Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 - The Engagement Party

🎶
My mind's got a m-m-mind of its own right now
And it makes me hate me
I'll explode like a dynamite if I can't decide, baby
🎶

Ini adalah pesta yang luar bisa megahnya. Ciri khas Jeff, diselimuti kemewahan. Seisi ruangan dipenuhi dengan dekorasi yang menjeritkan uang. Uang di sini, uang di sana. Semuanya tampak sangat mahal. Warna perak dan keemasan mendominasi. Musik jazz yang dibawakan secara live oleh orang-orang yang berkeahlian khusus membuat pesta ini terasa lebih mahal.

Para tamu undangan pun tak kalah elegan. Gaun yang luar biasa indah sekaligus merepotkan, saling berpasangan dengan setelan tuksedo mahal. Aku bisa melihat banyaknya kilauan berlian berjalan ke sana kemari. Menyilaukan. Ini bukan tempat untukku dan bukan sesuatu yang masuk dalam daftar tempat yang akan kukunjungi. Berkencan lama dengan Jeff tidak membuatku terbiasa dengan kemewahan seperti ini. Apalagi dia tidak pernah mengajakku ke salah satunya.

Demi Nate. Aku melakukan ini demi karier Nate. Alby terlalu berbahaya, dia bisa melakukan apa saja; termasuk mengancam Nate, demi mendapatkanku—bukan dalam konteks romantisme tentunya.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku. Lengan kami masih bertaut. Lipatan siku kami saling menjaga satu sama lain.

"Tentu saja duduk dan menonton." Alby menjawab sembari menyapukan pandangan ke seisi venue.

"Hanya itu? Waktuku terbuang sia-sia," sahutku sembari melepaskan tangan darinya. Dia sedang lengah, jadi aku mendapat kesempatan untuk menjaga jarak darinya. "Mana ponselku?" pintaku sembari menodongkan tangan.

"Untuk apa?" Keningnya berkerut, matanya menyipit serius. Tangannya bahkan sudah masuk ke kantong jas, menghalangiku agar tidak lancang mengambilnya sendiri. Lagi pula, aku juga tidak ingin menyusupkan tanganku ke sana, merogoh, meraba, geser sedikit, bisa-bisa menyentuh sesuatu yang tidak sepantasnya.

"Apa aku harus memberitahumu apa yang akan kulakukan pada ponselku sendiri?" Aku sudah kesal karena tersesat di antara kilauan ini, dan dia memperburuk suasana hatiku. Ini bahkan belum mulai acara, bagaimana nanti?

"Hanya ponsel?"

"Ya." Aku membalas ogah-ogahan.

Dia tak berkata apa-apa lagi dan segera mengeluarkan iPhone yang sudah cukup lama serinya. Kondisi keuanganku tidak memungkinkan untuk terus-terusan meng-upgrade benda digital ini. Asal masih bisa berkirim pesan, menelepon, browsing, dan menggulirkan beranda media sosial, sudah sangat cukup bagiku.

Aku membuka kotak pesan Hyunjoo dan mengetikkan kalimat singkat di sana; bertanya di mana dia berada, karena tidak mungkin Jeff tidak mengundang karyawannya. Setelah itu aku berpindah ke kotak pesan Dave, menanyakan hal serupa. Aku tidak mungkin membiarkan napasku terus-terusan sesak berada di sekitar Alby. Dia terlalu mengintimidasi. Setidaknya bertemu Hyunjoo dan Dave tidak membuatku benar-benar menyesal ada di sini.

Sentuhan di bahu kiri membuatku berbalik. Pelakunya adalah Alby dan tangannya bertahan di sana. Aku hampir protes seandainya tidak ada Jeff dan Claudia di hadapan kami. Mereka mengenakan setelan berwarna perak. Gaun Claudia sangat berkilau; mermaid dress tanpa lengan yang memiliki belahan dada sangat rendah. Lekuk tubuhnya yang indah tercetak jelas hingga membuat semua wanita memandang iri. Aku akui Claudia memang sempurna. Sejak dulu dirinya selalu jadi idaman orang-orang. Tak heran jika Alby ingin berusaha mendapatkan dirinya lagi.

"Senang melihat kalian datang." Claudia tersenyum manis. Anting panjangnya bergoyang ketika kepalanya bergerak untuk menatapku dan Alby bergantian.

"Karena kalian mengundang kami." Tangan Alby dengan lancangnya bergerak turun. Tengkukku meremang ketika kulitnya menempel di punggungku yang terbuka. Meski di sini lumayan dingin, tetapi tangannya hangat, nyaris panas.

"Jadi, kalian bersama?" Pertanyaan ambigu itu dilontarkan Jeff. Dia mungkin kecewa karena aku tidak mengenakan gaun pemberiannya, sampai-sampai enggan melihatku.

"Jika aku tidak salah menebak maksud pertanyaanmu, jawabannya adalah ya."

Aku merotasikan kedua mata setelah paham maksudnya. Alby memulai drama ini lebih dulu sebelum aku menyetujuinya. Malam ini kubiarkan, tapi tidak untuk besok, atau besok dan besoknya lagi. Karena aku tidak pernah setuju menjadi kekasih pura-puranya dengan tujuan yang tidak jelas. Kalau tujuannya jelas? Tidak mau juga.

"Selamat untuk kalian. Ngomong-ngomong, bolehkah kami duduk?" Kakiku sudah pegal dengan sepatu ini. Sungguh.

"Oh, tentu, kami sudah menyiapkan meja khusus untuk kalian berdua. Ayo."

Lucu. Ketika orang-orang diantarkan oleh pelayan atau siapa pun yang mendapat beban kerja itu, Jeff justru menawarkan diri untuk mengantarkan kami. Dia bahkan meninggalkan calon tunangannya. Pria gila.

"Ayo, Sayang." Menggelikan. Alby memanggilku seperti itu di hadapan Claudia. Aku benci fakta bahwa aku tidak bisa melawannya; tidak untuk mempermalukan kami di hadapan mereka.

"Alby, duluan saja. Aku ingin bicara dengan Ava sebentar." Claudia menahan tanganku ketika Alby mendorong pelan punggungku agar berjalan beriringan dengannya.

Alby tidak merespons, tetapi tatapannya jatuh ke kakiku. "Tidak duduk dulu?" tanyanya padaku. Apa dia sungguhan peduli? Karena aku tidak menemukan sandiwara di wajahnya.

"Aku akan mengekor di belakang. Tenang saja."

"Baiklah." Alby melangkah lebih dulu menyusul Jeff, memberi jarak beberapa meter sebelum aku dan Claudia menyusul.

"Pertama, aku ingin meminta maaf." Claudia selalu anggun jika bicara. Suaranya semanis madu dan sehalus sutra; begitu orang-orang memujinya, tetapi jangan pernah memintanya untuk bernyanyi. Suaranya tidak akan cocok untuk lagu apa pun. Sejak dulu dan tidak pernah berubah.

"Untuk apa?" Dan aku adalah kebalikannya. Barbar.

"Soal Jeff. Aku tidak tahu kalau kalian bersama. Kami dijodohkan dan ... kau tahulah, aku tidak bisa menolak orangtuaku." Claudia berkata lirih dan sadar dugaanku selama ini benar, bahwa dia tidak menginginkan ini terjadi. Mungkin dia juga masih mencintai Alby.

"Kau masih jadi boneka mereka." Aku ingat, Claudia selalu diatur. Sekolah di sini, jurusan ini, makan seperti ini, semuanya. Dan fakta bahwa dia menjadi model lumayan mengagetkanku pada awalnya. Maksudku, dengan kecerdasan di atas rata-rata, dia bisa saja menjadi seorang dokter, psikolog, atau jaksa. Apa pun yang membutuhkan kemampuan intelektual yang tinggi.

"Aku menukarkannya dengan menjadi model. Kautahu? Victoria's Secret memawariku untuk menjadi modelnya di fashion show musim panas nanti." Sekarang dia menggebu-gebu menceritakan impiannya padaku. Kesedihannya lenyap begitu saja bagaikan tulisan di pasir yang disapu ombak. Atau itu hanya untuk menutupi kesedihannya. Entahlah.

Kendati demikian, aku tidak bisa turut bahagia untuknya. Karena membayangkannya saja sudah membuat wajahku masam. "Maksudmu, untuk memamerkan tubuh dengan dua potong kain?"

"Kau juga masih sama. Menganggap bikini adalah sesuatu yang menggelikan padahal kau selalu memakainya di balik pakaianmu." Dia tersenyum geli. Entah kenapa rasanya cukup melegakan. Momen ini mengingatkanku pada masa SMA ketika kami yang duduk sebangku kebingungan memikirkan masa depan.

"Selamat untukmu, sekali lagi." Aku sengaja mengakhiri obrolan karena kami sudah dekat dengan meja milikku dan Alby.

Claudia kembali dengan tatapan sendu itu lagi. Kali ini mungkin tornado yang menghantam kepalanya. Matanya tertuju pada belakang kepala Alby, seperti ada sesuatu yang jauh lebih menarik di sana, padahal hanya rambut.

"Kau mau bicara dengannya?" tawarku. Mungkin mereka perlu menyelesaikan beberapa hal dulu sebelum berpisah sepenuhnya.

Claudia menggeleng cepat dan membalas, "Tidak. Sebaiknya tidak." Claudia berbalik menatapku. "Alby pria yang baik. Jangan kecewakan dia. Sampai jumpa lagi, Va."

Aku memandang kepergian Claudia dengan dahi berkerut heran. Pria yang baik? Aku mendengkus. Rupanya dia serius menganggap aku dan mantan kekasihnya ada sesuatu. Aku memandang kursi di sebelah Alby dan seketika sadar kalau kakiku mulai lelah berjinjit dalam stiletto.

"Apa yang membuatmu lama?" Pertanyaan itu langsung kuterima begitu aku menjatuhkan pantat.

"Bukan urusanmu," balasku dan mempertemukan punggung dengan sandaran kursi. Aku sudah kedinginan dengan baju seperti ini. Dan demi kilauan yang memanjakan mata, aku tidak akan membuat diriku tersiksa lagi.

"Kakimu bagaimana?" Alby menanyakan itu lagi. Aku menatapnya kali ini, sekadar untuk mendapati dirinya tengah menunduk sedikit ke arah kakiku.

"Apa kau sungguhan peduli?"

Tatapannya naik dan menyapu seluruh wajahku. Aku spontan mengulum bibir sebelum tatapannya tertuju ke sana.

"Kau sengaja menggamit lenganku untuk berpegangan. Beberapa kali lenganmu menjepit lenganku dengan kuat ketika kau nyaris terjatuh. Memangnya aku tidak sadar?"

Aku tidak tahu pria cuek sepertinya akan sepeka itu. "Ya. Benar." Kupikir aku tidak perlu mencari-cari alasan soal itu. Aku membuang muka setelahnya, sebab Alby tak berhenti menatapku.

"Aku bisa menelepon seseorang dari spa untuk memijat kakimu setelah ini."

"Berapa banyak uangmu sampai ingin kauhambur-hamburkan begitu?"

Poin minus untuknya. Aku paling benci seseorang yang suka menghabiskan uang untuk hal-hal sepele.

"Mungkin lebih banyak dari yang kaubayangkan." Alby menyeringai angkuh. Kerlingan matanya persis seperti sedang menggodaku. Mungkin dia mengira aku akan berubah pikiran dan menyetujui menjadi kekasih palsunya tanpa dia minta lagi.

Aku berdecih. Tadinya aku ingin membungkamnya dengan kata-kata mutiara—tapi percayalah, itu tidak akan enak didengar, because I'm cursing. Namun, seorang pelayan datang menyajikan sebotol sampanye dan dua porsi steik. Si pelayan menuangkan sampanye ke dua gelas kami yang masih kosong. Warna cairannya yang keemasan menyempurnakan acara ini. Semuanya berkilau, bahkan taplak mejanya pun berwarna keemasan.

Denting gelas yang dipukul dengan entah itu garpu atau sendok, menarik atensi seluruh tamu, termasuk kami berdua. Kami menghadap panggung, di mana sorotan utama berada di pesta ini berdiri dengan senyum lebar di wajah. Di sisi kanan kiri ada orangtua mereka. Ini berarti acara inti akan segera dimulai. Diawali dengan sambutan sang ayah, sedikit promosi perusahaan, dan sambutan lainnya. Rasanya membosankan, tetapi aku terselamatkan oleh pesan masuk dari Hyunjoo. Sial. Dia baru saja membalas.

Hyunjoo - Aku melihatmu dalam balutan gaun merah marun. Tidak kusangka kau akan datang. Dan siapa pria di sebelahmu?

Aku memutar badan dan menemukan Hyunjoo dengan Dave tiga meja ke belakang. Mereka melambai rendah padaku.

AvaClairine - Dia mantan kekasih Claudia.

Hyunjoo - Kalian bertukar pasangan?

AvaClairine - Mengerikan. Mereka sengaja menyatukan kami di satu meja.

Hyunjoo - Aku penasaran setampan apa dia.

AvaClairine - Penampilan hanya sampul.

Hyunjoo - Ei, jangan begitu. Semuanya berawal dari mata, kau tidak akan melihat seseorang jika dia tak menarik.

AvaClairine -  Itulah kenapa ada banyak perpisahan meski baru sebentar menjalin hubungan.

Hyunjoo - Teruslah menjadi keras kepala. Aku harus berkenalan dengannya nanti dan kau wajib membantuku.

Hyunjoo - Coba lihat ke depan.

Aku menuruti kata-kata Hyunjoo. Jeff dan Claudia sudah berdiri berhadapan. Di tengah-tengah mereka ada seorang wanita—berdiri agak ke belakang—membawa nampan dengan sebuah kotak kecil beludru di atasnya. Aku ingat, kotak itu sama dengan yang kulihat saat aku menyiram Jeff.

Jeff meraih satu cincin sementara Claudia mengulurkan tangan kirinya. Setelahnya Jeff memasangkan cincin itu ke jari manis Claudia diiringi suara jepretan. Kemudian sebaliknya. Aku baru menyadari ada banyak fotografer di sini dan momen di depan sana disorot oleh media.

Aku melirik Alby. Tanganku sudah dalam kondisi siaga untuk meraih tisu kalau-kalau dia memerlukannya. Sebagai seseorang yang belum merelakan kekasihnya bertunangan dengan orang lain,  mungkin dia akan menangis. Walau kedengarannya mustahil seorang Alby akan menitikkan air mata. Dan benar saja, dia bahkan menyaksikan mereka berpagutan dengan tenang, tidak merasa terganggu sedikit pun.

"Kau baik?" Dia bertanya, tanpa mengalihkan pandangan.

"Ya. Bagaimana denganmu?"

"Apa kau pernah merasa ingin memukul seseorang dengan begitu kuatnya hingga berharap orang itu terpental beberapa meter?"

Ya. Itu kurasakan setiap melihatmu. "Pernah. Mungkin semua orang akan merasakan itu ketika kekasihnya direbut orang lain."

"Bukan. Bukan itu. Tapi lihatlah Jeffrey." Alby diam dan berdecak, sementara aku berusaha memikirkan apa yang salah dari yang Jeff lakukan di depan sana. Dia hanya berdiri dan tersenyum lebar setelah mengklaim kepemilikan pada Claudia.

"He's not a good kisser. Gerakannya canggung. Itu menggelikan."

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Sungguh. Apa takada hal lain yang bisa dia pikirkan selain itu?

"Kau memperhatikan sampai sedetail itu?"

"Itu memalukan asal kautahu." Wajahnya mendadak terlalu dekat denganku. "Dan aku bisa tunjukkan bagaimana yang benar." Tatapannya turun ke bibirku.

Aku bergidik ngeri dan menutup wajahnya dengan telapak tangan sebelum kudorong, tetapi masih kurang jauh. Tidak bisa kuterima jika aku menghirup oksigen yang sama dengannya. Aroma Alby terlalu kuat sampai membuatku pusing. Entah itu parfumnya atau memang berasal dari tubuhnya.

"Gila, ya?" Aku mendengkus sebal dan menarik kursiku menjauh darinya. Entah sejak kapan kursi kami jadi terlalu dekat.

Alby tertawa. Dan itu mengingatkanku pada musim panas. Debur ombak dan kicauan burung camar yang saling bersahutan, memeriahkan perayaan musim panas terlebih lagi dengan siraman cahaya matahari. Pesona Alby benar-benar mengerikan. Aku masih memujinya walau membenci setengah mati.

"Aku ke sana, kau tunggu di sini."

Aku mengikuti arah tujuan Alby dan menemukan seorang pria berkulit hitam menyambutnya dengan jabatan tangan yang kuat. Alby yang sedang berdiri di sana tampak lebih menyenangkan. Dia tampak profesional dan berwibawa. Seratus delapan puluh derajat dengan Alby yang senantiasa membuatku kesal. Entah apa yang mereka bicarakan sampai sesekali melihat ke sini. Kuharap Alby bukan sedang memperkenalkan aku sebagai pasangannya. Karena itu akan membuatku semakin tidak mampu bergerak bebas.

"Ava!"

Aku terperanjat kala suara melengking Hyunjoo menusuk telingaku bersama tepukan yang kuat di bahu. Dia hanya tersenyum konyol tanpa rasa bersalah sembari menduduki bekas kursi Alby. Di belakangnya ada Dave.

"Wow, you're so sexy! Tidak kusangka kau akan datang dengan baju seperti ini. Sangat bukan dirimu, tapi aku suka. Kau cantik! Jeffrey pasti menyesal membuangmu. Tidak salah aku memilih tubuhmu, sangat bagus!" Hyunjoo bersemangat sekali memujiku. Matanya mengerling kagum seperti Chris Evans baru saja lewat di hadapannya.

"Aku tersiksa dan kedinginan dengan busana ini," keluhku.

"Cantik memang menyiksa. Aku sudah bilang Hyunjoo agar dia tidak memakai sepatu terlalu tinggi, tapi dia mengabaikanku."

Dave menyuarakan pikiranku. Sayangnya, itu justru mendapat pukulan dari Hyunjoo bertubi-tubi. Setelah ini pasti akan terjadi adu mulut. Andai itu terjadi, aku akan bersiap untuk pergi dari sini.

"Aku akan tenggelam jika berfoto di sebelah Ava, Dave! Dia jauh lebih tinggi dariku."

"Sayangnya, aku juga memakai stiletto. Usahamu sia-sia, Joo." Karena sudah telanjur memakainya, sekalian saja kupamerkan. Namun, tujuannya bukan untuk menyombong.

Hyunjoo menganga dan mata Dave membola. Reaksi mereka terlalu berlebihan walau aku memakluminya.

"Kita harus pulang sekarang."

Satu lagi masalahku. Alby dengan seenak jidatnya menyentuh punggung telanjangku. Sial. Aku sudah memberitahunya, tetapi dia tidak menurut.

"Kau siapanya Ava?" Dave yang bertanya, karena Hyunjoo tidak mampu berkedip, apalagi bersuara. Sebagai pemburu pria-pria tampan, wajah Alby pasti memanjakan matanya sekarang.

"Aku pasangannya. Kami datang bersama dan selebihnya bisa kalian simpulkan sendiri." Alby kemudian mengulurkan tangan dengan senyum penuh kemenangan di wajahnya. "Aku Alby."

Alby mungkin hobi membuat sandiwara. Aku semakin muak dengan tingkah lakunya. Situasi ini akan merepotkanku. Maksudku, bagaimana aku akan menjelaskan pada mereka nanti?

"Dave. Dan ini Hyunjoo." Dave membalas jabat tangan itu sekaligus memperkenalkan Hyunjoo.

"Aigoo ... dia bahkan jauh lebih baik dari Jeff."

Hyunjoo berhasil membuat Alby semakin besar kepala. Dan dia benar-benar percaya oleh kebohongan Alby. Sayangnya, aku sedang malas berada di sini lebih lama lagi untuk sekadar mengklarifikasi. Ditambah, ingin sekali segera kuakhiri kebersamaan yang membuatku stres ini.

"Bolehkah kubawa Ava pergi? Kami punya ritual yang harus diselesaikan."

Ritual apa yang dimaksud itu?

"Oh! Silakan, silakan. Kami masih bisa mengobrol di lain waktu." Hyunjoo mendadak sangat semringah. Senyumnya bahkan sangat lebar, nyaris bertemu telinganya. "Ava, kau berutang cerita pada kami."

Wajahku tertekuk, bukan untuk Hyunjoo, tetapi untuk Alby dengan sandiwaranya. Aku berdiri dan mendekati Hyunjoo, sekadar untuk membisikkan, "Apa yang kaulihat, penuh kepalsuan."

Aku memberinya clue. Sengaja membuatnya penasaran dan memikirkannya sampai dia akan memaksaku untuk bertemu dan bicara. Dengan begitu, dia tidak akan membahas apa-apa selain mendengarkan maksud dari ucapanku tadi. Hyunjoo memang semudah itu dikelabui.

Kami saling berucap selamat tinggal dan Alby, yang tidak sabaran, menarik tanganku agar lekas-lekas pergi dari sana. Aku tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba seperti ini, seperti ada seseorang yang sedang mengejarnya, menerornya, dan menembak kepalanya jika berhasil tertangkap. Sampai-sampai melupakan bahwa kakiku sakit dan otot-ototnya mulai menegang. Dia berjalan cepat sekali. Dan aku mau tidak mau harus mengikuti karena dia memegangi tanganku dengan erat. Aku meronta agar dilepaskan, tetapi dia tidak mendengarkan.

Mulai keluar dari venue di lantai empat hotel, turun ke lantai satu dengan elevator, sampai keluar dari hotel. Selama itu, aku mengumpulkan tenaga, hingga saat berada di parkiran, aku mengerahkan seluruhnya untuk melepaskan diri. Berhasil. Sayangnya aku tidak mempersiapkan kakiku untuk menjadi tumpuan. Hingga kakiku bengkok dan aku terjatuh di atas aspal yang dingin.

"Ava!" Alby berseru, dia mengulurkan tangan ingin membantuku, tetapi aku menepisnya. Dia tiba-tiba bersikap kasar tanpa alasan, lalu sok peduli. Kehadiran Alby benar-benar menyusahkan. Pergelangan tangan kanan dan mata kaki kiriku sangat sakit sekarang. Aku tidak ingat apa dulu pernah merasa seburuk ini. Karena rasanya aku ingin mengumpat dengan keras agar semua orang tahu seperti apa sosok Alby yang membuat wanita tergila-gila ini.

"Ava, kau baik?"

Bodoh. Aku sedang meringis kesakitan dan dia masih bertanya begitu.

"Batalkan diskusi tentang desainnya," ujarku sembari bersusah payah untuk berdiri. Sayangnya, sepatu tinggi ini menyulitkanku dan aku lantas menendangnya hingga terlepas. Aku berhasil berdiri meski kakiku harus bengkok.

"Kenapa?"

"Kau yang kenapa!" Emosiku meletup-letup. "Kau kasar sekali."

"Oh, maaf. Aku ... hanya terpancing emosi di sana. Ayo kubantu berjalan."

Lagi-lagi aku menepisnya saat berusaha membantuku. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri."

"Aku benar-benar marah padamu sekarang. Mengakui aku adalah kekasihmu di depan banyak orang. Apa untungnya?"

Alby mendesah keras. Dia mengusap wajahnya dan tampak putus asa. Tangannya bertahan di atas rambut beberapa saat sebelum akhirnya terjun bebas di kedua sisi tubuhnya.

"Aku harus melakukannya. Ayo ikut denganku, kita diskusikan masalah kontrakmu, dan aku akan menjelaskan semuanya," ujarnya setelah merasa lebih tenang, tetapi itu tidak mampu membuatku merasakan hal serupa.

Ujung-ujung jari tanganku mulai kebas, sebentar lagi mungkin akan tremor. Aku tidak terbiasa merasa sakit seperti ini. Andai Nate tahu, dia pasti akan mengamuk.

"Aku sedang tidak ingin bersimpati untukmu. Antar aku pulang saja."

Tanpa menunggu responsnya, aku berjalan pincang tanpa alas kaki menghampiri mobilnya. Sayangnya, Alby memarkirkan mobilnya cukup jauh ke dalam dan aku benar-benar merasa kesakitan sekarang. Bisakah dia tidak menyiksaku lagi setelah ini? Ya, Tuhan. Cukup jangan pertemukan aku dengan Alby lagi. Aku pasti akan baik-baik saja.

Sebuah kain terjatuh di bahuku. Ketika aku melirik ke sebelah, Alby sudah menempatkan tangannya di punggung dan lipatan lututku. Jangan bilang dia akan—

"Setidaknya biarkan aku meminta maaf kepadamu."

—menggendongku ke mobilnya.

"Turunkan aku!" Aku menggerakkan kakiku dengan kuat, mengabaikan rasa sakit sebagai bentuk pemberontakanku atas perilaku semena-menanya.

Alby berhenti berjalan, dia menatapku tajam dan tampak terganggu dengan perbuatanku. Ekspresinya sangat serius, persis ketika mengonfirmasi bahwa dia serius mempekerjakan Nate.

"Diam atau kujatuhkan kau di sini."

Aku bungkam dan tanganku yang tremor kusembunyikan di balik kain jasnya.

***

What the hell is this? 😅
Panjang amat, maaf kalau ngebosenin, yak *lap ingus pake tisu*
Gimana bab ini? Ada sesuatu yang bikin kalian greget ndak? *selain bab yang kepanjangan hehe*
Untuk mengobati kebetean kalian karena buang-buang waktu lama dengan bab yang panjang ini, aku akan bawakan cuplikan dari cerita Lovesick Girls karya NeissLyn.

***

Tyssa berputar-putar, membuat rambutnya tersibak mengikuti arah tubuh gadis itu.
"Hari baru, penampilan baru."

"Siapa tahu dapat gebetan baru," sahut Ochi yang kini meniup-niup kukunya agar cepat kering.

Djenar memutar bola matanya malas. "Baru juga bebas, mau bikin ikatan lagi?"

"Kan katanya, obat patah hati itu jatuh cinta lagi, Djen."

"Terus nanti disakitin lagi, kalo gitu kapan berhenti siklusnya?"

Ochi terdiam menggigit bibir bawahnya. Merutuki mulutnya yang selalu bicara tanpa berpikir lebih dulu, lalu menyesal kemudian.

***

See you on next chapter.
Salam hangat,
Tuteyoo
15 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro