63 - Is it over?
Ketika aku menyadari tentang paparazi yang membuntuti Alby dan Claudia sampai ke Hartford, yang kupikirkan hanya dua. Pertama, paparazi itu terlalu fanatik kepada Claudia. Kedua, Claudia sendiri yang membayar paparazi itu untuk membuntuti mereka berdua. Aku tahu itu prasangka buruk yang tidak berdasar sama sekali, tetapi aku terus memikirkannya. Terlebih lagi setelah Alby mengatakan kalau foto mereka di lobi hotel lain adalah foto lama yang hanya dia dan Claudia yang memilikinya.
Sejauh aku mengenal Claudia, dia tidak selicik itu. Pun tidak akan melibatkan orang lain dalam masalah ketika berusaha meraih yang dia inginkan. Namun, aku juga tidak menganggap Claudia selalu bersih. Dia juga punya cela, seperti hukum alam bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Selama beberapa jam aku terus diyakinkan oleh dugaanku sendiri kalau dia ikut andil dalam skandal ini.
Lalu dia meneleponku. Nada bicaranya kerap terdengar seperti ancaman untukku. Meski semuanya terpatahkan begitu dia tidak terdengar seperti orang yang tahu tentang hubungan palsu ini. Jeff agaknya juga tidak akan membeberkan itu karena dia masih dalam fase mempertimbangkan untuk menerima pernikahan, atau mencari jalan lain untuk menyelamatkan kerja sama perusahaan orang tua mereka.
Tentu saja mengetahui bahwa Alby sudah menemukan siapa pelaku yang membuat utas di Twitter itu membuat jantungku berdebar-debar. Aku berharap bukan Claudia pelakunya, tetapi rasanya akan lebih mudah menyelesaikannya jika Claudia terlibat di dalamnya.
Aku memandang wajah serius milik Alby dengan perasaan campur aduk. Kekhawatiran bercampur ketakutan tercetak jelas di wajahnya--sesuatu yang jarang sekali kulihat. Kalau itu tentang kemarahan sang ayah, maka aku akan percaya kalau Albert benar-benar serius dengan peringatannya yang sempat kudengar di Santorini.
Alby menarikku ke kamarnya. Tangannya dingin dan lembap, aku menduga itu karena keringat. Aku jadi mengurungkan rencana ingin memberi tahu soal bukti yang Jeff dapatkan karena yang Alby temukan jauh lebih berarti. Dia mengutak-atik laptopnya sebentar sebelum diperlihatkan kepadaku.
"Seseorang ingin menghancurkan kita." Dia mengatakan itu seperti berada di ambang keputusasaan. Kedengarannya seperti 'kita' atau kami, adalah satu-kesatuan yang teramat berharga untuknya. Sesuatu yang dia rela mati berjuang untuk mempertahankannya. Alby mungkin tidak menyadari apa yang dia ucapkan itu bisa berefek sangat besar untukku.
Aku membaca data yang ditampilkan oleh sebuah fail. Dia seorang pria bernama Dane. Aku terkejut saat tahu kalau dia benar-benar seorang paparazi dan merupakan ketua dari komunitas penggemar Claudia. Dugaanku selalu benar sejak tadi dan itu membuatku takut.
"Dia bekerja di perusahaan yang sama denganmu. Bagian fotografi. Apa kau pernah menemuinya?"
Aku menggeleng kuat untuk menjawab pertanyaan Alby. "Aku terlalu terkejut sampai tidak bisa mengingat apa aku pernah melihat wajahnya," sahutku sembari memandang fotonya yang hitam putih. Dane seorang pria berambut ikal dengan hidung besar. Di foto itu rambutnya diikat.
"Seseorang membayarnya untuk mengikuti kami."
Aku lemas dan terduduk di sisi ranjang. Aku menelan ludah susah payah karena memikirkan siapa kira-kira orang yang akan membayarnya untuk melakukan itu. Kuharap bukan Claudia meski aku memikirkannya sejak tadi.
"Kalau ini ditelusuri lebih dalam lagi, aku mulai mengendus bau-bau persaingan dalam bisnis. Tapi perusahaanku tidak ada keterkaitan apa-apa dengan Ander-Ads. Sayangnya dia tidak mau memberi tahu siapa pelakunya. Jacob sudah mendesaknya, tetapi dia tidak mau buka mulut. Kesetiaannya pada orang itu patut diacungi jempol." Alby menutup laptopnya dan duduk di sebelahku.
Kutatap Alby dari samping. Di saat seperti ini aku bahkan masih bisa mengagumi fitur wajahnya. Ini sama sekali bukan diriku.
"Lalu, apa yang akan kaulakukan setelah ini? Apa utas dari Twitter-nya sudah dibersihkan?"
"Ya. Kami meminta dia menghapusnya. Tetapi orang-orang tidak akan berhenti membicarakannya sebelum terbukti kalau itu hanya kesalahpahaman. Dan untuk artikel itu, kami masih mencarinya karena Dane bukan yang menulisnya."
Aku baru ingat tentang bukti yang sudah Jeff kirimkan padaku. Sesuatu yang ingin kuberi tahu dia tadi, tetapi batal. "Aku sudah meneruskan tautan dan foto dari Jeff. Kurasa itu bisa dipakai. Kau bisa periksa ponselmu."
Alih-alih mencari ponselnya, Alby justru menatapku dalam diam. Bola matanya bergulir menyapu wajahku. Kuharap dia sadar kalau perbuatannya itu membuatku malu. Kami mungkin sudah sering saling menatap, tetapi tidak seintens dan sehening ini.
"Sebaiknya kau pulang, Ava. Keterlibatanmu sudah terlalu jauh dalam masalah ini. Aku akan mengantarmu."
Aku menggeleng ringan dan menarik ujung kaosnya saat dia berdiri. "Kita harus menunggu Paula datang." Tidak kupercaya aku akan mengatakannya. Maksudku, aku tidak bisa mengabaikan permintaan Paula.
Decakan keras dia keluarkan sebagai bentuk kekesalan, kurasa. Aku menganggap kalau dia tidak ingin aku bersamanya di sini lebih lama lagi. Rasanya aneh kalau dia tidak membuatku repot, aneh kalau dia sangat tidak menginginkan keberadaanku di sini. Bahkan aku masih ingat dia berterima kasih saat kuberi tahu akan pulang nanti setelah Paula datang. Apa yang membuatnya berubah pikiran?
"Mungkin sebentar lagi dia pulang, tadi dia bilang begitu. Kalau kau masih repot dengan urusan skandal itu, aku bisa pulang sendiri. Tidak perlu diantar." Aku berdiri tepat setelah teringat akan peralatan makan yang belum kubilas di wastafel. "Kalau keberadaanku mengganggu, abaikan saja. Anggap aku tidak ada, aku tidak akan mengganggu."
Saat aku kembali ke dapur pun Alby tidak berusaha menahanku. Kurasa baru kali ini aku terlalu mengkhawatirkan seseorang meski tidak dibutuhkan. Sadarlah, Ava, kau punya banyak hal untuk dilakukan daripada memedulikan pria yang bahkan tidak mau tahu soal itu. Aku yakin tetap tinggal di sini karena Paula, tetapi kenapa rasanya aku juga tidak benar-benar ingin pergi dari sini?
"Apa yang Paula katakan sampai kau mau menurutinya?"
Aku nyaris menjatuhkan piring yang akan kuletakkan ke rak untuk ditiriskan. Padahal aku sibuk memikirkannya, tetapi terkejut mendengar suaranya. Jatuh cinta rasanya benar-benar menyebalkan.
"Jawaban seperti apa yang mau kaudengar?"
Alby memikirkannya ketika kening yang mulus itu mulai berkerut. "Sesuatu yang masuk akal untuk membuatmu tetap berada di sini?"
"Paula khawatir kalau ayahmu da--"
"Alby Lawrence Mateo!"
Aku tersentak dan langsung bungkam ketika seseorang dengan lantang menyerukan nama Alby. Itu menjadi kali pertama aku mendengar nama lengkapnya. Aku lebih dulu menemukan pundak Alby menegang sebelum tahu kalau Albert sudah berdiri tidak jauh dari kami. Dia tidak sendiri, tetapi ada seorang pria berjas yang kupikir adalah asistennya yang berdiri di dekat pintu.
Pria tua itu tampak marah. Wajahnya merah dan alisnya menukik, embusan napasnya mungkin terasa panas karena terbakar oleh emosi yang sudah mengumpul di ubun-ubun. Namun, ada satu hal lagi yang menarik perhatianku. Tangan kanannya menggenggam erat sebuah tongkat jalan dengan desain yang cukup tua. Aku tidak pernah tahu kalau dia memiliki kesulitan berjalan karena, ya, dia selalu tampak bugar.
"Inilah alasan kenapa kau harus pulang." Bisikan Alby membuat atensiku kembali padanya. Wajahnya sudah kehilangan rona ketika tatapannya melayang pada Albert. Kurasa Alby tidak berbohong tentang rasa takutnya pada sang ayah.
Aku menelan ludah begitu menyadarinya. Apa mungkin tongkat milik Albert itu akan dipakai untuk memukuli Alby? Tidak, tidak. Alby sudah sedewasa ini, kenapa masih menerima pukulan tongkat?
"Apa yang kukatakan tentang mendekati seorang model? Mereka hanya ingin mengambil keuntungan darimu. Kau terlalu naif, Alby!" Albert mengatakannya sembari berjalan mendekat. Intonasinya kerap meninggi sampai aku pun ikut tersentak. "Sekarang kau juga melukai Ava. Ingin membuatnya jauh lebih trauma dari yang dia dapat di masa lalunya?"
Air mataku mengalir begitu saja. Apa yang Albert katakan membuatku tidak bisa lebih terkejut lagi. Dia sedang marah, tetapi masih peduli padaku yang hanya orang asing ini. Dia menerimaku sebagai kekasih Alby, mengira bahwa kami memang dalam hubungan yang seserius itu. Skandal kesalahpahaman ini saja sudah membuatnya kecewa, apalagi kalau tahu bahwa kami hanya berbohong?
Aku tidak tahu seperti apa kecewanya seorang ayah, tetapi melihat Albert saat ini sudah cukup untuk membuatku mengerti.
"Apa Dad akan percaya kalau kujelaskan yang sebenarnya?"
"Bahwa kau berkencan dengan model itu selama dua tahun setelah kularang?" Wajah Albert mengeras. Rahangnya saling menekan satu sama lain. Kurasa benda apa pun yang ada di antaranya akan hancur. Satu hal lagi yang baru kuketahui, kalau hubungan Alby dengan Claudia dulu tidak diketahui oleh orangtuanya.
"Tapi itu sudah berakhir, Dad." Alby berusaha meyakinkan Albert, tetapi apa yang dia terima setelahnya sukses membuat jantungku nyaris lepas.
Tamparan itu sangat kuat, suaranya sangat nyaring sampai aku sendiri ikut merasa ngilu. Parahnya, aku tidak mampu bergerak sedikit pun untuk menolong Alby dan hanya menyaksikan mereka dengan tangan yang bergetar. Itu mengingatkanku saat aku menampar Alby di tempat yang sama.
"Kau juga mengatakan itu, anakku, sebelum artikel tentang keburukanmu tersebar di internet. Aku bukan marah karena nama baik kita tercoreng, tapi aku tidak tahan membiarkan orang-orang terus membicarakanmu, mereka berpikir kau pria bejat. Ibumu pun sakit hati menemukan berita ini, andai kau tahu." Albert benar-benar menumpahkan kefrustrasiannya. Aku bisa merasakan betapa dia sangat mencintai keluarganya.
"Biarkan saja, Dad, mereka akan terus membicarakan apa yang terlihat di mata mereka. Aku tidak peduli dan seharusnya kalian juga begitu."
Aku mengerti Alby tidak ingin membuat orangtuanya khawatir, tetapi dia salah mengatakannya saat Albert sedang sangat marah kepadanya. Lihat saja apa yang pria itu akan lakukan, tangannya sudah terangkat di udara. Pipi Alby sudah memerah karena tamparan pertamanya, tetapi apa yang terjadi kalau di sana menerimanya lagi?
"Tunggu." Aku tidak tahu apa yang kulakukan dan baru menyadarinya setelah posisiku tepat berada di antara mereka berdua. Dengan susah payah ludahku melewati lorong kerongkongan ketika pelototan Albert tertuju ke wajahku. Bagusnya, dia tidak jadi menampar Alby. Aku tidak sanggup melihatnya lagi.
"Ava, apa yang kau lakukan?" Alby meraih bahuku dan berusaha menyingkirkanku, tetapi aku enggan berkutik.
"Berita itu hanya kesalahpahaman. Aku akan menjelaskan padamu yang sebenarnya dan akan kutunjukkan buktinya." Albert sedikit pun tidak tampak terbujuk oleh kata-kataku meski tangannya perlahan turun. Aku menelan ludah untuk yang ke sekian kali. "Kumohon."
•••
Mobil Alby melaju dalam keheningan, membelah jalanan Manhattan yang sudah sepi. Sekarang sudah lewat tengah malam, aku pun mulai mengantuk untuk sekadar memulai pembicaraan. Lagi pula, apa yang perlu dibicarakan?
Setelah berhasil menjelaskan semuanya pada Albert sekaligus menunjukkan bukti dari yang didapat Jeff, pria itu tidak lagi marah, tetapi meminta agar alby segera menyelesaikan masalah itu agar namanya kembali bersih. Selama menghadapi kemarahan Albert, Alby tampak sangat sedih. Aku sempat menduga karena dia tidak akan mendapat restu untuk bisa kembali bersama Claudia--well, aku masih tidak tahu seperti apa akhir kisah mereka, tetapi aku yakin keinginan untuk kembali dengan wanita itu masih ada, tidak peduli sebanyak apa dia mengelak.
Sementara itu, Alby belum menceritakan tentang orang yang membayar Dane untuk membuat utas itu. Dia hanya meminta kami percaya padanya untuk menemukan siapa pelakunya. Selain itu, dia juga mengunggah video--yang sempat di-capture seseorang untuk disebarkan--di akun Youtube-nya. Di video itu terdapat tanggal dan waktu video diambil. Dia pikir, orang-orang akan percaya kalau dirinya langsung yang mengunggah itu.
Mobil Alby berhenti di dekat Hudson River Park dan mesinnya dimatikan. Aku ingin protes karena ingin segera tiba di rumah dan tidur, tetapi dia justru keluar dari mobil. Sebenarnya dia niat tidak mengantarku pulang? Baru setengah jam lalu aku mengasihaninya, sekarang aku sudah dibuat kesal karena sikapnya. Andai taksi masih beroperasi di jam-jam ini, aku akan mempertimbangkan untuk pulang sendiri. Oh, atau aku akan meminta Nate menjemput.
Penasaran dengan apa yang sedang Alby lakukan di sana, aku terpaksa keluar dari mobil juga. Dia sudah bersandar pada terali pembatas yang menghadap ke sungai. Rambut keringnya berkibar karena diterpa embusan angin dan aku spontan mengeratkan jaket karena udaranya lumayan dingin.
"Kau tidak berpikir ingin terjun ke sana, bukan?" Aku sudah berada di sebelahnya saat melontarkan pertanyaan konyol itu. Batangan besi terali bahkan terasa sangat dingin saat kusentuh.
Alby hanya menoleh dan tersenyum tipis. "Kenapa kau menangis?"
Dahiku berkerut. "Kapan aku menangis?" Aku ingat air mataku sempat mengalir, tetapi aku yakin itu bukan menangis.
"Besok-besok belilah maskara yang waterproof." Wow. Itu sindiran yang menohok darinya.
"Masih ada kebutuhan yang lebih penting daripada membeli produk kecantikan yang mahal." Genggamanku pada terali mengerat. "Aku juga bukan merias diri untuk membuat orang lain terkesan. Aku bukan model yang selalu membuatmu terkesan karena penampilannya, Alby."
Bahkan kata-kataku sendiri terasa seperti belati yang sedang menancap telak di dadaku. Sekali lagi aku membandingkan diri dengan orang lain. Aku benci melakukannya, tetapi berdampingan dengan Alby selalu berhasil membuatku terlalu sadar diri. Ini benar-benar menyiksa.
"Maaf." Hanya itu yang dia katakan. "Aku tidak bermaksud melukai perasaanmu."
"Mungkin aku yang menanggapinya terlalu serius."
Kami diselimuti keheningan lagi. Seharusnya aku protes karena dia berhenti di sini, bukan malah ikut menikmati dinginnya malam.
"Kau tahu, aku selalu berusaha menyembunyikan sisi terlemahku dari Claudia, tetapi aku justru menunjukkan semuanya padamu." Alby meringis, seolah-olah aku tidak pantas untuk tahu lebih banyak tentangnya. Aku sadar kalau semua ini memang sudah jauh melebihi batas. Tentu saja Alby merasa tidak nyaman.
"Aku selalu ingin terlihat hebat, kuat, agar Claudia sadar aku orang yang tepat untuk menjaganya." Dia menggeleng ringan sebelum menatapku. "Kau menang banyak, Ava. Sekarang posisimu jauh lebih unggul darinya."
Kedengarannya seperti sesuatu yang bagus, tetapi aku tidak bisa menganggapnya begitu. Terlebih lagi ini bukan sesuatu yang Alby inginkan. Ketika kau sudah yakin ke mana hatimu akan berlabuh, tetapi ia ragu untuk berhenti karena jangkarnya kerap ditarik-ulur.
"Kau terdengar tidak menyukainya." Aku berucap lirih dan sangat pelan, bagus kalau dia tidak mendengarnya.
"Benar. Aku tidak suka kau melihat sisi terburukku."
Padahal aku sudah berharap dia akan mengelak atau tidak mengiakannya. Tidak bisakah dia berbohong saja dan tidak mempermasalahkannya karena sudah telanjur kuketahui?
Terkadang aku merasa tidak tahan dan ingin sekali mengatakan apa yang kurasakan agar dia berhenti melukai perasaanku. Namun, untuk apa? Dengan dia mengetahuinya, bukan berarti dia akan lebih berhati-hati dalam bersikap. Perasaan ini, adalah tanggung jawabku sendiri. Dia tahu atau tidak, tidak akan mengubah apa-apa. Bukan salahnya juga aku jadi seperti ini.
"Kalau begitu, akhiri saja." Aku tidak ingat sudah seberapa sering memintanya untuk mengakhiri semua ini meski hasilnya selalu penolakan. "Aku merasa makin ke sini terlalu banyak masalah bermunculan. Aku pun tidak mau tahu atau terlibat dalam hidupmu terlalu jauh, Alby. Kurasa mengakhirinya adalah satu-satunya jalan. Kau bisa menemukan wanita lain yang akan mengimbangi gaya hidupmu dan aku akan menjalani hidup yang sudah digariskan untukku dengan damai."
Aku mengembuskan napas dan mengeluarkan uap di antara dinginnya udara. Mataku makin berat rasanya. Sepertinya aku harus benar-benar meminta Nate menjemput kalau Alby tidak segera mengantarku pulang.
Kukeluarkan ponsel dari saku jaket dan mengetikkan pesan untuk Nate dengan cepat, lalu buru-buru menyimpannya lagi. Aku tidak ingin Alby melihatnya. Kurasakan ponselku bergetar dan aku yakin itu adalah jawaban dari Nate.
"Serius, Ava?"
Aku hanya mengangkat bahu dan tetap memandang pantulan cahaya di air yang berasal dari bangunan di seberang sungai, enggan untuk melihat wajahnya.
"Kita sudah sejauh ini dan kau ingin kita berakhir?" Dari nada bicaranya, aku bisa membayangkan wajah kecewanya.
"Selagi kita belum berkorban terlalu banyak, Alby. Kecuali uangmu, aku berjanji akan menggantinya kalau kita berakhir." Aku tidak akan bosan melontarkan permintaan yang sama sampai dia mengabulkannya. "Kita sudah tahu kalau Claudia masih mencintaimu, apa itu belum cukup?"
Alby menarikku hingga kini berhadapan dengannya. Tangannya melingkar di pinggangku dan tubuh kami nyaris tidak berjarak. Bisa kurasakan embusan napasnya di wajahku. Dan aku tidak mengerti apa yang membuatnya merasa perlu untuk melakukan ini. Sekarang sebelah tangannya naik dan mengusap rahangku dengan hati-hati. Dengan jarak sedekat ini, aku menemukan wajahnya masih merah karena tamparan Albert tadi.
"Dia belum merasakan sakitnya, Ava. Aku belum menemukan penyesalan yang teramat dalam di matanya. Dia harus merasa jauh lebih sakit daripada aku."
Aku menurunkan tangannya dari wajahku dan menatapnya dengan sangsi. "Apa kau lupa kalau mereka dijodohkan?"
"Dia bisa menolak."
"Tidak semudah itu bagi mereka."
Aku nyaris lupa kalau Alby adalah seseorang yang selalu mendapatkan yang dia inginkan. Sekarang dia tampak kesal karena aku terus membela mereka.
"Bisa lepaskan aku?" Aku berusaha melepaskan diri ketika dia mulai mengeratkan lingkaran tangannya. Tanganku bahkan sudah berada di dadanya, berusaha memberi jarak. Aku juga tidak mau dia merasakan betapa gilanya jantungku di dalam sana.
Namun, yang terjadi setelah itu adalah dia memelukku, benar-benar memelukku. Kepalanya bersandar di bahuku. "Terima kasih, Ava. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi Dad. Tongkatnya mungkin sudah melayang di tubuhku kalau kau tidak ada."
"A-apa?" Kukira hanya dugaan buruk di kepala, tetapi rupanya Alby memang punya pengalaman dengan tongkat itu.
"Kakekku seorang militer dan dia mendidik ayahku terlalu keras. Dia tidak sering memukulku, hanya jika aku melakukan sesuatu yang sudah dia larang." Dia menceritakannya tanpa meminta. Maksudku, yang tadi bukan ingin meminta penjelasan, tetapi hanya sebuah reaksi terkejut. "Biasanya benda itu mendarat di punggungku. Bekasnya masih ada. Karena jelek, aku menatonya. Aku harus dibius saat itu karena, ya, aku benci jarum suntik."
Tunggu, tadi dia bilang tidak suka aku tahu tentangnya terlalu banyak, sekarang dia justru menceritakannya sambil terkekeh seolah-olah itu sesuatu yang lucu. Dia benar-benar tidak bisa kumengerti.
"Apa sebagai pasangan pura-pura, aku perlu tahu soal itu?" Bukan bermaksud merusak suasana, tetapi aku tidak ingin mendengar penyesalan darinya seperti tadi.
"Aku suka saat punggungku diusap, Ava. Itu menenangkanku." Dan aku menurutinya, melingkarkan tanganku di punggungnya dan mengusapnya dengan gerakan naik turun. Sekarang Alby merasa sedikit lebih rileks dari yang tadi. "Aku juga tidak tahu, begitu mudah menceritakan semuanya padamu. Ini kali pertama aku menceritakannya kepada orang lain. Dan kenapa orang itu harus kau, Ava?"
"Mungkin karena kau tahu tentangku terlalu banyak dan kau merasa berutang, lalu menceritakan kisahmu juga?" Kalimat itu meluncur begitu saja tanpa kupikirkan. Dan baru kusadari itu terdengar bodoh.
"Well, that sounds fair."
Setelah bermenit-menit berlalu, akhirnya Alby melepaskan pelukan kami. Namun, dia tidak menciptakan jarak, melainkan mendaratkan tangannya ke leher dan rahangku. Aku tahu apa yang akan dia lakukan saat memajukan wajahnya, jadi aku refleks memundurkan kepala.
"Kita tidak akan melakukannya, Alby." Aku benar-benar munafik sekarang. Bagaimana bisa seseorang menolak akan dicium padahal sedang berdebar di tiap detik penantiannya.
"Tapi hatiku menginginkannya."
Oh, Alby, sangat tidak sopan sekali bertindak semaumu dengan mengatasnamakan hati kepada seseorang yang siap merelakan hatinya untukmu. Tidak mudah untukku sampai berada di titik ini. Dan lagi, mungkin Alby memang ditakdirkan untuk mendapat semua hal dengan mudah. Ya, termasuk hatiku yang katanya sudah mati.
Alby juga pandai memanfaatkan kesempatan meski itu hanya sedetik. Aku yakin baru lengah sebentar dan dia berhasil mendapatkan yang dia mau. Tangannya sudah menahan tengkukku, menahannya agar tidak bergerak ke mana pun. Dia benar-benar pandai memainkan bibirnya. Sengatan-sengatan yang dia hantarkan membuatku meremas punggung jaketnya.
Ini benar-benar memabukkan. Lenguhanku lolos ketika dia menggigit bibir bawahku. Aku sampai lupa sedang ada di mana sekaligus fakta bahwa siapa saja bisa menemukan kami. Dan itu benar-benar terjadi. Alby baru akan memperdalam ciumannya ketika terdengar lengkingan suara klakson.
Aku lekas-lekas mendorong Alby dan dengan mata menyipit melihat ke sumber cahaya. Ya Tuhan, aku juga lupa sudah meminta Nate untuk menjemput. Memalukan sekali.
"Nate, sejak kapan kau di sana?" Alby harus melantangkan suaranya karena Nate tidak bisa membawa motornya lebih dekat dengan kami.
"Sejak kalian berusaha melahap bibir satu sama lain, Bos!" Nate balas berteriak.
Alby menatapku penuh tanya dan aku mengerti maksudnya.
"Aku memintanya menjemputku."
Decakan keras Alby keluarkan. Entah bagaimana wajah kecewanya bisa jadi sesuatu yang menghibur hingga aku tidak tahan untuk tidak tersenyum. Kurasa suasana hatiku membaik setelah permainan singkatnya tadi.
"Aku harus berangkat bekerja lima jam lagi kalau kau lupa." Setelah mengatakan itu, aku menghampiri Nate. Aku yakin akan mendengar Alby protes kalau berada di sana lebih lama lagi.
Tahu apa hal menyebalkan lainnya dari semua ini? Senyum Nate. Dia menaikturunkan alisnya dan menatapku penuh arti. Wajahku memanas karena dia sedang berusaha mengejekku.
"Berhenti tersenyum dan ayo pulang," desisku sembari memasang helm.
"Seharusnya aku tidak datang tadi, 'kan?" Nate terkekeh sangat puas. Dan aku harus menahan diri untuk tidak memukulnya di sini. "Atau aku langsung pergi saja tanpa membunyikan klakson?"
"Shut up, Nate!"
"Aku tidak tahu ini penting atau tidak, tetapi Jeffrey datang dan tampak seperti orang panik."
Oh Lord, sekarang apa lagi?
•••
Ending yang membagongkan, ya. I know that :)
Apa, sih, yang Alby rasakan ke Ava? Nggak tahu juga guise. Dia masih buta kalau Ava itu berharga 🤌🏻
Baiklah, itu aja.
See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
16 Mei 2022
*semoga ini bukan 3000 kata yang membosankan, ya.*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro