47 - Cutest Side of Him
Dua gelas smoothies tersaji di meja kami. Itu menjelaskan kenapa dahi Alby penuh dengan kerutan sekarang. Dia tidak suka minuman manis ini. Oke, satu informasi baru tentangnya. Aku akan mengingat itu, entah agar aku tidak lagi memesan itu untuknya, atau untuk mengerjainya. Berada di sini dengan sisi terlemahnya lumayan menguntungkanku. Dia tidak melakukan perlawanan sedikit pun.
Aku tidak peduli apa yang Alby lakukan dengan minuman itu, tetapi aku sudah menyedot milikku beberapa tegukan. Selain itu, aku juga berhasil mengistirahatkan kaki yang sudah cukup lama berdiri untuk menemani Alby menyapa beberapa pengunjung yang datang tadi.
"Bagaimana mungkin kau bisa tahan dengan minuman semanis itu?" Dia menatapku dengan ekspresi yang aneh, seolah-olah aku baru saja meminum jus sayur yang rasanya seperti rumput.
"Ini akan memperbaiki suasana hatimu, cobalah sedikit." Aku mengangkat gelasnya dan menabrakkan ujung sedotan ke bibirnya. Tentu saja dia terus menghindar. Aku sampai menggeram rendah dan meletakkan kembali minumannya ke atas meja. "Kau tegang, Alby. Rilekslah sedikit."
"Kukira kau mau melakukan sesuatu untuk membantuku?" Oh, ternyata dia cukup mengerti apa yang sedang kulakukan.
"Of course, I did. Ini fase pertama, kau harus tenang. Mungkin bisa ceritakan apa saja yang kira-kira akan membuatmu lupa tentang sambutan." Aku melipat kedua tangan di atas meja, menanti satu atau dua kata keluar dari bibir kissable-nya. Dan rasanya aku seperti orang bodoh karena terlalu bersemangat. Bagaimana tidak? Aku sedang mengulangi hal baik yang Mom lakukan dulu.
"Ini konyol, Ava." Bahunya membentur sandaran kursi lumayan keras. Aku bisa mengerti, karena di saat seperti ini dia sedang tidak membutuhkan omong kosong--dan dia mungkin menganggap aku hanya sedang bermain-main.
Jadi kurasa, cara ini tidak berlaku pada semua orang. Terutama untuk seseorang yang tidak menyukai sesuatu yang terlalu manis.
"Dulu, aku juga sama sepertimu. Selalu bergetar saat berdiri di depan banyak orang. Well, tidak benar-benar sama karena aku masih kelas empat dulu."
Alisnya bertaut, kupikir sindiranku membuatnya kesal. Pria dewasa sepertinya dengan gadis kelas empat tentu saja berbeda jauh.
"Tatapan semua orang seperti sedang menikamku hidup-hidup tanpa ampun. Waktu itu aku masih bisa merengek karena ketakutan. Aku bisa mengerti tekanan yang kaurasakan saat ini." Aku bicara sok bijak. Sengaja, aku senang melihatnya makin gugup, apalagi Alby sedang menunjukkan sosok aslinya saat ini. Oh, dan kebersamaan tanpa sandiwara ini juga terasa menyenangkan, aku menikmatinya.
"Kau membuatku makin tertekan." Dia mengerang frustrasi. Kupikir kerongkongan agak serak saat dia melakukan itu, hingga meminum smoothies yang kupesan untuknya. Dia bahkan sama sekali tidak keberatan dengan rasanya yang terlalu manis.
"Aku belum selesai." Well, aku menyesap minumanku sebelum kembali berceloteh panjang. "Mom pernah memberi tips ini padaku. Untuk menghindari tekanan dari orang-orang yang berharap kau menunjukkan performa terbaik, kau hanya tidak perlu menatap mereka."
Alby tertawa. "Aku memberi sambutan sambil menunduk, begitu?" Dia menggeleng ringan. "Aku akan makin konyol dan semua orang akan menertawakanku."
"Tidak, tidak. Kau hanya perlu memindai penonton dengan cepat. Saat tiba di tanda titik--tunggu, sambutanmu spontan, atau dengan selembar kertas?"
Alby membuka satu sisi jaketnya untuk mengeluarkan selembar kertas yang dilipat dari saku yang ada di dalamnya. Jaket kulit yang dia kenakan tampak familier, sampai aku menyadari bahwa kami sedang mengenakan jaket yang sama. Aku juga pernah melihatnya saat mengerjakan poster untuk iklan mereka. Well, jaket couple.
"Ya, dengan teks."
Aku merampas kertas di tangan Alby karena kupikir dia memang ingin menunjukkannya padaku. Wow. Ini benar-benar pidato yang penuh persiapan, aku tidak tahu kalau dia sangat berdedikasi sampai hal seperti ini saja benar-benar dipersiapkan.
Aku melipat kembali kertasnya sebelum kukembalikan. "Kau yakin hanya sambutan? Itu seperti pidato kampanye presiden," gurauku meski tahu dia akan tambah kesal.
Sambil menyimpan kembali naskahnya, Alby berkata, "Paula menyiapkan semuanya. Dia sangat bersemangat dengan pembukaan toko baru ini."
"Harusnya kau juga senang, 'kan? Itu bisnismu." Oke, aku harap dia tidak tiba-tiba semringah karena aku mengingatkannya soal itu. Karena, ya, demi otot-otot lengannya yang berkontraksi dan tiba-tiba membuat sesak jaketnya, aku masih menikmati momen ini.
"Aleo adalah bisnis keluarga, ini ide Paula, tetapi mereka memakai namaku karena kehabisan ide. Aku bahkan tidak turun tangan untuk mengurusnya. Semuanya diatur Paula."
Terlalu banyak hal tidak terduga dari keluarga mereka, sungguh. "Ta-tapi kau mengontrakku, 'kan? Untuk promosi waktu itu." Kalau tidak, kenapa dia juga memeriksa hasil pekerjaanku?
Aku tidak menduga dia akan bersikap seperti ini; berdeham, membuang muka dan menyesap smoothies-nya lagi, seolah-olah berusaha menyembunyikan sesuatu. Andai dia anak kecil, aku tidak akan menahan diri untuk tidak berkata bahwa dia menggemaskan dan kuusap rambutnya yang sudah rapi itu.
"Kupikir hanya itu alasan agar aku bisa menghubungimu terus."
Aku kaget, tentu saja. Walau aku sudah menebak itu yang terjadi, tetapi dengan dia mengaku seperti itu, aku tidak bisa menahan jantungku untuk tidak melompat kegirangan.
Situasinya mendadak canggung. Alby bungkam setelahnya dan aku tidak punya sesuatu untuk dikatakan lagi. Meski aku belum selesai memberi tahu apa yang perlu dia lakukan saat memberikan sambutan nanti, tetapi melanjutkannya sekarang akan sangat aneh dan jelas sekali ini bukan waktu yang tepat.
"Ini es krimnya, maaf atas keterlambatannya."
"Terima kasih, terima kasih banyak. Aku senang akhirnya pesanan kami tiba." Aku memamerkan senyum tanpa menyembunyikan deretan gigiku. Senyum yang bodoh, aku tahu itu. Namun, aku benar-benar sangat berterima kasih pada pelayan yang baru saja mengantarkan pesanan kami. Dia seperti air yang disiramkan ke rumah yang kebakaran dan apinya adalah kecanggungan kami.
"Satu untukmu." Aku mendorong mangkuk es krim cokelat lebih dekat dengannya.
"Kau bisa membuatku diabetes setelah ini, Ava."
"Itu dark chocolate, tidak terlalu manis. Jangan menjustifikasi sebelum kau mencicipinya." Dengan sendok milikku, aku menyendok es krim miliknya dan kudekatkan ke bibirnya. "Cobalah."
"Orang-orang melihat kita." Dia berdesis. Bola matanya bergulir ke kanan dan kiri dengan gelisah.
"Takada siapa pun selain kita di sini. Kalau maksudmu mereka yang ada di sana." Aku menunjuk toko barunya yang ada di seberang jalan. "Bagus, bukan? Kau mau menunjukkan bahwa kita adalah pasangan, berhasil. Ayo cicipi."
Aku masih berusaha menyuapinya, sampai Alby menyerah dan menerimanya. Keningnya berkerut ketika es itu berada di atas lidahnya.
"Bagaimana?" Aku penasaran bagaimana pendapatnya karena kupikir dia akan menyukai itu.
"Ini dingin." Jawabannya spontan membuat mataku berotasi.
"Seperti tidak pernah makan es krim saja." Dengan sendok yang sama, aku menyuap milikku. Sudah lama aku tidak makan es krim hingga aku begitu bersemangat menikmatinya saat ini. Beberapa suapan terlewati sampai aku menyadari sesuatu. "Oh, ya, apa karena kau selalu menyantap sesuatu yang panas? Tunggu, apa kau membawa termometer sekarang? Kalau es krimnya terlalu dingin, aku akan minta mereka memanaskannya."
Ya, Tuhan, aku suka sekali menggodanya sampai tidak bisa berhenti tersenyum. Bagaimana dengan Alby? Tentu saja berwajah masam.
"Kurasa seseorang sedang terlalu senang saat ini." Alby mendelik sebal dan memandang ke seberang jalan.
"Very much!" Untuk merayakannya, aku kembali menyantap es krimku.
"Kuharap kau tidak lupa kenapa kita berada di sini."
Aku tertawa kecil saat dia menegurku. Es krim di kedai ini sangat enak sampai aku tidak bisa berhenti menyuapnya dan sekarang sudah tersisa sangat sedikit. "Oke, oke, jadi sambutan dengan teks jelas akan memudahkanmu. Kau punya alasan untuk sering-sering menghindari kontak mata dengan mereka. Menunduk sebentar untuk membacanya, lalu memindai mereka dan akhiri dengan menatap seseorang yang kaukenal dengan baik. Keluargamu, misalnya. Mereka tidak akan memberimu tatapan yang menilai. Jangan lupa untuk tetap tenang. Sedikit gerak, tapi tetap rileks."
Alby menghela napas sangat panjang. "Terdengar sangat kekanakan untuk kulakukan."
"Kau belum mencobanya, itu berhasil untukku saat wisuda." Aku membalas di sela-sela menyantap es krimku
"Wow, kau lulusan terbaik?" Nada bertanyanya terdengar seperti sindiran untukku, seperti dia tahu kalau aku tidak cukup pintar.
"Tidak. Hanya sambutan untuk mewakili jurusan, menggantikan temanku lebih tepatnya."
Kali ini Alby yang menertawakanku. Situasinya berbalik kurasa. Namun, sekaligus membuatku sedih karena harus teringat akan masa-masa kuliah. Itu bukan sesuatu yang menyenangkan karena aku kesulitan untuk mendapat nilai A meski hanya untuk satu mata kuliah.
Sekarang aku sudah tidak bernafsu menyantap es krim di hadapanku. Beruntungnya, hanya tersisa satu atau dua suapan. Meski begitu, aku masih memandang sisa es krim yang meleleh ini tanpa bisa berpaling. Kuharap aku juga bisa meleleh dan tersapu oleh air ketika pelayan kafe mencuci mangkuknya, agar aku tidak perlu lagi repot-repot merenungi hidupku yang menyedihkan ini. Bahkan jatuh cinta pun tidak menunjukkan tanda-tanda akhir yang bahagia.
"Sekarang kau melamun." Suara Alby membuatku mengangkat wajah kembali dan memaksakan seulas senyum untuk hadir.
"Apa itu cukup membantu? Aku bukan ahlinya, tapi kuharap yang tadi bisa sejenak membuatmu tenang."
"Yap. Aku merasa kau benar-benar kekasihku. Mungkin kita perlu sering-sering melakukan ini. Dan es krim ini benar-benar sangat tak terduga, mengejutkan melihat sisi lain darimu saat menikmatinya." Itu pengakuan terjujur darinya. Aku tidak merasa adanya sandiwara di sana.
"Kau hanya belum mengenalku cukup baik." Agak canggung mengatakan itu padanya. Maksudku, apa itu terdengar seperti aku ingin dia mencari tahu tentangku lebih banyak lagi?
Namun, anggukannya sedikit membuatku berharap sesuatu yang baik akan terjadi.
"Kau benar, kubilang di luar sandiwara, kita adalah teman, tapi kita bahkan tidak tahu tentang satu sama lain."
Wow, kata teman terdengar mengecewakan. Bisa-bisanya pria seperti Alby membuatku seperti ini.
"Es krimmu sudah habis, kau mau lagi?" Alby menyendok es krim miliknya dan didekatkan ke bibirku.
"Tidak. Aku kenyang."
Sayangnya, Alby memaksa. Aku seperti sedang melihat diriku saat melakukan hal yang sama padanya tadi. Ternyata itu sangat menyebalkan.
Demi membuatnya berhenti, aku membuka mulutku, tetapi dia menarik sendoknya dengan cepat hingga es krim itu hanya masuk ke mulutku setengah dan sisanya mengenai bibirku. Seharusnya aku sadar kalau Alby tidak akan bersikap semanis itu padaku. Sekarang aku kerepotan membersihkannya, parahnya tidak ada kotak tisu di meja ini.
"Tahu apa yang lebih manis?"
Aku baru akan menjawab ketika jempolnya menyapu sisa es krim--yang aku bahkan tidak sadar masih tersisa--di bibir atasku. Kami mungkin pernah berciuman, tetapi dia tidak pernah menyentuhnya dengan jari. Itu baru dan, ya, mampu membuatku membeku.
"Ini," ujarnya lagi dan menjilat es krim di jempolnya dengan senyum yang menawan.
Sejujurnya, itu menjijikkan sekaligus seksi di saat yang bersamaan. Akan kuingat untuk tidak memesan es krim lagi jika kami pergi jalan-jalan hanya berdua, berbahaya untuk jantungku.
🎶
Kurasa semuanya berjalan baik. Mini fashion show, sambutan-sambutan dari keluarga--termasuk Alby, sampai pemotongan pita untuk menandakan bahwa toko resmi dibuka mulai hari ini, berjalan lancar tanpa hambatan. Dan Alby berhasil menyampaikan berparagraf-paragraf tulisan di kertasnya dengan baik, sampai-sampai Albert terharu dan kedapatan mengusap air mata di sudut matanya. Kurasa Alby memang tidak pernah melakukan itu sebelumnya.
Ada banyak orang yang datang untuk belanja. Tidak hanya orang-orang yang berhadir untuk menyaksikan serangkaian acara pembukaan, tetapi juga orang-orang yang memang datang terlambat untuk sekadar belanja. Itu akan menjadi uang yang mengalir di kantong keluarga Alby. Mudah sekali untuk orang-orang kaya melipatgandakan uang mereka. Itu tidak adil mengingat kami tidak mampu melakukannya padahal lebih membutuhkan uang daripada mereka.
Aku memaksa senyumku tetap hadir saat keluarga sedang membicarakan tentang bisnis mereka. Kami duduk di satu meja bundar dengan tiga orang pria lain yang mereka sebut sebagai kolega bisnis. Alby ada di sebelahku, dia juga tidak banyak bicara dan sesekali melirik Claudia. Kurasa dia ingin menyapa, tetapi tidak tahu bagaimana caranya pergi dari sini.
"Mau menemuinya?" Aku pandai menduga-duga, tetapi tidak cukup pintar untuk menebak dengan benar. Maksudku, tidak mungkin aku langsung menyeretnya ke sana, 'kan?
Alby menoleh untuk melihatku dan berbisik, "Apa tidak masalah? Aku hanya ingin memastikan kondisinya."
Baru dua jam lalu aku merasa kami baik-baik saja, sekarang aku justru tertampar oleh fakta bahwa Alby masih mencintainya. Adakah yang lebih menyakitkan dari ini?
Aku berdiri dan mendapat atensi dari semua orang yang menempati meja ini. "Excuse us, please, we wanted to say hi to a friend there."
"Tentu saja, Sayang, nikmati waktu kalian." Susan tersenyum sangat cantik.
"Kembalilah saat makan siang." Paula menimpali dan aku hanya mengangguk untuknya.
Aku menarik tangan Alby dan kami bergandengan sepanjang jalan. Van Claudia adalah tujuan kami. Dan setiap langkah yang kuambil kerap menyadarkan betapa baiknya aku membantu mereka agar bisa mengobrol lagi.
Mom berkata kita harus berbuat baik pada orang lain, tetapi apa sebuah kebaikan harus membuat seseorang tampak menyedihkan?
"Terima kasih." Alby bahkan tampak senang aku berhasil menariknya pergi dari lingkaran para pebisnis itu.
"Kau benar-benar tidak berdaya saat bersama keluargamu, ya?" Lagi-lagi itu sindiran untuknya.
"Kau lihat sendiri bagaimana mereka, 'kan?"
Aku tidak membalas lagi karena kami sudah sangat dekat dengan Claudia. Wanita itu sadar kami menghampirinya dan sudah siap dengan senyuman hangat untuk menyambut kami. Aku melepas tautan tangan kami dengan alasan untuk membenahi jaketku, padahal aku hanya tidak tega menerima ketulusan Claudia di saat kami sedang berbohong.
"Selamat atas pembukaan tokonya, Alby." Claudia berujar ketika mereka memberi salam dengan menempelkan pipi secara bergantian.
"Terima kasih, Claudia. Bagaimana keadaanmu?"
Aku menatap Alby ketika dia menanyakan itu. Binar-binar di matanya menegaskan bahwa aku tidak pantas berharap sesuatu yang baik terjadi. Dan bibirnya yang terus melengkung itu membuktikan bahwa tidak peduli rencana sandiwara ini hanya untuk membalas dendam, tetapi kebahagiaannya ada pada Claudia.
"Kau harus lebih memperhatikan makanmu." Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sampai tidak lagi mendengar apa yang mereka bicarakan. Kuharap celetukanku masih cocok untuk obrolan mereka.
"Tentu, aku hanya kelelahan. Jadwalku terlalu padat sampai terlambat makan." Suara Claudia masih semanis dulu, tidak akan berubah kurasa, kecuali jika dia diserang flu.
Aku ingin bicara lagi tapi ponselku lebih dulu berdering. Sebuah nomor tidak kukenal terpampang di sana. Agar tidak mengganggu momen mereka, aku menjauh sebentar untuk menerima telepon ini.
"Halo?"
"Halo, Ava, kau mengenalku?"
Suara yang ramah dan agak familier ini membuatku keningku berkerut. Aku perlu waktu untuk mengingatnya lagi dan menggumam untuk memberi tahu orang itu bahwa teleponnya masih terhubung.
"Troy?" Aku tidak punya banyak teman pria, jadi mudah saja untuk membedakan suara mereka.
"Yap. Aku menelepon dengan nomor untuk pekerjaan, kau harus menyimpannya karena aku akan banyak menggunakan nomor ini untuk menghubungimu. Formulir pengajuanmu disetujui, meski aku yang merekomendasikan, tetapi CEO kami setuju untuk mempekerjakanmu. Kalau tidak sibuk, kita bisa bertemu untuk makan siang bersama dan membicarakannya. Agar Senin nanti kau bisa langsung bekerja."
Oh my God! Aku menantikan ini cukup lama dan sekarang aku mendapatkannya. "Ya! Ya! Aku bisa menemui kalian, kirim saja alamatnya. Um, maaf kalau suaraku terlalu keras. Aku hanya terlalu senang. Terima kasih, Troy."
"Kalau aku ada di sana, apa kau akan memelukku?"
Aku tertawa keras karenanya. "Dalam mimpimu."
Suara tawanya terdengar tak lama kemudian. "Baiklah, can't wait to see you, itu saja yang mau kuberi tahu. Sampai jumpa."
Sambungan telepon terputus. Sekarang aku hanya perlu berpamitan untuk pergi lebih dulu. Kurasa itu akan menjadi kabar baik untuk Alby karena dia bisa menikmati momennya berdua saja dengan Claudia.
"Hei, aku harus pergi."
"Ke mana?"
"Seseorang memberiku pekerjaan dan aku harus bertemu mereka untuk membicarakan tentang kontraknya sekarang."
Karena ada Claudia di sini, aku harus bermain peran, bukan? Oh, saran Pete waktu itu juga sedang kupertimbangkan. Aku menghapus jarakku dengan Alby dan meraih kedua sisi jaketnya sekadar untuk membuatnya tampak lebih rapi. Dan tanganku berhenti di dadanya meski agak gemetar. Sedangkan Alby menyambut gesturku dengan baik dan melingkarkan tangannya di pinggangku hingga jarak tubuh kami hanya pakaian.
"Tolong sampaikan maafku pada orangtuamu karena tidak bisa ikut makan siang, tapi aku janji akan datang saat makan malam." Aku memberanikan diri untuk meraih rahang kanannya dan mendaratkan kecupan di pipi kirinya. "Sampai jumpa. Bye, Claudia."
Tindakan nekatku itu tidak hanya membuat Claudia kaget, tetapi Alby juga. Aku mengulum senyum karena pria itu tampak enggan melepasku. Itu artinya usahaku berhasil, bukan?
Kumohon, jantungku, apa kau juga harus bereaksi meski aku yang mengambil tindakan?
***
Ahoy, there! Selamat berakhir pekan walau tersisa beberapa jam lagi. Hehe.
Kuharap kalian enggak merasa bab ini menggelikan kayak pas aku baca ulang. :")
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
6 Februari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro