak. Aku tidak mau merepotkanmu. Biar aku sendiri, aku akan makan dengan cepat."

Seperti biasa, Alby selalu lebih siaga dariku. Dia mengangkat piring wafelku sebelum aku menyentuhnya. "Biarkan aku membantumu." Itu terdengar tulus, dia menatapku dengan intens. Kalau hanya untuk bermain peran di depan Claudia, well, dia berhasil terlihat sangat serius.

"Baiklah." Aku pasrah dan kembali menarik laptop ke hadapan.

"Kurasa Ava belum benar-benar terbiasa dengan perlakuanmu, Alby. Kau selalu memanjakan kekasihmu." Claudia akhirnya bersuara dan itu di luar ekspektasiku. Kukira dia akan terlihat cemburu, tetapi pada kenyataannya, dia justru tersenyum seperti biasa. "Aku ingat saat kau menyuapiku saat aku sedang dirias sebelum pengambilan foto."

Aku yakin ini bukan momen yang tepat untuk bernostalgia, dan pengakuan Claudia membuat sikap Alby tidak lagi terasa spesial. Memangnya siapa yang akan merasa tenang saat tahu kekasihnya juga melakukan hal serupa pada wanita lain? Aku berusaha meyakinkan diriku soal suap-menyuap ini sepele, tetapi rasanya tetap menyebalkan.

"Oh, ya? Aku tidak ingat pernah melakukannya. Mungkin itu Jeffrey, tapi kau salah mengingat?"

Dengkusan tawa Jeff terdengar. "Maafkan aku, aku terlalu sibuk untuk melakukan itu. Tapi akan kulakukan untukmu lain kali, Sayang." Jeff mengedipkan sebelah mata kepada Claudia yang wajahnya memerah.

Senyum miring Alby kuartikan sebagai sebuah bentuk perayaan keberhasilan karena sudah membuat Claudia malu. Pada saat ini aku mulai percaya kalau Alby mungkin tidak benar-benar bermaksud untuk kembali padanya. Percayalah, itu juga membuatku senang. Ditambah lagi, Jeff mengelak itu.

"Kukira aku mengingat dengan baik. Tapi sepertinya aku salah. Maaf sudah membuatmu merasa tidak nyaman, Ava." Claudia menanganinya dengan baik dan kali ini dia berhasil menebak apa yang kurasakan.

"Sebenarnya tidak masalah kalau itu benar." Senyumku mengembang. Kali ini rasa percaya diriku jauh lebih besar, bukan lagi sebuah akting. "Kalian pernah bersama, aku memaklumi kalau kalian pernah melakukan hal-hal yang pada umumnya dilakukan pasangan. Kau boleh mengingatnya selama yang kau mau. Lagi pula, itu tidak akan memengaruhi hubungan kami." Aku mengakhirinya dengan bersandar di bahu Alby. Dan pria ini secara spontan mengusap kepalaku.

"Aku selalu suka cara Ava berpikir," pujinya.

"Sekarang aku khawatir kalian akan menikah lebih dulu daripada kami." Jeff mengirim sinyal dengan mengerutkan hidung sekilas saat aku kebetulan menatapnya. Dia menjalankan rencananya, kurasa. "Bagaimana dengan kontrakmu? Berapa lama lagi?"

"Aku lupa. Akan kuperiksa lagi nanti."

"Tidak. Kami tidak akan mendahului kalian." Alby meletakkan gelas cokelat panas yang baru saja dia minum. Aku tidak melihat kapan dia melakukannya. "Saat kau perbarui kontrak sebagai BA Aleo, aku pastikan akan menambah poin bahwa kau boleh menikah. Yah, meski selama ini tidak ada larangan, setidaknya itu tidak akan memicu kesalahpahaman."

Claudia masih mempertahankan senyumnya. Meski begitu, matanya jelas menyiratkan luka. Dia mungkin tidak menduga bahwa serangan yang ditujukan padaku bisa menjadi bumerang untuknya.

"Ya. Aku menantikan itu."

Aku akan berpura-pura tidak menyadari bagaimana memujanya tatapan Claudia pada Alby. Yah, daripada berujung merasa kasihan.

Aku menerima suapan wafel dari Alby beberapa kali dengan mata yang tertuju pada laptop. Setidaknya aku bisa mencicil pekerjaan setiap kami mampir ke tempat makan atau tempat-tempat bersantai. Sesekali Alby akan menyapu lelehan madu atau selai cokelat yang tertinggal di sudut bibirku menggunakan jempolnya. Dan saat dia melakukannya, aku selalu menggulirkan mata hanya untuk melihat reaksi Claudia.

Tiba-tiba, kursinya didorong ke belakang. Entah dia sengaja melakukannya agak kasar, atau dia hanya sedang buru-buru, yang pasti suara geseran kursi itu terdengar cukup keras. Perhatian kami langsung tertuju padanya.

"Sebentar, aku harus menelepon seseorang." Setelah mengatakan itu, dia keluar kafe.

Topik macam apa yang akan dia bicarakan dengan seseorang di telepon itu sampai harus pergi terlalu jauh?

"Abaikan saja dia." Alby berceletuk sembari menyodorkan segelas Eggnog milikku. Kalau dia hanya sedang memperingatkanku soal itu, kenapa harus dengan suara yang keras? Jeff bisa mendengar itu juga.

"Kenapa?" Alby menyadari kebingunganku.

"Kau bersikap seolah-olah tahu sesuatu tentang itu." Jeff membalas.

"Ah, tidak. Dia memang selalu begitu saat menelepon. Apa selama ini kau tidak menyadarinya?"

Oh, itu melegakan. Aku hampir menganggap Alby sudah mengetahui sesuatu, tetapi menyimpannya sendiri.

"Saat bersamaku, dia hanya fokus dengan apa yang kami lakukan. Kalau seseorang menelepon, dia tidak akan pergi seperti itu. Wajar kalau aku merasa heran, bukan?" Jeff mengklarifikasi. Di samping sudah mengakui kalau perasaannya masih sama padaku, tetapi tidak ada perubahan dari caranya bersikap di depan Alby. Dia berusaha terlihat seperti seseorang yang menerima dijodohkan dengan Claudia.

"Kalau begitu, sekarang kau tahu. Jadi, tidak perlu dipikirkan secara berlebihan."

Andai saja Alby tahu kalau Jeff sedang mengkhawatirkan hal lain.

•••

Selamat hari Minggu~
Walau ada dua puluh empat jam juga, tapi kenyataannya kalau sudah lewat jam 12 tuh, feel-nya udah berasa kayak hari Senin. :")

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
28 Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro