8 - Trouble is a Friend
🎶
Trouble will find you no matter where you go
No matter if you're fast no matter if you're slow
The eye of the storm and the cry in the morn
You're fine for a while but then start to loose control
🎶
"Dad? I need your approval sooner."
"Why?"
"Mereka akan merebut saham itu, once again. Avery akan mendapat dukungan penuh dari Austine tepat setelah anak-anak mereka menikah."
"Itu buruk."
"Yang berarti kita tidak bisa bersantai. Proyek terbaru harus mendapat perhatian banyak sponsor, Dad."
"Akan kita diskusikan besok."
"Jangan bawa Paula. Dia merepotkan."
Takada yang kulakukan selama di perjalanan selain mengernyit berkali-kali ketika mendengar bagaimana dia bicara dengan ayahnya. Aku tahu dari mana karakter tenang Alby berasal. Kedengarannya seperti sesuatu yang akan mengancam masa depan perusahaan, tetapi mereka merespons satu sama lain dengan tenang. Mungkin Alby tahu aku tidak akan mengerti, jadi dia sengaja memperdengarkan obrolannya kepadaku. Ponselnya berada di dasbor dan dalam mode loudspeaker. Aku mendengar jelas seluruh pembicaraan mereka.
Sekarang sambungan telepon itu sudah berakhir. Artinya, detik-detik penuh kecanggungan kembali menekan atmosfer di dalam mobil. Sejak tadi, kepalaku hanya tertuju ke luar jendela, memandang jalanan yang sudah diterangi oleh lampu-lampu jalan yang hanya menyala di malam hari. Namun, ada yang aneh di sini.
Seingatku, jarak apartemenku dengan hotel tempat acara Jeff tidak sejauh ini. Walau perjalanan yang ditempuh saat berangkat berblok-blok lebih jauh karena mampir ke salon. Seharusnya perjalanan pulang tidak akan sama jauhnya.
Alby memberhentikan mobilnya di depan sebuah kedai bertuliskan Barb's Pizza & Burger. Ya. Kedai pinggir jalan biasa. Sesuatu yang tidak pernah kuduga akan menjadi tempat persinggahan orang yang terlalu banyak uang seperti Alby.
"Aku meminta untuk diantar pulang." Kukatakan itu demi menahannya yang sedang melepas sabuk pengaman.
"Aku berjanji akan mendiskusikan tugas pertamamu, 'kan?" Dia keluar setelah mengatakan itu.
Aku mengusap wajah dan meringis kemudian. Pergelangan tanganku nyeri dan kakiku juga masih berdenyut. Kuharap mata kakiku hanya membiru nanti, tidak sampai bengkak. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan bisa ke mana-mana; tidak dengan membiarkan bengkaknya terjepit dalam sepatu-sepatuku.
Pintu di sebelah kananku terbuka. Alby merunduk di sana agar wajahnya sejajar denganku. "Ayo keluar." Itu perintah, bukan ajakan. Dan aku membenci seseorang yang memerintahku padahal dia tidak memiliki hak untuk bersikap demikian.
Aku bergeming, memandang dasbor mobil ketika muncul sebuah pemikiran untuk menelepon uber. Alby mungkin tidak membiarkan itu terjadi, tetapi aku sangat ingin pulang. Belum kukeluarkan ponselku saja, dia sudah melepaskan sabuk pengamanku. Tubuhku mengerucut, seperti berusaha agar muat di dalam koper yang akan membawaku pergi, hanya agar tangannya yang cekatan itu tidak menyentuhku.
"Ava, please. Aku akan sibuk beberapa hari ke depan." Dia tampak putus asa. Rupanya dia bisa memohon juga.
"Bagus. Kaubisa mengutus Jacob untuk menemuiku."
Dia menggeleng tak suka pada ide itu. "Dia sudah punya pacar."
"So? I'm not like any other girls who get sexual tension after seeing a hot guy for the first time. And fyi, Jacob is not my hot-guy-criteria."
Alby tampaknya senang dengan ucapanku karena seulas senyum tipis terpatri di wajahnya. Maksudku, dia senang ketika aku marah. Itu membuatku ingin sekali mengumpat dengan keras di depan wajahnya. Namun, dia mengulurkan tangan. Tanpa mengucapkan apa-apa, tetapi tangannya saja menjerit untuk segera kuraih.
"Kau belum makan apa pun sejak tadi sore."
🎶
Lapar membuat seseorang cepat emosi. Ada alasan ilmiah tentang itu. Otak kekurangan glukosa. Ketika darah yang mengalir ke otak tidak mengandung nutrisi, kinerja otak akan melambat, salah satunya kesulitan mengontrol emosi.
Rupanya aku masih ingat kata-kata yang tertera di desain yang kubuat untuk sebuah rumah makan minggu lalu.
Kami duduk berhadapan di lantai dua kedai, di balkonnya yang sepi. Angin malam yang berembus membuat piza yang masih hangat terasa nikmat di lidah. Aku tidak sadar sudah menghabiskan tiga potong dan sekarang sedang menikmati yang keempat. Sementara Alby hanya memakan dua Burger Deluxe dan tidak menyentuh piza sedikit pun. Tidak pernah kutemukan kedai kecil yang menyajikan piza selezat ini. Atau karena aku lapar?
"Apa aku sudah bisa bicara?" Alby meletakkan ponselnya di atas meja ketika menanyakan itu.
"Takada larangan untuk bicara di sini," balasku di sela-sela kunyahan. Mungkin suaranya akan menjijikkan, tetapi aku tak peduli. Aku tidak sedang berusaha menarik perhatiannya sekarang.
"Aleo's cloth. Aku perlu banner lima kali enam meter. Logo dan mockup produk akan kukirimkan segera lewat email. Cukup buat desain yang menyatakan bahwa distronya akan segera dibuka. Bagaimana?"
Aku menatapnya sebentar sekadar untuk menjawab, "Mudah. Warnanya? Ini akan kupakai untuk seluruh desain." Dan aku kembali menikmati piza di tangan.
"Abu-abu."
Aku mengangguk-angguk dan meraih tisu di tengah meja. Total sudah kuhabiskan empat potong piza. Masih tersisa empat lagi. Namun, aku cukup sadar diri untuk tidak menghabiskan semuanya. Mungkin setelah ini Alby akan makan lagi.
"Oke. Hanya itu? Tenggat waktu?" Aku merespons setelah menandaskan kola yang tersisa setengah di gelasku.
"Tiga hari. Keberatan?"
"Tidak. Ada lagi?"
Aku menyamankan posisiku di kursi dan menatap tepat di matanya. Andai kami berkenalan baik-baik, aku tentu akan berkata kalau matanya indah, kehijauan seperti laut dan musim semi. Aku benci diriku yang masih memujinya.
"Kautahu apa yang kuinginkan."
Ini pasti berkaitan dengan permintaan menjadi kekasih palsunya.
"Kenapa harus aku? Ada banyak wanita lain yang akan dengan senang hati mendampingimu, bahkan melebihi Claudia."
"Benar." Dia mengempaskan punggung ke sandaran kursi, lalu bersedekap, membiarkan otot-ototnya berkontraksi di balik kain kemeja. Lengannya pasti keras walau dia tidak tampak kekar. "Tapi aku lebih membutuhkanmu."
"Waw."
"Aku serius."
"Ya, bisa kulihat kegigihanmu."
Alby menghela napas dan melihat ke arah lain. Seharusnya dia menyerah saja.
"Kautahu, ada banyak cara untuk mengobati sakit hati." Tatapan yang tajam dan serius itu kembali menjeratku hingga tak mampu menatap ke arah lain. "Aku pendendam. Aku tidak bisa melepaskan seseorang yang membuatku sakit hati tanpa dia merasakan hal yang sama. Claudia masih mencintaiku, aku bisa melihat itu dari matanya dan aku ingin dia menyesal. Kau mengenalnya, itu akan membuatnya lebih terluka lagi. Kalau bisa, pernikahan mereka harus batal dan Claudia kembali padaku."
"You're a psycho."
Alby hanya menyeringai. Mungkin dia merasa bangga dengan julukan yang kuberikan padanya.
"Kau juga sakit jiwa. Apa yang kaudapat setelah melukainya?"
"Kepuasan. Dengan begitu aku sembuh. Aku akan melupakan bahwa kami pernah bersama."
"Egois." Hanya itu yang terpikir olehku. "Kau mengorbankan perasaan orang lain demi dirimu sendiri."
"Itu impas. Aku sakit, dia juga sakit."
Aku tidak merespons, hanya memandangnya dengan tatapan tidak percaya. Dia menaikkan sebelah alisnya, seperti menagih responsku. Namun, aku membuang muka. Wajah Claudia membayang ketika kutatap langit yang sepi. Bintang-bintang saling berjarak, tetapi tetap membentuk konstelasi abstrak yang tidak kumengerti. Keindahan itu mewakili sosok Claudia. Tentang bagaimana dia sebahagia tadi menceritakan impiannya yang tercapai.
Seandainya Alby mengenal baik Claudia, seharusnya dia tahu apa yang diperbuatnya akan menghancurkan Claudia. Inside and outside. Jika Claudia gagal menikah dengan Jeff, berarti dia juga harus merelakan mimpinya. Dia tahu keindahan yang dimilikinya, itu sebabnya dia memilih menjadi model.
"Jadi, bagaimana? Kalau mau, aku bisa membayarmu. Tiap bulan. Sebutkan saja nominalnya."
Aku kembali menatapnya, hanya untuk menemukan matanya menyapu wajahku. Caranya memandang selalu berhasil membuatku bergidik ngeri.
"Uangmu benar-benar banyak, ya." Itu sindiran untuknya, bukan pujian. Orang-orang kaya tidak akan tahu cara menghargai uang jika benda itu terus mengalir tanpa henti ke dompetnya.
"Aku tidak peduli seberapa banyak yang harus kukeluarkan untuk mendapatkanmu. Apalagi di kondisimu sekarang, pasti akan sangat kauperlukan."
Jika dalam konteks yang spesial, aku tentu akan tersanjung. Semua wanita mengharapkan prianya rela berkorban untuknya. Claudia perlu tahu tentang ini, bahwa Alby rela berkorban banyak untuknya. Sayangnya, bukan untuk hal yang baik. Aku kasihan padanya.
"Aku beri waktu tiga hari untuk berpikir. Desain dan jawaban."
"Tidak, terima kasih. Dan jawabannya tidak akan berubah entah itu besok, atau tiga hari lagi."
🎶
Biru dan di sekelilingnya warna merah dengan bias merah muda di sisi terluarnya. Pada garis bertemunya dua warna itu tercipta ungu. Bagi orang-orang, itu adalah seni. Ada banyak orang menyukai tiga warna itu. Namun, bagaimana jika seni itu menyakitkan? Masihkah mereka memuja paduan warna tersebut?
Aku masih memandang warna-warna itu dengan wajah kecut. Beberapa detik, sampai mataku pedas karena lupa berkedip. Bulir-bulir air ada di atasnya. Kemudian kuraih mangkuk di nakas, mencelupkan telunjuk ke air yang tersisa di dalamnya dan berakhir dengan decakan keras. Suhunya sudah naik.
"Nate!" Aku berteriak dari kamar. Pintunya sengaja kubuka agar suaraku bisa sampai ke kuping Nate yang mulai tuli karena keseringan disumpal earphone.
Tak sampai dua menit, dia sudah berdiri di ambang pintu kamarku, dengan nampan besar terisi penuh. Ada mangkuk besar serupa yang ada di nakas, dua kotak susu, dan dua stoples kecil camilan. Semuanya menggiurkan kecuali wajahnya yang merengut. Maafkan aku, Nate, aku hanya terlalu malas menikmati denyutan yang muncul jika aku berjalan.
"Ini yang terakhir." Dia mengambil mangkuk di nakas dan menggantinya dengan yang baru. Kemudian nampan yang dibawanya diletakkan di sampingku. "Aku ada janji bertemu dosen untuk membahas skripsiku."
"Aku malas berjalan. Tapi tenang saja, ini sudah cukup."
"Malas berjalan, alibi," kesalnya seraya membuka jendela kamarku dan membuang air di mangkuk yang lama. Aku khawatir dengan seseorang yang ada di bawah sana, tiba-tiba diguyur air dingin yang dikiranya dari langit. Padahal ini lantai sembilan.
"Kau jarang celaka, entah itu terjatuh, ditabrak, terkena pisau. Makanya sakit sedikit saja sudah tidak bisa melakukan apa-apa," omelnya seperti Mrs. Shelley, tetangga seberang yang selalu mengoceh setiap bertamu untuk memberi makanan enak. Dua stoples yang dibawa Nate adalah buatannya.
Aku meringis, membiarkan tatapanku tertuju pada mata kaki lagi. Ini adalah sisa insiden semalam. Nate menyarankan agar dikompres dengan air es, tetapi kupikir penampakan kakiku sebelum dikompres jauh lebih baik.
"Aku benci high heels."
"Terserah. Aku akan pergi, chat saja kalau kau perlu sesuatu untuk kubelikan." Dia membanting pintu kamarku dan disusul suara derit pintu kamarnya yang ditutup.
Satu jam berikutnya kuhabiskan untuk mengerjakan banner brand baru Alby menggunakan iPad dan stylus pen. Kacamata antiradiasi bertengger di atas hidung, sesekali akan menurun jika aku menunduk terlalu lama. Kubuat sesuatu yang simpel dan modern. Kupikir sedikit gradasi antar warna akan membuatnya lebih puas. Untuk tulisannya sendiri, putih di atas abu tua dan hitam di atas abu muda. Aku sengaja tidak membuat banyak warna yang bertabrakan. Mockup produk sudah dikirimkan tadi malam lewat email Jacob, hampir semuanya berwarna hitam. Andai harganya ramah di kantongku, aku akan mempertimbangkan untuk belanja di sana. Gaya fashion-ku akan banyak kutemukan di sana.
Ketika mencoba memadukan beberapa mockup jaket dan jeans dalam bayanganku, bel berbunyi. Aku tidak bisa menebak siapa yang akan datang. Untung aku sudah mandi hari ini dan berpakaian cukup pantas untuk menyambut tamu; celana jogger abu-abu sedikit di bawah lutut dan sweter putih tebal. Rambutku tidak terlalu berantakan meski kuikat asal. Sekarang tinggal menyeret kakiku ke pintu depan.
"Selamat siang, Ms. Robinson." Ah, panggilan itu, sudah sangat lama tidak kudengar. Seorang pria paruh baya bersetelan kantoran menyapaku dengan hangat meski ekspresinya sangat kaku. Di belakangnya ada dua orang pria lagi yang lebih muda, mungkin seumuran Jeff.
"Selamat siang, Sir. Anda siapa dan dari mana?"
"Saya William dari perusahaan tempat Mr. Robinson dulu bekerja. Benar dengan Ava Robinson?"
"Ava Clairine. Tapi, ya, saya pernah memakai nama itu dulu. Ada perlu apa?"
"Kami ingin membicarakan beberapa hal tentang apa yang tersisa dari Mr. Robinson setelah dia meninggal."
Yang tersisa. Aku berharap itu sesuatu yang baik. Mengingat kepergiannya tidak menyisakan sesuatu yang berarti buat kami-aku dan Nate. Namun, dari aura tiga pria ini, tidak tampak seperti itu. Mereka terlalu serius dan wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa akan ada kabar baik setelah ini. Terlebih lagi pria yang sejak tadi bicara denganku, seperti baru saja tertekan oleh beban untuk datang jauh-jauh ke sini.
"Silakan masuk." Aku menepi dan membiarkan mereka masuk ke apartemen sempit kami. Nate cukup rajin membersihkan rumah hari ini. Semuanya sangat rapi. Dia tidak lupa menyalakan penyemprot ruangan otomatis di atas meja. Aroma geranium dan peony memenuhi ruangan.
"Teh, kopi?" Aku bertanya setelah menutup pintu. Mereka berdiskusi sebentar sebelum kembali melayangkan tatapan ke arahku.
"Air putih saja," sahut Tuan William.
Aku melesat ke dapur dengan langkah cepat dan agak terseret. Kakiku masih sakit, tetapi aku berusaha menahannya. Keuntungan dari memiliki apartemen kecil, aku hanya perlu berjalan dua puluh langkah untuk tiba di dapur dan dua puluh langkah lagi untuk kembali ke ruang tamu.
Selagi aku mengambil air, rupanya Tuan William mempersiapkan semuanya. Coffe table yang tidak terlalu besar penuh dengan berkas-berkasnya. Hingga nampanku harus diletakkan agak dekat dengan ujung meja.
"Kami tidak akan lama-lama, Nona."
Aku bahkan belum menyentuh sofa, tetapi dia sudah bicara. Lalu menyodorkan sebuah map bening cukup berat kepadaku.
"Mr. Robinson berutang dengan perusahaan untuk biaya rumah sakit istrinya dengan pembayaran 10% gaji tiap bulan. Kami sudah memakai tunjangan kematian karyawan. Sesuai aturan perusahaan, lima tahun setelah karyawan meninggal. Dan utangnya masih tersisa seperempat. Nominalnya ada di lembar paling belakang."
Pernahkah kau merasa marah pada sesuatu yang sudah tiada? Maksudku, aku sangat ingin marah sekarang. Namun, rasanya percuma. Aku tidak tahu ke mana melampiaskannya.
Aku membalik tiap lembar dalam map itu dan hanya memperlihatkan rincian dari tagihan per bulan. Bisa dibilang, itu seperti rincian buku tabungan. Aku sudah pusing melihat angka-angka di sana dan segera membuka lembar terakhir. Nominal utang yang tersisa setara dengan biaya sewa apartemenku selama dua tahun.
"Jadi, saya harus melunasinya?" Aku bertanya dengan nada datar, persis seperti pernyataan. Emosiku bergejolak bagai tornado sekarang, siap untuk menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Termasuk sarung sofa yang sudah kumal dalam genggamanku.
"Benar. Setelah ini akan kita sepakati waktu yang diperlukan untuk melunasi."
"Bukankah seorang ayah seharusnya memastikan anak-anaknya hidup dengan aman dan sejahtera dan menghujani mereka dengan kasih sayang? Ternyata tidak semua ayah berhasil melakukannya. Bagaimana dengan ayah kalian, semua baik?" Aku meracau sendiri. Tatapanku tertuju pada nominalnya, tak memedulikan seperti apa mereka memandangku sekarang.
Aku mendongak setelah cukup lama tidak mendapat respons. Mereka tampak kebingungan dengan sikapku.
"Kalian adalah-dan akan menjadi seorang ayah. Jangan buat anak-anak kalian susah."
Aku berhasil membuat tamuku disuguhi kebingungan. Mereka saling pandang bergantian, ada pula yang bergerak tak nyaman, seperti aku baru saja membongkar rahasia gelap mereka. Mungkin mereka mulai memikirkan rencana-rencana baik untuk anak-anak mereka, atau menyesali cara mereka memperlakukan anak-anak mereka sekarang. Namun, aku berharap mereka menyadari sesuatu dari kalimat random-ku tadi; agar tidak ada lagi anak-anak yang kesulitan hidup sepertiku.
"Lupakan yang itu. Aku hanya ... membuang pikiran-pikiran tak penting di kepalaku. Jadi, apa aku punya pilihan?"
🎶
Di mana-mana, orangtua yang meninggal akan menyisakan warisan, bukannya kesengsaraan. Itu adalah sesuatu yang semestinya direncanakan sejak awal sebelum mereka memutuskan untuk memiliki anak. Minimal asuransi. Namun, tidak ada yang tersisa untuk kami. Rumah yang kami tempati dulu bahkan ikut terbakar bersama rumah milik tetangga dan tanahnya kujual untuk modal menjemput Nate agar tinggal bersamaku di New York.
Ya. Kami bukan orang sini. Kami berasal dari Pennsylvania dan aku sudah merantau ke New York sejak SMA. Thanks to Pete. Keluarganya yang baik hati berkenan menampungku selama sekolah sampai aku masuk kuliah, lalu mulai mencari apartemen kecil untuk disewa-aku sadar tidak bisa selamanya menjadi benalu di keluarga orang-itulah tempat tinggalku sampai sekarang.
Sekarang batu yang menancap ke tanah dengan tinggi setengah meter, lebar tiga puluh senti, dan tebal dua puluh senti, seakan-akan menertawakan penderitaanku. Warnanya yang putih sedang menawarkanku kehidupan yang lebih baik. Aku pernah memikirkannya, tentang mengakhiri hidup, tetapi tidak jadi karena Nate masih sangat membutuhkanku. Sekarang pun sama. Nate adalah satu-satunya keluarga yang kumiliki. Dia adalah segalanya. Walau sejarah dekatnya kami tidak menyenangkan untuk diceritakan.
"Ava, kita sudah lima belas menit seperti ini."
Suara Pete menyadarkanku dari segala pikiran kelam yang membuatku terpaku, hingga melupakan tujuanku ada di sini. Pete pasti sedang memperhatikan arlojinya sekarang. Dia selalu begitu, hobi sekali menghitung waktu. Namun, terima kasih karena kebiasaannya itu, aku cukup disiplin membagi waktu untuk kuliah dan bekerja dulu.
"Aku sudah bilang tak perlu menungguku, Pete."
"Terakhir kutinggal kau di sini sendiri, rumput-rumput di bawah kita nyaris tercabut semuanya."
Aku kesal dia tidak pernah melupakan kejadian itu. "Dan itu sudah lima tahun yang lalu," sahutku dengan bola mata berputar.
"Lalu? Sekarang berbeda? Dulu juga kau diam saja, mengumpulkan emosi untuk kemudian dilampiaskan pada tumbuhan liar tak bersalah." Pete kelihatannya sangat kesal, seolah-olah mewakili para rumput yang kucabuti dulu.
"I've grown up, Idiot."
"Hanya fisikmu, Ava, hanya fisikmu."
Aku mengabaikan cibirannya dan kembali menatap batu yang masih ada di hadapan kami. Siang ini matahari lumayan terik dan aku sama sekali tidak peduli dengan kulitku yang akan bertambah kecokelatan setelahnya.
"Bolehkah mengumpat di pemakaman?" Aku berceletuk. Itu sangat ingin kulakukan sejak tadi, walau tahu tak akan berarti apa-apa. Sosok yang terbenam di tanah yang kami pijak ini bahkan tidak akan tahu kecuali jika arwahnya berkeliaran di sekitar kami-mengerikan bila betulan terjadi.
"Jangan lakukan yang aneh-aneh, takkan ada yang berubah jika kau mengumpat. Ayo pulang, kulitku yang sudah gelap ini bisa tambah gosong."
Pete beranjak pergi. Yang pasti, aku sadar tidak perlu takut akan ditinggalnya pulang. Dia hanya tidak suka mendengar umpatan.
"Hei, Dad, sudah lama, ya? Tadinya aku enggan datang, tapi kedatangan tamu kemarin menyadarkanku, mungkin kamu perlu dikenang. Aku hidup dengan nyaman, sampai nyaris melupakan kau pernah ada. Seharusnya kau tidak repot-repot membuatku menderita lagi. Sejak dulu, tidakkah kau bosan mendatangkan masalah? Aku sampai berteman dengannya."
"Aku, bodohnya, datang jauh-jauh ke sini hanya untuk berkata I'm so fucking hate you. Rasanya tidak adil kalau di sana kau hidup dengan nyaman. Aku berharap Tuhan membuatmu mencicipi karma."
Aku masih meracau dan makin seperti orang tidak waras ketika jatuh terduduk di rerumputan.
"Aku benar-benar menyedihkan. Orang-orang mengasihani kami. Bahkan tetangga masih sering memberi makanan. Tapi aku sudah tidak bisa menangis. Sekarang apa lagi? Aku tahu bicara begini tidak akan menghasilkan apa-apa. Aku hanya ingin tenang. Apa itu terlalu berat untuk dikabulkan?"
"Shit. It feels like I'm praying to a grave. Sorry, God. And goodbye, Dad. This will be the last."
Aku bangkit berdiri, merasa sudah tidak ada lagi keperluan di sini, lantas beranjak menyusul Pete. Rasanya sedikit melegakan mengungkapkan keluhan-keluhan itu pada ayahku yang keberadaannya diwakili oleh batu nisan.
Termometer - Jacob akan menemuimu besok.
Termometer - Tidak. Aku yang akan menemuimu. Kutunggu desainnya.
Kehadiran pesannya sama sekali tidak memperbaiki hariku.
***
Holla!
Tuteyoo kembali dengan playlist hari Selasa. Satu lagi bab yang super duper panjang. Semoga bisa menghibur, ya.
Untuk mengobati kejenuhan kalian, aku juga bawain cuplikan dari cerita Jadi Aku Sebentar Saja oleh Kak VitaSavidapius.
***
Jatmiko Hermawan sudah membuatnya patah hati dan merasa tak layak dicintai sebagai seorang kekasih. Kini, saat lelaki itu bersedia menemani sepanjang hidupnya, Mika berputar haluan.
Jika dulu Miko bisa seenaknya menolak dan meninggalkannya, seharusnya Mika yang sekarang bisa pergi dan membuat lelaki itu menyesali keputusannya. Tapi bagaimana?
Ide yang dikeluarkan Adel memenuhi kepalanya. Dalam waktu kurang dari setengah tahun, dia harus bisa membawa lelaki lain ke rumah. Tapi siapakah lelaki itu?
***
See you on the next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
22 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro