Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

68 - The Reason

Malam ini, aku menikmati satu mangkuk besar berondong jagung sambil memangku laptop. Tidak ada yang lebih nikmat dari bersantai di kamar, bersandar pada tumpukan bantal serta selimut membungkus separuh tubuh. Masih kurang satu lagi sebenarnya, tayangan film. Akan lengkap rasanya jika laptopku saat ini menampilkan adegan film dan bukan wajah Alby.

"Kapan-kapan aku akan mengajakmu ke sini, Ava."

Aku hanya tersenyum untuk merespons ucapannya. "Ketika waktunya tiba, kita sudah selesai, Alby. Benar-benar sudah selesai. Dan kau tidak akan menemukanku di mana pun."

"Menurutmu kau bisa lepas semudah itu dariku?"

Aku berdecih, andai dia berada di hadapanku sekarang, wajah penuh percaya diri itu pasti sudah kulempari berondong jagung. "Kau menyebalkan, Alby. Harusnya kututup saja panggilan ini."

Wajah Alby seketika berubah masam, jelas terlihat kalau dia kelelahan. Salahnya sendiri tetap kukuh ingin meneleponku malam ini meski di sana sudah jam dua dini hari. Dia membuatku harus menerima telepon darinya karena tidak berhenti menelepon.

"Jangan begitu. Memangnya kau tidak merindukanku, hm?"

"Sama sekali tidak." Dan saat mengatakannya, aku hanya menunduk menatap berondong jagung, tidak ingin dia sadar kalau sedang berbohong. "Kau betah di sana?" Aku buru-buru bicara lagi sebelum dia mulai menggodaku--seringai yang dia tunjukkan cukup untuk membuatku yakin kalau dia akan melakukannya.

"Di sini bagus, tapi rasanya ada yang kurang."

"Apa?"

"Tidak ada dirimu. Kurang lengkap mengunjungi negara-negara romantis tanpa pasangan."

Sial. Wajahku sukses memanas karena ucapannya. Selama berinteraksi dengan cara seperti ini--chat, video call, telepon--aku seperti menemukan lebih banyak kepribadian yang Alby miliki. Salah satunya, dia adalah penggoda. Tidak peduli sekuat apa aku berusaha menganggap dia hanya sedang membual, aku tetap tidak mampu menahan jantungku agar tidak berdebar.

Berjauhan seperti ini bukannya mengikis perasaan, tetapi justru terus menumbuhkannya. Aku penasaran, apa hal ini juga berpengaruh sesuatu pada Alby? Tidak adil kalau hanya aku yang mengalaminya.

"Bagaimana harimu? Apa terjadi sesuatu yang menarik?"

"Seperti yang kubilang, aku bekerja seperti biasa dan pergi belanja bersama Pete. Kami mampir sebentar untuk makan malam dan pulang. Bagaimana denganmu?" Mungkin karena sudah terbiasa, obrolan seperti ini terasa lebih mengalir.

"Takada yang menarik. Tapi semuanya berjalan lancar, bahkan lebih cepat dari yang terjadwal. Aku ingin segera pulang karena ingin bertemu denganmu."

Aku sukses dibuat menganga karena dia. Alby tertawa geli di seberang sana. Sudah kuduga dia hanya sedang menggodaku. Seharusnya aku tidak langsung melibatkan hati untuk menerima kata-katanya.

"Memangnya apa yang akan kaulakukan setelah kita bertemu?"

Sekarang dia tampak berpikir dan kurasa itu sangat lucu.

"Pertama aku akan menemuimu, lalu memelukmu, dan ketika kau mulai lengah, aku akan menciummu. Karena itu saja tidak akan cukup untuk melepas rindu, bayangkan saja apa yang terjadi setelahnya."

"Mesum!" Aku langsung menyahutinya seperti itu dan mulai kesal. Dia membuatku membayangkan semuanya; sentuhannya, hangat yang menguar dari tubuhnya, sampai bibirnya yang lembut dan padat berisi. Sayangnya, aku tidak bisa memikirkan sesuatu yang lebih dari itu. Udara mendadak membuatku jadi sangat gerah meski aku tidak menyentuh remote AC.

"Siapa yang mesum di sini? Kau yang memikirkannya, Ava. Pengaruh berdekatan denganmu memang separah itu."

"Benar, kau memang mesum. Kau bersikap seperti kita adalah pasangan sungguhan."

"Memang benar begitu, 'kan? Kau pacarku."

Aku tersenyum kecut. "Ya, tapi kau terlalu berlebihan, tidak ada Claudia yang sedang menyaksikan kita saat ini. Aku bisa menganggap itu serius dan akan melukai perasaanku."

Karena Alby sudah tahu bagaimana perasaanku, aku jadi tidak ragu lagi untuk mengakuinya. Dan dia menghargai itu, tidak memanfaatkannya untuk sesuatu yang buruk. Dari dulu dia memang menyebalkan, tetapi kali ini caranya membuatku kesal sudah jauh berbeda.

"Ingat yang kubilang padamu? Kau harus mempertimbangkannya, Ava."

Ah, dia bicara tentang bisikan itu lagi. Aku sampai menyugar rambut saking bimbangnya. Sepertinya aku harus memikirkan cara lain untuk mengganti topik pembicaraan.

"Boleh aku bertanya?"

"Untukmu, akan selalu kujawab." Dia tersenyum menawan sekarang.

"Tentang skandal kalian, apa sudah benar-benar selesai? Aku tidak yakin karena kalian tidak menggugat tersangkanya." Aku menggigit bibir bawahku sebentar, agak ragu mengatakannya meski bukan sesuatu yang buruk. "Beberapa hari lalu aku bertemu Dane di kantor. Pria itu sedang memasuki ruangan Matthew. Troy memberitahuku kalau hanya orang-orang yang dia percaya saja yang boleh masuk. Aku jadi curiga kalau sebenarnya Matthew yang ... menyuruh Dane."

Ada jeda beberapa saat sebelum Alby menjawab, "Benar, memang Matthew. Buktinya memang belum kuat, tapi semuanya menjurus ke arahnya."

Rasanya sulit untuk dipercaya meski aku sempat menebak seperti itu kemarin. "Kenapa dia melakukan itu? Apa masih punya dendam denganmu? Kudengar kalian pernah bermasalah saat ... Paula bercerai dengannya." Karena memancing masalah itu bisa memancing emosi Alby, aku memelankan suaraku.

Alby tertawa rendah dan tatapannya yang jenaka itu perlahan berubah menjadi serius. Kuharap dia tidak benar-benar marah karena aku mengingatkannya lagi. "Tidak perlu khawatir, Ava. Targetnya bukan aku, dia mengincar Jeffrey."

Fakta baru itu membuat gigiku berhenti mengunyah begitu saja. Aku bahkan tidak ingat Jeff pernah mengenal seseorang bernama Matthew. Makanya nama itu terasa sangat asing sejak kali pertama aku mendengarnya.

"Apa yang Jeff lakukan sampai dia berbuat sejauh itu? Perusahaannya mungkin tidak terlalu besar, tapi dia cukup bersih, maksudku dia tidak pernah mengusik perusahaan lain."

"Kau membeberkan kebaikannya dan itu membuatku cemburu."

Hah?

"Jeff memang bersih, tapi Matthew tidak. Sejak dulu dia selalu berusaha menjatuhkan orang lain untuk memajukan perusahaannya. Ander-Ads mungkin tampak besar, bagus, tapi bagi banyak pengusaha, Matthew adalah CEO yang buruk."

Mulai ada rasa menyesal yang tumbuh dalam diriku. Mungkin seharusnya aku menuruti kata Alby untuk tidak bekerja di sana. Walau tidak ada masalah dalam pekerjaanku, tetapi setelah mengetahui bagaimana latar belakang perusahaan itu, aku mulai gelisah. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada pegawainya jika perusahaan yang dikembangkan dengan cara yang licik itu pada akhirnya hancur.

"Jeff dan Matthew sedang mengincar untuk mengiklankan satu brand pakaian ternama. Saat ini keduanya unggul dan sedang dipertimbangkan. Tujuan Matthew membuat skandal itu adalah untuk menggagalkan rencana pernikahan Jeff dengan Claudia. Dengan perusahaan kedua orangtua mereka bekerja sama, Jeff akan punya backup yang kuat. Sayangnya, Matthew tahu aku dan Claudia pernah bersama, lalu menjadi umpan yang bagus bagi mereka ketika menemukan kami pergi bersama."

Oke, cukup. Aku mengangkat tangan agar Alby berhenti bicara. Masalah-masalah orang kaya ternyata sebesar itu. Memang benar jika setiap manusia itu memiliki masalah masing-masing, tapi kupikir dengan uang banyak yang dimiliki orang-orang dari kalangan atas, masalah mereka bisa diatasi dengan mudah. Namun, jika masalahnya melibatkan perusahaan seperti itu, aku tidak berani berkomentar.

"Jadi, tidak ada sangkut pautnya denganmu?"

Tawanya yang rendah terdengar lagi. Dia mengubah posisinya menjadi setengah berbaring dan layar laptopnya kini memamerkan hampir seluruh bagian atas tubuhnya. Alby hanya memakai kaos dalam yang agak ketat dan mencetak otot-ototnya yang tidak terlalu besar, tapi sempurna bagiku. Aku menelan ludah ketika teringat saat dia menindihku waktu itu. Gila, aku mulai tertular mesum sepertinya.

"Kau mengkhawatirkanku, ya?"

Dia benar-benar tahu cara membuatku malu. "Aku hanya tidak ingin dilibatkan pada akhirnya. Oke-oke, aku khawatir sedikit, puas?" Aku mendelik tajam saat dia mulai tertawa puas sekali.

"Sudah jam setengah sebelas di sini. Aku mau tidur. Kumatikan, ya?"

"Jangan. Taruh di sampingmu saja, aku ingin melihatmu saat tidur."

"Sekarang kau terdengar seperti seorang fanatik, Alby. Itu mengerikan dan tidak akan kulakukan." Aku mengangkat laptop sampai sejajar dengan wajahku dan tersenyum kaku. "Begini cukup, 'kan?"

Alby tampak kaget dan memundurkan kepala, seolah-olah aku memang sedang berada di hadapannya. Ekspresinya yang seperti itu benar-benar menggelikan. Aku sampai tertawa melihatnya.

"Akan kumatikan, sampai jumpa, Alby."

"Ava, tung--"

Sayangnya, panggilan video kami sudah kuakhiri. Aku meletakkan laptop ke meja nakas beserta mangkuk berondong jagung dan botol air yang sudah kosong. Aku membenahi posisi berbaring di kasur dan menarik selimut sampai dada.

Aku baru akan memejamkan mata saat ponselku berdering sebentar.

Alby - Baiklah, selamat tidur. Mimpi yang indah.

Sepertinya aku akan benar-benar tidur nyenyak malam ini. Jangan kira karena mendapat pesan yang manis dari Alby. Bukan itu pastinya.

Satu rasa penasaranku terjawab sudah; tentang Jeff yang terus menyebut Matthew dengan kata orang itu. Sekarang hanya tinggal apa alasan Jeff memintaku agar lebih terlihat sangat romantis. Siapa yang akan bereaksi karena hal itu selain Claudia?

•••

Ini masih pagi dan aku sudah diganggu oleh telepon dari Jeff. Dia bertanya apa bisa bertemu dan tentu saja aku langsung menjawab tidak bisa. Memangnya dia pikir aku masih pengangguran yang bisa diajak bertemu kapan saja? Aku masih emosi meski lupa pernah memberitahunya atau belum kalau aku sudah bekerja. Mungkin aku sudah bersedia membantunya, tetapi bisakah dia tidak menelepon berkali-kali? Suasana hatiku jadi hancur karena dia tidak berhenti menelepon sampai aku menerimanya.

Dia bisa membuatku terlambat bekerja seandainya aku tidak segera menutup teleponnya secara sepihak. Sisi Jeff yang menjengkelkan ini membuatku mempertanyakan bagaimana kami bisa bertahan bersama selama empat tahun lamanya.

Beruntungnya, aroma dari omelet yang dibuat Nate pagi ini berhasil meluapkan emosiku sedikit. Ia membaur bersama uap omelet yang mengudara. Kemampuan memasak Nate kurasa meningkat sejak aku sering pergi meninggalkannya.

"Wajahmu sudah kusut padahal baru mandi."

"Selamat pagi juga, Nate." Aku membalas agak sarkastik. Walau dia tidak bermaksud mengejekku, tetapi rasa kesal itu masih tersisa sedikit dan membuatku jadi lebih sensitif. Tadinya kuharap dia sedikit lebih peka dan menyapa dengan baik-baik, bukan malah mengingatkan tentang buruknya pagiku.

Kendati begitu, Nate masih sangat baik menyodorkan sepiring omelet untukku. Aku menerimanya dan membawanya ke kursi terdekat, mulai menyantapnya lebih dulu sebelum Nate mematikan kompor.

"Apa Alby sudah membuatmu kesal sepagi ini?" Nate duduk di seberangku dan meraih sendok sebelum mulai menyantap mahakaryanya. "Meski agaknya tidak mungkin karena pria itu selalu berhasil membuatmu semringah akhir-akhir ini."

Aku nyaris menjatuhkan sendok karena ucapan terakhirnya. "Semringah? Jangan mengatakan sesuatu yang membuat Alby seolah-olah membawa pengaruh sebagus itu padaku." Meski yang dikatakan Nate ada benarnya, tetapi aku masih sulit mendengar pujian dari orang lain untuk Alby.

"Kau sudah mengaku menyukainya, tapi masih mengelak kalau dia membuatmu senang?"

Lagi, Nate membuatku sekakmat.

"Entahlah, Nate. Terkadang aku berpikir kalau jatuh cinta padanya adalah karma. Kami sedang memainkan perasaan seseorang yang tidak tahu apa-apa. Mungkin itu sebabnya aku tidak ikut merasakan indahnya jatuh cinta seperti yang sering dibicarakan orang-orang."

"Heh, bisa-bisanya kau berpikir begitu?"

Aku bertopang dagu di atas meja makan. Nate bicara seperti orang tua yang sudah punya banyak pengalaman dan aku adalah anak muda yang perlu wejangan darinya. Ya, situasinya persis seperti itu.

"Lalu apa? Bagaimana mungkin ada seseorang yang terus merasa tersiksa hanya karena mencintai seseorang?" Aku menyuap kembali omelet dan mendiamkannya di dalam mulut. "Tidak adil kalau hanya aku yang menerima karmanya, padahal semuanya rencana Alby. Seharusnya dia yang tersiksa, bukan aku."

Aku menunggu respons Nate sambil mengunyah. Dia tampak tidak habis pikir.

"Baru kali ini aku mendengar seseorang menganggap jatuh cinta adalah karma. Ya ... walau akalku masih bisa menerimanya. Kalau kau bahagia dengannya, kenapa tidak dicoba serius saja? Siapa tahu kesepakatan kalian akan memiliki akhir yang berbeda." Nate menaikturunkan alisnya untuk menggodaku. Andai bukan karena omeletnya yang enak, aku pasti sudah menyeruput wajahnya yang menyebalkan itu.

"Akhir seperti apa yang kaupikirkan?" Aku harus berhati-hati saat membicarakan ini, karena aku sengaja tidak memberi tahu Nate tentang rencana pergi begitu kesepakatan berakhir. Dia tidak boleh tahu dulu, bisa-bisa dia akan melarangku atau malah dia akan ikut denganku.

Sudah cukup Alby saja yang membuat tekadku goyah. Aku akan jauh lebih lemah jika berurusan dengan Nate.

"Seperti Claudia yang tidak berujung menyatakan perasaannya pada Alby, dan kau bisa memiliki pria itu seutuhnya. Bukan yang terbaik, tapi bisa dipertimbangkan. Kau sudah jatuh cinta padanya, seharusnya kau memperjuangkan itu, bukan terus mengelak."

"Kau seperti seorang pakar cinta saja." Cibiranku sukses membuat wajah Nate tampak masam. "Aku hanya cukup sadar diri, Nate. Kenapa kita harus membicarakan ini?"

"Aku hanya geregetan karena kau terus merasa dirimu tidak pantas. Memangnya ada standar atau aturan siapa harus jatuh cinta pada siapa? Kau saja tidak mampu menahan agar perasaan itu tidak datang."

Aku tidak tahu lagi harus merespons apa begitu omelet mulai memenuhi perutku, padahal masih tersisa sepertiga. Tidak, kupikir semua pembicaraan ini membuat sistem pencernaanku berhenti bekerja untuk makanan, karena otak--sebagai si pemberi instruksi--sibuk mencerna kata-kata Nate. Serius--aku masih tidak mengerti--memangnya setelah tahu aku mencintai seseorang, apa yang harus kulakukan?

Aku sudah mengaku secara tidak langsung, dan yang Alby tahu mungkin aku belum secinta itu padanya. Lalu apa lagi? Apa aku harus membuatnya merasakan hal yang sama? Kalau tidak berhasil, tentu aku akan kecewa. Sakit hati. Kalau pada akhirnya seperti itu, lebih baik dari awal aku tidak melakukan apa-apa daripada berakhir sia-sia, 'kan?

Menyerah sebelum mencoba itu tidak baik, tetapi apa yang kudapatkan jika sudah berusaha tapi tidak menghasilkan apa-apa?

"Kurasa Alby mulai memikirkanmu." Nate berkata dengan tenang setelah menghabiskan omelet miliknya. Dia menuang susu tidak hanya ke gelasnya, tetapi untukku juga. "Dia sempat bertanya apa yang kausuka entah untuk apa. Mungkin ingin memberimu kejutan, tapi sudah tidak jadi kejutan lagi karena aku membocorkannya padamu. Aku tidak tahan melihatmu tidak benar-benar menikmati kebersamaan kalian. Kenapa tidak sekali saja membahagiakan dirimu dan berhenti terus memikirkan orang lain?"

Meski Nate bicara panjang lebar, tetapi aku justru hanya terpaku pada fakta kalau Alby pernah bertanya tentang diriku kepadanya. "Apa yang dia tanyakan?"

"Sayangnya aku tidak punya cukup waktu untuk memberitahumu. Sudah waktunya aku berangkat." Nate beranjak dari kursi beserta piringnya yang sudah kosong, kemudian berlalu pergi tanpa memedulikan aku yang memanggil-manggil namanya.

Kenapa orang-orang suka sekali membuatku penasaran?

Ponselku berdering. Kali ini Claudia yang mengirim dua pesan.

Claudia - [photo]
Claudia - Sebelum kau salah paham, atau ada rumor tidak enak yang beredar. Kami hanya tidak sengaja bertemu, tidak lebih.

Dulu aku akan menjerit kalau aku tidak peduli pada apa pun yang mereka lakukan. Namun, sekarang aku justru merasa tidak tenang, gelisah, bahkan rasanya seperti ada yang terbakar dalam diriku.

Tunggu, seperti inikah rasanya cemburu?

•••

Selamat malam Minggu, teman-teman.
Bagian Alby di atas udah kayak bucin belum, si? Belum berasa pastinya, ya. Baiklah, Tuteyoo akan belajar lagi.

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
11 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro