66 - Confess
SURAT KESEPAKATAN
(Yang sudah ditandatangani)
(Bagian bergaris bawah adalah penjelasan tambahan dari 2nd Party)
Nama : Alby Lawrence Mateo
Usia : 30 th
Sebagai 1st Party.
Nama : Ava Clairine
Usia : 28 th
Sebagai 2nd Party.
Dengan ini menyepakati :
1. Hubungan pura-pura ini berlangsung selama setahun sejak disepakati.
2. Tidak boleh ada yang tahu tentang hubungan palsu ini.
3. Pastikan tidak terlalu banyak orang mengetahui bahwa 1st Party dan 2nd Party adalah pasangan.
4. Bersikap seperti pasangan ketika berada di tempat umum. Selebihnya, berteman. Harus saling mengabari satu sama lain dan kenali satu sama lain lebih dalam lagi.
5. Jika 1st Party perlu dan menelepon 2nd Party untuk datang, maka 2nd Party harus datang tak peduli kapan dan di mana, karena 2nd Party harus ada di samping 1st Party saat bertemu Claudia.
6. Karena tujuannya untuk membuat Claudia cemburu dan menggagalkan rencana pernikahan mereka, kita harus berakting romantis.
7. Untuk membuktikan bahwa kita berpasangan, 1st Party berhak mencium 2nd Party. *coret* Tidak boleh di bibir. *coret*
8. 2nd Party tinggal di rumah 1st Party jika diperlukan.
9. Kesepakatan berakhir jika misi membuat Claudia mengaku masih mencintai 1st Party atau misi untuk menggagalkan pernikahan Claudia berhasil. Tanpa harus menunggu satu tahun seperti poin nomor satu.
10. Wajib mengingat kalau ini hanya sebatas kesepakatan, tidak boleh melibatkan perasaan. Apabila sampai terjadi, salah satunya harus pergi jauh dan jangan ada pertemuan lagi.
11. 1st Party tidak boleh memutuskan sendirian, harus melibatkan 2nd Party untuk berdiskusi.
12. Segala perubahan yang akan terjadi di masa depan, harus dan wajib dibicarakan bersama.
===
Mungkin apa yang kulihat sekarang persis seperti Alby melihatku ketika membaca daftar darinya dulu. Aku menikmati perubahan ekspresinya dan sesekali tersenyum. Aku menutupi senyum dengan menyesap kopi, tentunya aku tidak mau Alby menyadari aku banyak memandangnya hari ini.
Seperti yang sudah dijanjikan, setelah memberiku waktu satu malam, kami bertemu di rumahnya untuk membicarakan tentang poin-poin tertentu yang kuperjelas. Lalu kami akan membicarakannya satu per satu seperti yang dulu pernah kami lakukan. Aku cukup menantikan momen ini, sekaligus rindu memakai mesin kopinya.
"Seperti yang tertulis di poin ketiga, kau benar-benar tidak ingin terlihat bersamaku, ya?" Ada sedikit kekecewaan di suaranya. Namun, aku buru-buru mengabaikan itu agar tidak berujung menjadi sebuah ekspektasi.
"Kau lumayan dikenal. Kalau kita berakhir, rasanya orang-orang akan membicarakan tentang kita." Aku menarik napas dalam-dalam, seperti vakum yang berusaha menyedot aroma ruangan Alby dan memenuhi paru-paruku. Benar-benar bau yang kusuka, tetapi aku harus mengembuskannya lagi.
"Sejak kapan kau peduli tentang itu?"
Ah, benar. Aku tidak tahu sejak kapan, tetapi ketika orang-orang mulai memperkirakan akan sesempurna apa kekasih Alby saat ini, aku merasa makin ingin menyembunyikan diri. Pria tampan kebanyakan bersanding dengan wanita yang cantik pula. Sedangkan aku cukup sadar tidak cukup menarik untuk berjalan di sebelah Alby. Aku terus memikirkannya sampai-sampai tidak ingin membuat orang-orang itu kecewa.
Itu baru satu, belum lagi mereka akan mempertanyakan bagaimana bisa Alby menemukan seseorang sepertiku, atau apa yang kulakukan sampai Alby luluh. Aku berusaha untuk tidak peduli dan berhenti memikirkannya, tetapi rasanya akan sulit dan aku benci mengetahui bahwa orang-orang sedang membicarakanku.
"Karena aku menulis tentang bagian itu itu, maka aku akan jujur padamu." Aku meletakkan gelas ke atas meja makan dan melipat tanganku di sana. Agar pembicaraan ini terkesan formal, aku dan Alby duduk jauh berseberangan, sama-sama menempati sisi pendek dari meja yang berbentuk persegi panjang.
Aku menatap Alby, kurasa dia menunggu kelanjutanku karena dia hanya diam dan menjadi pemerhati yang baik. Namun, aku menunduk lagi menatap kopi sebelum melanjutkan ucapanku.
"Semenjak kesalahpahaman itu menjadi buah bibir orang-orang, aku merasa mendapat tekanan dari mereka. Banyak orang seumuranku di kantor, yang tentunya mereka selalu update tentang berita kalian. Ekspektasi orang-orang tentang siapa kekasihmu sekarang terlalu tinggi, apalagi dengan mantan kekasih yang semuanya adalah model. Aku harus mendengar semua itu dan tidak berhenti membandingkan diriku dengan mereka."
Aku berhenti sebentar sekadar untuk tahu bagaimana reaksi Alby. Dan dengan dahi yang berkerut seperti itu, aku yakin dia tampak tidak senang.
"Well, aku tahu seharusnya tidak merasa begitu, apalagi kita bersama hanya untuk menghancurkan Claudia. Tapi, maaf, aku tidak bisa merasa tenang setelahnya."
"Sekarang aku benar-benar mengerti kenapa kau tidak mau terlihat bersamaku. Kukira karena kau membenciku."
"Oh, itu benar, aku membencimu dulu." Aku buru-buru menyela. Aku merasa tidak nyaman kalau dia masih berpikir aku membencinya.
"Sekarang?"
Sayangnya, aku tidak mempertimbangkan kalau itu akan membuatnya bertanya seperti itu.
"Sudah tidak." Aku membuang muka ketika dia mulai menyeringai. Rasanya seperti aku bisa mendengar dia sedang mengejekku.
"Lalu apa yang kaurasakan padaku sekarang, Ava?"
Aku menelan ludah sebelum kembali memusatkan perhatian pada kertas di sebelah gelasku. Dia tidak boleh tahu soal itu, aku akan sangat malu setelahnya. Dulu terus menolak, sekarang justru terserat pesonanya.
"Bisa kita lanjutkan pembahasan sebelumnya?"
Alby tampak menahan senyumnya sebelum menunduk kembali untuk membaca tulisan di kertasnya. "Perlu saling mengabari, oke. Aku bisa terima. Itu artinya kita akan terus memberi kabar? Bahkan saat aku berada di Eropa?"
"Setelah kupikir-pikir, kita agak canggung dan kaku saat membicarakan hal-hal ringan. Kurasa bisa dimulai dari sering berkirim pesan? Atau mengobrol lewat telepon jika ada waktu?" Aku benar-benar merasa malu saat mengatakannya. Sejauh ini dia lebih agresif, tetapi aku justru menawarkan komunikasi 24/7 dengannya. Memangnya dia mau?
"Aku setuju."
Baiklah, aku terkejut karena dia menyetujuinya tanpa pertimbangan apa-apa. Aku jadi berdebar karena dia tersenyum terus sejak tadi. Dia sudah tampan meski sedang merengut, bisa-bisa dia akan membuatku serangan jantung kalau terus tersenyum seperti ini.
"Poin ketujuh menjadi bagian favoritku." Dia melirikku dan tersenyum miring. Wajahku memanas karenanya. "Kau serius menghilangkan bagian ini? Aku ingat kau menolak keras bagian itu."
Aku berdeham dan membuang muka karena merasa malu. Aku tidak biasa menunjukkan sisi yang seperti ini kepadanya. "Karena kita sudah melakukannya beberapa kali, kurasa takada gunanya itu tetap di sana."
"Kukira kau tidak menyukainya. Apa itu berarti aku boleh sering-sering menciummu?"
"Tidak. Jika diperlukan saja. Untuk pamer pada Claudia, misalnya." Aku masih berusaha menghindari tatapannya meski sulit. Tatapanku selalu kembali padanya ketika dia bicara.
"Hmm. Kau benar, tapi setelah kuingat-ingat lagi, kita selalu melakukannya saat tidak ada mereka. Maksudku--"
"Cukup. Ayo teruskan ke poin yang lain." Aku sengaja memotong kalimatnya karena makin dibahas, ingatan-ingatan saat kami melakukannya mulai bermunculan di kepala. Malu sekali rasanya meski dia tidak tahu kalau aku memikirkan tentang itu.
"Aku kecewa pada poin kesepuluh. Sebegitu tidak inginnyakah kau bersamaku, Ava?" Senyum Alby lenyap, tergantikan oleh sorot mata yang tidak bisa kumengerti. Tatapannya lurus ke mataku, seperti laser yang berusaha menembak target dan aku bersusah payah menghindarinya.
"Aku tidak yakin kita bisa bersama."
Hening menyelimuti kami selama beberapa waktu. Aku tidak tahu apa yang Alby pikirkan tentang itu, tetapi kurasa pergi adalah pilihan terbaik. Ketika hati tidak lagi mampu merasakan letupan-letupan itu, atau ketika diriku sendiri tidak sanggup menahan jantung agar tidak berontak, atau bahkan tidak sanggup menahan diri agar tidak menyentuhnya, kupikir jalan terbaik adalah tidak melihatnya sekalian.
Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan apa yang kurasakan saat ini. Maksudku, ketika seseorang jatuh cinta, apa yang akan mereka lakukan? Memendamnya terus-menerus membuatku khawatir suatu saat akan meledak, tetapi mengakuinya pun tidak siap. Aku tidak siap menerima penolakan darinya. Pria seperti Alby jelas menginginkan keseimbangan dalam hidupnya. Dan aku hanya akan menjadi beban.
"Kenapa kau selalu berpikir kita tidak bisa bersama? Kita bahkan sedang berkencan dan tidak ada masalah." Sebelah tangan Alby meremas kertas yang digenggamnya. Dia melampiaskan kekesalannya di sana.
"Kenapa kau terus bersikap seolah-olah kita akan bersama pada akhirnya? Kita pasangan, tetapi tidak melakukan apa yang orang-orang lakukan pada umumnya, Alby. Hubungan kita ini tidak benar."
Alby melepas kertas itu dan menyugar rambutnya ke belakang. Jari-jarinya mengetuk meja ketika tidak satu pun dari kami yang bicara.
"Katakan." Dia menarik perhatianku sepenuhnya. "Apa yang melatarbelakangi keputusanmu untuk menulis tentang menghindari satu sama lain?"
Haruskah aku jujur saja?
Pikirkan sisi baiknya, Ava, ketika kau mengakuinya, Alby mungkin akan ilfeel dan setuju kalau suatu saat kalian akan menghindari satu sama lain.
"Aku khawatir dengan perasaanku." Aku menelan ludah dan tanganku mulai bergetar lagi. Gelisah, takut, khawatir, menguasai sampai rasanya aku kesulitan untuk bernapas. "Aku tidak ingin merasakan ini, tapi rasanya selalu aneh saat bersamamu. Maksudku, benar kata orang-orang, perasaan itu datang begitu saja meski aku berusaha keras untuk menghindar. Tapi, sikapmu ... terus membuatku berdebar. Aku membenci ini, tapi juga menikmatinya. Menurutmu itu apa? Kalau memang rasa ketertarikan, bagaimana cara melenyapkannya? Aku tidak bisa memikirkan hal lain selain kita harus berpisah."
"Ava, kau baru saja mengakui bahwa ... ."
"Ya, kurasa juga begitu. Gila, ya? Aku bahkan seorang wanita, tetapi aku yang menyatakannya lebih dulu. Tapi kurasa aku jauh lebih siap menerima penolakanmu daripada saat hanya kupikirkan." Aku berusaha menenangkan diri dengan menarik napas sedalam-dalamnya dan mengembuskannya pelan-pelan. Kedua tanganku yang sedang tremor mendarat di atas meja tepat setelah embusan napasku yang panjang tadi berakhir. "Aku tidak perlu jawabanmu, aku hanya ingin kau menerima semua perubahan di kesepakatan itu dan aku bisa mulai memikirkan akan pindah ke mana."
Alby beranjak dari kursi dan menghampiriku. Kupikir dia ingin duduk di kursi sebelahku, jadi aku menyingkirkan barang-barangku. Namun, dia justru berhenti di belakangku.
"Alby, apa yang--"
Aku belum menyelesaikan kata-kataku dan dia sudah memelukku. Wajahnya terbenam di lipatan pangkal leherku, memberi sensasi menggelitik ketika embusan napasnya yang hangat membelai kulitku.
"Ayo menjadi pasangan sungguhan. Kita tidak perlu berakting lagi di depan mereka." Suaranya teredam oleh kain bajuku.
"Apa yang kaurasakan padaku, Alby? Aku tidak ingin kau melakukannya karena kasihan padaku. Itu membuatku jadi sangat menyedihkan." Kugigit bibir bawahku untuk menahan agar tidak menangis. Dia belum menolakku, bahkan tidak menunjukkan penolakan sedikit pun, tetapi aku benar-benar ingin menangis karena sikapnya yang terlalu lembut.
Aku jadi selemah ini saat bersamanya.
"Kau ingat apa alasanku mencium seseorang? Aku tertarik padanya, aku bukan orang yang akan mencium orang lain sembarangan. Aku juga bukan orang yang akan melakukan one night stand karena sedang bosan."
"Bisakah tidak membuatku menduga-duga?" Jujur, aku lelah menerima kode-kode seperti itu darinya. Aku tidak ingin kecewa dengan ekspektasiku sendiri. Aku ingin jawaban yang pasti, tidak peduli kalau itu adalah penolakan.
Alby menjauh dan berpindah ke sebelahku. Dia diam saja di situ sambil memandangku. Wanita mana pun mungkin tidak akan merasa nyaman ditatap seperti oleh pria yang disukainya. Caranya menatap membuatku merasa dihargai.
"Ada banyak kemungkinan bisa terjadi, Ava. Kenapa kau justru memilih untuk pergi?" Suaranya yang dalam dan pelan--nyaris seperti bisikan--itu membuat napasku tercekat. Tidak sampai di situ, dia juga menangkup rahangku dengan sebelah tangan.
"Aku ingin melupakanmu."
Alby mencondongkan badan hingga wajahnya sejajar dengan telingaku. Dia membisikkan sesuatu yang membuatku nyaris mengeluarkan bola mata saking kagetnya.
Alby menyeringai dan menjauh dariku. Sambil berjalan kembali ke kursinya, dia berkata, "Aku menyetujui semuanya."
•••
Meeting dengan tim marketing akhirnya berakhir. Dua jam kuhabiskan dengan mendengarkan sesuatu yang tidak benar-benar kumengerti. Yang tadi itu rapat lanjutan pembahasan proyek, yang berarti aku sama sekali tidak tahu seperti apa pembahasan sebelumnya. Keberadaanku hanya untuk mewakili koordinator tim desain yang kebetulan sedang tidak masuk. Anggota tim menunjukku karena dianggap tidak terlalu sibuk.
Sebagai anak baru di tim, mana bisa aku menolak? Bahkan akan kurang ajar rasanya kalau kujadikan tenggat waktu sebagai alasan. Ada satu page yang harus kuisi dan batasnya dua jam lagi. Akhirnya kubawa pekerjaanku ke ruang rapat dan mengerjakannya diam-diam. Sesekali aku akan menatap presentan dan mengangguk ringan seolah-olah sedang memperhatikan dengan saksama. Aku juga merekam seluruh pembahasan agar nanti bisa kukirim ke koordinator. Dengan begitu, aku tidak perlu repot-repot memperhatikan dan mengulangi penjelasannya kepada orang lain.
Aku menjadi yang terakhir keluar. Kupikir lebih baik mengalah daripada ikut berjejalan dengan orang-orang di pintu. Belum lagi harus mengantre di depan elevator. Aku lebih suka menunggu sebentar sambil melakukan finishing pada desainku. Setidaknya satu tugas selesai sebelum tenggat waktu yang tinggal sepuluh menit lagi. Tinggal menunggu tim IT untuk memublikasikannya ke internet.
Ponselku bergetar ketika aku akan bersiap pergi. Saat kuperiksa, Alby baru saja mengirimkan foto kakinya yang diluruskan di sofa. Kaus kaki masih membungkus sampai ke mata kaki. Aku tidak tahu apa tujuannya mengirimkan itu. Makin aku mengenalnya, makin aneh juga kepribadiannya.
Atau dia memang seaneh itu, tetapi ditutup-tutupinya.
Alby - Hari ini melelahkan.
Alby - Sudah sore di sini, kuharap kau makan siang dengan benar. Atau mau kutemani?
Alby - Aku sudah memesan makan malam, mungkin sebentar lagi datang.
Aku tersenyum membacanya. Sudah lima hari sejak kami membicarakan tentang kesepakatan itu, dan kami jadi sering berkirim pesan seperti ini. Alby selalu mengirimnya lebih dulu. Jika aku tidak membalas cukup lama, dia akan menelepon. Kupikir dia sangat kesepian sampai serajin itu.
AvaClair - Lepas dulu kaus kakimu, jorok sekali.
AvaClair - Baru selesai rapat. Sudah jam istirahat, tapi aku belum tahu mau makan apa.
Alby - Aku bisa membayangkan kau akan jadi istri yang cerewet.
AvaClair - Tidak sopan membicarakan itu.
Alby - Kau menghancurkan imajinasi pria. Keterlaluan.
AvaClair - 🤨
Alby - Kabari kalau kau makan sendirian. Aku akan meneleponmu.
Aku masih mengetik balasan untuk Alby ketika tidak sengaja menabrak seseorang. Aku terlalu fokus dengan ponsel saat berjalan keluar dari ruang rapat dan tidak lagi melihat apa yang ada di depan. Insiden kecil itu membuat buku yang berada di antara laptop dan dadaku meluncur begitu saja.
"Maaf, maaf." Dia, seorang pria berambut ikal, hanya menunduk tanpa berniat membantuku saat berjongkok mengambil buku. Bahkan dia pergi begitu saja sebelum aku sempat membalasnya.
Pria itu berjalan dengan cepat menuju ruangan di ujung lorong. Di pintunya bertuliskan 'CEO'S ROOM', yang berarti adalah ruangan yang ditempati Matthew. Selagi memandang pintu tersebut, aku berusaha mengingat sosok familier yang bertabrakan denganku tadi. Aku merasa pernah melihatnya, tetapi di mana?
"Ava?"
Aku berjengit kaget ketika seseorang menepuk pundakku.
"Apa yang kaulakukan di sini?" Troy memberiku tatapan penuh tanya.
"Um, itu, aku baru selesai ikut rapat, tapi terlambat keluar." Aku berusaha bersikap ramah dengan memberi senyum, tetapi aku yakin itu tidak terlihat cukup bagus karena Troy justru menaikkan sebelah alisnya.
"Kau melihat ke ruangan Matthew cukup lama. Ada apa?"
Ah, ternyata ketahuan.
"Tidak, aku hanya, penasaran bagaimana isinya." Itu jawaban paling bodoh yang pernah kulontarkan. Lagi pula, tidak mungkin aku memberi tahu tentang seseorang yang masuk ke sana dan bertanya dia siapa. Jelas akan menimbulkan rasa ingin tahu Troy lebih jauh lagi.
Troy tertawa geli, dan kupikir jawabanku cukup masuk akal untuk bisa dia terima. Aku menunggu beberapa saat sampai dia berhenti. Dia menganggap itu lucu.
"Seperti ruangan atasan kebanyakan. Yang berbeda hanya, kau tidak bisa sembarangan masuk. Dia hanya membiarkan orang-orang yang dia percaya untuk masuk. Dan khusus untuk wanita, hanya yang menarik di matanya." Troy menghela napas sebentar dan memandang pintu ruangan Matthew. "Kau bukan tertarik padanya, 'kan? Aku tidak ingin memicu perang kedua di antara dia dan pacarmu."
"Perang kedu--" Ucapanku terpotong oleh dering di ponsel.
"Wow. Dia sepeka itu, baru dibicarakan, dia sudah meneleponmu," celetuknya ketika aku memeriksa kontak si penelepon dan dia tidak sengaja melihatnya juga.
Aku lupa membalas pesan Alby dan sekarang dia menelepon. Orang-orang akan menyebutnya posesif, tetapi aku lebih suka menganggap kalau dia sedang kurang kerjaan.
•••
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo :'))
4 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro