53 - Lunch
"Hei, bangun. Alby menunggumu."
Aku yang baru setengah bangun ini langsung tersadar sepenuhnya. "Hah?" Namun, tetap memastikan kalau tidak salah mendengar. Sepagi ini ada Alby?
Nate menghela napas dan setengah merengut. "Alby menjemputmu. Tadinya ingin kuusir, tapi aku ingat dia masih atasanku."
Kupandang wajah Nate dengan dahi berkerut. Aku mencoba memproses dengan baik informasi sekaligus alasan dia membangunkanku sebelum alarm yang kuatur berbunyi. Aku bangkit dan seketika kepalaku berdenyut. Aliran darahku tidak siap untuk gerakan yang tiba-tiba itu. Kenapa dia menjemputku sepagi ini? Tidak bisakah menunggu istirahat makan siang? Aku ingat janji yang dibuat adalah saat makan siang.
"Kenapa dia datang sepagi ini?"
Lucu bertanya begitu pada Nate. Well, siapa tahu pria itu memberi tahu tujuannya datang—agar diizinkan masuk, misalnya. Namun, Nate hanya mengendikkan bahu. Tentu saja dia tidak akan berani bertanya apa alasan atasannya itu datang pagi-pagi sekali.
"Aku akan berangkat sebentar lagi. Sebaiknya kau segera mandi." Nate sudah berbalik ingin pergi, tetapi aku berhasil meraih lengan kemejanya. Oh, dia sudah siap ternyata.
"Kenapa? Kau sudah sarapan?"
"Untuk memberi kalian waktu berdua." Kemejanya spontan kulepas. "Aku bisa mampir sarapan di jalan nanti. Bye." Setelah itu, Nate pergi, meninggalkanku bersama kegelisahan.
Mungkin bukan kali pertama Alby melihat penampilan kacauku saat bangun tidur, tetapi itu bukan di sini; di apartemenku. Aku bahkan tidak memakai baju tidur khusus, tidak seperti saat di Santorini; Paula menyediakan semuanya, sampai baju renang yang tidak kupakai sama sekali.
Sekarang apa? Tidak mungkin aku mendekam di kamar sampai dia memutuskan pulang. Yang akan terjadi justru dia memaksa masuk ke kamarku, seperti yang biasa dilakukan. Harusnya begitu, tetapi saat terdengar ketukan di pintu, aku lantas merasa dia benar-benar berubah.
"Aku akan keluar sebentar lagi," sahutku sembari menyibakkan selimut.
Aku berhenti di depan cermin sebentar, sekadar memeriksa penampilan. Aku hanya mengenakan celana pendek yang bahkan tidak sampai setengah paha dan baju kebesaran yang sudah kumal. Meski bukan untuk tidur, tetapi ini cukup nyaman. Rambutku berantakan, karena takada waktu untuk menyisir, aku langsung mengikatnya tinggi. Wajahku untungnya baik-baik saja, aku tidak bisa mencucinya karena kamar mandi ada di luar kamar.
Duh. Kenapa aku harus repot-repot hanya untuk bertemu Alby? Apakah saat jatuh cinta orang-orang akan bersikap sekonyol ini? Lupakan. Aku akan segera keluar kamar.
"Kenapa datang pagi-pagi sekali?" Aku bertanya ketika tubuhnya yang kokoh menghadang di depanku. Dia hanya diam memperhatikan. Aku tidak tahu bagaimana dia menilai penampilan yang sangat seadanya ini dan seperti apa pendapatnya tentangku. Yang jelas, dia bahkan tidak kunjung mengalihkan pandangan dari tubuhku.
Aku lantas mendorong dagunya ke atas agar menatap lurus ke wajahku. Benar-benar tidak nyaman rasanya ketika seseorang menyapu tubuhku dengan matanya. Walau dia Alby, yang sudah bukan orang asing, tetapi tetap saja membuatku malu.
"Ke wajahku saja, tolong." Aku nyaris mendesis.
Alby menangkap tanganku, membungkusnya dengan hangat. Takada yang lebih nyaman dari seseorang menggenggam hangat tanganku di pagi musim gugur. Ingin sekali waktu kuhentikan agar bisa merasakannya lebih lama, tetapi Alby sudah lebih dulu melepasnya. Tidak pernah aku merasa sehampa ini sebelumnya.
"Aku suka melihat wajahmu saat tidur atau bangun tidur."
Sial. Wajahku memanas karena rayuannya. Sadarlah, Ava. Situasi ini, membuat batinku bergejolak. Di satu sisi aku ingin dia jadi seperti biasa, yang tidak menahan diri untuk menyentuhku. Namun, di sisi lain aku lebih suka dia tetap menjaga sikap seperti ini. Ini benar-benar buruk untuk jantungku.
Ini hanya permainan misi. Ya, hanya permainan. Jangan libatkan perasaanku lebih jauh dan ayo diselesaikan.
"Tidak bagus untuk lelucon di pagi hari, Alby," balasku dan tersenyum dengan terpaksa. "Kau belum menjawab pertanyaanku."
"Aku akan mengantar dan menjemputmu mulai sekarang. Makan siang juga bersamaku." Dia pergi setelah mengatakan itu padaku, menuju dapur.
"Kenapa?" Aku mengekornya. Bahkan ketika dia memutari meja makanku sambil menyusun peralatan makan di sana pun aku masih mengikutinya. Dia memakai barang-barangku tanpa izin, akan kuurus nanti. "Alby, jawab." Aku mendesaknya. Dan yang terjadi adalah dia berhenti tiba-tiba sampai dahiku membentur perbatasan leher dan punggungnya.
Sempat kulihat tato yang mencuat sedikit dari kerah kemejanya sebelum dia berbalik. "Bukankah sepasang kekasih seperti itu?" Nada bicaranya lembut dan diakhiri dengan seulas senyum. Lagi-lagi aku mengernyit karena sikapnya yang tidak biasa.
"Serius, Alby. Kau yang seperti ini benar-benar menakutkan." Aku sudah menjauh sebelum tangannya menyentuh wajahku.
"Aku sedang berusaha membuatmu percaya dan memainkan peran sedikit lebih serius."
"Hah?" Aku berada di dekat sudut meja saat berbalik dan menatapnya dengan keterkejutan luar biasa.
"Aku mungkin kurang ajar, tetapi aku tidak pernah berbohong padamu, Ava." Dia tiba di hadapanku dan menyelipkan beberapa helai rambutku yang lolos ke belakang telinga. Entah bagaimana bisa aku membiarkan itu terjadi. "Aku ingin dipercaya."
Sekali lagi dia memamerkan senyumnya dan menyibukkan diri dengan apa yang tersaji di atas meja makanku. Dia bahkan membeli sarapan di luar--karena aku ingat takada banyak bahan tersisa di dapur untuk dipakai memasak sebanyak itu.
Aku menghela napas cukup panjang dan bergeming ketika dia sudah menarik satu kursi untukku. "Kita tidak membutuhkannya kalau ingin misi itu berhasil." Aku mengalihkan pandangan pada beragam menu masakan yang ada di atas meja. "Ini terlalu berlebihan. Sikapmu hanya akan memicu munculnya sesuatu yang tidak kita harapkan dan seharusnya tidak terlibat."
"Saat kaubilang akan mengencani pria lain yang lebih menghargai keputusanmu, itu menggangguku. Aku tidak berhenti memikirkannya sampai melihatmu bersama Troy kemarin."
Kali ini entah bagaimana dia mampu membuatku langsung memercayai ucapannya. Wajahku panas dan darahku berdesir. Sesuatu dalam diriku tentu saja merasa senang kalau saja dia sedang cemburu. Namun, bukankah ini akan mempersulit banyak hal? Maksudku, akan berat rasanya jika kami harus melepas satu sama lain setelah tujuan kami tercapai.
"Itu bisa membuatku salah paham." Aku menarik kursi sendiri dan mendudukinya.
"Aku sudah bilang tertarik padamu, bukan?" Dia mengatakan itu lagi. Sayangnya, itu tidak cukup untuk membuatku yakin bahwa perasaanku berbalas. Tidak cukup.
"Mereka mungkin akan mengakhiri perjodohan itu. Sedikit lagi." Harusnya aku tidak mengatakan itu, tetapi aku tidak tahu bagaimana mencegahnya untuk tidak bersikap seperti ini. Terlalu aneh dan membuatku tidak tenang.
Aku menatap Alby lagi hanya untuk tahu bagaimana reaksinya. Dan dia berjalan mendekat, menarik kursi di sebelahku untuk kemudian duduk di sana. Sudah kuduga dia akan tertarik akan hal itu.
"Apa kau bertemu Claudia lagi? Maksudmu, misi itu akan berhasil?" Di menutup mulut, tetapi aku tahu dia tersenyum sangat senang. "Bagus kalau perusahaan orangtua mereka tidak jadi bergabung."
"Kau yakin karena perusahaan dan melihat penyesalannya? Bukan karena kau ingin bersamanya lagi?" Oh, senyumnya luntur, tergantikan oleh wajah datar. Seharusnya aku tidak menanyakan itu kalau tahu hanya akan merusak euforianya. "Makan siang hari ini, seharusnya aku tidak datang. Claudia mungkin akan mengakui perasaannya padamu, seperti saat di rumah makan waktu itu."
"Haruskah dibatalkan saja? Terlalu cepat mengakhiri kesepakatan kita. Aku ... punya banyak rencana untukmu." Alby memandangku lamat-lamat, seolah-olah sedang membuktikan dia mengatakan yang sebenarnya, bukan untuk bermain-main.
Sepertinya aku tahu rencana apa yang dia maksud. Aku yakin kondisiku tidak seburuk itu. Tanganku sering tremor, tetapi bukan karena perlakuannya, tetapi itu memang kejadian yang muncul begitu saja dan menjadi sering terjadi. Namun, terlalu pagi untuk membicarakan itu dengannya. Lagi pula, bukan itu yang penting untuk saat ini.
"Jangan. Kurasa dia merencanakan sesuatu."
🎶
Situasi macam apa ini? Aku yakin beberapa hari lalu ada dua orang yang berpikiran untuk mengakhiri hubungan mereka. Namun, apa yang kulihat sekarang? Mereka bersikap seolah-olah sedang dimabuk asmara. Siapa pun yang melihatnya tidak akan percaya kalau mereka adalah dua orang yang terpaksa bersama. Bagian yang menggelikan adalah ketika Jeff menyuapi Claudia lasagna. Kemudian diselingi dengan gurauan ringan berkedok pujian untuk satu sama lain; satu hal yang sama-sama tidak kusangka akan mereka lakukan.
Aku tidak berhenti mencuri-curi pandang pemandangan di seberang meja ketika sedang menikmati cream soup. Sedangkan di sebelahku, Alby tampak sangat sibuk menyingkirkan tulang dari ikan goreng yang kupesan. Dia tidak mengeluarkan suara sedikit pun, bahkan sama sekali tidak merasa terganggu dengan kemesraan pasangan di hadapan kami. Atau dia hanya sedang menahannya? Aku tidak tahu.
Padahal, sebagai dua orang yang sepakat untuk memanas-manasi Claudia, kami harusnya lebih banyak memamerkan kemesraan daripada mereka. Apa artinya hubungan mereka membaik? Apa Claudia tidak jadi merealisasikan rencananya? Aku sedang menunggu kabar baik itu, tetapi tidak kunjung terjadi. Mungkin seharusnya memang hanya Alby dan Claudia yang makan di sini.
"Ini. Aku sudah menyingkirkan tulangnya. Tapi makannya tetap harus hati-hati, aku khawatir kau akan tersedak tulangnya." Alby mengatakannya sembari meletakkan sepiring ikan bebas tulang hasil kerja kerasnya.
Aku tersenyum untuk menghargai usahanya. "Terima kasih," ucapku. Kupikir sudah selesai, tetapi dia belum memalingkan pandangan. Yang ada justru jempolnya menyapukan sesuatu di dekat sudut bibirku. Tentu saja itu membuat darahku berdesir.
"Kalau ingin menggodaku, sebaiknya jangan di sini, Ava."
Tidak hanya aku yang terkejut atas ucapannya, tetapi dua orang di depan kami juga. Namun, aku mampu mengendalikan wajahku dan kembali seperti biasa. Lalu aku sadar, kalau inilah pergerakan Alby untuk membalas mereka. Tidak perlu waktu lama untuk aku mengimbangi perannya. Oh, saran Pete waktu itu juga jadi pertimbangan atas apa yang akan kulakukan setelah ini.
"Bagaimana kalau memang sengaja?" Aku menempelkan ujung sendok yang ke satu sudut bibir, lebih dekat dari saat Alby menyapukan jempolnya tadi dan menyisakan cream soup di sana. "Seperti ini." Aku melanjutkan sembari mendekatkan wajah kami, sebelah tanganku juga melingkar di punggungnya.
Percayalah, aku sedang menahan diri untuk tidak bergidik pada kelakuanku sekarang. Menggoda pria sama sekali bukan sesuatu yang akan kulakukan.
"Jangan sampai aku membersihkannya dengan cara lain di sini dan disaksikan banyak orang." Alby kembali menyapukan jempolnya ke sudut bibirku, tetapi kali ini dia juga tersenyum jenaka. Sikapnya sangat natural, seolah-olah kami memang sering melakukan ini. Dan aku, merespons kata-kata itu dengan meninju pelan lengannya.
"Kalian pasangan yang sangat manis."
Kami kompak menatap Jeff, yang baru saja berkata demikian. Aku juga melirik Claudia, hanya untuk tahu bagaimana reaksinya saat melihat peran kami tadi. Dia menempel di bahu Jeff dan tersenyum, tetapi aku bisa memahami maksud tatapannya. Ada rasa tidak rela, kecewa, yang beradu di sepasang manik kecokelatannya.
"Kalian juga serasi." Alby membalas dan mulai kembali menyantap makan siangnya yang tertunda.
Aku menyusul setelahnya. Ikan yang baru saja disisihkan tulangnya oleh Alby, aku tidak memintanya. Namun, entah bagaimana dia ingat kalau aku selalu memakannya dengan cara itu. Padahal baru satu kali kami makan bersama dengan menu ikan dan itu saat di Santorini.
"Ini makan siang yang terasa seperti double date." Claudia berceletuk sembari melepaskan gamitannya pada Jeff.
Itu tidak terduga, dia kembali tenang seolah-olah tidak ada hal yang mengganggunya tadi. "Saat kau mengajak Alby, kukira tidak ada Jeff. Aku tidak berhenti memikirkan kalau kalian hanya makan berdua." Aku tersenyum setelah mengatakannya pada Claudia.
"Itu berarti cemburu, dan aku tidak akan melakukannya tanpamu." Lagi-lagi Alby membuatku terpukau. Kali ini senyumnya terlalu tulus sampai aku mengira itu bukan akting sama sekali.
"Ide bagus. Mungkin bisa kita rencanakan kencan ganda." Jeffrey menjadi sangat antusias sekarang. Dia benar-benar ingin melakukannya atau hanya untuk pamer pada Alby? Aku ingat dia berkata kalau hubungannya dengan Claudia tidak benar-benar baik.
Sikap mereka sama sekali tidak seperti ingin mengakhiri perjodohan mereka. Bahkan Claudia pun mengangguki.
"Bagaimana kalau jalan-jalan ke tempat liburan? Kukira tidak akan terasa canggung karena kita sudah saling mengenal sebelumnya." Claudia menimpali. Untuk yang satu ini, kurasa mereka cukup kompak. Kemarin mengaku ingin mengakhiri semuanya, sekarang justru sebaliknya.
Aku menatap Alby, di saat yang sama dia juga menatapku. Untuk sesaat, aku menyadari bahwa dia sama bingungnya denganku. Haruskah kami setuju untuk kencan ganda? Seperti itulah arti tatapan kami saat ini. Sampai akhirnya, Alby lebih dulu memutus kontak mata.
"Boleh, asal kalian atur hanya di akhir pekan. Ava sudah bekerja, dia hanya punya waktu hari Sabtu dan Minggu."
Dan diputuskan bahwa kami juga akan mengikuti permainan mereka.
"Tunggu, kenapa tidak kita saja yang mengaturnya?" Aku menyentuh tangan Alby, sebagai tanda bahwa aku bicara dengannya. "Mereka pasti sedang repot mempersiapkan pernikahan, bukan?"
Claudia dan Jeff saling pandang dan tersenyum satu sama lain. Chemistry mereka tampak sangat bagus untuk yang satu itu, benar-benar bukan seperti dua orang yang tengah desperate untuk mendapatkan kembali pujaan hatinya.
"Kami sempat mendiskusikannya beberapa kali, tapi karena kami cukup sibuk, kami putuskan untuk menundanya dulu." Jeff yang menjawab. Sejauh aku mengenalnya, dia memang pandai bicara.
"Benar. Lagi pula, kami masih ingin menikmati masa-masa berkencan sebelum tanggung jawab pernikahan harus kami pikul." Claudia menimpali. Tatapannya hanya tertuju padaku, seolah-olah dia sedang menegaskan itu, bukan karena aku yang bertanya.
"Tidak baik menunda-nunda, aku dan Ava akan tetap membantu merencanakan kencan ganda itu."
Itu berarti aku akan terjebak bersama mereka berdua lagi. Percayalah, sebagai seseorang yang tahu akan keinginan mereka, aku merasa tertekan.
***
Langsung saja,
See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
10 Maret 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro