Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

48 - Anderson Brothers

Ander-Ads merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa periklanan. Para pengusaha yang menghasilkan produk dengan merek mereka sering kali membayar perusahaan itu agar dibantu menjangkau lebih banyak kalangan. Orang-orang punya banyak cara untuk memperkenalkan produk mereka, tetapi bisa dibilang, perusahaan itu bekerja sangat baik daripada iklan mana pun. Ander-Ads bahkan punya agensi untuk melatih para public figure untuk mengiklankan produk-produk tertentu di laman media sosial mereka masing-masing. Itu menjadikannya sebagai perusahaan periklanan nomor satu di negara ini.

Wow. Setidaknya itu kesimpulan yang kudapat setelah membaca beberapa situs yang membahas tentang mereka di internet.

Aku menyimpan ponsel kembali ketika taksi makin dekat dengan lokasi yang dikirimkan Troy. Namun, mataku harus menyipit karena yang kulihat di depan sana tidak seperti yang kubayangkan. Maksudku, Troy bilang kami akan mendiskusikannya sambil makan siang, tetapi alamatnya justru mengantarkanku pada sebuah gedung tinggi dengan bertuliskan nama perusahaan Troy secara vertikal di sisi kanan.

"I'm sorry, Sir. Apa alamatnya memang benar di sini?" Aku mungkin hidup belasan tahun di sini, tetapi New York terlalu luas untuk dikunjungi setiap tempatnya.

"Benar, Nona." Dia menjawab dengan sopan. "Anda bilang tempat makan, bukan? Ander-Ent punya kafe di lantai satu bangunannya." Dia menjelaskan sebelum memberhentikan mobil tepat di depan jalan masuk ke bangunan tersebut.

Aku menurunkan kaca jendela dan memandang bangunan di depan mata dengan rasa takjub. New York penuh dengan gedung-gedung pencakar langit, tetapi Ander-Ent--anak perusahaan dari Ander-Ads--mempunyai desain bangunan yang unik. Gedung ini memiliki balkon di sisi kiri gedung dan tampak hijau dengan tanaman rambat yang menjuntai dari tralis pembatas. Meski bukan gedung tempat aku akan bekerja nanti, tetapi mungkin aku akan mengunjungi tempat ini lagi nanti. Maksudku, aku akan membuat diriku betah.

Namun, aku juga tidak lupa betapa jantungku sangat berdebar karena akan menemui CEO dari perusahaan ini. Walau Troy juga akan ada di sana, tetapi tidak cukup membantu karena kami tidak sedekat itu. Bertemu dua kali bukan berarti kami akan menjadi teman.

"Nona, Anda masih punya waktu banyak untuk mengagumi bangunan itu, tetapi saya akan kehilangan pelanggan jika Anda tetap berada di sini." Suara sang sopir menyadarkanku. Dia sangat baik, bahkan tersenyum ramah padaku.

"Maaf." Hanya itu yang bisa kukatakan selain merogoh tas dengan cepat dan mengeluarkan beberapa lembar uang pas untuknya. "Terima kasih." Dan aku langsung keluar dari sana.

"Ava!"

Aku baru mengambil beberapa langkah di atas hamparan batu klingker yang memenuhi halaman depan gedung ini ketika kudengar Troy berteriak. Pria itu berdiri di teras gedung dan aku tidak sadar kapan dia berada di sana. Aku bahkan tidak melihatnya tadi. Setelan jas kerja itu sangat cocok untuknya. Warna cokelat tua membuat kulitnya yang agak gelap jadi stand out.

Troy melambai penuh semangat, kurasa. Aku bisa melihat wajah semringahnya meski belum benar-benar tiba di hadapannya. Semoga aku tidak salah mengira kalau dia memang menantikan kedatanganku, karena sekarang aku mulai khawatir kinerjaku tidak akan berhasil memenuhi ekspektasinya. Well, sebenarnya bukan salahku juga jika dia akan kecewa. Pertama, dia yang menawarkan pekerjaan itu padaku. Kedua, aku tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang tidak akan datang dua kali.

"Siang, Troy." Oke, itu sapaan yang canggung untuk seorang pria yang tersenyum lebar padaku. Maksudku, dia memberi pekerjaan dan dengan dia berpenampilan sangat formal membuatku tidak bisa bersikap kasual. Kuharap aku tidak tampak konyol saat ini.

"Santai saja, Ava. Kau terlalu kaku. Aku masih Troy yang beberapa waktu lalu menggodamu."

Aku tersentak kaget ketika dia mendaratkan tangan di bahuku dan meremasnya pelan. Bukan karena takut atau semacamnya, tetapi aku terlalu gugup saat ini. Dia memang tidak mengatakan sesuatu tentang interviu, tetapi menemui atasan langsung tanpa tahu rupanya seperti apa jelas menciptakan sensasi yang mendebarkan. Bagaimana kalau kesan pertama yang kuberikan tidak cukup baik? Oh, bahkan aku masih mengenakan jaket kulit dari Alby.

"Tentu, kesan yang baik bagi seseorang yang pada akhirnya kautawari pekerjaan." Aku berusaha bersikap sesantai mungkin dan menerima tawa yang renyah darinya.

"Aku tahu cara membuat orang lain terkesan." Dia menurunkan tangan dan berlagak keren dengan menggulung lengan jasnya.

Caranya menyombong berhasil membuatku merotasikan bola mata. Itu detik-detik yang melegakan karena aku lupa dengan rasa gugupku.

"Kuharap aku tidak salah busana karena kau tampak sangat formal."

Mata Troy berseluncur dari kepala sampai kakiku, kemudian kembali lagi ke wajahku dan dia tersenyum. Dia melakukannya dengan cepat, jelas membuktikan kalau dia bukan sedang lancang ingin menilai tubuhku.

"Tidak, gaya itu menggambarkan dirimu. Penampilan tidak akan mengubah keputusan saudaraku untuk tetap mempekerjakanmu."

"Saudaramu?"

Troy tersenyum jenaka dan mengusap kepalanya sendiri--dan aku tidak tahu apa maksudnya melakukan itu. "Sebaiknya kita segera masuk dan kita berkenalan dengan benar."

Troy membuka pintu kaca di belakangnya dan mempersilakanku untuk masuk lebih dulu.

Begitu tubuhku sepenuhnya melewati pintu, aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda dengan di luar gedung. Aroma kopi dan manisnya wafel menyeruak memenuhi udara yang kuhirup. Suara musik country mengalun samar-samar dan kuyakini berasal dari kafe di sisi kanan kami. Suara-suara obrolan pengunjung yang sedang bersantai benar-benar mengujiku. Aku jadi ingin mencoba ke sana, menikmati wafelnya bersama segelas latte.

Awalnya aku meminta diriku untuk bersabar, karena mengira Troy akan membawaku ke sana. Namun, semua itu terpatahkan ketika langkahnya lurus sampai depan elevator. Baiklah, aku akan mampir nanti setelah pertemuan selesai.

"Wow." Satu kata yang spontan kulontarkan ketika pintu elevator, yang berhenti di lantai tiga, terbuka.

Mereka menciptakan bisnis dalam bisnis. Ander-Ent adalah bisnis hiburan, tetapi di dalamnya juga ada bisnis kuliner. Seandainya tempat ini adalah kantin untuk para karyawannya, kenapa mereka membiarkan sepasang suami istri dengan tiga anak yang masih kecil-kecil untuk makan di sini? Oh, dan pakaian para pengunjung juga terlalu kasual untuk ukuran seorang karyawan.

"Kami membuat terlalu banyak lantai di gedung ini, Matthew memutuskan untuk membuat rumah makan di sini dan bebas dikunjungi oleh siapa pun. Gratis untuk karyawan yang memiliki id-card."

Penuturan Troy berhasil menjawab rasa penasaranku, tetapi satu nama yang dia sebutkan kembali membuatku bertanya-tanya. "Matthew?"

"Saudaraku. Dia agak angkuh, tetapi sebenarnya sangat baik. Dan jika dia menarik perhatianmu, pikirkan lagi, dia duda."

Itu adalah penjabaran yang terlalu detail. Aku tidak tahu apakah statusnya akan menjadi informasi yang kuperlukan sebelum bekerja bersama mereka. Itu terlalu privasi.

Akhirnya kami tiba di sebuah meja bundar di mana hanya ada seorang pria bersetelan abu-abu gelap. Namun, aku tidak bisa melihat wajahnya karena tertutupi oleh majalah yang sedang dia baca.

"Hei, Matt. Dia sudah datang."

Pria itu menurunkan majalahnya dan terpampanglah wajah yang memiliki fitur tidak terlalu mirip dengan Troy. Dan dia tampak jauh lebih dewasa dengan kumis tipis. Aku penasaran berapa tahun beda usia mereka.

"Ava Clairine, freelancer." Aku mengulurkan tanganku ke arah pria bernama Matthew ini, menunggu dia menjabatnya.

Dia berdiri, membungkus erat telapak tanganku dengan kulitnya yang dingin. "Matthew, CEO Ander-Ads. Pria konyol di sebelahmu itu adalah COO."

Aku melirik Troy yang sudah melayangkan tatapan protes pada Matthew. Kurasa mereka memang suka mengejek satu sama lain.

"Selamat datang, Ava. Kuharap kau sangat senggang hari ini, karena aku akan menjelaskan semuanya agar kau bisa mulai bekerja hari Senin. Oh, dan pesan apa saja yang kau mau di sini."

🎶

"Pertemuannya lancar?"

Paula bertanya ketika aku baru menarik salah satu kursi. Posisiku tepat berhadapan dengannya.

"Ya. Aku akan mulai bekerja hari Senin." Sepertinya aku terlalu senang sampai tidak bisa berhenti tersenyum. Pekerjaan, ya, sesuatu yang sangat kuinginkan sejak dikeluarkan secara tidak terhormat.

"Selamat, Ava." Alby tiba diiringi aroma ikan salmon dan krim pasta yang dimasak bersama. Saat meletakkan panci yang dibawanya ke tengah meja, dia masih sempat mendaratkan tangan di puncak kepalaku, mengusapnya pelan. Alby dengan apron adalah kombinasi yang mematikan. Dia menjadi koki untuk makan malam kami hari ini. Aku hanya tersenyum untuknya.

Orangtua mereka mendapat panggilan dan pulang. Karena itu, Paula mengusulkan agar kami makan di rumah saja dan meminta Alby yang memasak. Itu membuatku terkejut dan berpikir apakah pria ini benar-benar tidak memiliki cela? Dia sudah punya banyak hal bagus dalam dirinya dan sangat tidak adil kalau dia juga pandai memasak. Aku pernah sarapan di sini dan dia yang menyajikannya, tetapi aku yakin menu sarapan tidak sesulit itu, jadi aku menganggap dia hanya terbiasa melakukannya karena tinggal sendirian. Namun, apa yang dia sajikan saat ini, mampu menggugah selera.

"Wow. Itu proses yang cepat. Kalau kuperhatikan, kau sangat senang. Pasti kau sangat menyukai pekerjaan itu?"

Paula menyodorkan satu piring padaku sebelum dia mengisi miliknya dengan pasta salmon. Dan aku yang masih dalam jeratan euforia menerima piring itu dengan penuh semangat. Bagian bawah piring ini bahkan membentur permukaan meja agak keras.

"Benar. Aku kembali menjadi layouter sekaligus ilustrator untuk katalog online Ander-Ads. Mereka punya metode baru untuk memperkenalkan produk klien mereka, terutama untuk kalangan anak-anak sampai remaja. Aku--"

Suara sendok yang terjatuh membuatku berhenti bicara. Di depanku, Paula tampak tegang. Kami sempat bertemu tatap, tetapi hanya sepersekian detik karena setelah itu dia membungkuk untuk mengambil sendok yang terjatuh. Apa ada yang salah dari kata-kataku? Atau dia hanya teringat akan sesuatu yang tidak menyenangkan?

"Wow. Itu bagus, Ava. Kau melakukan sesuatu yang memang kausuka." Paula tersenyum, tetapi aku tahu dia hanya sedang memaksakannya. Jujur saja, aku tidak tahu apa yang membuatnya seperti itu. "Ayo dimakan. Aku tidak punya banyak waktu."

Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan yang tersaji di hadapan jika apa yang kukatakan tadi merusak suasana hatinya. Aku ingin sekali bertanya ada apa, tetapi aku tidak ingin merasuk terlalu dalam ke privasi mereka.

Lagi-lagi aku harus dikejutkan oleh suara dua benda yang saling berbenturan. Kali ini berasal dari Alby. Dia mengempaskan mangkuk ke atas meja. Aku sampai khawatir meja berbahan kaca ini akan pecah karenanya.

Aku ingin bertanya ada apa, tetapi dengan Alby menatapku sangat tajam berhasil membuat nyaliku menciut. Kemarahan berkobar di matanya. Sekarang aku makin dibuat tidak mengerti pada situasi apa yang sedang kuhadapi saat ini.

"Ander-Ads kaubilang?" Ada geraman di suara Alby dan itu sangat mengerikan. Aku pernah menghadapi kemarahannya, tetapi tidak sampai separah ini.

"Alby, hentikan. Dia tidak tahu apa-apa." Paula berusaha menenangkan Alby, kurasa, meski sama sekali tidak menatapnya.

"Sekarang dia harus tahu." Suara Alby melembut. Dia kembali menatapku setelah itu. "Kau tidak boleh bekerja di sana, Ava."

Lagi, Alby bersikap seolah dia memegang remote pengontrol atas diriku. Embusan napasku terasa panas dan di bawah meja ini tanganku sudah terkepal. Aku siap meledak, tetapi Paula tampaknya sedang sedih untuk menerima kenyataan bahwa kami hanya berpura-pura. Akhirnya, yang bisa kulakukan hanya bertanya, "Kenapa tidak boleh?"

"Alby, masa laluku tidak ada hubungannya dengan Ava. Biarkan dia memiliki karier yang diinginkannya."

Alby menyugar rambutnya dengan cepat dan kasar. "Ada banyak perusahaan lain yang membutuhkan skill-nya, Paula. Mereka tidak pantas memiliki Ava."

Kepalaku sudah berdenyut karena lapar, sekarang aku harus mendengarkan perdebatan dua saudara ini. Bolehkah aku langsung menghilang saja?

"Tolong, kalian berdua tenang. Dan Alby, ceritakan padaku tanpa emosi, kumohon." Tanganku sudah tremor ringan saat meraih punggung tangannya. Aku tahu sentuhanku tidak berarti apa-apa untuknya, tetapi kalau dia masih sadar bahwa kami harus berakting, dia akan bersikap lebih tenang setelah ini.

Alby mengempaskan tubuhnya ke salah satu kursi. Dia tidak menatapku atau Paula saat ini, melainkan pada sepanci pasta yang tidak bersalah di tengah meja.

"Begini, Ava." Aku mengalihkan atensi pada Paula. "Hubunganku dengan seseorang dari mereka benar-benar tidak baik. Kami punya kenangan buruk di masa lalu." Dia menjelaskan dengan tenang meski dia tampak sangat terpukul. Wanita yang kupikir sangat sempurna ini bahkan tampak sangat rapuh. Sangat aneh menemukan kesedihan pada sosok yang biasanya selalu penuh semangat ini.

"Boleh kutahu apa?" Kuharap itu tidak kedengaran agak lancang, tetapi karena dia sudah mau memberi tahu tentang itu, berarti tidak masalah kalau aku tahu lebih banyak, bukan?

"Sebenarnya, Ava, aku tidak sanggup menceritakannya. Mungkin Alby yang akan melakukannya untukku nanti. Jadi, bisakah kita makan sekarang?"

Paula mungkin sudah kembali--maksudku, Paula yang biasanya. Dia tersenyum dan bergantian mengisi piringku dengan milik Alby dengan pasta salmon tadi. Namun, bisakah kami menikmati makan malam dengan situasi yang seperti ini?

Paula dan Alby mulai menyantap makanan mereka, sementara aku masih memegang sendokku sambil menatap mereka bergantian. Kalau tahu pada akhirnya akan seperti ini, seharusnya aku tidak perlu memberi tahu mereka tentang tawaran pekerjaan itu.

"Aku akan menyuapimu kalau tidak segera memakan itu, Ava."

Aku hanya menggeleng dan mulai menyendok pasta di hadapan ketika Alby berkata demikian. Aku tidak bisa menikmati kelezatan dari pasta ini selain merasa kalau berada di sini, di antara dua saudara ini, adalah sebuah kesalahan.

Satu makan malam terlewati dalam keheningan. Aku dan Paula menumpuk peralatan makan kotor, sementara Alby memindahkannya ke wastafel. Baiklah, sebagai bentuk terima kasih, aku akan mencucinya.

Paula tidak menahan dirinya berada di sini lebih lama dan berpamitan langsung pulang. Bahkan meski beberapa saat lalu aku membuatnya teringat akan masa lalu yang buruk, dia masih sempat-sempatnya menggodaku. Dia mengerling dan mengucapkan selamat bersenang-senang untuk kami, padahal aku tidak menginap di sini lagi.

Terakhir, Alby mengantarkannya sampai depan pintu elevator. Mereka berpelukan sangat lama di sana. Kurasa Alby adalah sangat menyayangi Paula, terbukti dari betapa marahnya dia saat aku menyebutkan Ander-Ads tadi. Dia benar-benar dapat diandalkan untuk saudara perempuannya. Perasaanku menghangat meski aku hanya melihatnya. Bagaimana mungkin perasaanku tidak bertumbuh jika terus diperlihatkan hal-hal baik tentangnya?

Paula sudah memasuki elevator dan sebelum Alby berbalik, aku segera memutar badan dan mulai mencuci peralatan makan kotor di hadapanku. Aku tidak ingin ketahuan memperhatikan mereka, meski tidak tahu apa alasannya.

Aku tetap meneruskan aktivitasku bahkan ketika Alby sudah berdiri tidak jauh di sebelahku. Dia tidak mengatakan apa-apa dan itu membuatku berdebar. Padahal aku tidak tahu dia sedang memperhatikan atau tidak. Yang kutahu dia hanya menyandarkan pinggulnya di pinggiran meja pantri. Sampai aku selesai mencuci piring pun dia tidak bicara.

"Aku akan pulang kalau tidak ada lagi yang bisa kulakukan di sini."

Alby belum bicara dan kurasa tidak ada gunanya mendesak agar dia mau bercerita. Aku meraih jaket yang tersampir di kursi yang kududuki tadi dan memakainya. Itu berarti dia tidak menahanku untuk pulang, bukan?

"Tidak bisakah kau bekerja di tempat lain?"

Aku menjatuhkan lagi tas yang baru saja kuraih dan berputar hingga berhadapan dengan Alby.

"Aku sudah menyebar banyak lamaran, Alby. Tapi mereka lebih suka merekrut fresh graduate. Dan pengalamanku bekerja di perusahaan Jeff selama bertahun-tahun tidak cukup menunjang." Aku menelan ludah dan duduk menyamping di kursi yang kugunakan saat makan tadi. "Mereka mengapresiasi kemampuanku dan itu membuatku senang. Aku sangat membutuhkan pekerjaan, Alby. Aku tidak bisa terus membiarkan Nate mengeluarkan uang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan kami."

Aku tidak sedang ingin dikasihani saat ini, tetapi itulah kenyataannya.

"Kau bisa bekerja denganku. Atau menjadi content creator untuk media sosial Aleo. Apa saja, Ava. Kau hanya perlu katakan apa yang kaubutuhkan." Tatapannya melembut, ada harap yang tersorot di kedua maniknya.

"Kenapa kau mau melakukan itu?"

"Tentu saja karena aku peduli padamu." Dia mendekat dan memegangi kedua lenganku. "Apa pun asal bukan bekerja dengan mereka."

Aku menghindari tatapannya dan menelan ludah dengan susah payah. Benteng pertahananku harus lebih kuat, karena aku bisa saja terpengaruh hanya dengan ditatap seperti itu.

"Kau tidak peduli padaku, Alby. Kau hanya tidak ingin aku bekerja di bawah orang yang tidak kausuka. Dan aku bahkan tidak mengerti apa alasannya." Aku menatapnya lagi, kali ini tanpa keraguan sedikit pun. Semua yang akan kukatakan padanya sudah tersusun di kepala. "Satu hal yang kuinginkan setelah kesepakatan kita berakhir adalah aku tidak lagi bertemu denganmu. Kalau aku sudah bekerja denganmu, bagaimana bisa aku menghindarimu?"

"Sebenci itukah kau padaku, Ava?"

"Sangat." Kuharap, apa yang orang katakan benar, bahwa benci dan cinta itu tidak jauh berbeda.

Alby melepaskan tanganku dan menduduki kursi di depanku. Dia tidak memutuskan kontak mata kami sedetik pun. "Paula sudah menikah tiga tahun lalu, tapi diceraikan dengan tidak terhormat hanya karena dia tidak bisa hamil. Mantan suaminya bahkan tidak menemuinya saat di pengadilan."

Aku kaget bukan main. Meski Alby yang menceritakannya, tetapi aku bisa membayangkan betapa sedihnya Paula saat itu.

"Paula sangat mencintainya dan aku tidak sanggup mengingat betapa terpukulnya dia saat itu. Dia mengurung diri selama berbulan-bulan dan seperti mayat hidup saat kami menemuinya. Aku ingin sekali menuntut pria itu, membuatnya menyesal seumur hidupnya, tapi Paula terlalu baik dan menahanku agar tidak melakukannya. Dia terus menyalahkan dirinya dan menganggap dirinya terlahir cacat."

"Aku ... tidak tahu. Itu pasti sangat menyedihkan."

"Ya! Tentu saja itu sangat menyedihkan." Aku tersentak kaget karena intonasi suara Alby meninggi. "Dan pria itu adalah Matthew Anderson, pria yang akan menjadi bosmu."

Aku membeku. Bumi terasa berputar-putar ketika kenyataan itu menghantamku. Lalu aku ingat saat Troy mengatakan bahwa Matthew seorang duda. Wow. Bagaimana bisa aku terus menemui orang-orang yang saling berhubungan? Aku merasa berada di tengah-tengah mereka. Tidak bisakah skenario hidupku dibuat lebih mudah? Maksudku, aku mendapat pekerjaaan dan selesai. Aku bekerja tanpa harus dihadiahi drama seperti ini.

"Saat tahu dia senang melihatmu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berakting di depannya juga. Percayalah, aku bahkan ingin dia tahu kalau kita hanya pura-pura. Sayangnya, sudah lama aku tidak melihat semangatnya saat melakukan sesuatu yang melibatkanmu."

"Bukankah akan menyakitinya jika kita membohonginya lebih lama lagi?" Jika untuk Paula, Alby akan memikirkannya, 'kan? Atau dia menemukan cara lain yang lebih baik? Jujur saja, aku berdebar menantikan responsnya. Aku takut berekspektasi.

"Kalau begitu, jangan beri tahu dia, katakan saja kalau kita memang sudah tidak bisa bersama lagi."

Aw. Itu menyakitiku, lagi. Bahkan menelan ludah saja terasa seperti kerongkonganku baru dilewati oleh tulang ikan. Apakah dia tidak merasakan sesuatu sedikit saja padaku? Apa aku memang tidak pernah menarik di matanya?

"Benar. Begitu saja." Aku mengatakannya agak pasrah.

"Dan aku masih berharap kau membatalkan kontrak kerja dengan mereka."

Aku melotot padanya kali ini. "Lagi? Aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan masa lalu Paula. Bekerja dengan mereka bukan berarti aku memusuhinya, Alby." Aku menyugar rambutku yang sudah berantakan karena seharian tidak disisir. "Aku perlu uang mereka."

"Bagaimana kalau dia merekrutmu karena kita bersama? Dan dia hanya ingin memperalatmu untuk balas dendam? Karena aku berhasil menghancurkan mereka waktu itu."

Aku langsung berdiri dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Posisi ini membuatku merasa memiliki kekuatan lebih darinya. "Aku mendapat pekerjaan ini dari Troy, adiknya, bukan Matthew. Troy sudah menjadi pelangganku di situs freelance sebelum kami bertemu. Dia bahkan tidak tahu kalau kita bersama sampai aku memberitahunya di bar waktu itu."

"Dan dia menawari pekerjaan itu setelah tahu kita bersama, 'kan?"

Tanganku terkepal. Namun, aku tidak menunjukkan reaksi lebih dari ini; hanya menatapnya dan tidak mengatakan apa-apa. Aku ingin segera pulang, rasanya menyebalkan terlalu lama menghirup udara yang sama dengannya.

"Situasi ini di luar kesepakatan, Alby. Menjadi kekasih palsumu bukan berarti kau punya hak untuk mengontrol hidupku. Kita melakukan ini untuk Claudia, 'kan? Aku bosan mengingatkanmu terus, Alby!" Aku menghirup napas sebanyak mungkin. Marah-marah itu melelahkan.

"Hubungan kita bukan pura-pura, Ava. Kita sepasang kekasih." Lihatlah betapa dia sangat serius saat mengatakannya. Namun, aku justru ingin tertawa sekarang.

"Hanya untuk berakting. Tidak lebih dari itu. Sebenarnya, Alby, apa yang kaurasakan padaku hm? Kau terus menahanku dengan alasan yang tidak jelas. Terlalu sepele kalau boleh kubilang." Aku tertawa dan itu tampak jelas kalau dia merasa sangat terganggu. "Tolong akhiri hubungan kita agar aku bisa mengencani pria lain yang akan menghargai keputusanku."

Alby berdiri, dia meraih wajahku dan mendaratkan bibirnya ke milikku. Ini terjadi begitu cepat dan bibirnya bergerak sangat kasar di sana hingga bibirku terasa perih. Aku mengumpulkan tenaga dan mendorong dadanya sekuat yang kumampu. Itu berhasil menciptakan jarak dan terdengar suara tamparan yang keras setelahnya.

Dia sangat terkejut, begitu pula denganku. Aku menunduk untuk menatap tanganku yang sudah bergetar hebat. Aku tidak pernah menampar wajah seseorang, tetapi aku tidak bisa menahan tanganku sendiri. Ini adalah yang pertama kali dan aku melakukannya pada pria yang juga untuk pertama kalinya membuat hatiku benar-benar terasa hidup.

Dan saat melihat bekas tanganku memerah di wajahnya membuat hatiku nyeri. Mataku sudah memanas, mungkin aku akan menangis di sini jika tidak segera pergi. Aku menyakiti seseorang dan itu membuatku merasa sangat buruk.

Aku melihat ke sekeliling, mencari keberadaan tasku seperti orang linglung. Setelah kudapatkan, aku segera memakainya dan kembali berdiri di hadapan Alby. Dia hanya menunduk saat ini, entah apa yang dia pikirkan sekarang. Rasa bersalah yang bersarang membuat sebelah tanganku yang tremor terangkat, ingin menyentuh wajahnya, tetapi sebelum mendarat di sana, tanganku sudah lebih dulu terkepal.

Aku mengulum bibirku yang mendadak terasa kering dan kurasakan rasa anyir agak asin. Sepertinya bibirku berdarah. Itu menyadarkanku kalau dengan menampar Alby tidak sepenuhnya salah. Dia melukaiku dan aku juga melakukan hal yang sama. Itu impas.

"Maaf. Aku hanya akan menemuimu jika ada Claudia. Aku tidak bisa berbohong lagi untuk orangtuamu atau Paula. Dan aku tetap akan bekerja untuk Ander-Ads. Kalau kau tidak senang dengan itu, akhiri saja kesepakatan kita. Aku akan mengganti uangmu 100%."

Kukira aku akan cukup kuat, tetapi aku justru membiarkan air mataku mengalir ketika pintu elevator yang kumasuki tertutup.

Mom, apa aku juga tidak boleh mendapat balasan atas perasaanku?

***

Apa aku menyiksa Ava?
Enggak kok, Tut. Nggak seberapa ini, masih kejaman author lain. *eh?

Bab ini berakhir dengan jumlah 3400-an, semoga nggak bikin eneg, ya 😁

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
14 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro