Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

79 - Jackson Hole

Tiba juga hari di mana kami berempat pergi berlibur ke Jackson, Wyoming. Aku tidak tahu harus merasa senang, gelisah, atau takut. Aku tidak mengharapkan liburan ini, waktunya terlalu lama. Sempat kukira double date yang dimaksud hanya pergi jalan-jalan ke Central Park, atau menikmati kopi di kafe-kafe yang tidak biasa kami datangi, atau menonton bersama di bioskop. Ya, sesederhana itu kencan yang kupikirkan.

Sebelumnya, aku tidak bisa membayangkan akan melakukan perjalanan jauh bersama orang-orang yang tidak cukup dekat denganku. Tidak peduli jika orang-orang itu adalah kekasihku, mantan yang sudah kubersamai selama empat tahun, serta teman yang pernah sangat dekat dan sekarang menjadi sangat asing. Ini jelas akan berbeda jika dibandingkan dengan pergi bersama Hyunjoo, Pete, atau Dave. Seminggu akan terasa sangat lama tanpa mereka.

Kami berangkat sore satu hari sebelum tanggal dua puluh. Ini akan menjadi perjalanan yang melelahkan untukku karena langsung dibawa Alby ke bandara tepat dari kantor. Rasa lelah makin menjadi-jadi setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima jam penerbangan tanpa transit. Beruntungnya kami tidak berangkat bersama Jeff dan Claudia, aku jadi bisa tidur di sepanjang perjalanan dan Alby cukup mengerti soal itu. Dia baru membangunkanku ketika pesawat akan mendarat.

Perjalanan kali ini bahkan lebih singkat daripada ke Santorini, tetapi rasanya jauh lebih melelahkan. Risiko melakukan perjalanan setelah bekerja seharian, kurasa.

"Kita tidak melakukan apa-apa malam ini, bukan?" Dan aku menguap sebelum melanjutkan kalimatku. "Aku mengantuk."

Alby menarik bahuku agar menempel padanya. Aku tidak mengelak karena bersandar di bahunya akan terasa lebih nyaman daripada kaca jendela mobil. Dengan telapak tangannya mengusap bahuku naik turun, aku tidak bisa menahan mataku tetap terbelalak. Rasanya seperti sedang dinyanyikan senandung pengantar tidur.

"Hanya makan malam. Aku meminta Claudia dan Jeff menunggu kita untuk makan malam bersama."

"Kita sudah makan di pesawat tadi, 'kan?" Mataku setengah terpejam saat membalas. Sungguh, lima menit lagi seperti ini, aku mungkin akan tertidur pulas.

"Tapi mereka belum." Bisa kurasakan bahunya mengendik sebentar, tetapi itu tidak membuatku menjauh darinya.

"Sejak kapan kau peduli dengan kebutuhan perut mereka?"

"Karena mereka pasti akan menunggu kita untuk makan malam?"

Aku tertawa main-main. Jelas tidak ada yang lucu untuk ditertawakan. "Karena kau minta mereka menyiapkan, bagaimana mungkin mereka akan makan lebih dulu dan memberi makanan sisa untuk kita. Kau menyiksa mereka."

Jentikkan jarinya terdengar nyaring di sini. "Tepat sekali."

Sekitar pukul sembilan malam waktu setempat, kami baru tiba di penginapan. Udara dingin Jackson Hole menyambut kami begitu keluar dari mobil. Aku memandang bangunan cokelat dua lantai di hadapan, mengabaikan Alby yang mungkin saja kerepotan mengeluarkan koper dari bagasi mobil. Jendelanya di samping pintunya sangat besar, tingginya nyaris menyentuh atap. Melalui jendelanya yang dilapisi tirai tipis, aku bisa melihat isi dari vila yang akan kami tempati sampai ke lantai dua.

Seluruh halaman depan vila diselimuti salju. Hanya jalan untuk lewat saja yang dibersihkan agar mudah dilewati. Lampu jalan berwarna kekuningan, memberi kesan yang hangat di malam yang dingin ini. Di dekat teras terdapat sepasang lampu berbentuk sepasang orang-orangan salju. Benda itu akan berhasil menarik perhatian anak-anak yang juga berkunjung ke sini.

"Ayo, masuk." Alby sudah berada di sebelahku. Tangannya mendorong troli--yang aku tidak tahu dia dapat dari mana--berisi empat koper besar. Aku penasaran apa isi saja yang dibawanya sampai memerlukan empat koper. Padahal kebanyakan pria membawa lebih sedikit barang daripada wanita.

"Kita langsung ke kamar? Maksudku, aku akan merasa tidak nyaman kalau makan malam dengan penampilan sekacau ini." Aku sedikit merentangkan tangan dan membiarkan dia melihatku. Rambutku diikat asal. Di balik mantel ini bajuku pasti sangat kumal. Dan wajahku, pasti tidak kalah kacau, apalagi setelah lelah bekerja seharian.

"Tidak apa-apa, kau tetap cantik. Apa harus kuingatkan terus, hm?"

Alby mungkin tipe pria yang akan menunjukkan afeksi dengan kata-kata. Meski begitu, dia tidak sembarangan memuji hanya untuk menyenangkan orang lain, setidaknya itu yang kupelajari sedikit tentang dirinya. Biasanya aku tidak akan terbuai oleh pujian, tetapi akhir-akhir ini dia sukses membuatku tersipu. Yah, memangnya siapa yang tidak akan bereaksi jika dipuji cantik oleh pria yang disukai?

"Aku lebih suka pria yang jujur, kau ingat itu, 'kan?"

Mulutnya mengeluarkan uap melalui satu helaan napas panjang. "Dan kapan kau akan percaya kata-kataku?"

"Aku hanya tidak terbiasa menerima pujian, apalagi dari pria sepertimu."

Alby tiba-tiba berhenti melangkah, dan aku mengikuti meski kebingungan. Dia menatapku tanpa berkedip cukup lama, seperti aku akan lenyap jika dia melewatkan sepersekian detik tidak menatapku.

"Pria sepertiku? Dalam konteks yang baik atau buruk? Karena jujur saja, apa pun pendapatmu tentang aku, rasanya menggangguku."

Dia terlalu serius untuk membicarakan tentang sesuatu yang tidak terlalu krusial, di luar ruangan pula. Tidakkah dia menyadari udara makin dingin dan salju tipis mulai berguguran? Aku baru saja melihat beberapa tersangkut di rambutnya.

"Bisakah kita masuk dulu?"

Karena Alby bergeming, aku berdiri di sebelahnya dan mendorong troli. Dia menyusul kemudian, hingga kami sama-sama mendorong troli yang lumayan berat ini. Aku ingin sekali bertanya apa saja yang dia bawa, tetapi mengingat sosok Alby, dia pasti akan menjawab dengan kata-kata yang menyebalkan.

Aku melepas pegangan troli dan bermaksud ingin membuka pintu, tetapi pintu itu sudah lebih dulu terbuka dan menampakkan sosok Claudia. Dengan dia mengenakan piyama hitam satin, aku merasa lega. Itu berarti tidak ada rencana melakukan hal lain setelah makan malam.

"Selamat datang kalian. Ayo masuk, kamar kosong yang besar ada di lantai atas." Claudia membuka lebar pintunya dan menghampiriku. Dia membuatku kikuk karena tiba-tiba memelukku. Kemudian dia berbisik, "Aku akan menikmati liburan ini."

Itu pelukan yang singkat. Dia menjauh sebelum aku sempat menyentuh punggungnya. Dan apakah yang kudengar tadi semacam peringatan? Makin ke sini, dia seperti sengaja memperlihatkan sosok asli dirinya. Aku tidak lagi bisa menganggapnya gadis yang baik dan manis seperti dulu.

Kami akhirnya tiba di kamar, setidaknya setelah dua kali naik turun tangga untuk mengangkat koper. Trolinya tidak bisa dibawa naik ke lantai dua. Tidak ada elevator untuk bangunan yang hanya terdiri dari dua lantai ini. Sekarang rasa lelahku menjadi berkali-kali lipat. Alby sudah memperingatkan agar aku tidak perlu ikut mengangkat koper, tetapi aku tidak mungkin membiarkan dirinya melakukan itu sendirian. Aku tidak akan menjadi wanita manja yang kantong belanjaannya saja harus dibawakan oleh kekasihnya. Selagi masih mampu, aku akan melakukannya sendiri.

"Alby, bolehkah aku mandi lebih dulu? Aku yakin akan malas beranjak kalau sudah beristirahat." Aku meminta izin sembari melepas mantel dan menyampirkannya sementara di kursi depan meja rias. Kamar ini mulai terasa hangat karena Alby baru saja menyalakan perapian.

Dia mendekat dan meletakkan tangannya di pinggangku. Aku tidak percaya ini, tetapi aku sendiri tidak berusaha menghindari sentuhannya. "Tentu saja boleh, apa mau sekalian kubantu menggosok punggungmu?" Dan tangannya perlahan-lahan merambat naik ke punggung. Aku langsung menepis tangannya sebelum tiba di posisi pengait braku.

"Jangan harap aku akan membiarkan itu terjadi." Kudorong dadanya sebelum menjauh menghampiri koper untuk mengambil pakaian ganti. Besok saja aku mengeluarkan isinya dan memindahkannya ke lemari. Sekilas kulihat melalui cermin rias, dia menjatuhkan diri ke kasur dan tertawa puas.

"Cepatlah mandi, aku juga perlu mengganti pakaian ini."

•••

Tidurku terusik ketika mendengar sesuatu mengetuk-ngetuk kaca jendela. Seberkas cahaya yang tidak terlalu terang menyelinap masuk dengan malu-malu melalui sela-sela tirai. Padahal seingatku di luar sana tidak seterang itu. Tidak ada lampu yang cukup terang untuk sampai ke lantai dua. Kecuali ini sudah pagi. Oh, benar.

Aku meraih ponsel dari atas nakas hanya untuk memeriksa jam. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi waktu setempat. Di sebelahku Alby masih terlelap memunggungiku. Tunggu, apa makan malamnya tidak jadi?

Seingatku, setelah mandi semalam aku mengeringkan rambut di kasur sambil bermain ponsel. Lelah duduk, aku berpindah posisi menjadi berbaring. Dan setelahnya aku tidak ingat lagi kalau akhirnya tertidur. Setelah dipikir-pikir lagi, aku lebih baik tidur daripada harus menemani mereka makan malam padahal sudah mengantuk dan tidak lapar lagi. Itu akan membuat mereka makan buru-buru karena tidak enak membuatku menunggu.

Aku menatap langit-langit ruangan, tidak tahu apa yang harus kulakukan pagi ini. Mandi di pagi musim dingin kedengarannya bukan ide yang bagus. Karena sudah bangun dari tidur yang cukup, aku tidak lagi mengantuk. Mataku tidak bisa terpejam lagi untuk melanjutkan tidur.

Aku turun dari ranjang dan membuka tirai. Sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara agar tidur Alby tidak terganggu. Aku perlu pagi yang tenang tanpa harus berdebat dengannya.

Dari posisiku berdiri saat ini, aku bisa melihat pegunungan Grand Teton diselimuti oleh salju—setidaknya itu yang sempat kudengar dari Alby ketika membicarakan tentang tempat ini bersama Jeff dan Claudia beberapa pekan lalu. Sebelum pegunungan, terdapat danau yang membeku. Ini adalah kali pertama aku melihat langsung pemandangan yang seindah itu.

Aku mulai haus, dan teringat kalau belum benar-benar mengelilingi vila ini. Maksudku, karena akan berada di sini selama seminggu ke depan, setidaknya aku harus tahu akan ke mana ketika membutuhkan sesuatu. Seperti posisi dapur untuk mengatasi rasa hausku, misalnya.

Kuraih jubah berbulu tipis yang sempat kukeluarkan bersama baju piyama yang kukenakan ini dan memakainya. Di kamar ini mungkin hangat, tetapi aku tidak tahu bagaimana di luar. Anggap saja berjaga-jaga karena piyama yang kupakai tidak cukup tebal untuk menangkal udara dingin.

Sebelum berkeliling, aku pergi ke dapur yang ada di lantai satu dulu untuk mengatasi dahaga. Di sana aku menemukan Jeff, sedang berdiri membelakangi. Dia pasti sedang membuat kopi karena aromanya memenuhi hidungku sekarang.

"Bukankah terlalu pagi untuk minum kopi?" Aku menyapanya sambil menuangkan air hangat ke gelas kosong.

"Selamat pagi juga, Ava. Kau mau secangkir?" balasnya dengan senyum yang hangat. Aku baru menyadari kalau dia bercukur. Wajahnya bersih dari rambut-rambut kecil, hanya menyisakan jejak-jejak pertumbuhan mereka di sekitar rahangnya.

"Tidak, terima kasih. Aku belum makan sejak turun dari pesawat." Aku berjalan menuju meja makan sambil menenggak isi gelas dan duduk di salah satu kursinya. "Di mana Claudia?" Dan itu adalah pertanyaan basa-basi. Aku tidak mau menjadi canggung karena terlalu lama hening.

"Dia sedang berendam air panas." Jeff membawa kopinya duduk di kursi seberangku. "Semalam aku sudah meminta Alby membangunkanmu, tapi dia menolak. Katanya kau tidur terlalu lelap."

"Aku kelelahan. Kemarin masih bekerja sebelum berangkat ke sini."

"Ah, jadi itu alasan kalian datang terlambat. Ngomong-ngomong, kau bekerja di mana? Kurasa aku belum mendengar soal itu." Jeff menyamankan posisinya, bersandar pada sandaran kursi dan melipat tangannya di atas meja. Dia tampak siap mendengarkanku.

"Ander-Ads. Seorang teman menawarkan posisi sebagai layouter sekaligus ilustrator di sana."

Jeff tampaknya terkejut ketika aku menyebutkan nama perusahaan tempat kerjaku. "Wow. Kau bekerja di sana."

Apa dia tahu sesuatu tentang perusahaan itu? Dari nada bicaranya, itu jelas seperti dia tahu betapa buruknya sistem perusahaan itu.

"Kenapa?" Aku ingin tahu apa pendapatnya.

Wajah bingungnya berarti dia tidak menangkap maksudku. Atau mungkin apa yang dipikirkannya tentang Ander-Ads di luar dari dugaanku. "Apa yang kenapa?"

"Tidak apa-apa." Mungkin sebaiknya tidak membicarakan tentang itu dulu. Aku menenggak kembali minumanku sampai habis.

"Apa kau pernah menduga ini terjadi? Kita, mantan kekasih, berlibur bersama sepasang kekasih yang juga berpisah dan kini menjadi pasangan kita." Jeff mengatakannya seolah-olah itu adalah sesuatu yang menakjubkan.

"Entahlah. Terlalu mengerikan untuk dipikirkan sebelumnya. Jadi, apa yang membuatmu setuju untuk liburan ini? Seingatku kau punya rencana untuk membuktikan sesuatu, apakah dengan berlibur akan membantu?"

Selagi hanya ada kami berdua di sini, sekalian saja kumanfaatkan untuk mendengar lebih banyak tentang rencananya.

Jeff melihat sekitar, seperti memastikan tidak ada orang lain yang akan mendengar kami. Dan kurasa cukup aman jika Claudia masih punya kebiasaan berendam lama.

"Claudia ingin menghancurkan kalian. Aku tahu, itulah tujuanmu dan Alby—membuat Claudia memohon agar bisa kembali mendapatkan Alby. Tapi caranya tidak seperti yang kalian duga akan terjadi."

"Aku sudah menduga itu, Jeff. Kami pun tidak menyangka akan sulit membuatnya menyerah. Claudia yang dulu kukenal tidak sekeras ini."

Jeff mendengkus, seperti dia sudah sangat mengenal seperti apa wanita itu sebenarnya. "Orang yang kubilang memanfaatkan situasi adalah Claudia. Saat artikel tuduhan mereka pergi bersama itu rilis, dia juga menyuruh seseorang untuk membocorkan rekaman videonya saat masih bersama Alby. Aku ingat kau pernah bilang kalau hanya Alby dan Claudia yang memilikinya, bukan?"

Kukira aku akan terkejut, tetapi kenyataannya tidak. Aku justru sudah mengira itu bisa saja terjadi.

"Kejadiannya sama seperti artikel yang baru-baru ini keluar, tentang aku bertengkar dengannya. Kenyataannya, kami hanya meninggalkan kafe, kebetulan aku berjalan agak mendahuluinya. Claudia berusaha menyusulku, tetapi dengan mengenakan sepatu berhak, tentu saja dia akan terpeleset di jalanan yang licin. Dia menarik mantelku dan sebelum dia terjatuh, aku sudah lebih dulu menangkapnya. Seseorang sengaja mengikuti dan kebetulan mendapat tangkapan gambar yang bagus."

"Menurutmu itu dari Claudia juga?" Tentu Jeff punya alasan kenapa dia sampai yakin itu perbuatan calon istrinya.

"Dia tidak berusaha mengelak." Jeff tersenyum miris. "Tapi orangtuaku menuntut agar artikel itu segera dilenyapkan. Aku ingin sekali membatalkan rencana pernikahan itu, tahu. Tapi ayah Claudia akan terkena serangan jantung jika tahu kami membatalkannya."

"Bagaimana dengan artikel tentang kalian? Tidakkah itu cukup mengejutkan?"

Sebenarnya terlalu pagi untuk membicarakan topik seberat ini, dengan perut yang kosong pula. Namun, selagi Jeff mau membicarakannya, mana mungkin aku akan diam saja.

"Dia cukup tahu risiko memiliki putri yang berkarier di bidang hiburan. Kami hanya perlu muncul bersama dan sudah cukup untuk mengatasi kecemasan mereka."

"Apa rencanamu?" Setelah obrolan yang panjang, aku baru menanyakan apa yang mau kutahu sejak awal. Kalau Jeff ingin aku membantunya, tentu aku harus tahu apa yang akan dia lakukan.

"Mengeluarkan sisi terburuknya tanpa harus mengancamnya. Untuk itu, Ava, kusarankan agar kau tidak jauh-jauh dari Alby. Jangan biarkan Claudia mendapat kesempatan berdua saja dengan kekasihmu. Aku tidak akan diam saja kalau dia melakukan sesuatu padamu."

Sekali lagi Jeff membuktikan kalau dirinya belum berpaling dariku, tetapi itu justru membuatku merasa bersalah. Ketulusannya membuatku menjadi orang paling jahat di bumi ini. Meski dirugikan, dia bahkan masih peduli, masih mau berkorban untukku. Hell … bagaimana bisa dia memikirkan orang lain ketika di satu sisi sesuatu yang lain juga mengancamnya?

"Jeff, ini hanya saran kecil, tapi kau perlu berhati-hati dengan Ander-Ads. Jangan pikirkan aku, aku bisa mengatasi masalahku sendiri. Lagi pula, aku sudah punya Alby untuk diandalkan. Jadi, pikirkan juga tentang dirimu sendiri."

Aku menggigit lidahku sendiri di dalam mulut begitu sadar apa yang sudah kukatakan. Alby? Untuk diandalkan? Dia memang punya power untuk mengatasi masalah, tetapi aku tentu tidak akan memanfaatkan itu. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan hal lain selain itu untuk membuat Jeff berhenti peduli padaku.

"Ander-Ads … ya, aku tahu mereka punya pemimpin yang terlalu ambisius, menghindari kegagalan. Aku tidak masalah kalah dari mereka, suatu saat kecurangan mereka akan terbongkar."

Aku membanting punggung ke sandaran kursi. Merasa sudah sia-sia berusaha memperingatkan. Selama ini aku banyak memikirkan tentang apa yang terjadi jika Jeff benar-benar dicurangi, tetapi dia justru tidak peduli. Bisakah aku merasa lebih konyol dari ini? Tidak, kurasa. Inilah yang membuatku yakin kalau tidak semua orang yang kesulitan akan membutuhkan bantuan.

"Apa hanya aku yang tidak tahu permainan kotor mereka hingga terjebak menjadi karyawan di sana?"

Jeff justru menertawakan betapa frustrasinya aku. "Tidak. Mereka memang pintar menutupinya, Ava. Hanya orang-orang yang berurusan dengan mereka yang bisa mengendus bau kecurangan."

Aku hanya mengangguk sebagai respons. "Baiklah, itu saja. Kurasa kita sudah mengobrol terlalu banyak. Alby mungkin sudah bangun sekarang."

Memangnya apa yang akan kulakukan kalau Alby bangun? Sial. Itu alasan yang buruk untuk pergi dari dapur.

"Ya. Kuingatkan sekali lagi, Ava, jangan jauh-jauh dari Alby."

•••

Sebelum Agustus habis, kayaknya aku belum bisa update sering-sering :"((
Bukan mau cari-cari alasan, tapi emang biasanya Agustus enggak sepadat ini hiks (jadi inget Agustus tahun lalu sangat senggang karena isoman, hehe). Harusnya cuma ujian naik tahap residen sama ngurus seleksi penerimaan peserta didik PPDS baru, tapi kali ini ditambah akreditasi rumah sakit sama audit universitas. Jadi, maafkan aku temans :")

Residen = dokter umum yang menjalani PPDS
PPDS = Program Pendidikan Dokter Spesialis

Yak, see you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
22 Agustus 2022 (waktu WITA)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro