54 - Soft Kisses
Alby benar-benar melakukannya; mengantar dan menjemputku bekerja. Sudah tiga minggu seperti itu. Pagi hari sebelum tiba di kantorku dia akan bertanya siang ini mau makan apa. Berkat itu aku tahu makanan favoritnya dan apa yang akan membuatnya mual. Tidak jarang juga Jeff dan Claudia akan bergabung. Kami melakukannya seperti awal-awal kesepakatan, bedanya adalah mereka tampak jauh lebih dekat dari yang kubayangkan. Aku tidak melihat adanya usaha mereka untuk mengakhiri perjodohan.
Sore ini hujan deras. Aku sudah bilang pada Alby agar tidak perlu repot-repot menjemputku, karena jarak parkiran dengan mobil lumayan jauh. Dia bisa kebasahan. Lagi pula, saat ini terlalu ramai untuk tiba-tiba dia muncul menjemputku. Semua orang yang tidak memakai kendaraan pribadi menunggu di lobi lantai satu, sebagian lagi di teras; seperti aku. Kehadiran Alby bisa saja membuat mereka heboh. Padahal aku menghindari lebih banyak orang yang tahu tentang kami, sampai ketika menunggu dijemput, aku lebih memilih menunggunya di depan gerbang.
Mulai besok, aku akan ingat untuk membawa payung.
Termometer - Aku akan ke teras gedung, tidak perlu ke depan gerbang, nanti bajumu basah.
Aku berdecak dan mulai gelisah. Hujan masih sama, tidak sedikit pun menunjukkan tanda akan berhenti. Belum lagi petirnya yang beberapa kali membuat orang-orang menjerit karena terkejut. Angin yang berembus membuatku mengeratkan mantel yang membungkus tubuh. Perpaduan sempurna untuk membuatku ingin cepat-cepat tiba di apartemen dan membungkus tubuh dalam selimut. Oh, satu gelas cokelat panas dengan marshmallow akan menjadi teman yang sempurna.
Oh, kurasa kali ini semesta mengabulkanku walau tidak benar-benar sesuai harapan. Mobil Alby baru saja berhenti di depan pos jaga petugas keamanan. Aku yang tidak benar-benar menantikan kedatangannya pun mulai melirik ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikan, khawatir mobil mewahnya sudah lebih dulu menarik perhatian.
"Apa dia seorang model?"
"Dari porsi tubuhnya, tampak seperti itu."
"Kurasa dia berjalan kemari. Kira-kira siapa yang akan dijemputnya?"
Aku mulai mendengar bisikan-bisikan itu dari beberapa wanita di samping kananku. Agar tidak ada yang mengenaliku, aku segera menutup kepala dengan tudung mantel dan berjalan lebih dekat ke pinggiran teras.
Alby, dengan payung besarnya yang berwarna putih bening, berjalan bak model di panggung catwalk. Mantel hitamnya membungkus sampai di bawah lutut, dan entah bagaimana dadanya jadi lebih bidang. Bayangkan jika aku yang memakainya, pasti tubuhku akan tenggelam.
Di samping membencinya, mungkin ada yang salah dengan mataku, karena semua yang kulihat darinya adalah kesempurnaan. Caranya memegang tongkat payung saja tidak luput dari pandanganku. Lalu aku ingat hangat telapak tangannya. Itu akan sangat membantu di hari yang sangat dingin ini.
Akhirnya dia tiba di depanku dan tersenyum miring. Aku tidak mengerti apa maksudnya, jadi aku cepat-cepat berdiri di bawah naungan payungnya.
"Abaikan mereka dan ayo segera pulang." Aku bahkan menarik tangannya agar berjalan bersamaku.
"Kau tampak terganggu dengan tatapan memuja yang mereka tunjukkan padaku."
Aku mendelik dan menghela napas. Rasa percaya dirinya meningkat berkali-kali lipat. "Tepatnya, aku tidak ingin mereka tahu kalau kita bersama. Akan repot urusannya."
"Apa bersamaku seburuk itu?"
Aku hanya diam. Caranya bertanya, terdengar menyedihkan. Kalau di film-film, dia adalah seseorang yang tidak diharapkan oleh kekasihnya, padahal sudah memberikan cinta yang sangat banyak.
"Kau lupa? Aku sudah bilang tidak ingin berbohong pada lebih banyak orang lagi."
Saat sudah sangat dekat dengan mobilnya, aku segera membuka pintu dan masuk. Mantelku basah sedikit karena menjauh dari naungan payungnya. Aku membuka tudung dan merapikan rambutku yang berantakan.
Alby kemudian menyusul masuk. Pintunya tidak langsung ditutup karena dia harus melipat payung. Itu tidak luput dari pandanganku, sampai ketika dia melempar payungnya dengan keras ke bangku belakang. Sayangnya, payung itu justru membentur kaca belakang sampai menimbulkan suara yang keras.
"Kau bisa mematahkan payungnya kalau dilempar seperti itu." Aku melihat ke belakang, pada payung yang tergeletak di kursi beserta percikan airnya di berbagai tempat.
Alby tidak merespons, tetapi melajukan mobilnya membelah jalanan basah. Di beberapa titik tergenang air. Ketika ban mobil Alby berputar di atasnya, bisa saja membasahi orang lain yang kebetulan berjalan di dekat genangan, terlebih lagi dengan kecepatan yang sekencang ini.
Aku yakin suasana hatinya tadi sangat baik daripada yang kulihat sekarang. Entah bagaimana dia bisa berubah secepat ini.
Lampu merah di persimpangan di depan kami berubah merah. Karena Alby tidak memperkirakan itu dari jauh, dia mengerem mendadak mobilnya. Aku tidak bisa menahan tubuhku agar tidak condong ke depan dan berakhir mendaratkan dahiku di dasbor mobil. Sial. Bagaimana bisa aku tidak memakai sabuk pengaman?
Kuusap dahiku yang nyeri, lewat kamera depan di ponsel, aku menemukan bagian itu sudah memerah--kuharap besok-besok tidak berubah menjadi keunguan karena aku tidak punya poni untuk menutupinya. Foundation mungkin bekerja cukup baik untuk itu, tetapi aku tidak suka wajahku ditempel riasan terlalu tebal. Wajar kalau jadinya akan seburuk itu, benturannya sangat keras hingga menimbulkan suara yang nyaring. Dan, ya, pria di sampingku bahkan tidak menyadarinya.
"What's wrong with you?" Protesanku terdengar seperti mendesis, mengingat aku mengatakannya di sela-sela ringisan. Pulang nanti aku harus segera mengompresnya dengan air es.
Tatapan Alby tetap lurus ke depan, seolah-olah tidak mendengar apa yang kukatakan. Dia bersikap seperti aku baru saja melalukan kesalahan besar. Andai tidak hujan di luar sana, mungkin aku akan keluar dari mobilnya.
Baiklah kalau dia tidak mau bicara, toh aku tidak sedang dalam posisi harus bertanggung jawab atas perubahan suasana hatinya. Aku memasang sabuk pengaman kali ini, menghindari kejadian yang sama terjadi dua kali.
Mobil Alby kembali melaju ketika lampu lalu lintas berubah hijau. Setelah bermenit-menit berlalu, aku baru menyadari kalau ini bukan jalan ke apartemenku. Aku ingin sekali protes, tetapi dia mungkin tidak akan menjawab juga. Bahkan sampai kami tiba di parkiran gedung tempat tinggalnya pun, aku tidak bicara.
Kubiarkan dia keluar lebih dulu, kalau ada hal penting yang ingin dia lakukan, dia pasti akan bicara. Jadi, aku tetap berada di mobilnya sampai didesak untuk keluar.
"Kau mau mati kehabisan napas di dalam mobil?" Dia membuka pintu di sebelahku.
"Ini bukan rumahku." Aku merespons tanpa menatap wajahnya.
Dia berdecak ringan. Aku tidak peduli seberapa kesal dia sekarang, yang pasti aku tidak akan beranjak sampai tahu apa alasannya membawaku ke sini.
"Ada sesuatu yang mau kutunjukkan padamu."
Aku mengernyit dan kali ini kutatap dia untuk melihat apakah dia serius.
"Dahimu merah," ujarnya lagi.
"Bukan urusanmu." Aku berdeham dan membuang muka lagi. Sungguh, aku tidak memerlukan perhatiannya saat ini--meski tentu saja dia tidak akan serepot itu.
"Karena terbentur dasbor?" Oh, tidak kusangka dia menyadari itu. "Ayo keluar, biar memarnya bisa segera dikompres." Dia bahkan membungkuk di depanku untuk melepaskan sabuk pengaman.
Namun, aku masih bergeming. "Tidak bisa di sini saja? Aku mau pulang, istirahat."
"Kau juga bisa istirahat di rumahku dan tentunya lebih nyaman."
Aku berdecih ringan. Dia tahu dirinya kaya, tetapi tidak seharusnya dia membandingkannya dengan milikku seperti itu. "Tidak ada yang lebih nyaman selain di rumah sendiri." Setelah itu aku keluar dari mobilnya. Aku yakin dia tidak akan berhenti mendesak sampai aku menurut. Dan setelah kupikirkan, sebaiknya aku menurut agar cepat selesai dan aku bisa pulang.
"Aku punya beberapa referensi lokasi untuk kencan gan--"
"Hold on, Mister." Aku menahannya agar tidak bicara lagi sampai kami memasuki elevator. "Sebelum itu, aku penasaran apa yang membuatmu merasa kesal tadi? Apa aku melakukan kesalahan?"
Dia hanya diam menatapku sampai membuatku kebingungan.
"Aku kesal kau masih tidak bisa menerima hubungan kita sebagai sepasang kekasih."
Jawabannya sukses membuatku menganga. Aku tidak memiliki kata-kata untuk merespons yang satu itu.
"Kita tidak sedang berbohong, itu nyata, Ava. Aku bosan terus mengingatkanmu." Dia benar-benar bertingkah seperti seorang pria yang merajuk. Dan dia mengikuti kata-kataku dengan nada bicara yang sama ketika aku sangat kesal padanya.
"Ta-tapi, aku sungguh tidak nyaman harus bersikap seperti orang berpacaran."
"Kau tidak perlu bersikap seperti itu, biasa saja, rileks," ujarnya sebelum elevator berdenting. Kami sudah tiba di penthouse-nya dan Alby sudah keluar mendahuluiku.
Kulempar tasku ke sofa sebelum disusul tubuhku, sementara dia berjalan terus menuju dapurnya yang luar biasa elegan. Ada satu hal yang membuatku kebingungan.
"Kenapa kau memaksakan hal itu, Alby? Kenapa kita harus berpacaran sungguhan padahal hanya untuk membuat Claudia cemburu?"
Aku menunggu responsnya cukup lama sampai dia sendiri datang dengan sebuah mangkuk dan handuk kecil, lalu duduk di sebelahku. Mangkuk itu berisi air es dan dia merendam handuk kecil itu sebentar di sana sebelum disodorkan padaku. Tentu saja aku menerimanya dan kupakai untuk mengompres dahi.
"Karena hatiku ingin melakukannya. Kalau hati sudah menginginkannya, jangan biarkan akal sehatmu mengganggu."
Tanganku spontan turun. Jantungku sedang bergemuruh di dalam sana. Jeff pernah mengatakan sesuatu yang lebih dari itu, tetapi Alby mampu memberi sensasi yang tidak biasa. Aku tidak ingin berekspektasi, tetapi kalau dia terus memberi kode-kode seperti itu, mana bisa aku menahan diri untuk tidak menduga-duga?
Aku tertawa dengan terpaksa. Demi mengalihkan segala pemikiran itu, aku menganggapnya sebagai lelucon.
"Itu kata-kata yang indah, kau akan berhasil membuatku salah paham." Aku berkata di sela-sela tawa.
Sayangnya, itu justru membuatku lengah. Alby meraih tengkukku dan mendaratkan bibirnya di bibirku. Takada hal lain yang dia lakukan selain menempelkannya. Ini sesuatu yang baru dan menggelitik, berbeda dari ciumannya yang sudah-sudah. Bahkan sampai dia kembali menarik diri, takada hal buruk yang terjadi.
"Seperti yang kukatakan padamu, aku tidak pernah berbohong." Dia menangkup wajahku dengan sebelah tangannya. Jempolnya bergerak di pipiku, mengusap dengan lembut sampai membuat wajahku memanas.
"Sikapmu berbahaya untuk jantungku." Kuharap dia tidak langsung menganggap kalau itu berarti aku jatuh cinta padanya. Jangan, aku akan sangat malu.
"Percayalah, kau sudah melakukannya padaku." Dia meraih tangan kananku untuk ditempelkan ke dadanya yang berlapis kemeja. Debarannya hampir selaju milikku.
Aku ingin tidak percaya, tetapi mana mungkin jantung bisa berbohong. Andai dia baru saja berlari, atau menaiki tangga untuk tiba di penthouse-nya, aku akan merasa lebih lega karena sudah pasti itu membuatnya berdebar. Mustahil kalau dia berdebar untukku.
Aku menarik tanganku dan kembali mengompres kepala. Bahkan aku menghadap ke arah lain agar tidak harus membalas tatapannya yang intens. Aku tidak siap untuk situasi ini, tidak siap untuk membuatnya menyadari perasaanku juga. Aku harus melakukan sesuatu agar Claudia segera mengakui perasaannya pada Alby.
"Jadi, apa tujuanmu membawaku ke sini? Kau mengatakan tentang referensi lokasi kencan?" Aku sengaja mengalihkan pembicaraan agar terhindar dari situasi ini. "Tunggu, kau serius mengatur kencan ganda bersama Jeff dan Claudia?"
"Ya. Itu bisa jadi rencana yang bagus untuk membuat Claudia makin gelisah." Alby menjawab dengan tenang dan itu membuatku lega.
"Daripada itu, aku justru penasaran apakah mereka merencanakan sesuatu."
"Kenapa?" Oke, Alby tampak tertarik untuk tahu soal itu.
"Karena keduanya mengaku padaku kalau ingin mengakhiri rencana pernikahan. Tapi saat bertemu mereka kemarin, yang kutemukan justru sebaliknya. Mereka sangat mesra."
"Mungkin Jeff hanya ingin mengganggumu, seperti yang dia lakukan di awal-awal pertemuan kita." Yang Alby katakan mungkin benar, aku pasti menduga seperti itu seandainya dia tidak mengakui perasaannya padaku.
Haruskah aku menceritakan semuanya?
"Tidak seperti itu." Aku merendam lagi kain tadi ke mangkuk air es. "Dia bahkan mengaku ingin kembali padaku."
Ada hening cukup lama di antara kami, sampai aku mengira mungkin salah kalau terlalu banyak menceritakan tentang itu pada Alby.
"Lalu? Apa kau akan menerimanya kembali?"
Oke, ini kali kedua Alby mengeluarkam aura yang buruk. Suaranya sangat dalam, nyaris serak. Beberapa kali aku mendengarnya bicara seperti itu adalah ketika sedang marah atau kesal terhadap sesuatu.
"Aku pernah bilang padamu kalau aku tidak akan mengambil kembali sampah yang sudah kubuang. Jeff pria yang baik, sebenarnya, tapi aku tidak bisa menjalin hubungan lagi dengannya."
"Itu melegakan," sahutnya dan bersedekap. Alby benar-benar jadi pria aneh sekarang.
"Kita akan pergi ke wisata pegunungan saat musim dingin. Kalau bisa, ajukan cuti dua atau tiga hari karena perjalanan kita cukup jauh." Setelah mengatakan itu, Alby berdiri dan melepas mantelnya. Itu mengingatkan kalau aku juga masih mengenakan mantel.
"Kita akan menginap? Kukira hanya kencan biasa. Seperti saat kita ke Central Park." Aku masih ingat itu dan tersenyum sendiri--aku menunduk untuk menyembunyikannya.
"Hanya itu satu-satunya cara untuk memamerkan hubungan kita dengan lebih intens, Ava. Mereka akan jauh lebih cemburu. Misi itu, hanya tersisa sedikit lagi, bukan?"
"Ya, benar. Setelah itu kita akan kembali menjadi dua orang asing." Aku tersenyum tipis ketika situasi di mana seharusnya kami tidak saling mengenal membayang di kepala. Benar-benar akan jauh lebih baik daripada saat ini.
Alby duduk lagi dan kali ini dengan jarak yang lebih dekat dari sebelumnya. Lutut kami bersentuhan sedikit saat dia bergerak. "Seandainya waktu itu aku tidak datang ke festival makanan, mungkin aku sudah merayu banyak wanita untuk kukencani." Dia mendengkus jenaka setelah mengatakannya.
"Tidak sulit untuk menemukan seseorang yang mau berkencan denganmu."
"Apa kau salah satunya?"
Aku menyemburkan tawa ketika dia bertanya begitu padaku. "Tidak, tentunya. Aku berbeda."
Kukira dia akan kesal, tetapi yang ada justru tersenyum geli, seperti aku baru melakukan sesuatu yang berhasil menghiburnya. Gara-gara sikapnya yang seperti ini, aku jadi tidak banyak menghindar ketika tubuhnya agak condong ke arahku.
"Boleh aku melakukannya? Kali ini aku tidak akan melukaimu lagi."
"Melakukan apa?" Sebenarnya aku cukup peka untuk menyadari kalau tatapannya tertuju ke bibirku beberapa kali. Dan kalau dia melakukannya seperti tadi, hanya menempel dan membiarkanku merasakan kelembutan bibirnya, kurasa tidak masalah. Aku akan membiarkannya melakukan itu lagi.
Alby menangkup kedua pipiku dan dia diam seperti itu untuk memastikan apakah aku akan menghindar. Tangannya hangat, aku menyukainya. Dan selanjutnya, wajahnya mendekat sampai takada lagi udara yang membatasi kami. Dia meraup bibirku dengan lembut dan santai, seperti takada gairah yang mendorongnya untuk berbuat lebih. Sesekali suaraku lolos dan itu membuatnya memperdalam ciuman. Oh, sekarang aku sudah berada di bawahnya. Sofa Alby bahkan terlalu nyaman untuk dipakai berbaring saat ini. Tubuhnya pun panas, sampai membuatku ingin melepas mantel yang masih kupakai saat ini.
Tautan tanganku sudah mengalung di lehernya, mendorong tengkuknya agar lebih dekat lagi denganku walau sudah habis jarak yang akan dihapus kecuali pakaian kami.
"Oh my God."
Sayangnya, kenikmatan itu harus berakhir ketika terdengar suara seorang wanita. Aku buru-buru mendorong Alby dan berbalik untuk tahu siapa yang bertamu sore ini.
"Claudia." Suara Alby sangat datar saat menyebutkan namanya, seperti menegaskan bahwa takada lagi yang tersisa di antara mereka. Jelas sekali dia merasa kesal karena diinterupsi.
"Maaf, kupikir kalian tidak ada di rumah. Aku hanya ingin mencari antingku yang hilang satu dan mengembalikan ini." Dia mengangkat keycard rumah Alby. "Aku baru sadar belum mengembalikannya sejak kita berakhir."
Alby beranjak dari sofa dan melangkah pergi seraya berkata, "Ikut denganku, Claudia."
Wanita itu menurut. Suara ketukan ujung haknya yang beradu dengan lantai terdengar menggema. Dan apa yang dicari Claudia? Antingnya? Bagaimana bisa dia menghilangkannya di sini. Seharusnya benda itu sudah ditemukan sejak lama saat rumah ini bersihkan. Atau mungkin dia baru-baru saja datang ke sini?
***
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
13 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro