6 - The Preparation
🎶
My head and my heart are torturing me, yeah
'Cause my mind, and your arms, I go to extremes, yeah
When angels tell me run, and monsters call it love, oh
My head and my heart are caught in-between, yeah
🎶
34 missed call from Termometer.
Termometer - Ayo bertemu di mal 5th Avenue sore ini.
AvaClairine - Aku menolak.
Termometer - Kita harus mempersiapkan diri sebelum datang acara mereka.
AvaClairine - Tak ada yang perlu dipersiapkan.
Termometer - Kita tetap harus membicarakan beberapa hal. Sekaligus membeli gaun untukmu.
AvaClairine - Bisakah kau tidak memaksa?
Termometer - Kau sudah mengenalku sebagai pemaksa.
AvaClairine - Dan suka mengancam.
Termometer - Ya. Aku akan bicara dengan Nate nanti.
AvaClairine - Sudah kuduga ada niat buruk yang terselubung saat kau meloloskan Nate.
Termometer - Kau belum tahu apa yang akan kubicarakan dengannya.
AvaClairine - Aku sudah berfirasat buruk.
AvaClairine - Baiklah, aku akan datang. For Nate's sake.
Termometer - See you then.
🎶
Alby adalah lingkaran setan. Sekali terperangkap, kau takkan bisa melepaskan diri dengan mudah. Dari awal, radarku sudah mendeteksi dirinya sebagai bahaya.
Bagaimana bisa seorang pria yang bekerja untuk menyediakan hiburan bagi orang lain bisa menjadi si pembawa petaka sekaligus?
Bagaimana bisa seorang pria dengan pundak lebar nan tegap justru tidak membuat orang lain merasa aman?
Bagaimana bisa tampangnya yang rupawan hingga mampu membuat wanita berbalik hanya untuk menatapnya bisa jadi sangat memuakkan di saat yang bersamaan?
Aku terus memikirkannya; sejak aroma kopi di Starbucks jadi begitu menyesakkan setelah kontrak abal-abal itu kutandatangani; sejak aku kehilangan semangat mendesain untuk mereka. Bagaimana cara menghindari pria seperti Alby? Dia punya segalanya; wajah rupawan, karier yang bagus, dan uang yang banyak. Uang akan sangat berarti di masa sekarang. Apa pun bisa dibayar. Termasuk seandainya dia ingin membayar seseorang untuk pura-pura menjadi kekasihnya.
Benar. Kenapa tidak seperti itu? Ada banyak model seperti Claudia yang tidak akan menolak untuk menjadi kekasih pura-puranya, bahkan akan dengan senang hati menyerahkan diri untuk dimiliki pria itu sepenuhnya. Alby memang bukan satu-satunya pria tampan yang pernah kutemui, tetapi ini New York, sulit menemukan pria sepertinya di antara jutaan orang. Tipe mukanya jarang kautemui di keramaian. Dia adalah harapan semua perempuan di negeri ini. But, I'm not one of them.
Alby tidak pernah menjadi mimpi indah untukku. Dan dalam bulan ini, pertemuanku dengannya tidak pernah menyenangkan. Dia seperti seorang peneror yang tidak bertanggung jawab—parah, 'kan?
Lagi, aku mengeluarkan ponsel yang sudah tiga kali kuperiksa sejak tiba di sini, di depan sebuah butik dengan plat besar bertuliskan 'Henley's Boutique' di atas pintunya. Aku bahkan tidak berani memutar badan untuk mencuri-curi pandang busana yang dipamerkan di sana. Semuanya cantik, sungguh, tetapi dompetku tidak akan siap membawa salah satunya pulang ke rumah.
AvaClairine - Aku sudah menunggu di sini sejak tadi. Dalam lima menit kau tidak muncul, aku akan pulang. Ini bukan ancaman, tapi batas kesabaranku.
Terkirim. Penanda bahwa pesan sudah diterimanya muncul sedetik kemudian. Itu pesan kelima yang kukirimkan kepada Alby sejak setengah jam yang lalu. Dia meminta bertemu pukul empat sore, dan ini sudah setengah lima. Aku bisa terima dia terlambat kalau aku yang mematok jam, tetapi kenyataannya dia yang mendesakku untuk tiba tepat waktu. Benar-benar keterlaluan!
"Kenapa tidak masuk ke sana?"
Aku berjengit ketika bisikan itu terasa panas di telinga sampai membuatku merinding. Aku terlalu sibuk merutuk, menunggu penanda pesan berubah warna karena sudah dibaca. Namun, Alby sudah di sini dengan setelan santainya.
"Untuk apa? Busana-busana itu merepotkan."
"Tapi kau harus memakai gaun jika menikah."
"Hanya jika aku menikah." Kutekankan setiap kata yang kuucapkan.
"Oh, kau tidak ingin menikah?" Alby dengan gurat-gurat penasaran itu tampak menggelikan.
"Kenapa tiba-tiba peduli aku akan menikah atau tidak?" sahutku, sekaligus menolak untuk menjawab pertanyaannya. Aku belum bisa membiarkan dia tahu terlalu banyak tentangku.
"Kurasa semua orang akan mempertanyakan hal serupa kalau mendengar ucapanmu tadi." Dia bersedekap, memberi sedikit tekanan pada dada hingga membuatnya tampak lebih kekar.
"Shut the topic. Aku tahu kau sedang membuat pengalihan."
Sebelah alisnya naik dengan cara yang menyebalkan. "Dari?"
"Kau terlambat. Kau pikir aku akan lupa dan tidak jadi marah jika kita membicarakan tentang apakah aku akan menikah atau tidak? Kau tidak bisa memakai trik itu padaku, Alby." Aku membuang muka setelahnya, sengaja menghindari tatapannya yang mampu melelehkan apa saja.
"Aku suka mendengarmu menyebut namaku." Dia mengabaikan kekesalanku dan menyeringai. Apa dia berpikir aku akan salah tingkah jika melihat seorang pria tampan tersenyum seperti itu? Andai wanita lain melihatnya mungkin akan tersipu dan dengan malu-malu menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga.
Maaf, tapi cara kuno itu tidak berlaku padaku.
"Aku tidak bisa meladenimu lebih lama lagi. Katakan tujuanmu sekarang, atau aku pulang."
Senyum Alby seketika luntur dan kedua tangannya jatuh. Pandangannya tertuju pada butik di belakangku. Kuharap dia tidak berencana untuk masuk ke sana. Karena aku tidak akan membeli apa pun meski seandainya aku punya banyak uang.
"Ayo ke sana." Ia mengulurkan tangan, ingin meraih lenganku, tetapi aku segera menghindar.
"Tempat itu bukan untukku."
Dia berdecak ringan. Aneh sekali dia merasa kesal seperti itu.
"Aku sedang berusaha meminta maaf padamu, jadi aku yang akan membayar," bujuknya dan berusaha menyentuhku lagi.
"Oh, kalau itu kita bisa ke toko yang lain." Daripada membelikan sesuatu yang tidak akan pernah kupakai, aku akan dengan senang hati membawanya ke tempat yang kusukai.
"Tidak. Kau akan memerlukan pakaian yang ada di sini." Dia berkata setelah berhasil meraih tanganku dan menyeretku masuk. Gerakannya terlalu cepat sampai aku tidak sempat menghindar.
Alby membawaku lebih dalam di toko itu, mulai dari bagian yang ramai oleh pengunjung, sampai yang tak ada satu orang pun. Dia membawaku masuk ke sebuah ruangan yang sempat kubaca tulisan 'For members only' di pintunya. Wow. Aku lupa jika mantan kekasihnya adalah seorang model. Tentu saja dengan uang yang banyak, dia akan menjadi pelanggan tetap tempat ini.
"Pilih yang kaumau," ujarnya setelah melepaskan tanganku. Dia menghampiri sofa dan duduk di sana. Lalu sekali lagi menyuruhku memilih dengan gerakan tangannya, tetapi aku tetap bergeming.
"Tak ada yang kuinginkan di sini." Kukatakan itu setelah menyapu cepat seisi ruangan dengan mataku. Aku bahkan tidak repot-repot berjalan dari satu rak ke rak yang lain untuk melihat-lihat. Melihat saja aku sudah tidak bernafsu.
Alby mengernyit, seperti baru menemukan sesuatu yang sangat aneh. Aku tahu, tempat ini diibaratkan seperti surga dunia bagi perempuan. Terlebih lagi jika dibelikan, memangnya siapa yang akan menolak? Aku. Tentu saja.
"Serius?"
"Apa wajah ini tampak sedang bergurau?" Aku membalas dengan telunjuk mengarah ke wajah.
"Kita tidak akan pulang sebelum kautemukan sesuatu untuk dikenakan ke acara Claudia."
Aku memang setuju pergi bersamanya ke acara mereka, dengan syarat bahwa dia akan benar-benar membicarakan kontrak desain yang waktu itu. I need the money more than my ego untuk menolak kontrak itu. Namun, aku tidak menduga kalau harus pakai gaun pembeliannya juga.
"Aku punya gaunku sendiri." Selain pemberian Jeffrey kemarin tentunya.
"Apa Jeffrey pernah melihatnya?"
"Hah?" Sepenting apa pertanyaan itu untuk kujawab?
"Aku akan jadi pria yang buruk jika membiarkan kekasihku mengenakan baju yang sudah pernah diperlihatkannya pada sang mantan."
Kekasihku. Padahal tidak ada kesepakatan untuk menjadi pasangan palsunya.
"Kalau begitu, kau duduk, aku yang akan memilih untukmu."
Aku keras kepala. Namun, dia jauh lebih keras dariku.
🎶
Wajahku tertekuk masam tatkala mendapati bagaimana baju pilihan Alby memeluk tubuhku. Meski begitu, aku sama sekali tidak merasa hangat. Bagian depan baju ini tertutup dan berlengan panjang, tetapi bagian punggungnya terbuka dengan bentuk V sampai pinggang. AC yang berembus berkali-kali membuatku bergidik. Kain baju ini pun mencetak tubuhku sampai setengah paha, kemudian roknya melebar sampai lutut. Warnanya merah marun, Alby berkata itu akan cocok denganku. Yang ada aku justru merasa kehilangan jati diriku, perempuan di cermin itu bukanlah diriku.
Salahku juga, sih, menolak memeriksanya dulu dan malah meminta lekas-lekas pulang.
Acara pertunangan Jeff dengan Claudia dimulai pukul tujuh, saat makan malam. Namun, Alby berkata akan menjemputku pukul lima. Artinya, aku harus memakai pakaian ini dua jam lebih lama. Aku lantas menjatuhkan diri ke kasur di belakangku, tak peduli jika itu akan membuat gaun ini kumal. Punggungku menghangat ketika bertemu dengan permukaan selimut. Mataku menerawang ke langit-langit kamar, membayangkan seperti apa reaksi orang-orang jika melihatku seperti ini. Tentunya akan sangat aneh, 'kan?
Ava Clairine, si tangguh yang tiba-tiba berpakaian feminin akan jadi topik hangat di antara bekas rekan kerjaku. Aku bukan peduli pendapat mereka, tetapi aku akan sangat risi menemukan banyaknya pasang mata yang tertuju padaku. Orang-orang mungkin senang menjadi pusat perhatian, tetapi aku sendiri tidak mengerti apa untungnya.
O, God. Bisakah hidupku dibuat lebih mudah?
"Ava."
Nate aneh. Di mana-mana orang akan mengetuk pintu dulu sebelum memanggil, tetapi yang dia lakukan justru sebaliknya.
"Hm." Aku merespons sekenanya.
Pintu kamarku terbuka. Nate muncul dengan kaos oblong dan celana pendek rumahan. Rambutnya acak-acakan seperti orang baru bangun tidur. Namun, aku tahu dia tidak tidur, hanya berbaring di sofa dengan ponsel di tangan.
"Pasangan kencanmu sudah datang," ujarnya tanpa melihatku.
Aku lantas bangkit, duduk di kasur dengan kaki terulur. "Bilang padanya kalau aku mendadak diare."
"Dengan penampilan seperti ini?" Nate menunjuk tubuhnya sendiri. Alih-alih menurut, dia justru berjalan masuk dan mengempaskan tubuhnya di kasurku. "Jangan buat dia menunggu. Aku tidak ingin mendengarnya protes lagi." Suaranya teredam oleh kasur karena posisinya yang tengkurap.
Kuputar badanku sedikit agar dapat melihat Nate yang berada di belakangku. "Dia protes?"
"Dia terobsesi denganmu." Nate lalu mengangkat kepala dan mendaratkan pandangan pada punggungku. "Kau seksi sekali. Sekarang aku percaya kalau dia yang memilih."
Kali ini tanganku yang mendarat di paha Nate. Berharap akan tercetak bekas kemerahan di kulitnya. Sekadar untuk mengingatkannya bahwa mendengar sesuatu seperti itu selalu membuatku marah. Aku tidak terbiasa dengan orang-orang yang melihatku seperti itu. Apalagi sampai mengatakan hal serupa. Walau kebanyakan wanita di sini akan menganggap itu sebagai pujian. Ada kesenangan tersendiri yang dirasakan saat para lawan jenis menatap lapar pada mereka.
"Aku menyesal memakai ini." Aku berucap kesal dan beranjak menghampiri pintu. Ada mantel hitam selututku yang digantung di sana. "Menurutmu, apa harus kubatalkan saja kontrak itu?"
"Hm hm." Nate hanya menggumam. Aku tahu jika seperti itu, dia sedang merajuk. Terakhir yang kulihat tadi, tangannya sibuk mengusap mahakaryaku. Pukulanku mungkin terasa menyakitkan.
"Kalau kubatalkan, apa kariermu juga terancam?"
Ucapan dan sikapku sungguh tidak sinkron. Buktinya aku masih membenahi penampilanku di depan cermin. Rambutku kubiarkan terurai, agar saat tiba di acara dan mengharuskanku untuk melepas mantel, punggungku akan tertutupi. Karena tidak memiliki high heels, aku memakai ankle boots hitam dengan hak setinggi tujuh senti. Tas? Aku bahkan tidak punya tas yang cocok untuk dipakai ke acara Jeff. Tak masalah, aku bisa menyimpan dompet dan ponselku yang berdering ini di saku mantel.
Panggilan masuk dari Alby kuabaikan.
"Cobalah, kau akan tahu hasilnya." Dari pantulan cermin, aku melihat Nate menggulingkan tubuhnya membelakangiku. "Dia meneleponku. Cepat temui dia."
Aku merotasikan kedua mataku dan menggeram rendah. Toh berangkat nanti-nanti tidak akan membuat kami terlambat tiba di sana. Namun, kita sedang menghadapi Alby, pria dengan level kesabaran paling rendah yang pernah kutemui. Dia terlalu banyak persiapan hanya untuk mengunjungi acara mantan kekasihnya.
"Tombol belku bisa rusak kalau kau menekannya terus-menerus." Aku mengatakan itu sembari menepis tangannya dari tombol bel. "Masih ada dua jam sebelum acara dimulai, bahkan takmasalah jika kita datang terlambat."
Namun, Alby bergeming. Dia menatap wajahku cukup lama sebelum akhirnya bergulir memindaiku dari kepala sampai kaki, dengan tempo yang lambat. Mata Alby memang indah, tetapi jika dia menatapku seperti itu, rasanya seperti membakarku. Itu bukan tatapan terpesona atau semacamnya seperti yang para pria tunjukkan pada wanita menarik yang mereka temui, melainkan tatapan geli. Sudah kuduga penampilanku tidak akan sesuai dengan harapannya.
"Menjemputmu jam lima sore adalah pilihan yang tepat," celetuknya sebelum pandangannya kembali tertuju pada wajahku. "Kau bahkan tidak merias wajahmu. Mantel ini juga mengganggu."
Lagi-lagi aku menepis tangannya yang menarik kain mantelku. Tidak sopan sekali dia.
"Kita bisa batal pergi kalau kau tidak suka."
"Tidak, tidak. Baju itu cocok untukmu. Penampilanmu hanya perlu dipoles sedikit lagi. Kita akan mampir ke salon sekaligus membeli sepatu baru untukmu."
"Serius?" Aku menolak ketika dia berusaha meraih tanganku. "Itu merepotkan."
"Aku tidak pernah main-main dengan ucapanku. Kau harus terbiasa dengan itu."
🎶
Otot-otot wajahku bergerak gelisah, berulang kali menciptakan ekspresi yang konyol. Ini adalah riasan tertebal yang pernah menempel di wajahku. Walau hasilnya tak terlalu berwarna, tetapi aku tidak tahu berapa lapis produk yang dioleskan oleh si tukang rias di wajahku. Yang terus kupikirkan sejak tadi adalah bagaimana caraku membersikannya nanti. Perlu waktu berapa lama untuk membuat riasan ini benar-benar lenyap dari wajahku?
"Nona, jangan terlalu banyak mengedipkan mata, maskaranya belum benar-benar kering," tegur si perias sembari mengoleskan lipstik di bibirku. Kalau aku tidak salah ingat, ini lapis yang ketiga. Padahal warnanya pun masih senada.
Seorang wanita kemudian datang membawa sepasang stiletto dengan ujung hak yang runcing. Kali ini mataku melotot. Aku sudah membayangkan sakitnya terjatuh, sebelum mengenakannya. Alby benar-benar menyiksaku dengan memakai standar cantiknya kepadaku. Jeff bahkan tidak pernah menuntutku ini dan itu.
"Bisakah carikan yang lebih rendah dari itu?" Aku bertanya tanpa tahu malu.
"Ini pilihan Tuan Mateo, Nona."
Aku memaksakan seulas senyum. Seleranya sangat bagus, stiletto itu cantik, warnanya putih mengkilap. Desainnya sederhana tanpa ada pernak-pernik aneh yang biasanya membuatku geli sendiri. Aku terima saja itu karena sudah lelah mendebatnya tentang apa yang kukenakan saat di perjalanan tadi.
"Selesai, Nona." Aku memandang wajahku sendiri di cermin. Rambut yang kuurai serapi mungkin kini digulungnya tinggi dengan beberapa jepit kecil berwarna perak di sisi kanan rambutku. Sekarang bagaimana caraku menutupi punggung?
"Terima kasih."
Alby mendekat ketika aku menyelipkan kakiku ke stiletto tadi. Aku tidak menyangka jika benda itu sangat nyaman dan empuk. Apa semua stiletto senyaman ini? Atau materialnya bergantung pada harga? Makin mahal, makin nyaman.
"Kaubisa memakainya?"
"Memangnya aku apa? Memintamu berjongkok untuk membantuku seperti Cinderella?" Aku membalas setelah kedua kakiku terbungkus stiletto sepenuhnya. Kemudian mendongak untuk melihat Alby. Dari posisiku—duduk di kursi salon—Alby terlihat lebih tampan daripada ketika aku berdiri. Rahangnya lumayan tajam, sampai kupikir semangka akan terbelah dua jika ditempelkan di sana. Gila. Itu berlebihan sekali.
"Hei? Matamu kering," tegurku ketika dia tak kunjung berkedip.
Alby berdeham dan membenahi kerah kemejanya yang baik-baik saja. "Harusnya kau lebih sering berpenampilan seperti ini."
"Kau benar-benar tukang mengatur, ya."
"Terserah. Ayo."
Aku berterima kasih sekali lagi pada pegawai salon yang membalasku dengan tersenyum. Setelah itu membuntuti Alby yang berjalan lebih dulu keluar. Tentunya dengan penuh hati-hati karena aku tidak sudi mempermalukan diriku di tempat ini.
"Tunggu." Aku baru menyadari satu hal ketika sudah berada di dalam mobil. Aku ingin keluar dan kembali ke salon, tetapi Alby menahan lenganku. Dia memandangku penuh tanya.
"Mantelku mana?"
"Ada di bagasi belakang. Kenapa?"
"Mau kupakai."
"Tidak perlu." Alby merespons sembari melanjutkan memasang sabuk pengamannya.
"Tapi dompet dan ponselku ada di sana." Sekarang aku benar-benar kesal padanya. Kuharap aku bisa kembali ke beberapa hari yang lalu dan tidak perlu merespons telepon Jacob. Jadi, aku tidak perlu berada di situasi ini. Aroma parfum Alby membuatku mual karena terlalu lama menghirupnya.
"Bisa kita ambil nanti. Sekarang kita berangkat, sudah hampir pukul tujuh."
Aku tidak lagi merespons dan di sepanjang perjalanan pun tidak sedikit pun bersuara. Pandanganku bahkan tertuju ke luar jendela di sebelahku. Kerlap-kerlip lampu jalan mendadak jadi jauh lebih indah dari wajah tampan Alby. Ini baru satu hari menjadi plus one-nya ke acara Jeff, tetapi sudah membuatku jengkel luar biasa. Bagaimana kalau aku jadi pasangannya? Pasti aku akan sering mengunjungi psikiater.
Kami tiba di hotel di mana acara pertunangan Jeff dan Claudia diadakan. Alby keluar lebih dulu sebelum aku. Jangan kira dia akan jadi pria yang romantis dan membukakan pintu untukku. Tidak. Dan kuharap dia tidak akan pernah melakukannya.
Aku menyusul keluar dan menghampiri Alby yang menutup kembali bagasi belakangnya. Ponsel dan dompetku sudah ada di tangannya.
"Mantelku?" Aku bertanya sekali lagi.
"Sudah kubilang kau tidak perlu memakainya." Sial. Dia ingin aku menggigil kedinginan di sana.
"Aku perlu menutupi punggungku, Idiot! Apalagi aku tidak membawa tas untuk menyimpan ponsel dan dompetku."
Dahi Alby berkerut kesal. Akhirnya ekspresi itu kulihat darinya. Sekarang dia akan berpikir lagi untuk menjadikanku pasangan pura-puranya.
"Kenapa tidak bilang dari tadi? Kita bisa beli dulu."
Aku mendengkuskan tawa. Benda-benda itu sungguh suatu hal yang remeh-temeh untuk dia dapatkan.
"Aku tahu uangmu terlalu banyak, tetapi aku lebih senang menyimpannya di mantelku." Aku menodongkan tangan untuk meminta ponsel dan dompet, lalu mengerling pada bagasi, memberi kode agar dia mengambilkan mantelku.
Sayangnya, Alby tentu tidak akan semudah itu menurut. Dia justru menyimpan dua benda milikku ke dalam saku tuxedonya. "Ponsel dan dompetmu aman." Setelah itu dia berjalan mendahuluiku.
Aku mengekor di belakangnya. Dia jahat sekali membiarkanku bersusah payah berjalan di atas tiang runcing ini. Aku berkali-kali menahan napas karena nyaris terjatuh. Kakiku bergetar sedikit. Aku menunduk untuk melihat kakiku yang indah sekaligus tersiksa di bawah sana, hingga tersenyum miris kemudian. Maafkan aku, kaki.
"Kau ini lambat sekali." Tanpa kusadari Alby menunggu di depan pintu masuk hotel. Dia mengangkat tangannya dan mendarat di punggungku. Aku lantas berjengit kaget dan menjaga jarak darinya. "Kenapa?" Dia kebingungan melihat reaksiku.
"Jangan sentuh punggungku." Aku kemudian menggamit lengannya. Kupikir ini akan sedikit membantuku berjalan lebih cepat tanpa harus khawatir terjatuh. "Begini saja."
Ya Tuhan, aku sial sekali.
***
Gimana bab ini? :")
Alby sama Ava kapan akurnya? Entah, Alby nyebelin, sih.
Aku tahu, kalian juga pasti ikut kesal sama bab ini kan? Tenang, aku sudah membawakan penawarnya (asiik). Cerita berjudul Kutunggu Kau Putus karya tokohfiksi_ berikut cuplikannya.
***
Aldi tersenyum. Setidaknya Langit berhasil berbicara setelah hampir tiga puluh menit dia membisu.
“Ya udah kasih aja. Terus kalo lo pengin nonton aman nanti gue kirim link aja ya?”
“Enggak usah, gue gak mau nonton kek gituan lagi.” Langit mulai membuka halaman demi halaman buku matematika yang baru saja dikeluarkannya. Bolehkan ia menyesal karena sudah memanjakan waktu untuk kesedihan dibandingkan menghafal?
“Oke, tapi kalo nanti tiba-tiba kepengen, lo tinggal bilang aja, gak usah malu.” Aldi masih kukuh dengan hasutannya; mempromosikan bentuk kemesumannya.
“Mending lo tobat aja,” cetus Langit.
“Setelah nonton gue tobat, besoknya kumat lagi!” Laki-laki berkulit putih itu memanjakan kedua alisnya, seraya cengengesan.
***
See you on next chapter~
Lots of Love,
Tuteyoo
8 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro