Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

67 - Hesitate

Sekarang aku ingat. Benar-benar baru ingat siapa pria yang bertabrakan denganku dua hari lalu. Hari ini aku melihatnya lagi, dia baru saja melewati ruanganku ketika aku tidak sengaja melihat ke luar pintu. Ada keributan kecil di sana dan berhasil menarik perhatian orang-orang di ruangan kami. Dari gerak-geriknya, kurasa dia juga baru bertabrakan dengan seseorang. Pria itu kebanyakan menunduk atau apa?

Dane. Pria itu adalah pria yang waktu itu menulis utas tentang skandal Alby dan Claudia. Benar kalau dia adalah pegawai di perusahaan ini. Dan, ya, kurasa Alby cukup baik tidak meneruskan kasus itu ke jalur hukum. Maksudku, dia masih berkeliaran di kantor, padahal sudah mencemarkan nama baik orang lain.

"Hei, Ava. Desainmu mendapat respons bagus dari para reviewer." Suara Lauren terpaksa membuatku mengalihkan perhatian. Dia memutar tabletnya agar bisa kulihat.

"Terima kasih. Aku belum sempat memeriksanya langsung. Terkadang aku merasa masih banyak kekurangan dari hasil pekerjaanku."

Lauren turut tersenyum dan mendaratkan tangannya di lenganku. "Terkadang kita memasang standar yang terlalu tinggi untuk karya kita sendiri. Tapi sesekali cobalah mengapresiasi karyamu. Troy tidak salah merekrutmu." Dia menepuk lenganku dua kali dan kembali ke posisi awalnya, menghadap komputer.

Aku jadi penasaran tentang pria itu. Kemarin dia memasuki ruangan Matthew. Pikiranku mulai menduga-duga hal buruk, apalagi setelah Troy bilang kalau tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya.

Aku tahu ini bukan urusanku, tetapi orang-orang membuatku penasaran. Pertama, aku tidak tahu apakah Alby sudah menemukan siapa sebenarnya yang membuat Dane melakukan itu. Alby tidak lagi membicarakannya sampai aku menyimpulkan dia sudah tahu pelakunya. Kedua, Jeff selalu menyebutnya dengan 'orang itu' jika membicarakan si pelaku, padahal dia tidak langsung terlibat skandal tersebut. Kalau untuk Claudia, rasanya sulit dipercaya. Selain itu, Jeff juga belum menceritakan detail dari informasi yang dia dapat.

Sekali lagi, kenapa aku harus pusing memikirkannya?

"Ava." Lauren memanggilku lagi. "Pulang nanti kami mau mampir ke Starbucks, kau mau bergabung? Sudah beberapa minggu kau bekerja di sini, tetapi belum pernah ikut keluar bersama kami."

Aku berusaha mengingat rencana apa yang akan kulakukan hari ini bersama Alby--tentunya melalui media komunikasi, dan setelah yakin tidak ada yang rencana apa-apa, aku mengangguk.

"Boleh, terima kasih sudah mengundangku."

Kurasa itu akan jadi salah satu cara untuk menyingkirkan masalah orang lain berkeliaran di kepalaku.

•••

AvaClair - Jangan telepon aku sekitar satu jam ke depan, aku sedang pergi bersama orang-orang kantor.

Aku harus mengirim pesan itu8 dulu kepada Alby. Sudah menjadi kebiasaannya menghubungi ketika aku pulang bekerja. Tidak peduli kalau waktu di sana lima jam lebih awal. Awalnya risi, padahal kupikir akan biasa saja saling memberi kabar seperti saat aku berhubungan dengan Jeff. Namun, kesannya jauh berbeda.

Alby jauh dari bayanganku. Kupikir dia tipe yang cuek, memberi kabar hanya jika perlu, atau setidaknya satu dua kali saja dalam sehari. Sayangnya, tiga hari pertama dia di Eropa, dia selalu mengirim pesan hampir di tiap waktu senggang, mungkin satu jam sekali? Karena waktu itu aku sampai kewalahan membalas pesannya satu per satu.

Apa yang dia bisikkan waktu itu serius?

Aku sudah di Starbucks sejak sepuluh menit yang lalu, menunggu pesanan sambil menyedot aroma kopi yang memenuhi ruangan. Sore ini lumayan sepi, sangat berbeda dari biasa aku mengunjungi Starbucks di tempat lain. Entah memang sesepi ini sejak awal berdiri, atau karena hari ini orang lebih banyak berada di tempat lain. Ini adalah kali pertama aku ke gerai Starbucks di sini.

Lauren sedang berdiri di depan konter untuk memesan minuman kami sekaligus menunggu minumannya siap. Tersisalah aku dengan tiga wanita lain di sini. Semuanya dari tim desain dan kira-kira seumuran denganku atau lebih muda.

Tiga wanita itu benar-benar akrab, tidak mengherankan karena mereka sudah banyak bertemu dan sudah lama bekerja. Namun, aku juga tidak akan merasa nyaman jika terus-terusan didiamkan. Biasanya Lauran akan bicara denganku, atau aku yang memulai obrolan. Lebih mudah untuk dekat dengan rekan kerja yang posisi kubikalnya tepat di sebelahku.

Aku ingin bicara, tetapi tidak ingin merusak topik yang sedang asyik mereka bicarakan. Akhirnya aku diam dan pura-pura sibuk dengan ponsel, sambil menunggu Alby membalas pesanku.

"Ava, kau sudah punya pacar?"

Aku mendongak dan menatap wanita berkulit kecokelatan yang posisi duduknya tepat di seberangku.

"Um. Punya." Baru kali ini aku merasa sedikit bangga mengakuinya. Kuharap mengiakannya bukan berarti aku sedang melanggar kesepakatan yang baru kutulis kemarin.

"Pantas saja kau terus melihat ponsel." Wanita dengan rambut ikal mengembang yang bicara kali ini. Dia sangat cocok bergaya retro dengan rambut yang menakjubkan itu.

"Kita bisa kencan bersama kapan-kapan, tapi jangan beri tahu Lauren, dia belum punya pacar." Si wanita kecokelatan mengatakannya sambil berbisik.

"Bukankah lebih bagus kalau kita tunggu saja dia mendapatkan satu? Itu akan lebih menyenangkan." Aku menolak dengan halus. Mereka mungkin akan lupa dengan agenda kencan bersama saat Lauren punya pacar.

"Lauren tidak akan memilikinya dalam waktu dekat. Dia belum bisa melupakan laki-laki itu." Wanita ketiga yang bicara. Dia berkacamata dan selalu menggelung rambutnya dengan rapi. Suaranya agak husky dan jarang tersenyum. Awalnya kupikir dia agak galak, tetapi memang kurang bicara saja.

"Oh, ya?" Aku tidak tahu bagaimana harus merespons yang satu itu. Informasi tentang Lauren agaknya belum tepat untuk kugali lebih dalam.

"Lauren kecewa karena pria itu menyimpan lebih banyak foto model daripada dirinya. Pria itu penggemar berat Claudia. Hampir setiap majalah yang memuat fotonya dia beli, sampai-sampai lupa memberi hadiah untuk Lauren." Wanita retro bicara menggebu-gebu. Alisnya bahkan menukik saking kesalnya. Aku sampai mengerjap berkali-kali ketika dia juga memukul meja dengan tangan terkepal.

"Aku kalau berkencan dengan pria itu pasti akan meninggalkannya juga." Si wanita kecokelatan menimpali. "Tapi yang kudengar, dia juga masih mencintai Lauren?"

Si wanita retro berdecak ringan. "Tapi cintanya masih kalah besar dengan loyalitasnya pada bos besar."

"Mau bagaimana lagi, Claudia memang secantik itu. Tidak hanya Dane yang terpesona, bahkan kita sebagai wanita juga bisa berdecak kagum saat melihatnya secara langsung."

Aku tidak tahu apa yang salah dari ucapan si wanita berkacamata sampai dua lainnya tampak kaget. Oh, sebenarnya aku juga cukup terkejut, apalagi ketika nama pria itu disebutkan. Dan aku menyimpulkan, Lauren pernah ada hubungan dengan pria bernama Dane itu.

"Aku tahu, mungkin tidak seharusnya bertanya ini." Aku menelan ludah ketika tatapan mereka serempak tertuju padaku. "Tapi apa Dane yang dari tim fotografi?"

Mereka bertiga saling pandang sebentar begitu aku selesai bertanya. Jelas terlihat kalau mereka tidak ingin mengatakan apa-apa tentang itu.

"Sudah, sudah, Lauren kembali ke sini."

Tidak kusangka, ikut mereka datang ke sini justru mengantarkanku pada informasi lebih banyak tentang Dane.

•••

"Bagaimana hubunganmu dengan Alby?" Suara Pete diiringi oleh suara roda troli yang didorongnya.

Namun, aku hanya mengernyit. Rasanya aneh mendengar Pete bertanya begitu, padahal dia tahu seperti apa yang sebenarnya terjadi di antara kami. Dia seperti tidak tahu saja kalau itu membuatku kebingungan bagaimana harus menjawabnya. Ingin kubilang baik, nyatanya sejak awal tidak seperti itu. Kalau kubilang memburuk, kesannya seperti pernah ada hal baik terjadi di antara kami. Aku sendiri tidak tahu bagaimana menyebutnya.

"Bisa lebih spesifik? Konteks pertanyaan itu agak ambigu." Aku memasukkan sekotak sereal--yang baru selesai kubaca bahan-bahannya--ke troli yang didorong Pete. Kami belanja bulanan hari ini. Kebetulan Pete mengajak bertemu, jadi sekalian saja kuajak belanja.

"Maksudku setelah skandal itu." Pete juga ikut memasukkan satu kotak sereal dengan merk yang berbeda ke troli. "Kalian masih melanjutkannya, atau mengakhirinya? Mungkin masalah itu bisa menjadi titik terang untuk misi kalian."

"Kenapa kau berpikir begitu?"

Pete mempercepat langkah menuju rak minuman beralkohol. Dia memasukkan beberapa botol ke keranjang tanpa membaca lagi tulisan di labelnya--seperti dia memang sudah terbiasa meminum yang itu, aku tidak lagi menghitung jumlah yang dia masukkan karena sibuk merotasikan mata. Minuman-minuman itu selalu berhasil mengalihkan perhatiannya.

"Keluarga Jeff mungkin tidak terima calon menantunya punya reputasi jelek dan memutuskan untuk menggagalkan rencana pernikahan mereka. Claudia berakhir dengan Jeff, lalu mengemis agar kembali pada Alby." Pete tiba-tiba diam dan menekuk bibirnya, seolah-olah ada sesuatu yang baru saja dia lupakan. "Sebagai laki-laki yang pernah menyukai Claudia, baru kali ini aku merasa kalau itu akhir yang baik. Jelas aku masih berpihak padamu."

Karena ucapan Pete, aku jadi memikirkannya dan sedikit menyesal karena itu tidak terjadi. Langkahku terhenti begitu saja di antara rak minuman kemasan. "Kau benar, kenapa aku tidak berpikir ke sana?"

Pete kembali mendorong troli, mengabaikan aku yang nyaris melamun. Mungkin akan beda cerita seandainya kemarin aku memanas-manasi Jeff, atau menghubungi Claudia lebih dulu untuk meyakinkannya kembali bersama Alby. Bukan malah mendampingi Alby sampai menjadi tameng untuk kemarahan Albert.

"Sekarang aku menyesal." Aku berhasil mengimbangi langkah Pete saat mengatakan itu.

"Ya ... aku menduga kalau kau melakukannya secara impulsif." Dia berhenti sebentar di rak jus kemasan dan mengambil beberapa untuk dimasukkan ke troli. "Kau menyukainya, 'kan? Bisa jadi kau tidak memikirkan apa-apa lagi karena jauh di dalam hatimu, kau tidak tahan melihatnya kesulitan."

Pete membuatku berpikir lagi. Hari itu seperti terpanggil dalam ingatan untuk kutelusuri bagaimana rentetan kejadiannya. Bahkan awalnya aku pergi bersama Jeff sebelum Paula menelepon untuk datang ke apartemennya. Aku bisa pulang kapan saja seperti yang Alby suruh. Namun, aku justru ikut repot membicarakan tentang progres penyelesaiannya masalah mereka dan meminta bantuan Pete. Aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau Albert mengamuk pada Alby.

Setelah kupikirkan lagi, sepertinya aku tidak benar-benar menyesal melakukan itu semua.

"Mungkin benar, setelah menamparnya saja aku sampai menangis."

"Wow. Kau tidak menceritakan bagian yang itu."

Aku berdecih pelan. "Aku merasa jahat saat itu dan tanganku terasa panas. Ternyata seperti itu rasanya menampar seseorang. Baiklah, baiklah, aku mengaku, Pete. Berhenti melihatku seperti itu."

Tawa Pete pecah setelah memberiku tatapan yang menyelidik sekaligus untuk mengejekku. Atau bayangkan sendiri rasanya ditatap oleh seseorang yang membuatmu terpaksa jujur.

"Ekhem. Ngomong-ngomong soal orang yang disuka, aku sedang mengencani seseorang akhir-akhir ini." Pete membuang muka demi menyembunyikan rasa malunya.

"Serius? Siapa wanita beruntung itu? Apa aku bisa bertemu dengannya?"

Lucu melihat Pete seperti sekarang--tersenyum mesem-mesem seperti wanita itu sedang berada di hadapannya. Kali pertama aku melihatnya seperti ini adalah ketika dia baru bertemu Claudia.

"Dia dari Alaska. Minggu lalu dia ke New York untuk mengurus beberapa pekerjaan dan kami bertemu. Aku langsung jatuh cinta pada kepribadiannya. Aku menyatakan perasaanku dua hari lalu dan dia menerimanya. Kami resmi berhubungan jarak jauh."

Pete akan tampak berseri-seri ketika membicarakan tentang seseorang yang sudah mencuri hatinya. Dan melihat dia sebahagia ini sukses membuatku turut tersenyum. Mana mungkin aku tidak bahagia untuknya?

"Oke, lalu dia akan pindah ke sini saat kau melamarnya?"

Senyum Pete seketika luntur. "Dia tidak bisa pindah karena harus merawat neneknya yang sakit. Keluarganya tinggal terpisah dan kedua orangtuanya sudah meninggal. Saat dia ke sini, neneknya dititipkan ke yayasan sosial dan kondisinya memburuk."

Aku meremas lengan Pete sekadar untuk menguatkan. "Dia pasti wanita yang kuat."

"Dan akan sepadan kalau aku pindah ke Alaska untuk menyusulnya. Dia sudah bertemu orangtuaku dan mereka menyukainya." Pengakuan Pete membuat tanganku meluncur bebas dari lengannya. Aku tidak siap berpisah dengannya.

"Kau serius akan meninggalkanku?" Pete adalah pria kedua yang kubiarkan melihat diriku memelas seperti anak kecil. Bahkan bibirku sudah tertekuk meski baru membayangkan akan kehilangan teman sebaik dia.

"Wajahmu aneh kalau seperti itu." Dia menyapu dahi sampai daguku dengan telapak tangan. "Aku memikirkan hal lain juga, sebenarnya. Tentu kalau kau setuju." Kerlingan misteriusnya membuatku penasaran. Pete kembali mendorong troli dan berbelok ke bagian produk sanitasi. Tentu aku segera menyusulnya.

"Memangnya apa yang kaupikirkan?"

Selagi menunggunya, aku memasukkan beberapa produk yang kuperlukan ke troli. Seperti sabun-sabun untuk mencuci, cairan pembersih kaca, dan sebagainya. Pete mungkin sengaja mengulur waktu ketika membaca tulisan di balik kemasan produk salah satu sabun. Jelas sekali itu bukan kebiasaannya.

"Pete, kau tidak harus membuatku penasaran setengah mati!" Aku merampas kotak di tangannya dan kumasukkan ke troli. "Setelah memberi tahu kau akan pergi, kau bersikap menyebalkan."

Pete mengerutkan dahi sebentar sebelum satu helaan napas lolos. "Ketika kesepakatanmu dengan Alby berakhir, kau akan pergi, 'kan? Apa kau sudah yakin?"

"Aku yang menulis itu, Pete. Dan benar hanya aku yang melibatkan perasaan dalam kesepakatan itu. Jadi, aku harus pergi." Aku mengangguk ringan agar terlihat seperti seseorang yang menjawab dengan mantap. Walau keraguan di suaraku tidak bisa disembunyikan.

"Kau akan mengajak Nate?"

"Tidak. Aku yakin dia bisa menjaga dirinya sendiri. Lagi pula, dia sudah banyak kurepotkan. Aku tidak ingin dia terus terikat dalam masalah-masalahku."

Pete hanya mengangguk ringan. "Ini yang kupikirkan, bagaimana kalau kau ikut aku saja ke Alaska?"

Usulan Pete terdengar menggiurkan. Andai dia memberi tahu aku sejak hari di mana aku meminta pendapatnya atas poin-poin tambahan di kesepakatan itu, tentu aku akan langsung menerimanya tanpa ragu. Sekarang, rasanya justru berat untuk mengiakan.

"Bagaimana dengan pacarmu? Dia bisa salah paham."

Pete tertawa ringan. "Bagiku kau adalah saudara, Ava. Adik kecil yang selalu ingin terlihat kuat, tetapi rapuh di dalam." Dia mendapat tinju ringan dariku di perut saat mengatakan itu. "Tentu saja aku sudah menceritakan tentangmu. Bahkan dia berharap bisa bertemu denganmu."

Aku sudah berkata pada Alby kalau akan memikirkan kepindahanku, tetapi setelah dia membisikkan itu, rencanaku goyah. Seperti pohon yang sudah digergaji sebagian, nyaris ambruk. Dia benar-benar memiliki efek seluar biasa itu padaku.

"Beri aku waktu untuk mempertimbangkannya."

•••

:))

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
7 Juni 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro