Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

71 - Problem Pieces

Aku selalu percaya karma itu ada.

Sejak kecil, Mom selalu dan tidak pernah berhenti mengingatkan kalau semua perbuatan yang kita lakukan akan berbalik kembali kepada kita. Kalau kau berbuat buruk, maka keburukan pula yang akan berbalik padamu. Mom ingin aku selalu berbuat baik, agar apa yang berbalik kepadaku juga hal yang baik-baik saja. Dia benar-benar sosok yang berpengaruh sangat besar untukku.

Namun, aku tetap harus selektif. Terkadang orang-orang yang diberi bantuan bisa saja memegang pisau di balik punggungnya. Dan aku tidak memiliki penglihatan seperti mesin rontgen untuk melihat apa yang ada di balik tubuh mereka. Manusia dengan semua misteri yang mereka sembunyikan selalu berhasil membuatku takjub. Salah satunya adalah setelah mengetahui Claudia tidak sepenuhnya membalas kebaikanku.

Well, kupikir dengan mengorbankan diriku sendiri untuk menghalau segala ancaman yang dia dapat selama SMA adalah sebuah kebaikan. Aku ingat ketika dia terlambat ke kelas dan tidak mampu membuat alasan sampai aku yang mengarang untuknya. Dengan bodohnya aku melibatkan diriku sendiri hingga mendapat hukuman bersamanya padahal aku adalah siswa yang selalu tepat waktu. Namun, setelah kelulusan, dia justru sulit untuk kuhubungi padahal aku sedang memerlukan teman saat itu.

Akan kuralat, itu kebaikan yang idiot.

Jika bicara tentang karma, kurasa itu sedang terjadi padaku dan Alby. Kami membuat rencana untuk menyakiti perasaan Claudia, dan sekarang wanita itu juga merencanakan sesuatu setelah kupikir hubunganku dan Alby membaik. Mungkin salahku juga yang sudah terlarut dalam permainan Alby, membiarkan perasaanku ikut terlibat meski tanpa bisa ditahan.

Aku menyesal sudah tahu terlalu banyak. Seharusnya kesepakatan itu berjalan mulus tanpa aku harus menghadapi masalah lainnya. Parahnya aku sampai membiarkan Alby tinggal bersamaku selama seminggu ini. Kuharap aku bisa sepertinya yang selalu tampak tenang meski sudah berbuat jahat. Sangat tidak adil karena aku merasa sulit sendirian.

"Kau banyak melamun akhir-akhir ini."

Bola mataku bergulir ke arah Alby yang baru masuk ke kamar. Dia baru selesai mandi dan sekarang memenuhi ruangan dengan aromanya. Bagian terburuknya, dia membiarkan aku melihat punggung telanjangnya yang bertato. Pria itu hanya mengenakan celana pendek selutut dan handuk yang menutupi kepala. Dia memakai itu untuk mengeringkan rambutnya yang basah.

"Hei, ada masalah?" Dia duduk di kasur, tepat di depan aku yang sedang duduk bersila. Sekali lagi aku dihadapkan oleh fakta bahwa Alby tidak tampak mengkhawatirkan apa-apa. Aku benar-benar terbebani sendirian.

"Apa yang membuatmu yakin untuk kumiliki setelah misi itu berhasil?"

Tentu saja, aku harus menelan semua hal yang mengganggu pikiranku tadi dan mulai memikirkan hal lain. Aku tidak ingin kalau Alby mengetahui sesuatu tentang Claudia, dia justru akan berbuat yang lebih-lebih buruk lagi untuk membalasnya.

Kerutan di dahinya bisa berarti banyak hal; dia tidak menyukai pertanyaan itu, atau dia kebingungun harus menjawab apa--hanya dugaanku. Namun, jika pertanyaan itu tidak terasa aneh, seharusnya dia bisa langsung menjawab, 'kan? Dan kalau dia yakin, dia juga sudah punya alasan yang bisa dikatakan kapan saja tanpa perlu waktu untuk berpikir. Sikapnya itu sukses membuatku pesimis.

"Jadi, itu yang mengganggu pikiranmu beberapa hari terakhir?"

Tentu saja bukan. Aku sengaja mengungkit itu untuk mengalihkan pikiran. "Hanya perlu kejelasan, kurasa. Dan bisakah pakai baju dulu?"

Kepalaku mendarat di atas tangan, untuk menutupi mata sebenarnya. Aku akan kesulitan untuk bisa fokus jika dia memamerkan tubuh bagian atasnya seperti itu. Terlalu dekat dan aku akan merasa rugi jika tidak mencuri-curi pandang ke perutnya.

"Kau sudah pernah menyentuhnya, kukira tidak masalah."

Nada bicaranya benar-benar menjengkelkan.

"Kalau begitu, jawab pertanyaanku tadi."

Lagi, Alby hanya diam dan menatapku seolah-olah aku akan lenyap jika dia berkedip. Setelah berbicara dengan Jeff waktu itu, aku mulai meragukan kalau rencana ini akan berhasil. Dengan Claudia berusaha mendapatkan Alby kembali, aku goyah. Jika Alby dihadapkan oleh dua wanita yang menginginkannya, tentu saja dia akan memilih yang terbaik. Sementara itu, sampai saat ini posisi tersebut masih ditempati Claudia.

Aku harus pergi dan tidak mendapat keuntungan lain selain utang Dad lunas. Oh, itu bahkan tidak bisa disebut keuntunganku. Dia hanya membuat Dad benar-benar pergi dengan tenang.

"Karena kupikir itu akan membuatmu senang?" Alby mengedipkan sebelah mata. Dia tidak menyadari aku sedang serius atau sengaja bercanda karena tidak ingin serius membicarakannya? Menduga-duga saja sudah membuatku kesal. Aku perlu sesuatu yang pasti.

"Hanya karena aku merasakan sesuatu padamu bukan berarti aku akan senang memilikimu. Bisa lebih serius sedikit? Aku perlu alasan kenapa tidak jadi pergi dari sini dan menerimamu terlibat dalam hidupku sepenuhnya. Aku mungkin suka padamu, tapi bukan berarti aku akan menggebu-gebu untuk memilikimu sampai harus mengupayakan yang terbaik agar rencanamu berhasil." Aku bernapas sebentar karena bicara panjang tanpa jeda. "Aku bukan wanita yang mudah dipancing meski dengan umpan yang menggiurkan. Lagi pula, apa yang membuatmu berpikir kau siap untuk kumiliki, hm? Bukankah itu berarti kau akan terjebak bersamaku selamanya?"

Kuharap itu bukan pertanyaan yang sulit sampai Alby harus mempersiapkan jawabannya terlebih dahulu. Detik-detik yang berlalu dalam keheningan ini sukses memompa jantungku agar bekerja lebih cepat. Lama-lama nyaliku menciut dan tidak siap mendengar jawabannya. Padahal aku hanya ingin tahu. Apakah itu permintaan yang terlalu berlebihan?

"Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu sejak ciuman pertama kita. Kau mungkin sangat kecewa saat aku khawatir berlebihan ketika Claudia pingsan, dan memang, aku belum benar-benar bisa melupakannya. Tapi percayalah rencana ini bukan untuk kembali padanya. Claudia mengakhiri hubungan kami dengan mengatakan sesuatu yang sulit kupercaya dan aku bermaksud ingin membuktikan bahwa dia sedang berbohong saat itu."

Tunggu, aku bahkan belum pernah mendengar dia bercerita tentang bagaimana hubungan mereka bisa berakhir, tetapi dia sudah tahu bagaimana aku berakhir dengan Jeff. Satu lagi ketidakadilan yang kudapat.

Alby meraih sebelah tanganku dan membungkusnya di antara kedua telapak tangannya, membuat jantungku berpacu makin kencang. Andai organ tubuh bisa berlari, mungkin sudah sangat jauh sekarang, melintasi kota misalnya.

"Saat itu, ketika aku menabrakmu dan menumpahkan popcorn-mu, aku sama sekali belum memikirkan tentang rencana balas dendam. Aku baru memikirkannya saat melihatmu sedang merasa kesal karena Jeffrey tampaknya sedang pamer. Dunia benar-benar sempit saat tahu wanita barunya adalah Claudia. Aku juga kesal saat melihat mereka bersama. Rasanya tidak adil kalau mereka baik-baik saja sedangkan kita tidak. Dan rencana itu muncul begitu saja. Kupikir kau juga akan memerlukannya untuk tujuan yang sama denganku."

"Baiklah, baiklah, cukup. Kau akan bicara terlalu banyak." Aku mengatakannya saat dia membuka mulut ingin bicara lagi. Kenyataannya, aku belum siap mendengar kelanjutannya. Aku tidak mau telanjur bahagia dulu dengan kata-katanya. Karena bisa saja dia hanya sedang terpengaruh oleh suasana dan bersikap baik.

Sebelum dia akan bicara lagi, aku mencoba menarik tanganku, bermaksud ingin pergi dari sana dan mandi.

Namun, dia mempererat genggamannya dan membuatku tidak bisa ke mana-mana. "Tidak, kau belum mendengar jawaban sebenarnya. Aku mulai merasa nyaman bersamamu. Sudah banyak hal tentangku yang kau ketahui. Saat aku tidak merasa keberatan menunjukkan sisi terlemahku padamu, aku mulai meyakinkan diriku kalau kau akan menjadi wanita yang tepat. Sekarang aku mungkin belum bisa membalas perasaanmu. Tapi bisakah menunggu sedikit lagi?"

Dia pasti bercanda.

"Aku tahu kau tidak akan percaya padaku. Jadi, sampai misi selesai atau satu tahun terlewati, aku akan membuktikan kalau aku serius."

Aku membuang muka, tidak tahan dengan caranya menatapku. Cukup sudah saat-saat mendebarkan pagi ini. Aku perlu mandi agar pikiranku bisa sedikit lebih segar.

"Baiklah. Sekarang bisa lepaskan tanganku?"

Alby langsung menurut. Dia melepas tanganku dan berdiri, kemudian kembali menggosok rambutnya yang masih basah. Sikapnya kali ini jauh lebih normal dari kemarin-kemarin. Aku sampai berharap punya cara untuk mengusirnya. Namun, itu sama saja seperti menendang batu yang sudah menancap di tanah bertahun-tahun, tidak akan bergeser sedikit pun.

Kemarin dia sukses membuatku terlambat pergi bekerja karena alarmku dia matikan dan saat bangun, aku sudah menjadi gulingnya. Siapa yang tidak suka dipeluk saat tidur? Apalagi ketika suhu di luar sana sangat dingin. Aku hampir terlena karena merasa terlalu nyaman seandainya tidak sengaja melihat jam di atas nakas. Beruntungnya, hari ini dia akan pulang. Jatah waktu dinas luarnya berakhir hari ini dan aku akan berpura-pura sedang menjemputnya dari bandara lalu bertemu orangtuanya untuk makan siang.

Alby mungkin tampak mengintimidasi dari luar, tetapi di dalamnya dia pria yang soft. Aku sampai berkali-kali terkejut karena hal-hal aneh yang dia lakukan sangat berkebalikan dengan bagaimana dia terlihat saat di luar. Namun, itu sama sekali tidak menghentikanku untuk makin menyukainya.

•••

Semua orang tampak sibuk di kantor. Yang sempat kudengar, mereka ditugaskan untuk mengerjakan proyek yang aku tidak tahu apa. Bahkan Lauren, yang menempati kubikal di sebelahku, sama sekali belum menyapaku hari ini. Situasi ini berlangsung sejak beberapa hari ke belakang. Aku sempat bertanya apa ada sesuatu yang bisa kukerjakan, tetapi mereka hanya menjawab tidak ada karena aku tidak mendapat tugas apa-apa sebagai karyawan baru.

Sekarang mereka pergi ke ruang rapat untuk membahas progres di Tim Layouter, menyisakan aku sendirian seperti orang yang terkucilkan. Sebenarnya aku tidak masalah tidak mengerjakan apa-apa, tetapi berharap seseorang akan menjelaskan proyek seperti apa yang mereka kerjakan. Aku hanya ingin tahu dan tidak bermaksud merebut kerjaan mereka.

Pekerjaan hari ini selesai, hanya tinggal menunggu team leader meninjau ulang tata letak sebelum dipublikasikan besok. Tentu saja aku harus menunggu mereka kembali ke ruangan sebelum aku menyerahkan failnya. Aku punya waktu bersantai sebelum jam istirahat tiba. Kurasa tidak akan ada yang mencari jika aku pergi keluar. Kudengar lantai teratas Ander-Ads sebelum atap memiliki pemandangan yang bagus. Aku akan mencoba pergi ke sana.

Aku nyaris meninggalkan ponsel seandainya benda itu tidak bergetar di atas meja.

Alby - Aku akan terlambat menjemputmu hari ini. Ada pertemuan dengan kolega.

Ava - Aku akan pulang sendiri, sekalian mampir ke apotek.

Alby - Kau sakit?

Ava - Tidak, hanya untuk persediaan di rumah.

Alby - Oke. Hubungi aku kalau perlu sesuatu. Aku akan mampir ke tempatmu.

"Hai, Ava." Aku segera menyimpan ponsel ke saku celana saat Troy menyapa. Pria itu ada di belakangku, tetapi aku sudah mengenali suaranya. Intonasinya selalu meninggi jika sedang menyapa seseorang. "Mau ke mana?"

Aku gelagapan. Meski Troy bisa dibilang teman, tetapi selama di kantor dia adalah atasanku. Dia COO dan aku tidak bisa sembarangan bicara agar dia tidak mempertimbangkan untuk memberhentikanku bekerja di sini. Once again, I need the money. Sayangnya, aku kesulitan mengarang alasan karena sudah berdiri di depan pintu elevator. Tidak mungkin beralasan ingin pergi ke kantin atau kafe lantai satu, karena sekarang bukan jam istirahat. Tidak juga beralasan ingin ke klinik kantor karena aku tidak terlihat sedang sakit.

I'm busted.

"Itu ... apa jadi masalah kalau setelah pekerjaanku selesai aku pergi berkeliling sebentar? Yah, walau sebenarnya aku juga sekalian menunggu waktu istirahat, tinggal lima belas menit lagi"

Aku sampai menatap arloji hanya agar tidak salah menghitung waktu. Sudah ketahuan berkeliaran di jam kerja, ditambah berbohong pula. Kurang jelek apa lagi aku sebagai karyawan di mata atasannya?

"Oh, benar, aku belum mengajakmu berkeliling, ya. Ayo, aku juga mau ke sana." Setelah dia mengatakan itu, pintu elevator terbuka. Padahal aku yakin tidak satu pun dari kami yang menekan tombol elevator. Atau mungkin dia sudah melakukannya ketika aku sibuk berbalas pesan dengan Alby? Lucu sekali aku dibuat kebingungan hanya karena hal sesepele itu.

Troy mengayunkan tangan, memberi isyarat agar aku segera masuk sebelum pintu elevator kembali tertutup. Namun sebelum benar-benar masuk, aku masih menyempatkan untuk melihat ke sekitar, memastikan tidak ada yang melihatku.

"Kau yakin baik-baik saja kalau aku meninggalkan ruangan? Maksudku, ruangan kami kosong sekarang."

Mungkin aku agak keterlaluan karena meragukan atasan, tetapi aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya. Meski seharusnya aku tidak bertanya agar Troy tidak berubah pikiran. Lagi pula, aku sudah di sini dan elevatornya sedang berjalan naik.

"Memangnya yang lain ke mana?"

Kuharap saat aku memberitahunya, itu bukan sesuatu yang terdengar tidak baik. "Mereka sedang rapat kecil untuk proyek perusahaan."

"Ah, yang itu."

Pintu elevator terbuka, dan itu membuatku urung tidak jadi bertanya proyek seperti apa yang sedang mereka kerjakan. Troy sudah lebih dulu keluar dan berjalan cukup jauh di depanku, sementara aku benar-benar menikmati langkah yang kuambil, seperti model iklan yang sedang berjalan dalam mode slow motion. Baiklah, itu cara yang berlebihan untuk merasa kagum pada apa yang kulihat saat ini.

Kurasa di balik kabarnya yang jelek, Ander-Ads bisa dibilang perusahaan yang memikirkan kenyamanan pegawai. Maksudku, lihatlah ruangan ini, seluruh kota New York kurasa bisa dilihat dari kaca jendela yang membentang di sepanjang dinding ruangan ini. Tempat ini lebih mirip seperti ruang bersantai dengan banyak bantal duduk besar tersebar di beberapa titik lantai yang dilapisi karpet berbulu. Di sebelah elevator ada rak di mana sandal tipis tersusun rapi. Dan Troy sempat mengambil satu untuk mengganti sepatunya. Mungkin itulah alasan kenapa tempat ini sangat bersih.

Di tengah-tengah ruangan terdapat satu dinding pembatas tebal yang tingginya tidak mencapai langit-langit dan menjadi tempat mesin mainan bersandar. Ini seperti tempat beristirahat. Di salah satu sisi ruangan terdapat beberapa snack bar dan mini bar. Di dekat jendela terdapat meja yang diapit oleh dua kursi. Selain itu, di sini juga terdapat beberapa rak buku dan meja-meja dengan komputer. Namun, tempat ini sepi.

"Ava, apa yang kaulakukan di sana? Ambil sandal dan kemarilah." Troy sudah menempati salah satu meja saat memintaku untuk menyusulnya. Di depannya terdapat laptop yang aku tidak tahu dia dapatkan dari mana.

"Kau yakin aku dizinkan berada di sini?" Aku memperhatikan satu per satu sandal di rak, memastikan ada satu yang seukuran dengan kakiku sebelum menukarnya dengan pantofel yang kupakai. Setelah itu barulah aku menghampirinya.

"Mau sampai kapan kau akan menanyakan itu?"

Aku mengedikkan bahu sambil meyakinkan diriku kalau tidak masalah berada di sini. "Hanya terasa asing. Di sini juga terlalu sepi, aku ragu ada karyawan biasa yang pernah ke sini."

"Kau yang pertama." Troy melambai dan menjentikkan jari pada seseorang di belakangku. "Maksudku setelah direnovasi menjadi seperti ini."

Aku sempat bingung bagaimana dia bisa mengatakan aku yang pertama, padahal ada orang lain yang menyebutkan kalau tempat ini akan memberi pemandangan yang bagus.

"Kau tampak kebingungan." Ah, ternyata itu terbaca jelas di wajahku. "Jadi, dulu ini seperti tempat pertemuan, di mana semua orang akan berkumpul ketika Matthew akan menginfokan sesuatu. Tapi sejak tahun lalu, dia memutuskan untuk merenovasinya menjadi tempat bersantai. Ini baru selesai dan belum dibuka untuk dikunjungi orang-orang. See? Kau yang pertama."

"Ah, itu membuatku merasa tidak enak." Tentu saja, aku mendahului karyawan lama untuk menikmati fasilitas di tempat ini.

"Santai saja. Mungkin kau bisa menjadi reviewer pertama sebelum tempat ini benar-benar dibuka untuk karyawan. Sementara hanya jajaran direksi yang boleh ke sini."

Aku hanya mengangguk dan melihat sekeliling sekali lagi. Bicara dengan Troy membuatku mampu menyingkirkan kegelisahan akan fakta bahwa Matthew menjalankan bisnisnya dengan cara kotor. Maksudku, sejauh ini dia tampak seperti pria yang akan bersikap apa adanya tanpa menyembunyikan hal-hal aneh. Dan agak abai pada proyek yang sedang berlangsung. Dia tampak rileks dibandingkan Matthew yang penuh tekanan.

Aku memandang Troy yang sedang berkutat dengan laptop sampai akhirnya seseorang menghampiri meja kami. Tangannya tidak kosong, tetapi membawa nampan yang di atasnya terdapat dua jus jeruk dan dua piring spageti. Orang itu juga meletakkannya di atas meja dan berlalu pergi setelah Troy mengucapkan terima kasih.

"Aku tidak memesan ini."

"Aku yang memesan. Sudah mau istirahat, 'kan? Sekalian saja makan siang di sini."

Aku pasti tampak konyol dengan mata yang membola, tetapi kurasa itu reaksi yang cocok untuk meresponsnya. Terlebih lagi ketika elevator berdenting, mengantarkan Matthew bersama dua pria lain yang tampak lebih tua. Aku berpikir ingin bersembunyi di bawah meja, tetapi akan percuma karena meja ini tidak tertutupi oleh taplak. Aku tidak ingin dianggap lancang karena sudah datang ke sini tanpa mendapat izin.

"Kau kenapa?" Tidak mungkin kalau Troy tidak menyadari aku sedang kebingungan mencari tempat bersembunyi.

"Ada Matthew." Bola mataku bergulir ke sisi kanan kepala Troy, di mana aku bisa melihat Matthew berdiri di sana dan berbincang.

Troy berbalik. Kuharap dia akan membantuku, tetapi pria itu justru dipanggilnya. Matthew menatap ke sini dan tatapan kami langsung bertemu. Terlambat untuk menghindari tatapannya, aku hanya bisa menunduk sedikit sebagai bentuk sopan santun. Dia mungkin pria yang licik, tetapi aku berada di wilayah kekuasaannya, tentu harus bisa membawa diri.

Parah, sekarang dia berjalan ke sini.

"Matt, ini Ava, kau ingat, 'kan?"

Kilat kemarahan terpancar jelas di mata Matthew saat melihatku dengan jarak yang dekat. Namun, semua itu seketika lenyap begitu Troy bicara padanya. Tatapannya melembut. Kurasa dia punya sisi yang baik kepada saudaranya.

"Tentu aku ingat. Pegawai baru, 'kan?" Dia menekankan statusku di sini, seperti sedang menunjukkan bahwa keberadaanku di sini agak mengganggunya. Dan itu membuatku terpaksa harus berdiri.

"Benar. Sebelumnya, maafkan aku karena menemuimu di situasi yang sangat tidak terduga." Sekali lagi aku menunduk untuk menunjukkan keseriusanku saat meminta maaf.

"Kau teman Troy, jadi tidak masalah, lagi pula tempat ini akan dibuka untuk pegawai dalam waktu dekat. Nikmati fasilitasnya." 

Makin lama kulihat, sebenarnya Matthew bukan sedang merasa kesal karena aku. Namun, lebih seperti terbebani oleh sesuatu. Matanya cekung, memberi tahu semua orang bahwa dia kurang tidur. Seandainya aku belum mendengar tentang dia dari Alby, aku akan menganggap dia bekerja sangat keras untuk perusahaannya. Yah, walau aku tidak bisa langsung percaya begitu saja pada cerita satu pihak, tetapi sudah cukup berhasil membuat Matthew menjadi orang jahat bagiku.

Aku jadi pemerhati ketika dua bersaudara itu mulai berbincang. Obrolan mereka kedengarannya bukan sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan. Mereka terlalu kasual, sebagaimana dua orang saudara bicara biasanya. Troy bahkan merespons dengan decakan keras, tidak peduli mereka sedang di kantor dan untuk saat ini posisi Matthew lebih tinggi darinya.

Ada satu hal yang menarik di antara mereka. Mereka sama sekali tidak mirip. Tidak seperti Alby dan Paula yang memiliki kesamaan pada fitur wajah meski tidak seluruhnya. Seseorang akan dikatakan mirip ketika saat melihatnya, kita teringat akan orang lain. Jujur saja, aku lupa seperti apa wajah Matthew sampai aku melihatnya hari ini. Dan lagi, meski menjalankan perusahaan ini bersama, tetapi aku tidak merasa kalau Troy sama pusingnya dengan Matthew.

"Ya, itu saja." Matthew menepuk pundak Troy tiga kali sebelum menatapku. "Aku tidak akan mengganggu kalian, jadi jangan usik kami. Selamat tinggal." Kemudian dia pergi, kembali pada dua pria yang datang bersamanya tadi.

Memangnya aku siapa ingin mengganggu mereka?

Ah, sebentar. Ini hanya prasangka burukku saja, atau dia memang memiliki maksud lain?

"Troy, aku penasaran, proyek apa yang sedang dikerjakan saat ini? Aku merasa seperti karyawan yang buruk karena tidak mengetahui apa pun, padahal orang-orang sedang repot."

Well, selagi ada sumber informasi di hadapanku, aku akan memanfaatkannya sebaik mungkin.

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
4 Juli 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro