Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

50 - Jeff's Confession

Aku dan Jeff berjalan menyusuri koridor terbuka yang menjadi perantara antar satu gedung ke gedung lainnya. Suasananya tampak asing meski aku pernah kuliah di sini. Pepohonan yang daun-daunnya sudah berwarna jingga kemerahan berbaris rapi di sisi kiri kami, membuat udara jadi lebih segar meski di sebelah kanan langsung bertemu jalan dan banyak kendaraan berlalu lalang di sana.

Aku sudah mengirim pesan kepada Nate agar mengabariku jika sudah mau pulang.

Selama di jalan, ponsel Jeff beberapa kali berdering, tetapi pria itu hanya memeriksa dan menolak panggilan tersebut seperti si penelepon adalah pengganggu. Aku hanya diam menyaksikan itu meski sejujurnya agak mengganggu mendengar nada deringnya yang tidak enak dan terlalu nyaring. Kalau dulu, aku tidak akan segan-segan mengungkapkan betapa aku tidak menyukai musiknya, setelah itu dia akan langsung menggantinya.

Lagi-lagi teringat akan potongan-potongan kebersamaan kami sebelum aku membencinya.

"Bagaimana kabarmu?"

Lucu dia baru bertanya setelah kami berjalan cukup jauh.

"Kukira kau bisa menebaknya sendiri. Aku baik, seperti yang terlihat." Aku membalasnya dengan nada agak malas. Kulirik Jeff sebentar dan nyaris kaget karena dia sudah lebih dulu menatapku.

"Itu tidak terlihat baik di mataku."

Apa semua orang terlahir dengan kemampuan membaca suasana hati orang lain? Aku bisa memaklumi Nate karena kami memang bersaudara, tetapi Jeff? Bahkan Alby pun pernah menebak bahwa sesuatu sedang mengganggu pikiranku. Oh, atau aku yang menunjukkannya terang-terangan?

Dan aku benci berada di situasi di mana aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka.

"Bagaimana denganmu?" Awalnya aku sama sekali tidak berniat ingin balas menanyakan kabarnya, tetapi aku perlu melakukannya demi mengalihkan topik pembicaraan.

Jeff tidak langsung menjawab, dia hanya tersenyum seolah-olah sesuatu yang baik ada di depan matanya.

"Kuharap bisa terus sebaik ini," sahutannya hanya membuatku mengangguk ringan.

Kami tidak bicara lagi dan itu bagus. Aku memeriksa jam melalui ponsel sekaligus memeriksa apakah Nate mengirim pesan, tetapi tidak ada. Terkadang aku tidak menyadari kalau ponselku bergetar atau berdering singkat.

Aroma kopi sudah tercium dari sini, saat kulihat ke depan dengan saksama, kutemukan sebuah kedai kecil yang posisinya tepat di depan jalan masuk kantin kampus. Tempatnya sederhana, seperti food truck, tetapi hanya kontainernya yang dipakai. Di depan tempat memesan, terdapat beberapa kursi tinggi. Kupikir itu hasil kreatifitas mahasiswa di sini.

Jeff menarik satu kursi untukku, sementara dia tetap berdiri sambil membaca papan menu di hadapannya. Kubiarkan dia juga memesan untukku ketika dia juga mempersilakan aku untuk melihat menunya. Lagi pula, aku sedang tidak ingin memesan menu khusus saat ini. Kopi jenis apa saja akan kuterima.

Siapa pun yang mengurus kedai kecil ini, patut diberi apresiasi. Mereka membersihkan rak kopi, meja saji, sampai konter memesan dengan baik. Tidak banyak orang yang bisa membersihkan tempat sempit yang penuh benda seperti ini, terkadang masih ditemukan cipratan-cipratan bahan kopi di sela-sela benda. Itu membuatku jijik dan biasanya menjadi alasan untuk tidak memesan di sana. Sebagai seseorang yang suka kebersihan, aku yakin akan sering membeli kopi di sini--dengan syarat, aku masih mahasiswa di sini.

"Katanya kau akan menyukai kopi di sini." Jeff menarik kursi di sebelahku dan mendudukinya.

"Katanya?" Aku mengulang kata-katanya karena itu berarti sesuatu. "Kukira kau sudah pernah ke sini, karena kau tampak sangat yakin saat berkata bahwa mereka menyajikan kopi yang enak." Aku tidak salah mengingat itu, 'kan? Dia sendiri yang berharap aku mengiakan ajakannya.

"Itu ... hanya berusaha agar kau percaya." Jeff menelengkan kepala ke kiri sedikit dan menatap langit--itu kebiasaannya ketika merasa malu.

Tanpa kuduga, bibir ini menyunggingkan senyum, padahal aku sangat yakin masih sangat membencinya. "Kau tidak berubah, Jeff."

Aku tidak mengerti kenapa itu mampu membuatnya tampak semringah. Dia menyugar rambutnya dengan seulas senyum terpatri di bibir. Aku ingin mengklarifikasi kalau tidak sedang memujinya, sungguh. Namun, aku juga tidak setega itu merusak suasana hatinya. Well, seandainya nanti dia kecewa, aku tahu kalau itu bukan salahku.

"Aku hanya merasa menjadi diriku sepenuhnya saat ini."

Aku spontan memandangnya tidak percaya. Dari banyaknya respons, aku tidak menduga akan mendengar itu darinya. Jeff memang tidak tertebak, tetapi yang satu ini benar-benar mengejutkan.

"Tidak sopan berkata begitu di saat kita sudah memiliki pasangan."

"Kita sama-sama tahu kalau hubungan dengan mereka hanya sebuah skenario." Jeff memberi jeda ketika kopi kami tersaji--waktu yang cukup untuk aku kembali merasa sedih karena teringat buruknya interaksiku yang terakhir kali dengan Alby. "Semuanya palsu."

"Apa yang ada di antara kalian tidak palsu. Kalian sudah bertunangan dan segera menikah." Kulayangkan tatapan pada jari manis tangan kirinya yang berada di atas meja. Itu juga mengingatkanku pada insiden saat aku memergokinya dengan Claudia. Bahkan sampai sekarang aku masih mempertanyakan, dari sekian banyaknya wanita, kenapa harus Claudia?

Jeff mengangkat tangan kirinya dan memandang cincin itu sebelum menyunggingkan senyum miris. Pria yang dulu dengan bangga memamerkan wanita barunya itu kini sudah tiada, tergantikan dengan penyesalan. Seharusnya aku menertawakan Jeff sekarang, tetapi aku tidak mampu melakukannya karena, ya, situasinya sudah tidak lagi sama.

"Kukira begitu. Keterpaksaan berubah menjadi sesuatu yang membahagiakan, tapi aku tidak seberuntung itu. Aku benci melihatnya selalu berpura-pura, tapi dia juga tidak mau jujur padaku."

Kami terdiam cukup lama, sampai aku nyaris melupakan keberadaan secangkir kopi hangat yang aromanya baru saja memenuhi penciumanku. Aku bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tidak ada persiapan sama sekali untuk situasi yang semacam ini. Entah apa motif Jeff sampai memberi tahuku soal itu. Apa setelah semuanya berakhir, aku masih pantas mendengar itu darinya? Maksudku, adakah dua orang yang pernah bersama berada di situasi seperti ini?

Mungkin ada, aku hanya tidak pernah tahu soal itu.

"Itu hanya terjadi di film-film, kurasa. Mana ada keterpaksaan yang menyenangkan." Aku menyesap kopi milikku dan mengalihkan pandangan demi tidak melihat wajah memelasnya.

"Aku melakukan kesalahan saat melepasmu tanpa berpikir panjang." Jeff pun turut menyesap kopinya setelah kuletakkan milikku kembali ke meja.

Alih-alih merasa tersanjung pada pengakuannya, aku justru berharap waktu bisa kembali ke beberapa saat yang lalu, di mana seharusnya aku langsung pulang sebelum kami bertemu.

"Apa kau juga menyesal membantu orangtuamu?" Tentu saja aku masih ingat alasannya menerima perjodohan itu.

"Tidak. Tapi seharusnya aku memikirkan cara lain untuk membantu mereka."

Senyumku tersungging begitu saja. "Claudia memang terlalu cantik sampai kau tidak bisa berpikir jernih. Takada yang bisa menolak jika dipasangkan dengannya."

Jeff tidak merespons atau memberikan statemen untuk tidak membenarkan itu, jadi aku menyimpulkan kalau ucapanku benar.

"Dan pacarmu pun belum bisa berpaling darinya."

Celetukan Jeff membuatku mengurungkan niat ingin kembali menyesap kopi. Cangkirnya bahkan sudah berada di tangan, menggantung tidak jauh dari mulutku.

"Kau tidak perlu membawa-bawa dia, Jeff. Aku sudah pernah memintamu untuk mengakhirinya, 'kan? Agar mereka kembali bersama." Well, rasanya menyesakkan meski aku baru membayangkan mereka kembali bersama.

Hening yang tercipta menjelaskan betapa menyedihkannya kami; terjebak dengan seseorang yang tidak akan pernah membuat kami bahagia. Namun, aku masih cukup beruntung karena kesepakatan itu akan berakhir. Sedangkan Jeff akan menyandang status sebagai suami Claudia seumur hidupnya. Jeff rupanya tidak cukup beruntung sebagai seorang pria mapan.

"Aku akan mengakhiri rencana pernikahan itu, asal kau mau memberiku kesempatan kedua, Ava. Aku masih mencintaimu, sangat."

Oh? Sebelum aku sempat bereaksi, ponselku berdering. Berkat Nate, aku terhindar dari merespons ucapan Jeff.

🎶

Aku berusaha melupakannya; pengakuan Jeff. Takada yang lebih buruk selain kembali padanya. Dia pria baik, tetapi aku punya masalah untuk jatuh cinta dengannya. Percuma jika kami kembali, aku tidak akan bisa membalas perasaannya. Apalagi untuk saat ini, orang lain sudah memilikinya.

Mari lupakan itu dan periksa ponselku yang berdering. Nama Pete tertera di layarku bersama pantulan diriku sendiri saat membuka kamera depan ponsel. Waktu yang tepat untuknya karena aku baru selesai mandi sore dan hanya mengenakan jubah mandi saat ini.

"Hei, Ava."

Mataku berotasi karena sapaannya. "Aku tidak tahu sepenting apa urusanmu sampai harus meneleponku dengan Facetime?"

Pete terbahak-bahak. Aku tidak bisa mengenali di mana dia berada sekarang karena wajahnya memenuhi hampir seluruh layar, yang pasti itu bukan ruangan di kantornya. "Lihat ini." Kemudian sebuah boneka Minion memenuhi layar ponselku, terlalu kuning sampai membuatku mengernyit. "Ini untukmu."

"Hah?" Dan itu membuatku makin tidak mengerti, atas dasar apa dia membelinya?

"Aku tahu kau tidak menyukainya, jadi anggap saja dia sebagai Alby, dan pukul boneka ini saat dia membuatmu kesal atau marah."

"Itu benar-benar jauh dari pemikiranku."

Pete memang tidak terduga, terkadang penuh kejutan. Mungkin itu yang membuatku tahan berteman dengannya selama bertahun-tahun.

"Kau harus melampiaskannya. Pria itu bajingan, tapi wajahnya terlalu sempurna untuk ditinju."

Aku mendengkuskan tawa singkat. "Asal kau tahu, aku sudah pernah menamparnya."

Tahu bagaimana reaksi Pete? Sangat terkejut. Sebenarnya itu reaksi yang berlebihan mengingat dia tahu bagaimana aku saat sekolah dulu. Aku tidak segan menghajar orang lain yang menggangguku atau melakukan sesuatu yang menyebalkan. Namun, menampar? Seperti yang kukatakan, baru pertama kali.

"Tanganmu perlu mendapat piala Oscar. Dan aku perlu detail cerita untuk yang satu itu. Kau tidak akan menampar seseorang kecuali dia berbuat kurang ajar."

"You know me so well." Aku mencibir. "Jadi, kau menelepon hanya untuk menunjukkan boneka minion tadi? Kalau kau membelinya, itu aneh."

"Tidak, tidak, ada hal ini juga. Yang itu tadi hadiah yang kudapat dari perayaan di kantor. Langsung saja aku teringat padamu."

Itu lebih masuk akal bagi seorang Pete yang tidak suka membeli benda-benda tidak berguna. "Oke. Kau bisa berikan itu padaku nanti. Lalu apa?"

"Dave memintaku mengambil tuksedo miliknya dan memintaku untuk mencobanya karena kami satu ukuran. Dia juga memberi tahu kalau kau akan mengurus milik Hyunjoo, jadi aku akan menjemputmu."

"Baiklah, aku akan bersiap dari sekarang."

Ada kepercayaan yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh melihat pakaian pengantin pasangannya, itu akan mendatangkan kesialan untuk pernikahan mereka. Seharusnya aku hanya menemani Hyunjoo, tetapi pasangan yang akan menikah dua minggu lagi itu ada urusan mendadak dan pergi ke Korea. Namun, aku juga tidak tahu kalau Dave juga meminta Pete untuk pergi.

Sekitar jam lima sore, aku menunggu Pete menjemput di ruang tamu. Tidak ada yang menarik di ponselku, jadi aku menonton TV. Entah aku sedang kena sial atau bagaimana, di TV justru sedang menayangkan acara Fashion Week dari brand ternama dari Victoria's Secret. Tentu saja aku menemukan Claudia di antara para model. Dia tampak sangat menakjubkan. Tubuhnya seolah-olah memang sudah dirancang untuk memakai bikini. Tidak bisa dibayangkan kalau aku yang mengenakan salah satunya.

Hanya dengan kategori fisik, aku sudah kalah telak. Mana mungkin Alby mampu berpaling darinya?

Pikiranku terselamatkan oleh suara ketukan di pintu. Aku tahu itu Pete dari caranya mengetuk. Kumatikan TV dan kusampirkan tas ke bahu. Aku siap pergi dengannya.

"Oh my God!" Aku spontan bereaksi karena menemukan boneka miniom besar ketika pintu terbuka, alih-alih wajah Pete. Ukurannya nyaris separuh badan Pete, padahal aku yakin saat dia pamerkan di Facetime, bonekanya tidak sebesar itu. "Apa kau memompanya selama di perjalanan?"

Pete menurunkan boneka itu ke lantai dan memamerkan cengiran terbaiknya. "Itu punya temanku, tapi modelnya sama." Dia membawa boneka itu masuk setelah menerima isyarat dariku. "Kalau kau ingin menganggapnya sebagai Alby, tentu harus dengan ukuran yang sesuai, 'kan?" ucapnya setelah meletakkan boneka itu ke sofa.

"Thanks, Pete. Mungkin aku malah tidak tega menghajar boneka itu. Ayo berangkat."

Saat kami berjalan menuju parkiran, ponselku berdering. Aku memeriksanya dan menemukan kontak Alby di layarnya. Karena aku belum siap bicara lagi dengannya, aku membiarkannya sampai dering berakhir. Dan dia mengulanginya sampai tiga kali. Aku tidak peduli ada hal penting apa yang ingin dia sampaikan sebelum dia meminta maaf. Aku mungkin juga salah karena menamparnya waktu itu, tetapi aku punya alasan untuk itu; bersikap defensif. Sedangkan dia tidak punya alasan bagus untuk menciumku dengan kasar selain meluapkan emosi.

"Dari siapa?" Pete bertanya.

"Alby." Aku menjawab sekenanya ketika satu kali lagi kontak 'Termometer' mencuat di layar ponselku.

"Kurasa masalah kalian serius, sampai kau saja enggan bicara dengannya." Dahi Pete berkerut, benar-benar menanggapi masalahku dengan serius. "Ingat, aku masih menunggu detail cerita kenapa kau sampai menamparnya."

Aku mengusap tengkuk bertepatan dengan elevator yang mengantar kami ke lantai satu berdenting. Tidak mungkin aku akan menceritakan bagaimana sampai menampar Alby. Tidak dengan menceritakan bahwa pria itu sedang menciumku sebelum tanganku melayang. Walau nyatanya, itu hanya sebuah tindakan refleks.

"Bukan sesuatu yang besar, sebenarnya."

Aku membuang muka ketika Pete menatapku dengan dahi yang berkerut. Aku tahu dia ingin sekali tahu soal itu, tetapi dia juga bukan seorang pemaksa.

Baru saja aku menduduki bangku penumpang di mobil Pete, ponselku kembali bergetar. Tidak hanya satu, dua kali, tetapi berkali-kali. Aku baru melihat pratinjau yang muncul di layar ponsel, hanya untuk menemukan belasan pesan dari Alby. Itu bukan kebiasaannya, sampai aku berhasil dibuat mengira kalau ada sesuatu yang mendesak.

"Kurasa kau harus meresponsnya kali ini, Ava."

Termometer - Aku benar-benar memerlukanmu kali ini.
Termometer - Ada pameran yang harus kudatangi dan melibatkan Claudia juga.
Termometer - Hari Rabu, pukul sebelas sampai selesai.
Termometer - Tapi kau hanya perlu datang saat makan siang.
Termometer - Takada pakaian khusus. Pakai saja pakaian ternyamanmu.
Termometer - Semua orang tahu kalau kita bersama.
Termometer - Aku tahu kau enggan bicara padaku, setidaknya baca pesan ini.
Termometer - Aku kacau kalau kau tidak datang.

"Dia tampak frustrasi." Pete berkomentar, aku tahu dia mencuri-curi pandang layar ponselku.

"Hanya untuk kepentingan pribadinya," sahutku, kesal. Alby bahkan tidak menyematkan kata maaf satu pun, mana mungkin aku akan menemukan sisi kepedulian darinya. "Aku baru akan menolak karena harus bekerja."

"Kau yakin? Kukira itu akan jadi waktu yang tepat untuk membuat Claudia kepanasan." Pete masih bersikeras dengan rencananya waktu itu. Meski kuakui, itu tidak benar-benar buruk, tetapi setelah perasaan turut terlibat, aku harus menahan diri agar tidak terlena pada setiap interaksi fisik dengan Alby.

Wanita mana yang tidak suka disentuh pria yang dia sukai?

Wanita mana yang tidak suka dipeluk pujaan hatinya?

Wanita mana yang menolak ciuman orang yang mampu membuat jantungnya menggila meski hanya ditatap?--untuk yang satu ini, akal sehatku masih bekerja sangat baik sesekali.

"Entahlah, Pete, bisakah kita tidak membicarakan soal itu dulu? Aku pusing memikirkan permintaannya yang sering melenceng dari kesepakatan awal."

Pete tidak lagi bicara dan hanya keheningan yang tersisa selama kami di perjalanan menuju butik. Hari ini benar-benar menyebalkan, mulai dari pengakuan Jeff, sampai Alby yang mengirim pesan setelah cukup lama. Namun, aku tetap harus membalas pesannya.

Ava Clairine - Tidak bisa. Aku harus bekerja.

***

Maaf baru kuupdate 🙏🏼
Kali ini nggak mau jabarin alasannya karena nggak mau dimaklumi. Harusnya aku lebih bisa menyisihkan waktu buat nulis. Harapannya begitu, tapi realita nggak seindah harapan. Hehe.

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
3 Maret 2022
/Tuteyoo tambah tua kemarin. Hehe./

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro