70 - Friend
Aku tidak ingat pernah tidur sangat nyenyak seperti semalam semenjak ditinggal Mom. Kasurku terasa berkali-kali lipat lebih nyaman dari biasanya. Bahkan meski kota sudah memulai rutinitas pagi, aku masih enggan beranjak dari kasur. Lagi pula, ini akhir pekan. Aku libur bekerja dan memangnya apa yang harus kulakukan selain bersantai?
Selimut kutarik lagi sampai menutup leher. Hari ini kuputuskan untuk tidur lagi. Nate mengabari kalau akan menginap dan biasanya tidak akan pulang sebelum sarapan. Dia memberiku waktu untuk tidur lebih banyak tanpa harus merasa gelisah bahwa ada perut yang harus diisi.
Sayangnya, aku tidak jadi ingin tidur lagi ketika pintu kamar dibuka.
"Kau sudah bangun?"
Aku menoleh sekadar untuk menemukan Alby berjalan kemari dengan membawa nampan. Damn, aku lupa kalau dia menginap semalam. Boleh kutarik kembali kata-kataku tadi? Aku tidak ingin itu berarti kehadirannyalah yang membuat tidurku nyenyak. Masih sulit bagiku untuk mengakui bahwa Alby memberi pengaruh-pengaruh baik padaku.
"Dan kau menanyakan sesuatu yang jelas-jelas jawabannya ada di depan mata." Aku menarik selimut sampai menutup wajah. Bisakah kali ini aku menikmati akhir pekan dengan tenang?
"Kau tidak boleh tidur lagi, Ava." Dari sumber suaranya, Alby mungkin sudah berada di sebelahku, karena setelah itu disusul suara benda yang diletakkan ke atas nakas. Mungkin itu nampan yang dia bawa tadi.
"Jangan ganggu, aku mau tidur lagi." Suaraku teredam oleh bantal sebagian karena posisi yang berbaring miring.
Kasurku bergerak sedikit, seperti baru dinaiki seseorang. Ya, tentu saja, Alby pasti sedang duduk di belakangku. Demi apa pun yang akan dia lakukan, aku lebih suka kalau dia pulang saja. Aku sudah lelah menikmati jantung yang berdebar-debar. Alby adalah pria terjahat yang kukenal, karena makin dia tahu apa yang kurasakan kepadanya, dia justru membuatku jungkir balik dengan sikapnya yang tidak kumengerti apa tujuannya.
"Kalau kau tidak bangun, nanti es krimnya meleleh." Alby bahkan mengatakan itu tepat di telingaku.
"Kau gila, ya? Ini penghujung musim gugur, masih pagi, dan kau sudah menyajikan es krim untukku?"
Satu lagi, kata es krim mengingatkanku pada saat itu, ketika dia menyapu sedikit es krim di sudut bibir kemudian menjilat jarinya. Wajahku sudah panas karena mengingat betapa seksi senyumnya saat itu, dan makin panas lagi setelah menduga-duga apa yang akan terjadi hari ini. Aku bisa menyebut diriku seperti setrika yang baru disambungkan ke listrik dan menghangat pelan-pelan hingga akhirnya panas.
Lama Alby tidak menjawab, tetapi gumamannya terdengar panjang.
"Aku yakin kau tidak menyebutkan waktu dan musim secara spesifik selain suka menikmati es krim di kasur sambil bersantai."
Aku terpaksa menyibak selimut sampai sebatas pinggang dan memaksa diriku agar duduk. Kepalaku pusing karena gerakan tiba-tiba itu. "Kau penguntit."
"Aku punya Nate sebagai informan, kau lupa?"
"Tapi aku tidak pernah menceritakan itu padanya." Aku mengerang frustrasi, mengacak-acak rambut sebagai pelampiasan.
"Lalu dengan cara apa lagi aku mengetahuinya?" Wajah Alby tampak dikuasai kekesalan. Satu hal yang sudah kupelajari, wajahnya akan seperti itu jika aku tidak memercayainya. "Kaukira aku akan menyusup ke sini dan membuka buku harianmu?"
Aku meringis ngeri karena yang satu itu tidak pernah terbayangkan akan kulakukan. "Aku tidak menulis buku harian."
"Dan aku juga tahu kau bukan orang yang suka mengumbar tentang kebiasaan atau hal-hal yang kau suka secara sembarangan. Mungkin kau lupa pernah bercerita pada Nate?"
Baiklah aku menyerah. Mungkin memang benar aku lupa pernah bercerita. Alby sudah sering bersikeras kalau dia tidak pernah berbohong, setidaknya padaku, karena saat ini dia sedang berbohong pada Paula dan orangtuanya kalau masih di Eropa. Ah, benar juga. Itu memancing rasa penasaranku.
"Kenapa kau tidak pulang?"
"Apa kau sebegitu tidak inginnya aku ada di sini?"
"Bukan itu." Aku menahan napas sebentar selagi memikirkan kata-kata agar tidak salah bicara, sekaligus menahan diri agar tidak terlalu menunjukkan apa yang kurasakan. "Maksudku, kau punya tempat tinggal yang sepuluh kali lebih luas daripada ini. Lebih nyaman, dan lebih melegakan. Kau pasti tidak tidur nyenyak semalam di kasur sempitku, jadi kusarankan agar hari ini kau pulang saja."
Alby tidak merespons, tetapi hanya menatapku seperti ada sesuatu yang tidak mengizinkannya untuk berpaling. Aku menunggunya, sambil berusaha keras menguatkan diri menerima tatapannya yang terlalu intens dan membakar. Pernah kudengar tentang kondisi laki-laki pada pagi hari, mungkin bangun pagi juga berarti membangun gejolak hormon. Namun, aku yakin bukan itu yang sedang dia rasakan sekarang. Dia sudah mandi dan beraktivitas. Rambutnya lembap, tidak meneteskan air, yang berarti dia sudah lama mandi pagi dan kondisi itu pasti sudah berlalu.
Baiklah, aku juga memperhatikan terlalu intens, dan sekarang aku membutuhkan jawaban darinya. "Alby?" Aku menjentikkan jari di depan wajahnya, berjaga-jaga siapa tahu dia sedang melamun.
"Memiliki ranjang besar memang bagus, kau bisa berbaring dan bermain dengan banyak gaya tanpa khawatir jatuh ke lantai." Sial sekali, dia memaksa imajinasi liar terbayang di kepalaku. "Tapi ranjang yang sempit memberi keintiman di level yang berbeda. Kau harusnya merasakan itu saat kupeluk. Oh, kau tidur, tentu saja tidak merasakannya."
Oh, Lord, pantas saja tidurku nyenyak sekali.
"Soal tidak pulang, aku berusaha menghindari Dad yang gila kerja. Dia akan langsung memintaku ke kantor kalau tahu aku sudah kembali untuk mempresentasikan apa yang sudah kukerjakan di sana dan bagaimana progresnya. Setelah itu menjalani hari-hari yang membosankan seperti biasa. Aku perlu rehat sejenak, tahu. Jadi kumanfaatkan satu minggunya untuk bersenang-senang dulu."
"Tapi tempat ini tidak akan memberimu kesenangan." Satu minggu sisa waktunya, berarti dia juga akan di sini selama seminggu. Tempat ini terlalu sesak untuk dipenuhi oleh jejak dan aroma kehadirannya. Belum lagi kalau Nate datang, dia akan membuat situasinya jadi canggung.
"Aku bisa mengganggumu dan itu membuatku senang."
"Serius, Alby. Kenapa menemuiku?"
Dia lama diam, memberiku waktu untuk mengharapkan jawaban bagus darinya dan mengabaikan bahwa diam bisa berarti ada banyak keraguan di benaknya. Alby sudah tidak lagi menatapku, tetapi aku tidak bisa tidak gelisah dan mulai mengedarkan pandangan, mencari-cari bahan untuk mengubah topik yang memicu keheningan ini.
"Es krimnya mulai meleleh." Mangkuk es krimnya ada di atas nampan. Tatapan kami sama-sama tertuju ke sana sebelum helaan napasnya terdengar keras.
"Aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain menemuimu."
"Seperti tidak punya teman saja." Begitu aku mengatakannya, barulah aku sadar kalau selama ini tidak pernah satu kali pun bertemu dengan seseorang yang disebut sebagai temannya. Jacob bahkan asistennya, aku tidak yakin hubungan mereka lebih intens dari urusan pekerjaan. Sekarang aku merasa bersalah karena membuatnya sedikit tersinggung.
"Tidak bisakah meresponsnya dengan cara yang lebih baik? Aku baru merayumu, seharusnya kau merasa tersanjung sedikit." Erangan frustrasi menuntunnya untuk mengambil mangkuk es krim tersebut dan memangkunya. "Kalau kau tidak suka yang meleleh seperti ini aku akan--"
"Tidak." Aku merampas mangkuk itu dari tangannya. "Ini tidak buruk. Terima kasih sudah menyiapkannya."
"Sebenarnya masih ada sisa di kulkasmu kalau mau yang baru." Alby menggeser badannya dan posisi duduknya pas di sebelahku.
"Dari mana kaudapatkan es krim ini?" Aku tidak membenci es krim yang mulai meleleh meski terlihat menggelikan. Lagi pula, Alby sudah repot-repot membawanya ke apartemenku dengan entah bagaimana caranya.
"Aku membuatnya semalam. Kau tidak menyadarinya?"
Oh, adonan yang sempat kulihat itu. "Mungkin aku terlalu terkejut dengan kehadiranmu sampai tidak peduli pada hal lain."
Kehadiran Alby saja sudah membuat sesak napas, sekarang dia justru membuatku tidak bisa bernapas hanya karena jempolnya berada di sudut bibirku. Seandainya ada sesuatu di sana dan dia merasa perlu menyapukannya, seharusnya sudah diselesaikan tidak sampai satu detik. Namun, sekarang aku nyaris kehabisan napas menantikan tangannya turun. Dia terlalu berlebihan dan sekarang aku harus melihat jakunnya bergerak.
Alby menciptakan ketegangan yang aneh di saat-saat seperti ini.
"Aku tidak tahu kau punya kebiasaan meninggalkan jejak es krim di bibir saat menyantapnya." Tangannya sudah turun dan aku buru-buru menyusul menyentuh bagian yang baru ditinggalkannya, berusaha menyapu jejaknya.
"Kau pasti bercanda, aku tidak seperti itu."
"Tidak, tapi kau beruntung bersamaku, aku suka membersihkannya. Bahkan aku punya cara lain melakukannya selain dengan jempol. Tinggal pilih."
Aku menahan keinginan untuk mendaratkan tinju ke dadanya sejak tadi, tetapi kali ini aku benar-benar melakukannya dengan keras sampai dia mengaduh.
"Sopanlah sedikit kalau kau mau tinggal lebih lama di sini, Tuan."
Aku pasti sudah gila, dan baru kusadari setelah mengatakannya. Padahal kata-kata itu bisa berarti undangan dan tanda bahwa aku menerima keberadaannya di sini, di apartemen yang sempit ini. Aroma Alby sudah memenuhi sudut ruang, bahkan selimut yang kupakai ini sudah terkontaminasi oleh baunya. Meski begitu, aku tidak benar-benar membencinya. Aroma maskulin yang memenuhi penciuman menyempurnakan pagiku.
Baiklah, sebut saja aku gila karena menggilai pria seperti Alby.
•••
"Kau serius aku tidak ikut?"
Dia sudah tiga--tidak, empat kali dengan ini--menanyakan itu sejak pantatku mendarat di kursi mobilnya. Um, harus kuralat lagi, ini mobil Jacob. Dia meminjamnya dari pria itu dengan alasan darurat. Tentu saja untuk menyembunyikan kedatangannya, dia juga tidak bisa memakai mobil. Alby menaiki taksi untuk tiba di apartemenku dari bandara.
Alby memaksa ingin mengantarku ke lokasi yang dijanjikan Jeff untuk bertemu. Sudah sekuat tenaga aku menolaknya, tetapi kepala Alby jauh lebih keras dari apa pun. Dia sudah membuat Jacob repot karena harus mengantarkan mobil ke apartemenku dan pulang dengan taksi. Namun, aku yang merasa tidak enak pada pria itu. Entah kebaikan apa yang Alby perbuat sampai Jacob masih menerima statusnya sebagai asisten dan rela direpotkan seperti itu.
"Kau mau terlihat? Bagaimana kalau di dalam kau justru bertemu Paula atau seseorang yang bekerja di perusahaanmu?"
"Rencanaku gagal dan itu ide yang buruk. Dad mempekerjakan orang-orang bermulut bocor. Kedatanganku bisa sampai ke telinganya."
Aku mendelik tidak terima ketika orang-orang yang dimaksudnya tentu melibatkan Nate. "Nate tidak bocor kecuali kau melubanginya."
"Baiklah, semua orang kecuali Nate. Kau puas?" Dia menyugar rambutnya yang kering tanpa polesan minyak rambut. Aku menyukai gaya rambut berantakannya yang tampak santai ini daripada ketika rambutnya berkilau dan tampak mengintimidasi.
"Kau bisa pergi ke mana saja, aku akan pulang dengan taksi. Terima kasih sudah mengantarku."
Sabuk pengaman sudah terlepas dan aku juga akan membuka pintu mobil seandainya Alby tidak menarik pergelangan tanganku. Aku mendesah keras karena tidak mengerti kenapa sikapnya saat ini bisa sangat berlebihan.
"Aku tidak akan jauh-jauh dari sini, jadi telepon aku segera ketika dia mulai mengganggumu."
"Jeff tidak akan berbuat seperti itu."
Alby segera melepas tanganku dan dengan mengayunkan tangan mempersilakan aku keluar. "Sebaiknya kau pergi sekarang sebelum aku mendengarmu membela pria itu lagi."
Aku berusaha untuk tidak menganggap kalau Alby sedang cemburu meski sikapnya menunjukkan itu. Sebelum Alby mengungkapkan sendiri seperti apa yang dia rasakan kepadaku, aku tidak akan biarkan dia meruntuhkan tekadku untuk pergi. Tidak juga percaya dulu pada poin yang dia tambahkan di kesepakatan. Bagaimana jika kami sudah menjalaninya selama setahun dan Claudia juga tidak mengungkapkan perasaannya? Sama artinya aku tidak mendapat apa-apa setelah banyak berharap.
Lagi pula, apa Alby sudah mempertimbangkannya ketika memutuskan untuk kumiliki?
Terlalu banyak memikirkan itu membuatku tidak menyadari kalau sudah menginjak lantai rumah makan. Seorang pelayan menghadang jalanku dan meminta mantel yang kukenakan. Di dalam sini hangat dan benar aku tidak memerlukan mantelku untuk beberapa saat ke depan.
Kuedarkan pandangan demi menemukan Jeff. Terima kasih kepada Alby yang sudah memicu perdebatan tadi, aku jadi terlambat datang. Aku menemukan Jeff berada di baris meja ketiga, berdempetan dengan jendela. Dia terlalu fokus dengan apa pun itu yang ada di ponselnya, sampai tidak menyadari aku sudah berjarak dua langkah dengan mejanya. Untuk menarik perhatiannya, aku berdeham.
"Oh, Ava, kau sudah datang." Jeff buru-buru berdiri dan menarik kursi untukku. Aku ingin memberi tahu kalau dia tidak perlu repot-repot melakukan itu, tetapi sudah terlambat. Akhirnya, aku mendudukinya.
"Kaubilang penting, dan aku adalah orang baik. Jadi, apa yang mau kaubicarakan?"
"Mau memesan makan dulu?" Jeff mengangkat buku menu yang tampaknya memang disediakan di tiap-tiap meja.
Namun, aku sama sekali tidak bernafsu membukanya mengingat Alby sudah menyuapku dengan makan siang yang dipesannya. Kalau aku mau makan lagi, aku harus memuntahkannya dulu. Alby bilang aku tidak boleh lama-lama bersama Jeff. Makan bersama akan membuang banyak waktu, jadi lebih baik langsung selesaikan urusannya saja.
Dia superposesif dan meski merasa risi, aku tidak berdaya mendebatnya.
"Aku sudah makan, Jeff. Minum saja."
Bagusnya, Jeff tidak memaksa. Mungkin dia sadar aku akan pulang jika berusaha memaksa agar aku makan di sini. Dia memanggil seorang pelayan dan memesan sebotol anggur tanpa alkohol.
"Bagaimana kabarmu, Ava?"
"Aku tahu kita bukan bertemu untuk basa-basi. Kau melihatku di sini, tanpa cacat atau tanpa rintihan kesakitan. Aku sangat baik, tapi kurasa kondisimu yang tampak buruk."
Jeff menatap jarinya yang mengetuk-ngetuk meja. Dahinya yang berkerut membuatnya tampak sedang menimbang-nimbang seberapa berat masalah yang dihadapinya saat ini. Entah aku akan dia libatkan dalam masalah apa setelah ini.
"Kau tahu, Alby menungguku di luar sana, Jeff. Dia bisa menerobos ke sini kalau kau hanya membuang-buang waktu dalam diam." Aku tidak berusaha bicara kasar, atau mengancam dengan melibatkan Alby, tetapi Jeff tidak akan bicara jika aku tidak melakukannya.
"Ah, jadi dia tahu kalau kita bertemu?" Ada nada kecewa di suaranya. "Tunggu, dia sudah datang?"
Sial, aku lupa kalau Jeff tahu tentang keberangkatan Alby.
"Ya, begitulah." Kupikir tidak masalah membenarkan mengingat Jeff tidak mengenal Albert atau antek-anteknya.
"Maaf, Ava. Aku hanya bingung bagaimana menjelaskannya padamu."
Seorang pelayan datang mengantarkan pesanan Jeff beserta dua gelas kosong. Dia menuangkannya dulu sebentar sebelum meninggalkan kami.
"Begini saja, apa yang kau rencanakan pada Claudia?"
Bola mata Jeff spontan bergulir untuk melihatku, setelah sebelumnya sibuk memperhatikan gelas terisi anggur setengahnya. "Aku ingin membatalkan rencana pernikahan kami tanpa membuat orangtua kami bermusuhan."
"Kau sudah pernah bilang itu, jadi keterlibatanku di mana? Kaupikir aku mampu memengaruhi mereka untuk tetap bekerja sama meski kedua putra dan putrinya gagal menikah?"
"Tidak, aku hanya ingin bercerita dan mungkin kau akan memberi masukan apakah keputusanku ini benar atau tidak."
Aku berdecih kecil dan tertawa ringan. Bukan untuk mengejeknya, sungguh. Namun, situasi ini agak lucu bagiku.
"Aku merasa seperti orang penting."
Sayangnya, gurauanku itu dianggap Jeff serius. Dia mengingatkanku akan masa-masa saat kami masih bersama. Sorot matanya sama persis, aku sampai tidak berani menatapnya karena itu akan mengingatkanku pada rasa bersalah setelah selama empat tahun tidak bisa membalas perasaannya. Dan aku khawatir setelah ini dia akan mengatakan sesuatu yang tidak ingin kudengar.
Aku pura-pura sibuk dengan menenggak anggurku dan melihat ke arah lain, menjadikan seorang wanita tua yang dipenuhi keriput di sudut ruangan sebagai objek yang lebih menarik dari ketampanan Jeff.
"Kau memang penting bagiku, Ava." Itulah yang tidak ingin kudengar.
"Oke, jadi apa?"
"Aku sedang berusaha mendapat posisi untuk mengiklankan sebuah merek fashion besar dan saat ini bersaing dengan Ander-Ads."
Persis seperti yang Alby ceritakan waktu itu.
"Jika aku berhasil, aku bisa membantu keuangan perusahaan orangtua Claudia tanpa harus menikahkan aku dengan putrinya."
"Kukira kau senang mendapat istri secantik dirinya." Aku bersikap kasar lagi. Pengendalian diriku memburuk ketika nama wanita itu disebut.
"Kupikir aku akan jatuh cinta karena dia secantik itu. Tapi saat tahu kau bersama Alby, dia mulai menjaga jarak. Dia menjauh, membentengi dirinya dengan tembok yang sulit untuk ditembus, penuh misteri. Aku merasa dia punya rencana, dan aku perlu memancing keluar rencana itu. Makanya kuminta kau lebih membuatnya panas saat ada Alby."
Kupikir dia akan menceritakan tentang skandal artikel itu. Termasuk kenapa Claudia seperti memiliki keterkaitan dengan itu. Aku tahu dia wanita yang ambisius ketika menginginkan sesuatu. Namun, sulit dipercaya jika dia memakai cara licik itu agar bisa kembali bersama Alby. Andai dia mengakuinya lebih awal, sebelum aku sedekat ini dengan Alby, Claudia mungkin akan mendapat akhir yang baik.
"Apa yang membuatmu yakin kalau Claudia punya rencana?"
Jeff tampak ragu. Aku menyesap minumanku selagi menunggunya bersuara, sambil berusaha menghalau dugaan-dugaan tidak berdasar yang mulai bermunculan di kepala. Walau sebenarnya, aku tidak benar-benar terkejut jika Claudia merencanakan, dia pernah memberitahuku.
"Dia mulai tidak banyak mengobrol denganku, padahal aku sempat berpikiran kami bisa menjadi teman. Saat artikel itu dipublikasi, dia tidak terlihat berusaha untuk menyelesaikannya, bahkan mungkin ingin membiarkannya seperti itu. Dia terpaksa membuat konferensi pers untuk agensi yang menaunginya, demi menyelamatkan namanya. Dari situ aku berpikir artikel itu mungkin berasal darinya untuk memanfaatkan situasi dan menghancurkan hubungan kalian."
"Tapi dia gagal. Terlebih lagi setelah Alby mengunggah video di kanal YouTube-nya dan mengklaim bahwa hanya dia dan Claudia yang memilikinya." Jeff terlalu banyak bicara sampai menarik napas saja sedalam itu. "Kau harus berhati-hati dan rencana kalian harus terlaksana dengan baik. Liburan itu adalah momen yang pas untuk mengeluarkan sisi terburuk Claudia."
Aku perlu beberapa waktu untuk mencerna semua yang Jeff katakan. Sebagian sudah pernah terlintas di pikiran, tetapi mendengarnya dari orang lain jauh lebih mengerikan.
"Sebenarnya, apa yang kau katakan ini tidak berarti apa-apa untukku. Maksudku, aku hanya akan melakukan bagianku dan kau dengan bagianmu. Aku tidak tahu seperti apa yang kaurencanakan untuk membatalkan pernikahan kalian. Apakah dengan menjebak Claudia, atau sekadar bicara baik-baik. Pada akhirnya pembicaraan ini tidak berarti apa-apa."
Jeff menghabiskan isi gelasnya dan menuangkan anggur lagi. Kukira dia akan minum lagi, tetapi telunjuknya justru bermain di bibir gelas pelan-pelan, seolah-olah itu mewakili nyawanya dan jika terpeleset tamatlah dirinya. Hari ini pria itu tampak layu, tidak bersemangat, dan tentu saja tujuanku ada di sini bukan untuk membuatnya tersenyum cerah kembali.
"Kami sempat membuat rencana. Kami menjadi kompak ketika merencanakan berbagai hal setiap akan bertemu orangtua kami. Tapi tiba-tiba dia berubah. Aku tidak tahu tekanan apa yang dia dapat sampai agak menghindariku. Kami tidak canggung dengan satu sama lain, bahkan tidak ragu untuk memperlihatkan lekuk tubuh masing-masing." Akhirnya Jeff meminum isi gelas yang sejak tadi dia mainkan. "Rencana itu jadi sia-sia dan sekarang aku justru mengemis bantuan padamu."
"Claudia memang agak aneh akhir-akhir ini, aku bisa merasakan itu. Terakhir dia mengirim fotonya bersama Alby. Hanya foto biasa, mereka duduk di sebuah rumah makan dan seseorang mengambil foto untuk mereka. Claudia tersenyum sangat cantik, sedangkan Alby tampak tidak berminat berfoto. Kurasa dia terbebani karena harus merebut Alby dariku--teman lamanya."
"Dia terlalu lembut untuk menyimpan rencana yang jahat, tapi aku tidak bisa berhenti merasa curiga." Aku mengangguk selagi Jeff mengatakannya. "Dan aku tidak mau rencana itu menghancurkan hidupmu. Aku tidak pernah melihatmu tersenyum sangat tulus seperti ketika bersama Alby."
Aku tersenyum kecil untuk menanggapinya. "Kau harusnya lebih memikirkan masa depanmu."
"Tentu, aku akan mengerjakan bagianku sebaik mungkin. Tapi kau, kuharap tidak akan terkecoh dengan apa pun aksinya. Aku mengenalmu cukup baik, Ava. Walau sering kali cuek terhadap sekitar, tapi kau akan melupakan diri sendiri ketika seseorang memerlukan bantuan."
Ponselku berdering sebentar. Ada telepon masuk, tetapi si penelepon tampaknya tidak ingin aku menjawab karena sudah dimatikan sebelum aku sempat menyentuh tombol hijau. Aku bahkan belum sempat membaca nama kontak yang mencuat di layar ponselku.
"Apakah priamu sudah gelisah karena kita terlalu lama mengobrol?"
Aku melenguh pelan ketika nada bertanyanya terdengar seperti sarkasme. "Aku tidak tahu siapa yang menelepon. Nanti akan kuperiksa. Jadi, apa lagi yang akan kita bahas?"
"Tidak, itu saja. Sebenarnya bisa dibahas lewat telepon atau chat, tapi kau tahu aku lebih suka membicarakannya secara tatap muka."
Aku menggaruk dagu yang tiba-tiba gatal begitu menyadari kalau kami menjadi akrab karena masalah dua orang itu. Situasi ini bahkan tidak pernah kuharap akan terjadi setelah memutuskan untuk membenci Jeff. Namun, makin ke sini aku justru tidak tega untuk tetap membencinya. Dia adalah pria baik yang terpaksa bersikap menyebalkan demi orangtuanya. Meski begitu, aku tetap tidak bisa jatuh cinta padanya.
"Well, setidaknya aku mendapat sedikit informasi tentang Claudia dan tahu harus merencanakan apa bersama Alby."
Jeff mengangguk pelan. Bibirnya terkatup rapat dan dahinya berkerut. Dia seperti sedang memikirkan apa yang harus dikatakan lagi setelah ini. Namun, aku tidak berencana untuk tetap di sini lama-lama. Jadi, sebelum dia menemukan sesuatu untuk dikatakan, aku sudah beranjak dari kursi.
"Sampai bertemu di liburan nanti, Jeff."
"Tunggu. Boleh aku memelukmu? Pelukan sebagai teman."
Tahu bagaimana aku bereaksi sekarang? Seperti seseorang yang baru melihat hantu. Kaget dan ngeri di saat yang sama. Tidak ada yang salah dengan pertanyaannya memang, apalagi itu bukan sesuatu yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya.
Jeff memandangku dengan binar penuh harap memenuhi matanya, seperti seseorang yang benar-benar sangat membutuhkannya. Aku yang sebelumnya menolak untuk terlibat apa pun lagi dengannya, kini justru tidak tahu bagaimana caranya menolak. Aku sampai melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mencurigakan atau membawa kamera untuk mengambil foto.
"Apakah kita berteman?" Harusnya aku menolak, bukan malah melontarkan pertanyaan itu.
"Apa kau tidak menyukai itu?"
"Entahlah. Kudengar banyak pasangan yang berpisah berakhir menjadi musuh."
Jeff tertawa karena kata-kataku. "Kau ingin kita menjadi salah satunya?"
"Walau berteman kedengarannya tidak buruk, tapi rasanya sulit untuk bersikap baik padamu."
Satu helaan napas yang panjang lolos mulutnya. Dia ikut berdiri dan menepuk pundakku beberapa kali dengan pelan. "Aku tidak memaksa. Kau mau bertemu denganku saja aku sudah sangat berterima kasih. Sampai jumpa lagi, Ava. Kalau suatu saat kau kesulitan, kau bisa mencariku. Itulah gunanya teman."
Aku hanya mengangguk. "Ya, sampai jumpa."
Kemudian aku pergi dari sana, tanpa berbalik atau sekadar menoleh untuk memberi satu tatapan perpisahan. Aku tidak ingin saat melihatnya lagi, aku justru merasa tidak tega dan mewujudkan keinginannya. Memang benar aku akan sangat lemah ketika seseorang membutuhkan bantuan. Saat ini Jeff sedang menghadapi masalah perjodohan dan di samping itu tidak tahu tentang rencana Matthew yang ingin menghancurkan perusahaannya.
Sekarang aku menyesal sudah tahu tentang semua itu. Bukankah itu membuatku menjadi orang jahat karena tidak melakukan apa-apa untuk membantu?
•••
See you on the next chapter :))
Lots of Love, Tuteyoo
25 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro