77 - Father's plan
"Kau sukses membuat mereka malu," kataku ketika kami membelah hujan salju demi menuju mobilnya yang diparkirkan agak jauh dari kantorku. Trotoar agak licin, jadi kami berjalan pelan-pelan. Gumam kebingungan Alby terdengar dan aku segera mengoreksi. "Mereka, teman-teman kerjaku."
"Malu? Karena terpesona padaku, atau karena berpikir tadi aku tersenyum pada mereka?" Dia menyunggingkan senyum dan menyenggol pinggangku menggunakan siku yang terjepit oleh lenganku.
Aku balas menyikutnya agak kuat sampai dia keluar dari naungan payung. Kutarik lagi dia mendekat sebelum salju memenuhi kepalanya. Aku kurang suka pada dugaan kalau dia tersenyum untuk mereka, padahal jelas-jelas itu ditujukan padaku. Apa ini yang dinamakan cemburu?
"Jangan mengada-ngada. Sejak kemunculanmu di media dan kehadiranmu di kantor waktu itu, mereka jadi sering membicarakanmu. Aku mendengar itu hampir setiap makan siang. Media sosialmu juga sering mereka buka, barangkali kau memposting sesuatu yang baru. Dan mereka tidak tahu bahwa kekasihmu ada di sana, mendengar semua pujian yang ditujukan untukmu." Itu penjelasan yang panjang dan apakah aneh kalau aku sedikit merasa kesal? Alby disukai banyak wanita dan entah kenapa itu memberi sinyal bahaya.
Alby tertawa. Kerlingan matanya membuktikan betapa dia sangat terhibur karena itu. Senyum penuh percaya dirinya tampak menyebalkan kalau makin lama dilihat. "Bagaimana tanggapanmu? Aku akan senang kalau kau ikut menyumbang pujian untukku."
Decihan pelan kukeluarkan. Di saat yang sama aku nyaris terpeleset sampai berpegangan pada lengannya makin erat. Memakai pantofel di musim ini sangat tidak dianjurkan. Aku akan ingat untuk tidak memakainya mulai besok.
Alby menyadari itu dan sebelah tangannya tidak lagi menggamitku, tetapi berpindah ke pinggangku. Jarak antara lenganku dan dadanya hanya tersisa lapisan kain dari pakaian yang membungkus tubuh kami. Kendati begitu, panas dari tubuhnya bahkan sampai ke kulitku. Itu membuatku makin ingin membungkus diri dalam pelukannya.
"Aku menikmati makan siangku dengan tenang--sebagaimana mereka mengenalku. Aku tidak akan membicarakan seorang pria jika bukan dengan Hyunjoo."
"Lalu bagaimana kau dan Hyunjoo membicarakan tentang aku?"
Aku mengernyit karena pertanyaannya yang sangat tidak penting itu. "Kali pertama kami melihatmu memang agak istimewa. Kau mabuk di meja yang dipenuhi oleh botol minuman keras. Kau pemabuk, itulah kesan pertama yang kudapat."
Alby tersenyum agak masam dan gelengan kepalanya membuatku tersenyum geli. "Sungguh kesan pertama yang tidak berkesan."
"Aku bisa bilang, kesan pertamamu terhadapku adalah seorang wanita bertabur berondong jagung?" Kali ini aku tidak lagi menahan tawa lolos dari bibirku. Aku teringat akan betapa keras dadanya saat menubrukku, sampai-sampai wadah berondong jagungku menjadi gepeng dan isinya meluap. "Aku tidak mengerti bagaimana mungkin aku tidak melihatmu waktu itu padahal sebesar ini." Aku bicara tentang dadanya yang bidang dan lebar, tidak ketinggalan tinggi badannya. Itu bukan pujian, tetapi fakta.
"Sebesar ini? Kau belum melihat semuanya, Ava. Kau akan takjub melihat betapa besarnya aku."
Satu pukulan mendarat di perutnya. Gila saja dia membicarakan hal sekotor itu. Aku mungkin menghindari kegiatan fisik di ranjang, tetapi bukan berarti aku tidak paham hal-hal yang menjurus ke sana. Aku tidak sepolos itu.
"Jangan membuatku ingin menggumpalkan salju dan melemparnya ke wajahmu."
Alby hanya tertawa. Dia meremas pinggangku dan menarikku makin dekat dengannya. Aksinya itu meninggalkan rasa geli yang menjalar sampai ke perutku.
"Kau harus menahannya sampai bertemu Paula. Dia suka bermain dengan bola-bola salju saat kecil."
"Oh, kau berkata seolah-olah kita akan bertemu dengannya."
"Sudah kuduga kau tidak membaca pesanku. Kita akan makan malam di rumah orangtuaku hari ini. Mereka merindukanmu sekaligus aku ingin memberi tahu kalau tidak bisa bersama mereka saat Natal."
"Aku tidak tahu kau mengirim pesan."
Alby menggumam panjang, seolah-olah aku memang sudah biasa mengabaikan pesan-pesannya. Aku segera mengeluarkan ponsel dan memeriksanya. Pesan itu ada, kuterima sekitar sepuluh menit yang lalu. Oh, itu saat aku mengobrol dengan Lauren. Deringnya tidak terdengar karena saat berada di ruang pertemuan, ponselku kuatur dalam mode senyap.
"Kau yakin tidak apa-apa kalau aku langsung bertemu mereka dengan penampilan sekacau ini?"
Kami tiba tepat di sebelah mobilnya. Alby melepas rangkulannya dan berdiri di hadapanku. Tidak berjauhan agar kami tetap berada dalam naungan payung. Dengan alis yang bertaut itu, dia memindaiku dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas.
"Kau tampak baik-baik saja bagiku. Takada yang kacau."
Oke, kalau tidak ada yang kacau, lalu rambut yang baru saja dia selipkan ke belakang telingaku itu artinya apa? Tangannya berakhir menangkup pipi kananku, membiarkan hangatnya merambat sampai ke seluruh wajahku. Dia seperti api yang sedang memanaskan air di atas kompor.
"Kau cantik dengan versimu sendiri. Bahkan kupikir makin cantik dari hari ke hari."
Aku membuang muka, melepaskan diri dari tangannya yang hangat. "Apa ini waktu yang tepat untuk memuji?"
Lagi-lagi dia tertawa. Bukan tawa yang menyebalkan, tetapi tawa yang puas dan, entahlah, bahagia? Aku merasakan percikan itu dari matanya dan--sialnya--membuatku percaya kalau dia benar-benar serius ingin membersamaiku.
"Tidak ada jadwal untuk sebuah pujian, Ava. Dan kau memang pantas menerima yang lebih dari itu. Jadi, sebelum aku membuatmu makin tersipu malu, sebaiknya kau masuk sekarang sebelum kedinginan." Sambil mengatakan itu, Alby membuka pintu penumpang dan mengisyaratkan agar aku segera masuk.
•••
Ini bukan kali pertama aku berkunjung ke rumah orangtuanya, tetapi aku tetap terus disadarkan betapa mereka sangatlah kaya. Rumah mereka besar, dengan halaman yang aku rasa bisa dipakai untuk memarkirkan berpuluh-puluh mobil. Desainnya modern-minimalis, sempat membuatku bertanya-tanya apakah rumah ini baru dibangun beberapa tahun terakhir, tetapi Alby menjawab tidak. Mereka hanya sering merenovasi dan sejak dia kecil, rumah orang tua mereka memang sudah di sini.
Selagi mobil Alby membelah jalan setapak yang membelah halaman rumah menjadi dua--sisi kiri dan kanan, aku sedikit merapikan rambutku melalui cermin yang ada di atas dasbor, menempel pada langit-langit mobil. Wajahku tidak tampak kusam--sesuatu yang kusyukuri hari ini. Namun, bibirku tampak pucat, sapuan lipstik tadi pagi sudah pudar. Oh, dan bauku ... aku harus menyemprotkan parfum begitu keluar dari mobil. Aku selalu membawa satu di tas.
Mobil Alby benar-benar berhenti, di lahan yang berlapis keramik dan berkanopi. Mobil-mobil lain yang mungkin adalah koleksi orangtuanya dan milik Paula juga terparkir di sana. Lagi, aku harus berdecak kagum karena pria yang menjadi kekasihku ini dibesarkan oleh keluarga kaya. Aku tidak tahu harus bersyukur atau tertekan, karena sudah dua kali berkencan, keduanya adalah pria kaya yang aku sendiri tidak pernah menduga akan mengencani mereka.
Alby meraih tanganku, tepat setelah aku menyimpan kembali parfum ke dalam tas, kemudian menarikku memasuki rumah. Di balik pintu, Alby berhenti sebentar dan melepas mantel. Aku mengikutinya, dan menyampirkan mantelku di rak gantung yang disediakan di sana.
"Ava, sayang. Selamat datang."
Susan muncul dari ujung lorong dengan kedua tangan yang terbuka, seperti akan memeluk. Kukira itu untuk Alby, tetapi dia baru saja melewati pria itu. Aku seketika kikuk dan menatap Alby seperti meminta tolong, tetapi dia justru tersenyum jenaka.
"Bagaimana kabarmu?"
Aku sudah sukses berada dalam pelukan Susan saat dia berkata begitu. Sekali lagi aku melempar tatapan penuh tanya pada Alby, seperti meminta izin apa aku boleh membalas pelukannya atau tidak, dan pria itu hanya mengangguk.
"Aku sangat baik," balasku sembari menaikkan tangan pelan-pelan. Aku tidak merasa ini hanya pelukan sambutan biasa, tetapi sebuah penerimaan. Ini membuatku merindukan Mom lagi.
"Kuharap Alby menjagamu dengan baik."
"Dia ... lebih dari sekadar menjagaku." Aku menatap Alby saat mengatakan itu. Sengaja ingin melihat reaksinya. Dan hasilnya benar-benar tidak terduga. Dia punya rasa malu juga rupanya.
"Mom, aku yakin kau tidak lupa kalau anakmu ada di sini." Sindiran Alby membuatku tertawa kecil.
Susan melepasku dan memberi pukulan di punggung Alby tiga kali alih-alih memeluknya. "Anak yang tidak pernah mengunjungi orangtuanya kalau tidak diminta." Dia berucap kesal dan berlalu pergi meninggalkan kami. "Temui ayahmu di ruang kerja."
Aku tidak tahu instruksi itu untuk Alby saja atau denganku juga. Maksudku, kalau di ruang tamu, atau ruang makan, atau ruang tengah, aku merasa baik-baik saja jika ikut ke sana. Namun, di ruang kerja? Kesannya terlalu formal dan serius. Aku ingat Alby pernah bercerita kalau dia dan ayahnya lebih banyak membicarakan tentang pekerjaan. Kupikir mereka akan membicarakan tentang itu lagi dan keberadaanku di sana tidak ada artinya, tetapi Alby menggandengku dan menariknya agar berjalan bersamanya.
"Aku perlu ikut?" Aku bertanya ketika kami menaiki tangga menuju lantai dua. Meski kebingungan, aku masih sempat mengagumi interior rumah ini. Dinding sepanjang tangga dipenuhi oleh foto-foto keluarga berwarna hitam putih, menyesuaikan skema warna di rumah ini yang juga monokrom. Kurasa aku bisa melihat pertumbuhan Alby sejak kecil melalui foto-foto itu.
"Aku perlu alasan untuk kabur, dan dengan bersamamu di sana, Dad tidak akan menghalangiku."
"Bagaimana kalau dia mau membicarakan sesuatu yang tidak boleh kudengar?"
Dahinya berkerut. Kami sudah di lantai dua dan Alby berhenti berjalan. Mungkin dia sengaja mengulur waktu agar bisa meneruskan pembicaraan kami dulu. "Dan apakah itu?"
Aku menggumam cukup panjang untuk memikirkannya. "Rencana masa depanmu? Atau mungkin dia berubah pikiran dan mengenal seseorang untuk dinikahkan denganmu? Dia tidak mungkin membicarakannya di depanku."
Alby memicing. Aku tidak tahu dia kesal karena apa, tetapi sekarang dia melangkah maju dan membuat punggungku membentur dinding. Dalam jarak sedekat ini, aku bisa mengendus aroma parfumnya. Dan dia terlalu wangi untuk seseorang yang baru pulang bekerja. Atau mungkin dia juga menyemprotkan parfum ke tubuhnya seperti yang kulakukan saat keluar dari mobil tadi.
Kedua alisku terangkat ketika tatapan Alby menyapu wajahku. Kebingungan menyertai, tetapi aku juga tidak berusaha membuatnya menjauh. Berada di sekitarnya seperti ini, terasa mendebarkan sekaligus menggelikan. Ini benar-benar adalah perubahan terbesar dalam hidupku. Bayangkan saja, dulu aku ingin sekali mendepaknya dari hidupku, ingin sekali menghindarinya sejauh yang kubisa, tetapi sekarang aku malah merasa hampa ketika dia melepas genggamannya pada tanganku.
"Bicara tentang perjodohan membuatku emosi." Suaranya pelan dan rendah. Tangannya terangkat dan mendarat di sisi kanan wajahku--menangkupnya--dan aku tidak mengerti dia melakukan itu untuk apa, tetapi aku menyukainya.
"Aku tidak bicara tentang perjodohan."
Embusan napasnya terasa hangat di wajahku. Aku bisa memahami kalau pembicaraan tentang itu akan membuatnya emosi. Lagi pula, aku hanya memberi contoh. Setelah melihat bagaimana Alby berkembang di keluarga ini, rasanya mustahil kami bisa bersama.
"Orangtua yang ingin menikahkan anaknya dengan seseorang yang mereka kenal, apa yang membuat itu berbeda dari 'dijodohkan' selain cara penyampaiannya?"
"Karena tidak ada unsur paksaan?"
Kedua alis Alby bertaut. Aku bisa merasakan dia sedang menahan erangan dalam mulutnya. "Kau benar. Tapi aku tidak suka kau membicarakan tentang itu. Perjodohan membuatku harus melepas wanita yang kucintai."
Aku menelan ludah kecewa. Wanita yang dia cintai, dia bahkan tidak menyebutkan kata 'pernah', yang berarti perasaan itu mungkin masih ada.
Rasa kecewa itu memberiku tenaga untuk mendorong dadanya menjauh, dan dia sama sekali tidak melakukan perlawanan. Aku menatapnya, sekadar ingin tahu bagaimana reaksinya, tetapi yang kutemukan adalah wajah datarnya. Aku ingin sekali marah, sebab meski tidak ada perasaan untukku, dia justru mengintimidasiku. Tidakkah dia mengerti perasaanku? Walau tidak bisa membalas, setidaknya jangan buat aku merasa seperti orang bodoh di sini; selalu dibuat berharap untuk dijatuhkan kemudian.
"Albert sudah menunggu, aku akan berada di luar."
Aku sudah akan menjauh seandainya dia tidak menahan bahuku. "Tidak, seperti yang kubilang, kita akan menemui Dad bersama. Ayo."
Alby menarik tanganku memasuki ruangan di sebelah kiriku. Satu hal yang membuatku kaget adalah, kami berada di posisi seintim tadi di sebelah ruang kerja Albert. Pria itu bisa keluar kapan saja dan menganggap kami tidak punya sopan santun.
Kami memasuki ruangan yang dipenuhi oleh aroma kayu manis dan sesuatu yang maskulin--tetapi tidak terlalu kuat. Aku tidak pernah tahu apakah ruangan yang diisi oleh pria tua akan selalu beraroma seperti itu. Mungkin itu berasal dari pengharum ruangan, atau uap yang menguar dari gelas minumannya.
Punggung Albert menyambut kami. Pria itu duduk di sebuah sofa single yang menghadap ke perapian di ruangannya. Sebuah tablet di pangkuan mencuri seluruh atensinya sampai-sampai tidak menyadari kalau kami sudah berada di belakangnya. Kupikir dia sedang mengerjakan sesuatu, tetapi melalui bahunya, aku bisa melihat layar tabletnya menampilkan halaman koran digital. Dia sangat modern untuk ukuran seorang pria yang nyaris separuh rambutnya berwarna putih.
"Halo, Dad."
Aku mempererat pegangan pada tangan Alby ketika pria itu menoleh untuk melihat kami. Senyum yang hangat memenuhi wajahnya yang cenderung dingin, kaku. Albert meletakkan tabletnya ke atas meja tanpa dimatikan dulu.
"Halo, Nak. Ava, kau juga datang. Ayo, kalian duduk." Albert menunjuk sofa panjang di sisi kanannya. Dia sama sekali tidak berbasa-basi, bahkan setelah tersenyum ramah untuk menyambut kami, dia sudah kembali serius.
"Dad, pembicaraan kita tidak akan lama." Alby menatapku sebentar. "Ava ada di sini, aku tidak ingin membuatnya merasa bosan karena pembicaraan kita."
Aku lantas menggeleng, merasa tidak enak karena ucapan Alby. Aku tidak ingin Albert menganggapku tidak sopan. "Um, itu, aku tidak keberatan kalian bicara--"
"Aku mengerti, Ava." Dia menggeleng pelan sebelum matanya menyorot Alby dengan tajam. "Itu hanya akal-akalanmu agar bisa pergi cepat. Sebenarnya, kita perlu Ava ada di sini untuk mendengarnya."
"Mendengar apa?" Kukira tidak hanya aku yang penasaran, tetapi wajah kaget Alby menjadi bukti bahwa dia sudah mengetahui apa yang mau Albert bicarakan.
"Tapi, Dad, ini bukan waktu--"
"Kau belum memberi tahu Ava, bukan?" Albert rupanya menyadari kebingunganku. "Berarti sekarang adalah waktu yang tepat."
Albert mengambil tabletnya lagi dan jari-jarinya menari di atas layar dengan cepat. Selagi menunggunya, aku memperhatikan Alby.
Pria yang datang padaku karena rencana balas dendam itu tampak tidak tenang, seperti ada sesuatu yang sedang mengganggunya. Dia pernah berkata kalau selama ini selalu jujur padaku, tetapi kali ini aku akan menganggapnya sudah berbohong. Albert mungkin sudah menyarankan agar Alby memberitahuku, tetapi dia tidak melakukannya. Aku akan mempertanyakan soal itu kepadanya nanti.
"Aku ingin mempertanyakan keseriusanmu pada Alby." Albert memberikan tabletnya padaku. Layarnya menampilkan dokumen yang menampilkan halaman akhir sebuah surat pernyataan. Nama Albert dan Alby tertera di sana. "Alby harus memimpin cabang untuk server Eropa tahun depan sampai aku bisa menemukan seseorang yang bisa dipercaya untuk menggantikannya. Keberangkatannya ke Inggris tiga minggu lalu adalah untuk mengurus persiapannya. Tapi dia menolak ke sana dalam waktu dekat dengan alasan tidak bisa meninggalkanmu. Jadi, selain membujuk Alby, aku juga akan membujukmu untuk ikut bersamanya ke Inggris."
"A-aku ikut?" Saking tidak percayanya, aku sampai terbata-bata.
"Dad ... ." Suara Alby terdengar memelas.
"Dengar, Alby. Aku tidak mau mendengar cerita-cerita tidak mengenakkan tentangmu. Orang-orang melihatmu bertemu dengan mantan kekasihmu yang model itu padahal hanya tiga minggu di sana. Bagaimana kalau bertahun-tahun? Apa kau berencana selingkuh?"
"Dad! Kami hanya tidak sengaja bertemu!"
"Lalu keluar dari bar bersama dini hari?" Di sela-sela keterkejutanku, Albert mengambil kembali tabletnya. "Namamu terjaga karena kalian tidak pulang bersama."
"Dad memata-mataiku." Alby tertawa rendah, tetapi aku bisa dengan jelas menemukan kekecewaan di matanya.
"Tidak, tapi orang-orang akan dengan senang hati memberitahuku apa saja yang berkaitan denganku." Albert kembali menatapku setelah wajahnya yang keras itu tertuju pada Alby sejak tadi. "Ava, karena kalian bersama, aku mengharapkan akhir yang baik untuk kalian, atau akan lebih bagus lagi jika kalian menikah. Jadi, aku menginginkan pendapatmu soal ini."
Sudah kuduga seharusnya aku tidak berada di sini. Ketegangan yang tercipta di antara ayah dan anak ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa. Albert benar-benar mengira bahwa apa yang ada di antara kami, hubungan palsu ini, adalah sesuatu yang nyata. Aku sudah menduganya sejak awal, kalau memperkenalkan aku sebagai kekasih di depan orangtuanya akan menimbulkan masalah besar. Dan sekarang, Alby justru membebankan keputusan itu padaku. Dia memakai namaku hanya karena tidak punya alasan lain untuk menolak.
Yah, dia menjadikanku sebagai alat. Dia melarangku pergi, tetapi dia sendiri ingin pergi. Berpisah dengannya adalah rencanaku, dan Albert membuat rencana itu jadi mudah seandainya Alby tidak mencari-cari alasan. Situasi ini menjadi tidak terkontrol.
Aku menelan ludah ketika alis Albert terangkat sebelah. Jelas sekali dia menunggu jawabanku soal ini. Demi menjaga sopan santun di depannya, aku memaksakan senyum. "Bolehkah beri kami waktu untuk membicarakannya dulu? Aku ... benar-benar baru mengetahui soal ini."
Aku tentu tidak segila itu untuk langsung setuju ikut Alby ke Inggris. Menolak juga membutuhkan alasan, dan untuk saat ini aku tidak bisa memikirkan hal lain selain rencana mengakui bahwa sebenarnya kami tidak bersama. Albert akan jauh lebih murka jika itu sampai terjadi. Dan aku tidak akan tahan melihat Alby dimarahi ayahnya lagi.
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
7 Agustus 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro