65 - Another Plans
Jeff tidak berbohong kalau akan datang terlambat, tetapi juga tidak memberi tahu kalau membuat kami harus menunggu lama. Sudah hampir setengah jam aku dan Alby duduk di sini, di satu meja rumah makan ditemani alunan musik Jazz. Ada beberapa pelayan yang menyinggahi kami sejak tadi, sekadar menanyakan apa yang akan kami pesan. Hingga akhirnya Alby memesan satu botol wine tanpa kandungan alkohol.
Ada satu perbedaan yang kentara yang kurasakan ketika mengunjungi rumah makan biasa dengan rumah makan mewah. Saat mendatangi rumah makan biasa, orang-orang tidak hanya menikmati makanan, tetapi juga momennya. Mereka tidak akan ragu mengobrol dengan satu sama lain, tertawa bersama, atau menciptakan kekacauan kecil yang tidak disengaja.
Di sini, rumah makan mewah yang tidak pernah terpikir akan kudatangi, orang-orang lebih suka berbisik dengan rekan satu mejanya, lalu tertawa dengan elegan. Aku tidak tahu apa yang menyenangkan dari kesunyian itu, tetapi mereka benar-benar sangat menikmatinya.
Apa enaknya memiliki batasan dalam bertingkah laku?
Bola mataku bergulir menyapu seisi ruangan yang didominasi dengan furnitur berkilau. Para pelayannya berseragam sangat rapi. Tatanan rambut pelayan wanita bahkan jauh lebih rapi daripada penampilanku. Semuanya menakjubkan. Aku benar-benar menjadi pemerhati selama menunggu Jeff dan Claudia datang.
Pandanganku tiba di pemberhentiannya, yaitu wajah Alby. Tepatnya, aku tidak sengaja menoleh ke sebelah kiri dan menemukan dia sudah lebih dulu menatapku. Bahkan meski sudah kubalas, dia tidak kunjung berhenti menatapku.
"Apa ada yang aneh di wajahku?" Telunjuk kananku ikut bergerak memutari bentuk wajahku.
Gelengannya berhasil membuatku mengernyit heran.
"Lalu kenapa menatapku seperti itu?"
"Hanya ingin." Dia membalas singkat dan tersenyum tipis, seolah-olah ada sesuatu yang menarik di wajahku.
"Kau membuatku tidak nyaman." Tentu saja itu adalah alibi untuk menutupi kalau jantungku jadi berdebar. Rasanya ada sesuatu yang menggelitik yang memancing kesenangan tersendiri. Mulutku bisa berbohong, tetapi tidak dengan reaksi tubuhku.
Aku membuang muka demi menghindari tatapannya, lalu menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga seperti orang salah tingkah. Dan aku tidak perlu menderita terlalu lama dengan sensasi yang mendebarkan ini karena yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.
"Maaf kami sangat terlambat." Jeff bersuara lebih dulu sembari menarik kursi untuk Claudia, dan dia menyusul duduk di sebelahnya kemudian.
"Tidak masalah." Alby membuatku berjengit kaget ketika dia melingkarkan tangan di bahuku. "Kami menikmati kebersamaan kami." Kelanjutan ucapannya menyadarkanku kalau kami harus kembali bermain peran.
Senyumku mengembang ketika menangkap sekilas rasa cemburu berkilat di mata Claudia. Namun, dia berhasil menutupinya dengan menempel pada Jeff. Di momen ini, aku mulai merasa kasihan pada pria itu.
"Kalian sudah memesan makan?" Claudia bertanya.
"Belum, kami menunggu kalian." Alby membalas sebelum memberi isyarat jentikan jari kepada seorang pelayan terdekat.
Pelayan itu mengerti dan menghampiri meja kami. Dia meletakkan dua buku menu, satu untukku dan Alby, satu lagi untuk Jeff dan Claudia.
Kami tidak banyak bicara lagi sampai makanan yang dipesan tiba dan sekarang sudah dihabiskan. Paling hanya pembicaraan tentang apakah makanannya mau ditambah, atau ada sesuatu yang diperlukan untuk melengkapi sajian di hadapan kami. Tersisa dessert dan aku belum siap untuk langsung menyantapnya. Alby pun sama. Sementara Jeff dan Claudia sudah menghabiskan semuanya, tersisa minuman di gelas mereka. Mereka benar-benar lapar dan aku bisa melihat itu dari cara mereka makan.
"Maaf, kami belum sempat makan siang hari ini." Jeff akhirnya membuka suara. Dia menyapu bibir dengan tisu dan mengambil beberapa lembar untuk Claudia.
"Jadwal hari ini lumayan padat. Karena kesalahpahaman itu, Jeff harus menemaniku ke mana-mana sampai isunya mereda. Klarifikasi dariku saja rupanya tidak cukup untuk membungkam orang-orang." Senyum Claudia mengembang. "Mungkin pengakuanku akan jauh lebih bisa dipercaya seandainya orang-orang tahu Alby berkencan dengan Ava."
Pengakuan Claudia membuatku mengasihani Jeff. Lagi. Kuharap tidak ada yang mendengar kalimat terakhirnya, suaranya agak nyaring saat bicara.
Aku tidak sengaja bertemu pandang dengan Jeff. Pria itu seperti sedang memberi isyarat padaku, tetapi aku tidak mengerti apa yang mau dia sampaikan.
"Sebelumnya, terima kasih karena sudah menyempatkan waktu untuk memenuhi undanganku. Aku akan pergi selama beberapa minggu dan tidak punya waktu untuk menemui kalian selain hari ini." Alby menatapku dan aku berusaha keras untuk tidak tampak terkejut oleh pengakuannya. "Tapi kita sudah berjanji untuk merencanakan double date sekaligus liburan bersama."
Kami bertemu hampir setiap hari, selalu makan siang bersama jika sempat. Menghabiskan waktu di perjalanan dengan perdebatan kecil karena dia selalu menyebalkan. Namun, apa tidak bisa memberi tahu kalau dia mau pergi?
Aku mungkin tidak pernah jatuh cinta sebelum ini, tetapi aku pernah memiliki hubungan sebelumnya dan selalu ada kabar untuk satu sama lain. Jeff tidak pernah absen mengabari tentang kegiatannya, meski itu sekadar makan malam bersama orangtuanya.
Sekali lagi aku dibuat sadar kalau meski berkencan, tidak ada kewajiban baginya untuk memberitahuku.
"Itu sangat lama." Claudia berkomentar.
"Aku tahu." Sekali lagi Alby menatapku, kali ini dengan senyuman. "Aku akan sangat merindukanmu," ucapnya dengan suara lebih pelan. Mungkin ditujukan hanya untukku, tetapi dua orang di depan kami juga turut bereaksi.
"Kau harus begitu, atau aku akan meninggalkanmu." Aku pura-pura menggodanya. Tanganku juga bermain dengan manja di dadanya. Kurasa Alby sempat kaget, tetapi dia berhasil menutupinya.
"Kau tidak diajak pergi? Sayang sekali. Kalian berpisah dalam waktu lama."
Apa yang kudengar dari Claudia itu semacam sindiran? Kalau benar, berarti aktingku sukses membuatnya gelisah. Dia akan seperti itu jika merasa terancam. Maaf, Claudia, kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.
"Dia akan menolak kalau kuajak. Alasannya? Karena dia tidak mau meninggalkan pekerjaannya."
Mataku berotasi ketika dia tertawa geli. Lihatlah bagaimana Alby mengatakannya seolah-olah dia sangat mengenalku.
"Ava sama sekali tidak berubah." Sekarang giliran Jeff yang bicara. Caranya mengatakan itu seperti seseorang yang sudah belasan tahun tidak bertemu denganku. Entah kenapa rasanya orang-orang jadi agak berlebihan hari ini. Dia meletakkan gelasnya, tampak ingin bicara lagi. Seluruh atensi kami bertiga tertuju padanya. "Tidak peduli kekasihnya sekaya apa, dia tetap memenuhi kebutuhannya sendiri. Ava adalah satu dari sedikit wanita yang, bisa dibilang, mandiri."
Jeff sukses membuat kursi yang kududuki terasa tidak nyaman, seperti ada duri-duri yang membuatku tidak nyaman bersandar dan harus menegakkan badan seperti orang tegang. Jeff seperti pria bajingan yang memuji wanita lain di depan calon istrinya sendiri. Dia sukses membuat wajah Claudia berubah masam dalam balutan gaun mewahnya.
"Kau benar. Aku sudah memintanya tidak bekerja, tetapi dia menolak." Lihatlah bagaimana Alby membual dengan lancar.
"Aku tidak ingin berutang dan berujung ditagih setelah kita berakhir." Lagi, aku menepuk dadanya berkali-kali sampai dia menangkap tanganku.
"Kita tidak akan berakhir." Sekarang dia mengecup punggung tanganku dan menatapku dalam-dalam, berharap agar aku percaya padanya. Aku sukses tersedot oleh perannya.
"Benarkah?" Aku bertanya dengan serius, bukan untuk memanas-manasi dua orang di hadapan kami, tetapi sebagai seorang wanita yang sudah jatuh cinta padanya. Aku tahu seharusnya tidak menganggap itu serius, tetapi mana mungkin aku tidak berharap?
"Ekhem."
Tidak hanya suara dehaman yang dibuat-buat, tetapi juga diiringi suara gelas yang diletakkan agak keras di atas meja. Aku buru-buru menarik tangan dari Alby dan menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga--hanya agar terlihat sibuk.
"Aku baru ingat harus bertemu manajerku malam ini, ada yang harus didiskusikan. Bisa kita langsung ke tujuan utama pertemuan ini?" Claudia sama sekali tidak tersenyum saat mengatakannya. Dia mungkin benar-benar merasa terganggu dengan adegan yang kami suguhkan tadi.
Alby tersenyum sangat puas. Dia mengusap punggungku sebentar sebelum akhirnya bicara.
"Sisihkan waktu kalian satu minggu dari tanggal dua puluh Desember. Kita akan pergi ke Wyoming. Jackson Hole sangat menakjubkan saat musim dingin. Aku pernah membicarakannya dengan Claudia dan dia setuju."
"Benar. Wyoming punya sisi menakjubkan yang tidak banyak diketahui orang-orang." Claudia menimpali ucapan Alby. Wajahnya semringah kembali meski hanya sesaat. "Tunggu, seminggu dari tanggal dua puluh, berarti kita akan merayakan Natal di sana?"
Alby hanya mengangguk. "Kuharap kalian tidak keberatan tidak merayakannya dengan keluarga tahun ini."
"Bertepatan dengan ulang tahun Ava. Aku bisa mengerti kenapa kau memilih tanggal itu, Alby."
Jeff melirikku sebentar dan tersenyum tipis. Aku tidak mengerti kenapa hari ini dia hanya bicara tentang aku. Dia berhasil membuat Alby bersikap defensif dan membuat suasana hati Claudia makin memburuk.
Apa itu adalah bagian dari rencana yang dia bahas melalui pesan tadi?
"Aku akan mendiskusikannya dengan manajerku malam ini. Semoga dia bisa mengosongkan jadwalku di tanggal itu." Claudia mengelap bibirnya dengan tisu dan mulai berkemas. "Boleh kami pergi lebih dulu? Ponsel di tasku tidak berhenti bergetar sejak tadi."
"Oh, ya, silakan." Aku terpaksa membalas karena tatapannya terus tertuju padaku.
Jeff baru berdiri setelah Claudia pergi lebih dulu. "Aku menantikan liburan itu. Terima kasih atas jamuannya, Alby, Ava. Sampai jumpa lagi." Jeff mengangguk formal satu kali sebelum pergi menyusul Claudia.
Sekarang tersisa aku dan Alby, sama-sama memandang punggung dua orang itu.
"Kita berhasil membuat Claudia cemburu, 'kan?" Alby benar-benar tampak puas saat ini. Dan itu tidak pernah kulihat sebelumnya.
Aku menjauhkan tangannya yang sejak tadi melingkar di bahuku. Sudah tidak ada mereka, tangannya tidak perlu ada di sana lagi.
"Sudah tahu, kan, kalau dia masih mencintaimu?" Itu sindiran, yang kuharap dia cukup peka untuk mengerti maksudnya--dan menganggap kalau kesepakatan ini selesai.
"Ya, tapi rencana pernikahan mereka masih tetap berlanjut. Kita belum selesai."
Helaan napas berat kukeluarkan. Misi tidak masuk akal ini tidak semudah yang pernah kubayangkan sebelumnya. Bahkan Claudia yang sudah mengaku berencana ingin mendapatkan perhatian Alby kembali pun masih tidak menunjukkan tanda-tanda usaha.
Apa dia berharap aku menyerahkan Alby begitu saja?
Daripada memikirkan tentang Claudia, masih ada hal lain yang lebih penting untuk dibicarakan, kurasa. Aku langsung melayangkan picingan mata pada Alby begitu menyadarinya.
"Kurasa kau melupakan satu poin dari kesepakatan itu, Alby."
Meski nada bicaraku terdengar agak mengancam, tetapi Alby tetap tenang, seolah-olah dia tidak merasa kalau itu adalah kesalahan. Dan mungkin aku tidak cukup menyeramkan untuk menahannya agar tidak menuang kembali wine ke dua gelas kami.
"Aku senang kau menyadarinya." Dia mendorong satu gelas lebih dekat denganku. "Sekarang kau tahu apa yang kurasakan saat kau tidak memberi tahu kalau akan pergi ke pernikahan temanmu dan saat kau melamar pekerjaan di Ander-ads." Kekesalannya ditutup dengan menyesap wine miliknya.
"Jadi kau membalasku? Kasusnya beda, Alby. Kau membicarakannya di depan mereka, aku tidak."
"Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Apa hal menarik yang terjadi padamu?--Seharusnya kita membicarakan hal-hal seperti itu, 'kan?"
"Menurutmu aku yang salah karena bagian itu tidak berjalan sesuai rencana?" Aku berusaha menahan intonasi agar tidak terlalu tinggi. Seandainya orang-orang mulai tertarik memperhatikan kami, salahkan Alby yang lebih dulu memancing emosi. Bisa-bisanya dia bersikap seolah-olah aku yang salah.
"Baru kali ini aku berkencan dan memiliki komunikasi yang buruk."
Aku nyaris berdecih dan menahannya dengan meminum wine dari gelasku. "Seseorang mencintaiku dengan tulus, tetapi aku tidak pernah membiarkan dia menyentuhku. Tapi aku justru mencium seseorang yang bahkan tidak merasakan apa-apa padaku. Mana yang lebih buruk?"
"Dan hari ini pria itu tidak menutupi kalau dia masih mencintaimu." Alby berpindah posisi menjadi berhadapan denganku. Dengan posisi itu, dia bisa lebih leluasa menghujaniku dengan tatapan tajamnya tanpa harus menyerongkan tubuh. "Kau tahu kenapa dia seperti itu? Dia terasa seperti berpihak pada kita."
"Kau pikir dia akan bercerita padaku?"
Endikkan bahunya membuatku berkali-kali lipat makin kesal.
"Kau bahkan tahu mereka juga ingin menggagalkan pernikahan, siapa tahu dia juga menceritakan rencananya padamu."
Aku hanya diam dan memandang sepotong Ricotta Cheesecake. Mempertimbangkan apakah aku harus menceritakan permintaan Jeff tadi sore sama seperti ketika aku memikirkan keputusan untuk tidak memakan dessert di hadapanku karena terlalu cantik.
Namun, aku tidak yakin kalau memberi tahu Alby akan menjamin keamanan rencana Jeff. Lagi pula, Alby tidak ada urusannya dengan skandal itu. Bagiannya sudah selesai meski aku tidak tahu apakah dia sudah menemukan siapa dalang di balik skandal itu sebenarnya. Dia bahkan tidak menceritakan apa-apa lagi padaku. Seolah-olah skandal itu tidak pernah dibicarakan.
"Kalau aku tahu, mana mungkin aku akan merasa gelisah seperti tadi?" Pada akhirnya aku memutuskan untuk menyimpannya sendiri dulu. "Jadi, kau benar-benar akan pergi lama?"
Aku tidak benar-benar ingin tahu sebenarnya, apalagi dibuat kecewa karena tidak diberi tahu lebih awal. Aku hanya sedang mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Ada beberapa hal yang harus diurus untuk pengembangan server game di Eropa. Dad membuat anak perusahaan di sana dan aku harus datang mewakilinya karena dia tidak biasa bepergian saat musim dingin." Sebentar dia menandaskan isi gelasnya. "Dan itu mendadak, aku baru diberi tahu sebelum datang ke rumahmu dan akan berangkat dua hari lagi. Aku berpikir keras tentang bagaimana cara memberitahumu."
"Maaf sudah menghakimimu, aku terlalu terkejut dan tidak ingin mereka menyadari gelagatku yang aneh." Maksudku adalah Claudia. Alby tidak tahu kalau Jeff mengetahui tentang kami. "Tapi kau hanya perlu berkata 'aku akan pergi', tidak perlu menjadi overthinking hanya karena itu. Lagi pula, aku bukan seseorang yang akan menangisi tiap detik tanpa bertemu denganmu."
Mungkin kata-kataku terdengar agak sarkastik, atau berhasil membuat Alby merasa tidak nyaman. Dia mengulum senyum dan sekali lagi menuang wine ke miliknya. Satu botol yang kami pesan sebelum Jeff dan Claudia datang masih bersisa.
"Terkadang aku tidak bisa mengontrol diri ketika bersamamu." Aku merasa dia agak gelisah saat mengatakannya. Gelas berisi wine yang tersisa sedikit di tangannya pun berputar di tangannya.
"Kau mengatakan itu lagi. Aku mungkin sudah salah paham dan menganggap itu agak spesial. Dan itu tidak ada hubungannya dengan apa yang kita bicarakan sebelumnya."
"Aku hanya jujur, kita perlu obrolan seperti ini."
"Benar. Tapi seharusnya kita mulai dengan sesuatu yang lebih sederhana. Seperti, bagaimana menu makanan di sini?"
Aku menumpukan siku ke atas meja, lalu meletakkan wajah di telapak tangan sekaligus untuk memijat pelan pelipisku. Alby suka sekali mengakui sesuatu secara tiba-tiba. Aku bahkan belum mempersiapkan diri untuk tahu soal itu.
Dia memang seperti itu sejak dulu atau bagaimana? Tidak pernahkah dia berpikir kalau kata-katanya akan memberi dampak tertentu bagi yang mendengarnya? Atau Alby merasa itu adalah daya tariknya? Dia banyak berkencan dengan model, tetapi aku belum mendengar apakah dia pernah ditolak.
Kata-katanya memang memicu orang lain untuk tidak hanya mendengar menggunakan telinga, tetapi melibatkan perasaan juga.
"Kalau kita mau memperbaiki semua ini, kurasa perlu dimulai dengan mempertegas poin-poin yang ada di kesepakatan kita, Alby. Kita melewati batas terlalu banyak."
Kedua alisnya bertaut. Ketika jari-jarinya menari di atas meja, aku menyadari kalau usulanku membuatnya tidak nyaman. Dia perlu beberapa saat untuk bisa menerima usulanku.
"Baiklah, kita ke tempatku." Alby mengangkat tangan, memanggil seorang pelayan dengan jari-jarinya. "Poin mana yang mau dipertegas?"
"Sama sepertimu yang membuat daftar itu sendirian, jadi beri aku waktu malam ini untuk membuatnya sendiri. Besok kita bicarakan."
Setelah satu helaan napas yang cukup panjang, Alby berkata, "Baiklah."
•••
Harusnya update 2 hari lalu. Tapi aku lembur. :")
Maaf terlambat dan maaf atas makin gajenya cerita ini.
Terima kasih yang sudah bertahan sampai di bab ini (kayaknya aku gak bosan² nulis ini)
See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
1 Juni 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro