Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

58 - Second Date

Aku baru selesai mandi. Keluar dari kamar mandi masih mengenakan jubah mandi yang kupakai tidur semalam. Tetesan air dari rambutku membasahi bahu sampai punggung, yang beberapa kali akan membuatku bergidik karena dingin. Saat mandi, aku memang memakai air hangat, tetapi suhu di ruangan ini, atau karena pengaruh dingin dari luar, cepat sekali mendinginkan air hangat. Dan aku memang tidak memakai handuk untuk membungkus rambutku, sengaja agar udara mengeringkannya lebih cepat. Menggunakan hair dryer akan membuat rambutku yang jarang dirawat ke salon ini jadi cepat rusak. Aku harus ekstra hati-hati.

Begitu pintu berbahan kaca buram kulewati, Alby yang duduk di meja makan untuk dua orang langsung menyambutku. Dia memperhatikanku yang terlalu terbuka ini dengan intens. Tatapannya terasa membakar sampai aku tidak lagi berpikiran untuk membenahi belahan jubah yang mungkin terlalu rendah, nyaris di antara kedua asetku yang tidak terlalu besar.

Namun, kali ini aku justru membiarkan Alby memanjakan matanya. Aku menyibukkan diri dengan mengirim pesan pada Hyunjoo—sekadar bertanya bagaimana kondisinya dan memberi tahu kalau aku baik-baik saja, lalu bersikap seolah-olah tidak menyadari kalau Alby sedang menatapku sarat akan keinginan untuk memenuhi kebutuhannya. Aku pernah mendengar kalau penampilan seperti ini selalu berhasil menggoda pria, dan aku baru saja membuktikannya meski bukan satu kali Alby melihatku seperti ini.

Kurasa lama-lama dalam keheningan seperti ini juga tidak baik. Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membatasiku dengan Alby. Selesai mengirim pesan dan tinggal menunggu balasan. Kendati aku sudah membalas tatapan Alby, tetapi dia masih bergeming. Aku tidak tahu bagian mana yang tampak sangat menarik di matanya.

"Kau serius kita akan pergi?" Pertanyaan itu menjadi pembuka obrolan sekaligus tombol untuk mengembalikan kesadaran Alby. Dia berdeham dan melarikan tatapannya ke wajahku. Aku bahkan tidak benar-benar tahu sejak tadi dia melihat ke bagian mana. Memikirkan itu membuat perutku tergelitik.

Alkohol rupanya membuat pikiranku makin liar.

"Selagi ada waktu. Kenapa tidak? Ini adalah momen di mana kau tidak akan bisa menolak." Seperti biasa, Alby yang tidak suka dibantah. Keseriusan yang dia pamerkan justru membuatku merotasikan mata.

"Aku tidak punya pakaian selain yang kupakai hari Jumat kemarin saat berkunjung ke rumah Hyunjoo. Dan tentu saja sekarang ada di apartemennya."

"Kau bisa pakai lagi baju yang semalam. Punggungmu bersih, sayang kalau terus disembunyikan."

Punggungmu bersih? Apa-apaan maksudnya itu? Wajahku mendadak panas setelah sadar dia sudah melihat tubuh polosku. Sial, dia menang banyak.

"Tidak. Aku tidak suka pamer di depanmu. Apalagi ini musim gugur, aku bisa mati kedinginan." Sebenarnya ada jaket berbulu milik Hyunjoo juga, tetapi itu sudah seperti baru dicuci sebagian dan aku tidak ingat apakah itu karena muntahanku atau hal lainnya.

"Tapi kau membiarkan orang lain melihatmu berpakaian seksi. Kenapa pacarmu tidak boleh?"

"Aku memakai jaket berbulu dan tidak kulepaskan sedetik pun di sana."

Aku tidak tahu kenapa sekarang justru bersikap seolah-olah aku harus mengklarifikasi hal itu. Dia mungkin pacarku, tetapi bukan di posisi di mana kami berhak mengatur apa yang satu sama lain kenakan. Dalam kasus ini, aku tidak bersalah, tetapi Alby membuat itu seolah-olah adalah salahku.

"Ah, benar juga. Jaket itu kotor dan kuserahkan ke pihak hotel untuk dicuci."

Seharusnya dengan begitu dia mengerti kalau aku tidak bisa pergi ke mana-mana selain pulang. "See? Aku tidak punya baju untuk pergi denganmu." Suaraku terdengar agak memelas agar dia membatalkan rencananya.

Alby menyesap segelas teh yang entah dari mana dia dapatkan, tetapi matanya tidak kunjung beralih dariku. Rasanya seperti dia tidak hanya meminum teh itu, tetapi sedang menelanku juga.

"Mau belanja dulu?" Bisa-bisanya Alby masih terlihat keren hanya dengan menaikkan sebelah alisnya. Jari-jari yang melingkar pada pegangan gelas yang diletakkan kembali ke meja pun tidak luput dari pandanganku.

Bagi wanita-wanita di luar sana, Alby adalah tipe kekasih idaman mereka. Terlebih lagi setelah dia menawarkan untuk melakukan sesuatu yang disukai mereka; shopping. Wanita mana yang tidak menyukai itu? Aku pun suka belanja, dengan catatan pakai uangku sendiri, bukan dibayar seperti yang orang-orang harapkan.

Mom selalu mengajarkan agar tidak bergantung secara finansial pada orang lain. Sebab ketika hubungan kita dengan orang itu memburuk, semuanya akan berubah menjadi utang. Dan di sini aku justru terjebak dengan memakai uang Alby untuk membayar utang Dad.

Sayang sekali aku hadir di dunia ini berkat bibit dari pria sebejat dia.

"Aku tidak bisa pergi ke tempat umum dengan pakaian seperti ini." Seharusnya itu bisa jadi alasan bagus untuk membatalkan rencananya.

"Kau juga tidak bisa pulang dengan itu."

Namun, kali ini kami sama-sama punya alasan untuk menguatkan rencana masing-masing. Menyebalkan.

"Setidaknya aku hanya berada di mobil selama perjalanan dan tidak bertemu banyak orang."

Kali ini Alby diam. Mungkin akan lebih mudah kalau saja dia langsung mengalah sejak tadi. Dia mendorong satu gelas yang tehnya masih penuh ke arahku. Matanya juga mengerling pada kursi di hadapannya, seolah-olah sedang mengisyaratkan agar aku duduk di sana. Well, lagi pula aku mulai lelah berdiri.

"Akan kupastikan kau tidak terlihat orang-orang. Mantelku besar, lebih dari cukup untuk menutupimu. Kita akan pergi ke butik, lalu salon untuk merias wajah dan rambutmu. Setelah itu kau bebas memilih mau pergi ke mana."

Aku sudah membuka mulut, ingin mengatakan tujuanku, tetapi Alby sudah lebih dulu mengangkat tangan, menahanku agar tidak mengucapkan apa pun.

"Kecuali pulang." Alby melanjutkan, tegas dan tidak terbantahkan. Dia benar-benar tahu apa yang kumau dan sebisa mungkin tidak membiarkan itu terjadi.

"Kapan kepalamu yang keras itu melunak?"

"Kau mungkin tidak sadar, tapi itu sudah terjadi beberapa kali, karena dirimu."

🎶

Rencana Alby terealisasi sepenuhnya. Sekarang, rambutku sedang dirias oleh seorang wanita yang mengaku sudah sangat profesional. Alby benar-benar membuang-buang uang untuk membayar jasa seseorang hanya untuk menyisir rambutku dan membuatnya bergelombang--padahal rambutku sudah seperti itu dari awal.

Melalui cermin di hadapanku, aku memperhatikan Alby yang tampak sibuk dengan iPad-nya. Seharusnya kami pulang saja daripada melihatnya harus mencari-cari waktu untuk mengurus pekerjaan. Walau bukan salahku, tetapi dengan melihatnya seperti itu aku justru merasa tidak enak. Maksudku, menyaksikan seseorang yang sedang menghabiskan waktu denganku sedang sesibuk itu, aku jadi tidak bisa menikmati apa pun yang kulakukan.

Rambutku selesai ditata. Pada akhirnya hanya dirapikan dan diikat satu tinggi. Aku tidak suka rambutku ditata dengan model yang aneh-aneh. Begini saja sudah lebih dari cukup, apalagi kami hanya akan berkencan dan mungkin jalan-jalan santai.

Memikirkan tentang berkencan membuatku tergelitik sendiri. Satu pertanyaan muncul di benak, apakah berpura-pura harus sejauh ini? Tanpa kencan saja kurasa kami sudah bisa dibilang berhasil, hanya tinggal menunggu waktu sampai Claudia mengakui semuanya kepada Alby. Namun, kapan itu terjadi?

Sambil memakai mantel tebal setengah lutut, aku menghampiri Alby. Dia bahkan tidak menyadari kehadiranku sampai aku bersuara, "Kalau sibuk, kita pulang saja." Tentu saja keinginan itu masih berada di urutan teratas.

Alby menutup iPad-nya dan menatapku dengan alisnya yang terangkat. "Apa kau benar-benar tidak ingin jalan-jalan bersamaku?"

Aku meringis, apakah penolakanku sejak di hotel tadi tidak benar-benar didengarnya? Karena, ya, pertanyaan itu sudah jelas terjawab hanya dengan wajah masam yang kutunjukkan kepadanya sejak tadi.

"Kita tidak harus pergi ke mana-mana, 'kan?"

"Tapi aku ingin pergi denganmu. Bisa dibilang untuk memperkuat bonding, menikmati waktu yang menyenangkan sambil mengobrol ringan. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentangmu."

"Takada yang perlu diketahui lagi, kau sudah tahu semuanya, sampai ke kondisi keluargaku."

"Kau belum pernah bercerita tentang keseharianmu. Bagaimana kau bisa bertahan di masa-masa sulit, atau ... bagaimana kau bisa menjadi kekasih Jeff."

Ada jeda panjang sebelum Alby melontarkan kalimat terakhir. Mungkin nama Jeff akan menyiksa lidahnya ketika diucapkan.

"Untuk apa tahu tentang semua itu? Jangan bersikap seolah-olah kita akan bersama selamanya." Aku nyaris mendesis dan dua jariku sudah bergerak memijat pelipis.

"Andai rasa nyaman juga istilah lain dari cinta, mungkin aku sudah jatuh cinta padamu, Ava."

Pengakuannya sukses melemaskan seluruh otot tubuhku. Bahkan di balik bot setengah betis ini, kakiku melunak, nyaris tidak mampu menopang seluruh tubuh. Aku bisa terjatuh sendiri seandainya tidak memiliki kemampuan menjaga keseimbangan dengan baik. Aku yakin betul masih ada sisa sarapan untuk bahan bakar energi dan itu yang membuatku masih mampu bertahan dalam posisi ini tanpa benar-benar terjatuh.

Jantungku berdebar kencang dan itu bukan sesuatu yang menyenangkan. Logikaku menjerit untuk tidak dulu senang pada pengakuannya. Dia hanya berandai-andai. Kenyataannya, rasa nyaman jelas jauh berbeda dengan rasa suka atau cinta. Oh, ingat lagi daftar kesepakatan yang sudah kami tanda tangani. Tidak boleh ada perasaan yang terlibat. Aku mungkin sudah melanggarnya, tetapi sebagai si pembuat, sudah seharusnya Alby akan sangat patuh dengan itu.

Aku berdeham, sekaligus mengembalikan lagi kewarasan. Aku tidak bisa terus terbuai oleh ucapannya.

"Bagaimana mungkin kau mengatakan itu dengan santainya?"

Alby beranjak dari sofa. Itu membuatku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Pesonanya tidak luntur sama sekali meski dengan kerutan di dahi. Dan caranya menatapku persis seperti ketika menyesap teh saat di hotel.

Sekali lagi aku meragukan daya penglihatanku.

"Aku hanya berkata jujur. Itu saja."

Kejujuran yang berlebihan. Ya. Dia terlalu mendramatisir. "Kalau orang lain yang mendengar itu, mereka pasti sudah salah paham."

"Kalau begitu, tidak akan kukatakan pada orang lain."

Keningku lantas berkerut. Dia sedang menggodaku atau bagaimana? Kalau benar untuk menggodaku, aku hanya perlu bertahan agar tidak terbujuk oleh apa pun rayuannya.

"Kau bilang aku boleh memilih ke mana pun kita pergi?" Cara terbaik untuk mengalihkan pembicaraan sekaligus mengakhiri momentum yang berhasil memberi gejolak menggelikan di dalam perut.

"Ya. Ke mana pun kecuali pulang."

"Kalau begitu kita ke Pennsylvania saja."

Butuh waktu beberapa saat bagi Alby untuk memproses. Aku pun begitu. Mungkin dia sedang berusaha menghitung lama perjalanan dari sini ke sana. Dan aku baru menyadari kalau waktu kami akan banyak dihabiskan di jalan. Namun, dia sendiri yang memberi kebebasan kepadaku untuk itu, 'kan?

"Akan menghabiskan waktu berjam-jam ke sana. Bahkan tidak ada jalur kereta."

"Apa kau keberatan?" Aku bertanya begitu bukan berarti aku akan mengganti lokasi yang dituju.

Dengan Alby menggaruk pelipis dengan telunjuk sudah membuktikan kalau dia memang enggan menghabiskan waktu untuk mengemudi. "Bukan begitu. Kau yakin? Kita mungkin akan pulang malam agar tidak kelelahan selama perjalanan. Atau kau mau menginap di sana dan pulang besok?"

Aku tidak ingin libur besok karena sudah berencana akan meminta libur beberapa hari saat menjelang hari pernikahan Hyunjoo. Tentu saja jawabannya tidak.

"Aku tidak masalah pulang larut. Kalau kau tidak kuat, aku akan membayar seseorang yang bisa mengantarku pulang."

"Itu terdengar lebih buruk. Baiklah, kita ke sana." Dia sudah meraih tanganku dan akan pergi, tetapi tiba-tiba tidak jadi melangkah dan melempariku tatapan penuh tanya. "Apa yang akan kita lakukan di sana? Ada tempat spesifik yang mau kau datangi?"

Aku hanya tersenyum kecil dan membalas, "Kau akan tahu nanti. Dan tolong mampir ke toko bunga juga."

🎶

Kami tiba di sini setelah menempuh kurang lebih empat jam perjalanan. Itu pun Alby sudah mengemudi dengan kecepatan lumayan tinggi. Selama di perjalanan, dia tidak berhenti menebak-nebak ke mana yang mau kutuju. Sambil melakukan pencarian di ponsel pintarnya, dia menyebutkan satu per satu lokasi wisata di Pennsylvania dan tentu saja aku terus menjawab tidak.

Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Dan baru satu tempat yang kami datangi. Bahkan makan siang pun belum sempat karena aku tidak ingin mampir dulu sebelum tiba. Alby tidak keberatan soal itu karena kami pun sarapan sekitar jam sepuluh tadi pagi.

Sudah lama aku tidak ke sini--dan menjadi alasan kenapa aku ingin cepat-cepat tiba. Aku menatap batu di hadapan cukup lama. Membaca nama yang tertera di sana berulang kali seolah-olah akan lenyap jika aku berhenti melakukannya. Satu buket bunga yang sangat besar kuletakkan di atas rerumputan, bersandar pada batu yang tingginya satu meter itu.

Aku merindukan Mom.

Ya, aku ke Pennsylvania hanya untuk mendatangi makam Mom. Sudah hampir setahun aku tidak datang. Waktu itu, ketika aku mendatangi makam Dad dan mengumpat, aku sengaja tidak mampir. Aku tidak ingin kekesalanku turut terlampiaskan pada batu nisan Mom. Apalagi lokasi pemakaman mereka berbeda. Padahal Pete sudah menawarkan berkali-kali apakah kami akan mampir, dan aku menolak.

Maafkan aku, Mom, waktu itu memang dikhususkan untuk meluapkan kebencianku pada suamimu.

Aku mendekati batu dan mengusapnya seolah-olah aku sedang melakukannya pada bayi. Sangat lembut dan penuh hati-hati, kemudian diakhiri dengan pelukan. Aku sudah membersihkan debunya saat baru tiba tadi. Dan sekarang makam Mom makin cantik berkat kehadiran bunga yang tadi kuletakkan, dan sebenarnya tidak sesuai untuk pemakaman. Alby-lah yang bertanggung jawab atas itu.

Kini aku berbalik dan menemukannya sedang menatap nisan Mom dengan sorot mata yang tidak bisa kujabarkan. Ada rasa iba, kasihan, sedih di sana. Aku benci menerima itu dari orang lain, meski berarti kalau dia turut bersimpati padaku.

"Kau harus bilang kalau kita akan ke makam ibumu." Keningnya berkerut ketika tatapannya turun ke buket di dekat kakiku. "Aku merasa seperti baru saja membeli bunga untuk kekasihku yang sudah tidak hidup lagi."

Aku sukses dibuat terkekeh geli oleh wajah menyesalnya. "Mawar merah dan jingga itu cantik. Mom menyukainya, terima kasih, Alby."

Dia mendekat dan memelukku erat sekali. Sementara tanganku hanya bergerak ragu-ragu apakah harus membalasnya atau tidak. Namun, berakhir dengan tetap diam di kedua sisi tubuhku, dengan telapak tangan yang terkepal demi menahan keinginan untuk melingkari pinggangnya.

Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan ini, tetapi aku menikmatinya. Dada bidangnya menjadi salah satu tempat ternyaman untuk bersandar. Sayangnya, aku tidak akan merasakan ini selamanya. Tubuh yang merengkuhku ini tidak akan selalu tersedia ketika aku membutuhkannya. Dia juga bukan orang yang bersedia menemani ketika aku berada di masa-masa sulit. Dan karena semua alasan itu, sebelum merasa terlalu nyaman dengannya, aku segera menarik diri.

"Aku lapar. Bagaimana kalau kita makan dulu?"

Alasan yang bagus untuk segera pergi dari tempat ini. Alby mengangguk, menggandeng tanganku dan membawaku pergi. Dia tidak mengatakan apa-apa selain bertanya apa yang mau kumakan. Kujawab spageti dan dia segera mencari resto terbaik yang menjual spageti di internet. Sekarang aku tahu, meski dia sering bepergian ke luar kota atau luar negeri, tetapi dia belum pernah ke Pennsylvania.

Aku tidak protes ke mana pun dia membawaku, dia melakukan semua hal dengan baik dan penuh kehati-hatian. Aku bisa melihat keseriusannya untuk melakukan yang terbaik. Dan sepertinya dia benar-benar berpikir kalau ini adalah kencan lanjutan kami. Mungkin aku harus berterima kasih dan mengajaknya pergi ke suatu tempat yang nyaman untuk mengobrol setelah ini.

"Kau tinggal di sini, apa tidak tahu tempat makan yang enak?"

"Di rumah, Mom memasak masakan yang enak. Saat dia sakit, aku menghabiskan waktu di rumah sakit dan berbagi makanan dengannya. Setelah dia meninggal, aku tidak tinggal lama di sini dan pindah ke New York. Menurutmu, apa aku sempat mampir ke rumah makan?"

"Maaf. Pertanyaan itu pasti membuatmu kesal."

Aku tidak menjawab. Bukan karena kesal seperti katanya, melainkan karena aku harus mengingatnya lagi. Aku selalu menolak dikasihani karena itu membuatku tampak menyedihkan. Padahal kenyataannya, memang begitu. Belum pernah ada hal baik terjadi padaku, kecuali aku menganggap kehadiran Nate adalah hadiah dari semua kekacauan yang ada.

"Lain kali, tidak perlu meminta maaf. Aku tidak suka saat seseorang merasa bersalah, aku terus diingatkan kalau hidupku sangat menyedihkan." Aku membuang muka saat berkata begitu.

Alby paham. Dia tidak lagi bicara dan fokus mengemudi sampai kami tiba di sebuah rumah makan khas Italia. Aku takjub dia berhasil menemukan tempat seperti ini di sini. Lokasinya yang bukan di pusat kota membuat tempat ini terasa sejuk. Pepohonan yang berbaris di sisi kiri bangunan resto juga menambah kesan asri. Aku yakin akan makan dengan nyaman seandainya ada kursi di luar.

Dua porsi spageti habis. Masing-masing dari kami menyantap satu. Alby juga memesan beberapa macam jajanan khas Italia, seperti Crocchè, Arancini, Taralli, dan satu yang membuatku jatuh cinta, Focaccia.

"Kau memakan Crocchè dengan lahap." Aku membuka obrolan setelah cukup lama kami tidak bersuara. Dari semua piring jajanan, satu yang kusebutkan itu sudah habis. Ada lima Crocchè di satu piring dan dia menghabiskan empat. Seandainya masih lapar, Alby pasti sudah melahap jajanan yang lain.

"Karena sangat enak. Mom sering membuatnya waktu aku kecil. Jadi, aku menyukainya."

Aku mengangguk. Kuakui Crocchè-nya memang enak. Kentangnya ditumbuk menjadi halus sempurna. Kemudian campuran keju Mozarella dengan telur juga tidak luput dari pengecap. Aku belum pernah memakan satu sebelum datang ke sini, jadi akan kuanggap Crocchè di sini adalah yang terenak.

"Kau bisa membuatnya sendiri kalau mau. Kau bisa memasak, 'kan?"

Gumaman Alby terdengar dari sela-sela bibirnya. Dengan pipi menggembung karena masih ada makanan yang sedang dikunyahnya, dia memperlihatkan sisi lain darinya yang menggemaskan. Maksudku, selama ini dia hanya menyantap masakan dengan cara yang elegan, formal, dan tentu saja membuktikan bahwa dia adalah orang yang berada. Sedangkan melihat cara makannya saat ini—dengan menggunakan tangan, dia takada bedanya dengan pria biasa. Tampak sederhana dan sama sekali tidak merasa terganggu saat tangannya kotor.

"Tidak. Biasanya aku tidak akan berselera lagi memakannya karena sudah kenyang melihat proses membuatnya. Biasanya aku hanya memasak sesuatu yang sederhana. Seperti untuk sarapan atau makan malam." Dia menyesap minumannya sebentar dan kembali berkata, "Bagaimana kalau kau saja yang memasak?"

Aku spontan tertawa. "Tidak, Alby. Aku tidak biasa memasak untuk orang lain."

"Bagaimana kalau itu permintaan terakhirku?"

Cara melontarkan pertanyaan itu dengan serius membuatku berhenti tertawa dan berganti dengan alis yang naik sebelah. Karena untuk sebuah gurauan, itu terlalu berlebihan.

"Aku tidak terlalu suka memasak. Aku melakukannya karena terpaksa."

"Untuk anak-anakmu kelak?"

"Apa kita harus membicarakannya?"

"Hanya penasaran."

"Well, hanya jika aku masih mendapat kesempatan untuk menjalani masa-masa itu, tentu saja aku akan belajar."

Alby hanya mengangguk dan tidak lagi bertanya lebih banyak. Mungkin dari gelagatku, sudah jelas terlihat kalau aku enggan membicarakannya.

"Boleh aku bertanya?" Aku ingat kata-kata Alby, kami perlu mengenal satu sama lain dengan benar. Dan kurasa ini saat yang tepat, mengingat rasa suka terhadapnya memunculkan rasa ingin tahu. Aku penasaran dengan semua hal tentang Alby.

Alby melihat ke sekitar sebentar sebelum membalas, "Kau yakin kita akan terus mengobrol di sini?"

Aku pun mengikuti, menangkap keramaian rumah makan ini. Entah bagaimana aku tidak menyadari kalau seiring waktu, pengunjungnya kian bertambah. Padahal kami tiba di sini saat sedang sepi.

"Lalu kita akan ke mana?"

"Apa kau percaya padaku?"

Alisku lagi-lagi harus terangkat karena pertanyaan sekaligus betapa semringah wajahnya saat ini. Entah apa yang sedang dia rencanakan, kuharap itu bukan sesuatu yang setelah ini akan kutolak. Sebab aku telanjur menikmati momen santai ini, ditemani obrolan ringan.

"Tergantung tujuanmu."

"Ada satu tempat yang ingin kukunjungi denganmu. Ayo buat kencan ini lebih menarik dari yang pertama."

***

Hehe. Kira-kira mereka mau ngapain?

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
23 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro