75 - Negotiate
Sudah jam setengah dua pagi dan aku belum mengantuk sama sekali, padahal aku sudah berbaring di kasur dengan selimut menutupi seluruh tubuh--kecuali kepala. Alby benar-benar tidak membangunkanku selama di perjalanan sampai tiba di rumah. Dan lokasinya memang jauh dari apartemenku, jadi waktu tidurku cukup panjang. Itu sebabnya tidak peduli seberapa keras usahaku untuk tidur, mata ini tetap akan terbelalak. Untung saja besok hari Minggu, meski terpaksa harus begadang, aku tidak perlu khawatir akan bangun kesiangan.
Saat aku masih aktif sebagai freelancer, aku sering begadang karena harus mengerjakan pesanan. Namun, setelah aku memiliki pekerjaan, aku tidak lagi menerima pesanan sebanyak dulu. Sekarang aku yang sudah malas beranjak dari kasur ini mulai kebingungan harus berbuat apa. Di ponselku tidak ada yang menarik, iPad-ku disimpan di laci meja rias, dan laptopku di lemari. Harus kuapakan mata ini agar mengantuk?
Kemalasan yang kurasakan sekarang sirna begitu saja ketika kudengar suara benda yang terjatuh dan terdengar keras. Aku segera turun dari kasur, membiarkan selimutku terseret dan menyapu separuh lantai kamar. Daripada memikirkan itu, aku mengkhawatirkan sesuatu terjadi di luar kamar. Nate bukan seseorang yang akan menjatuhkan barang-barang ketika melakukan sesuatu, dan dia selalu memastikan tidurku tidak terusik oleh apa pun yang dia lakukan.
Apa aku berlebihan? Boleh saja orang berpikir begitu ketika yang kukhawatirkan adalah seorang pria dewasa yang sudah menerima ijazahnya. Namun, aku tidak akan pernah bosan untuk menegaskan kalau dia adalah satu-satunya anggota keluarga yang kupunya, yang berada dalam jangkauanku tentunya.
Kegelapan menyambutku saat membuka pintu kamar. Aku memang selalu mematikannya jika ingat, hitung-hitung untuk menghemat biaya listrik bulanan.
"Kau tahu sakelarnya di mana, 'kan? Kenapa tidak dinyalakan?" Bersamaan itu aku juga menekan sakelar hingga ruang tengah yang menyatu dengan dapur sekaligus ruang makan ini menjadi terang-benderang.
Aku menemukan Nate sedang mengambil stoples kosong berbahan plastik di lantai. Tidak hanya satu, tetapi ada dua. Aku tidak tahu apa yang sedang dicarinya selarut ini.
"Maaf mengganggu tidurmu." Dia hanya berkata begitu sambil kembali menyimpan stoples tadi di lemari atas pantri. "Aku hanya mencari sesuatu untuk dimakan."
Nate kembali melakukan pencariannya, yang aku tahu tidak akan menghasilkan apa-apa. Kami kehabisan stok makanan instan atau camilan kemarin dan aku belum sempat belanja karena harus pergi bersama Alby.
"Duduklah. Aku akan memasak sesuatu untukmu. Kau mau apa?"
Nate menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak gatal. Itu hanya gestur yang menunjukkan kalau dia merasa tidak enak akan merepotkanku. Apalagi selama beberapa hari terakhir, komunikasi tidak terlalu baik. Dan aku akan memanfaatkan situasi ini untuk berbaik-baik padanya, sekaligus menyelesaikan masalah kecil yang sedang terjadi. Aku jelas paham kalau dia tidak bisa menerima keputusanku untuk pergi, tetapi aku juga tidak ingin goyah. Lagi pula, kami masih bisa mengunjungi satu sama lain.
"Roti panggang saja, dengan telur." Suaranya sangat pelan, seperti enggan membuatku kerepotan. Dia berbalik badan dan berjalan masuk ke kamarnya.
Sesulit itukah melakukan sesuatu yang kuinginkan? Sampai orang lain yang kupikir akan selalu mendukungku justru menentangnya juga. Seandainya Mom masih hidup, apa hidupku akan tetap sesulit ini?
Lupakan soal kemalasanku saat di kamar tadi. Kurasa itu disebabkan oleh kasur yang memiliki gaya gravitasi melebihi apa pun. Sampai-sampai meski tidak mengantuk, aku terlalu malas melakukan apa-apa. Namun, sekarang apa yang kulakukan? Energiku seperti dipompa begitu saja dan menjadi penuh semangat saat memanggang beberapa lembar roti dan menggoreng telur. Meski tanpa diminta, aku menambahkan beberapa irisan tomat dan selada. Aku tidak hanya memasak untuk Nate, tetapi untukku juga. Rencananya aku ingin menyantap roti bakar bersama Nate.
Aroma mentega yang meleleh saat aku memanggang roti di penggorengan pun memenuhi udara. Aku memaksimalkan penciumanku untuk menghirup aromanya, seolah-olah tidak ingin membaginya untuk orang lain. Sebenarnya aku cukup percaya diri dengan kemampuan memasakku meski tidak seenak Mom. Namun, aku cukup puas setiap melihat Nate sangat menikmatinya.
Dua porsi roti panggang isi telur dan sayuran pun tersaji di atas meja makan. Walau sebenarnya itu lebih cocok disebut dengan sandwich panggang. Makanan tidak akan lengkap tanpa minuman. Jadi, aku menyempatkan membuat susu cokelat sebelum membawanya ke kamar Nate bersama roti panggang tadi.
Namun, belum sempat aku ke sana, Nate sudah keluar lebih dulu dari kamarnya dengan membawa laptop dan ponsel. Melihat benda kecil itu aku jadi ingat milikku ada di kamar, tetapi biarkan saja, toh tidak ada yang akan menghubungi atau bisa dihubungi di jam-jam sekarang.
"Aku tidak tahu kau mau minum apa, jadi aku hanya membuat susu cokelat." Aku mengatakan itu ketika meletakkan secangkir susu cokelat di hadapannya. Nate menduduki salah satu dari empat kursi di meja makan.
"Terima kasih." Dia membalas sesingkat itu dan mulai memakan rotinya sambil sibuk mengerjakan sesuatu di laptopnya. Yang kutahu, dia bukan sedang bermain game, dia seperti sedang mengetik sesuatu. Dia menekan tombol-tombol kibor dengan cepat tanpa benar-benar melihatnya. Untuk seseorang yang setiap hari berkutat dengan komputer, tentu saja kesepuluh jarinya akan hafal di mana saja posisi huruf. Dan bermain game tidak akan membuatnya sampai sefrustrasi ini.
Aku ingin sekali bertanya kenapa di Sabtu malam dia justru sangat sibuk, bahkan begadang. Besok masih Minggu dan dia bisa melakukan apa saja, kecuali berencana untuk pergi seharian. Namun, aku tidak mau membuatnya lebih merasa kesal karena mempertanyakan itu. Aku yakin dia belum benar-bener memaafkanku atas keputusan yang tidak didiskusikan dulu dengannya itu. Menyaksikan dia bekerja sambil memakan roti yang masih hangat adalah yang terbaik untuk saat ini.
Sayangnya, aku mulai tersiksa oleh keheningan yang mencekik ini. Membuat Nate kecewa ada di daftar terakhir, tetapi aku sudah melakukannya. Sekarang sulit untuk membuatnya membaik. Rencanaku untuk bicara dengannya juga gagal karena dia terlalu fokus untuk diganggu. Sampai rotiku habis dan susu cokelatku tersisa setengah, aku masih belum menemukan cara untuk bicara dengannya. Lagi pula, aku juga belum siap berargumen untuk memperkuat alasan kepergianku. Nate bisa saja berhasil menahanku, menambah alasan aku tetap di sini setelah poin dari Alby yang satu itu.
Padahal aku sudah yakin akan pergi, sudah kupertimbangkan juga semuanya dengan baik.
"Ava."
Aku tidak jadi menyentuh piring dan gelas kosong milikku untuk dibawa ke wastafel. "Ya?" Suaraku tercekat, tertahan oleh luapan rasa bahagia karena dia mau bicara.
"Kau akan mengunjungiku walau sudah pindah, 'kan? Kau juga akan mengizinkanku mengunjungimu, 'kan?"
"Tentu saja!" Aku menjawab cepat tanpa jeda. "Tentu kita masih bisa bertemu, Nate. Aku juga akan menghubungimu setiap hari."
Nate menutup laptopnya dan memamerkan wajah kurang puas. "Apa aku benar-benar tidak bisa ikut denganmu?"
Dengan wajah yang memelas seperti anak kucing itu bagaimana bisa kutolak. Tanganku saja sampai terkepal di atas meja, dengan cara yang tidak barbar tentunya--tanganku diam saja di atas meja.
"Aku perlu berdamai dengan diriku sendiri, Nate. Situasi yang kualami akhir-akhir ini kacau balau, termasuk perasaanku. Aku ingin membuang hal-hal negatif dari dalam diriku dengan mencari ketenangan. Tidak mudah melakukannya jika aku masih menghirup udara sesak yang sama dengan saat ini."
Wajah Alby muncul dalam benak ketika aku berusaha menggambarkan bagaimana kekacauan itu. Dia ... kurasa semua kekacauan yang kualami bermuara darinya. Andai aku tidak menyetujui kesepakatan itu dari awal, kurasa aku juga tidak akan terlibat ke dalam masalah-masalah yang tidak terkendali itu.
"Mungkin aku akan kembali ketika kurasa sudah cukup dan aku mampu mengendalikan diriku sendiri, Nate. Tapi aku tidak bisa memperkirakan berapa lama waktu yang kubutuhkan. Jadi ... bisakah menungguku?"
Nate membuka dan mengatupkan lagi bibirnya beberapa kali. Dia mungkin ingin bicara, tetapi tertahan oleh keraguan. Perlu beberapa saat seperti itu sampai akhirnya dia mengembuskan napas yang panjang, seolah-olah dia sudah menahan napasnya selama ini.
"Tidak apa-apa, Ava. Maaf sudah egois dengan menahan-nahanmu. Aku sudah terlalu keenakan hidup bersamamu hingga tidak lagi memikirkan apa yang kau inginkan atau kau butuhkan. Pakailah waktu sebanyak yang kau perlukan. Aku tidak yakin bisa menunggumu."
Akhir kalimatnya membuatku memicing tajam. "Memangnya kau tidak mau menemuiku lagi?"
Nate mengangkat bahu. Dari raut mukanya, kurasa dia sedikit lebih rileks dari sebelumnya. "Aku tidak bisa menjamin berapa lama aku akan tetap hidup, bukan?"
Sekarang itu tidak membuatku senang. Nate dengan kedewasaan yang dibangga-banggakannya itu justru makin meresahkan.
"Aku lebih senang kalau kau menjadi bocah seumur hidup, Nate." Sindiranku sengaja dikeraskan meski aku berada di dekatnya untuk mengambil piring dan gelasnya yang sudah kosong. "Semenjak kau mengaku sudah dewasa, caramu berpikir jadi makin aneh."
Suara air yang mengalir deras memenuhi kesunyian kami. Aku tidak sengaja memutar keran sampai maksimal, tetapi itu lebih baik daripada harus mendengar kata-kata Nate yang sok bijaksana. Tidak pernah kutahu bagaimana dia bergaul selama di kantor. Meski tahu dia banyak mengobrol dengan Jacob, tetapi aku tidak yakin pria itu yang memberi pengaruh besar padanya.
"Aku berada di tim yang dipenuhi oleh orang-orang agamis. Mereka bercerita tentang makna kehidupan yang sebenarnya, jadi jangan salahkan aku kalau jadi begini." Nate membela diri.
"Dan tolong jangan menjadi seperti mereka saat bersamaku. Kau seperti sudah memperkirakan kalau masa depan akan sangat buruk--kematian adalah salah satunya."
"Kukira kita harus selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi hal terburuk."
Wajahku cemberut saat memandangnya. Aku makin dibuat kesal saat tahu dia tampak tenang-tenang saja saat membicarakannya. Niat ingin mengobrol banyak dengannya justru berujung aku ingin segera kembali ke kamar dan tidur. Aku juga berharap Nate seaneh ini hanya karena kurang tidur, lalu besok harinya setelah dia mendapat istirahat cukup, dia akan kembali normal.
Aku akan menganggap dirinya tidak normal jika terus berbicara tentang hal-hal buruk. Terhitung sejak dia menyebut dirinya adalah kesialan untuk hidupku.
"Terserah, Nate. Aku akan tidur. Kau juga, jika sudah tidak ada yang dikerjakan lagi, tidurlah." Aku mengatakan itu sembari mengeringkan tangan dengan handuk yang digantung di belakang keran wastafel.
•••
Keberangkatan ke Wyoming bersama Alby dan mantan kekasih kami untuk berlibur tersisa seminggu lagi. Hari ini aku berencana untuk mengajukan surat cuti pada Matthew. Sebelumnya aku sudah menyerahkan surat itu ke Troy, sekadar agar tidak dianggap melangkahinya, tetapi dia langsung menyuruhku untuk menemui saudaranya. Dan Matthew adalah orang sibuk, jadi aku menunggu di sini, di depan meja sekretarisnya sampai mendapat kesempatan untuk menemuinya. Kalau dihitung-hitung, sudah setengah jam aku di sini.
Aku sudah bertanya apakah aku harus kembali, tetapi Jessica--nama yang tertera di dada wanita yang menjabat sekretaris itu dan penampilannya selalu mencolok berkat rambut merah terang yang senada dengan lipstiknya itu--menyarankan agar aku tetap menunggu. Lagi, aku harus patuh jika ingin bertahan di tempat yang kotor ini.
Cuti lima hari penuh padahal baru beberapa bulan bekerja membuatku merasa sangat tidak tahu diri. Beruntungnya, 25 Desember jatuh di hari Sabtu. Dan aku belum mendapat jadwal bekerja di akhir pekan karena belum setahun bekerja. Seperti yang Troy bilang, selama setahun adalah masa percobaan sebagai pegawai sekaligus masa-masa penilaian apakah aku dapat dipercaya atau tidak. Dan jika mengajukan cuti lewat HR, jelas akan ditolak. Sayangnya, aku juga tidak bisa menolak Alby. Secara tidak langsung, dia bosku yang menggaji di muka. Kau tahu, seperti provider pascabayar.
Berkat dukungan dari Lauren juga aku siap untuk menghadapi Matthew bersama selembar kertas yang membuatku tidak bisa tidur tenang karena terus memikirkannya. 'Bagaimana jika pengajuanku ditolak?' terus berkumandang di kepala. Aku tidak punya backup plan jika tidak mendapat izin. Berpura-pura sedang sakit keras dan harus libur di tanggal yang sebelumnya kuajukan untuk libur akan terlihat jelas kebohongannya.
Napasku tercekat ketika pintu ruangan di hadapan terbuka. Bukan karena giliranku menemui Matthew tiba, tetapi karena seseorang yang muncul dari balik pintu setelahnya. Dane, lagi. Andai aku belum mengetahui rencana licik Matthew, mungkin aku akan mempertanyakan apa yang dilakukan staf divisi fotografer di ruangan CEO. Apalagi berkas yang dia bawa bukanlah foto, tetapi setumpuk kertas penuh tulisan yang dijepit oleh sebuah map bening. Kurasa dia sengaja membuat orang-orang dapat melihat apa isinya.
"Ms. Clairine?"
"Oh, iya?" Aku sampai melupakan tujuanku ada di sini karena terpaku pada punggung sempit milik Dane.
"Giliranmu, silakan masuk."
"Oh, terima kasih."
Aku hampir meremas kertas beramplop cokelat di tanganku ketika berjalan memasuki ruangan Matthew. Jessica membukakan pintu dan menutupnya lagi untukku. Seperti yang Troy bilang, ruangan ini memang seperti ruangan CEO kebanyakan. Ada sepasang meja dan kursi untuk ditempati Matthew disertai dua kursi lagi di depan mejanya, ada beberapa rak besar dari rotan yang ditata dengan rapi--ada yang menempel ke dinding, ada juga yang diletakkan untuk membagi dua ruangan ini. Terakhir sofa berbentuk huruf L untuk orang-orang yang membuat janji temu dengannya.
Punggung Matthew menyambutku ketika aku sudah berdiri di depan mejanya. Aku tidak ingin tahu dia sibuk dengan apa, jadi aku hanya diam di sini menunggu menunggu sampai dia selesai. Aku bahkan tidak memberi salam karena aku yakin Jessica sudah memberi tahu dan suara ketukan pantofelku tidak bisa dikecilkan. Aku tidak peduli dia akan menganggap sikapku itu sebagai hal yang buruk, karena aku memang sudah tidak bisa sehormat itu kepadanya sebagai atasan.
"Ada hal penting apa yang membuatmu menemuiku, Ava?" Dia baru memutar badan setelah selesai melontarkan pertanyaan itu.
Aku menarik napas cukup dalam sebelum mulai bicara. "Sebelumnya, aku meminta maaf karena ini mungkin melanggar aturan perusahaan bagi pegawai yang belum setahun bekerja, dan mengajukannya lewat HR hanya akan ditolak, jadi Troy menyarankan agar aku langsung datang padamu. Tapi kuharap kau juga mau mendengarkanku. Ini adalah surat pengajuan cuti, lima hari dari tanggal sembilan belas sampai dua puluh empat Desember."
Aku menyodorkan amplopku dan dia menerimanya tanpa berkomentar apa-apa. Sementara aku akan diam selagi dia memeriksa isi amplop itu dan membacanya. Seperti yang sudah kuperkirakan, dahinya akan berkerut dan kemungkinan besar dia akan menolaknya.
"Kau benar. Ini akan menjadi preseden yang tidak baik untuk pegawai lain." Matthew meletakkan surat pengajuanku beserta amplopnya ke atas meja dan menatapku dengan sorot yang lebih tajam daripada sebelumnya.
"Karena aku sangat perlu libur di tanggal itu, maka aku juga akan bernegosiasi denganmu." Aku berusaha tetap tenang agar yang kurencanakan bisa terealisasi dengan baik. Reaksi Matthew tidak boleh membuatku goyah. "Aku akan tetap mengerjakan tugasku secara remote. Aku tidak mengerjakan media cetak, yang berarti aku bisa mengerjakannya di mana saja. Dengan begitu, aku tetap bekerja dan hanya tidak pergi ke kantor. Bagaimana? Jelas itu tidak akan membuatmu rugi, bukan?"
"Aku ingin sekali menolak pengajuanmu seandainya kau tidak memiliki relasi dengan Mateo." Bisa kurasakan betapa dia sangat murka ketika menyebutkan nama belakang Alby. Namun, itu juga menyinggungku, harga diriku tercoreng.
"Perlu kutegaskan kalau aku tidak mencampurkan urusan pekerjaan dengan asmara. Apa pun yang terjadi di antara kalian di masa lalu, aku tidak peduli."
Matthew berdecih keras dan tertawa dengan nada meremehkan. "Siapa yang menduga kalau ternyata kau bekerja hanya untuk memata-mataiku? Apa pun yang kami kerjakan di sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalian."
"Memata-matai? Sikapmu seperti seseorang yang sedang menyembunyikan makanan busuk dari seekor lalat."
Sempat kulihat rahangnya mengeras meski hanya sepersekian detik. "Kekasihmu mungkin masih murka padaku."
"Apa perlu kuingatkan kalau aku bekerja di sini karena tawaran Troy?" Napasku mulai memburu, terbakar oleh emosi. Kenapa orang-orang selalu berpikir aku akan memanfaatkan power Alby, sebagai kekasihku? "Aku tidak ingin berdebat denganmu, Matthew, besar harapanku kau berkenan menyetujui pengajuanku. Dan jika kau keberatan, anggap saja aku sedang memakai cuti sakit. Pertimbangkan lagi kalau aku akan tetap mengerjakan tugasku meski tidak ke kantor."
"Yakinkan aku." Matthew menjatuhkan badan ke kursi di belakangnya dan bersedekap. Dalam posisi itu dan berkat kursi besar berbahan kulit yang berkilau, dia tampak seperti bos.
"Grafik pembaca yang bertahan membaca situs kalian lebih dari sepuluh menit bergerak naik. Menjadi layouter bukan hanya sekadar meletakkan isi artikel, atau iklan, atau apa pun yang mau kalian sampaikan ke pembaca, tapi juga memikirkan bagaimana agar pembaca bertahan untuk melanjutkannya ke halaman dua, tiga, dan seterusnya sampai selesai. Dan progres yang membaik itu ada pada kolom perkembangan remaja, bagian yang kutangani. Lihat, kalau aku tidak serius dengan pekerjaan ini, mana mungkin aku berusaha sekeras itu?"
Matthew perlu waktu lama untuk mempertimbangkan apakah akan memberiku izin atau tidak. Aku sampai berencana ingin kembali ke ruangan karena sempat mengira dia mungkin tidak akan menjawabnya hari ini.
"Aku tidak ingin berurusan dengan kekasihmu dan kulihat kau juga dekat dengan Troy. Jadi, akan kuizinkan." Lagi, dia mengira aku akan mengadu, tetapi di sisi lain ini cukup menguntungkan. Entah apa yang sudah terjadi di masa lalu, kurasa Matthew ketakutan pada Alby. Itu terbaca jelas di matanya. "Kau tidak perlu bekerja secara remote."
"Tidak. Aku akan tetap melakukannya untuk membuktikan profesionalitasku. Kau lihat saja nanti. Oh, dan terima kasih sudah menyetujui pengajuanku. Aku pamit undur diri." Aku mengangguk satu kali sebagai bentuk sopan santun dan pergi dari sana.
Sambil berjalan menuju ruanganku, aku mengirim pesan pada Peter. Well, setelah melihat Dane keluar dari ruangan Matthew lagi, aku tidak tahan untuk tidak mencari tahu.
AvaClair - Pete, apa kau sibuk? Aku perlu kau memeriksa sesuatu.
Peter - Apa pun untukmu akan kulakukan jika bisa. Apa itu?
AvaClair - Aku ingin tahu apakah artikel pertengkaran Jeff dengan Claudia ditulis oleh orang yang sama dengan yang menulis utas tentang Claudia dan Alby di Twitter waktu itu.
Peter - On it!
Peter - Akan kukabari kalau sudah berhasil kuperiksa.
•••
Harusnya update semalem, tapi ketiduran hehe.
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
28 Juli 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro