Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46 - He is Nervous

Aku akan setuju seseorang berkata kalau benci dan cinta itu beda tipis. Well, setidaknya begitu yang terjadi padaku saat ini. Mungkin aku menyukai Alby sebesar aku membencinya--ya, kuharap itu masih sekadar suka dan tidak sampai memasuki tahap di mana orang-orang menyebutnya jatuh cinta. Sayangnya, aku tidak yakin itu akan berhasil mengingat betapa seringnya dia muncul di hadapanku.

Ya, Tuhan, aku bahkan tidak tahu mana yang lebih bagus; membenci atau terus membiarkan diriku jatuh cinta padanya.

Biasanya kafe ini menjadi tempat ternyaman untuk aku dan Hyunjoo mengobrol berdua, sayangnya keberadaan Alby mengacaukan semuanya. Aroma kopi yang menguar di ruangan ini dicemari oleh parfumnya. Musik yang diputar oleh para pekerja kafe pun rusak oleh suaranya. Bahkan jika perlu lantai ini harus dipel ulang karena tercemari oleh jejak kakinya. Sungguh, aku tidak ingin menemuinya saat ini. Aku juga benci saat tubuhku bereaksi karena dia ada di dekatku.

Jika benar aku sedang jatuh cinta, kenapa harus Alby? Takada hal baik dalam dirinya selain--aku juga benci harus mengakui ini--ciumannya. Tentu, aku merasa seaneh ini sejak dia menciumku untuk kali pertama.

Selagi mereka sibuk mengobrol, aku mengerjakan pekerjaanku. Bahkan agar tidak mendengar terlalu banyak dan berujung merusak konsentrasiku, aku menyematkan Airpod ke telingaku dan menyalakan musik dengan volume keras. Aku tidak benar-benar menulikan pendengaran, kadang tawa mereka masih terdengar samar-samar. 

Minumanku habis, aku baru menyadari itu karena ingin meminumnya lagi. Demi memesan segelas lagi, aku menekan tombol jeda untuk musik yang berputar di ponselku dan melambai pada salah seorang pelayan yang berdiri tidak jauh dari meja kami.

"Akhirnya dia mendengarkan dunia." Suara Hyunjoo di antara cekikikan itu membuatku memicing ke arahnya. Tahu bahwa aku tidak cukup senang dengan ucapannya, dia hanya mengangkat dua jarinya membentuk simbol peace.

"Kau benar-benar fokus dengan pekerjaan sampai tidak peduli denganku." Alby mendorong gelas minumnya yang masih utuh ke arahku. Aku tidak menolak meski ingin sekali menyiramkannya ke wajah Alby—seperti yang dulu kulakukan pada Jeff.

Namun, aku tetap meminumnya mengingat pelayan tadi tidak kunjung menghampiriku, mungkin tidak menyadari aku melambai ke arahnya. Lagi pula, Alby belum meminumnya.

"Kenapa kau di sini? Apa kantor sudah tidak membutuhkanmu lagi?" Aku menyesap minuman tadi menggunakan sedotan dan mataku tertuju pada jam di sudut layar iPad-ku. Terhitung sudah tiga jam sejak dia datang ke sini. Apa sudah makan siang?

"Kau tidak merespons pesanku, jadi kuputuskan untuk menyusul. Beruntungnya, wanita ini sedang bersamamu. Aku bertanya pada orang yang tepat."

Berapa kali aku menyebutnya aktor yang baik? Sampai aku sendiri bosan memujinya. Caranya mensyukuri itu bahkan tampak sangat nyata dan seperti tidak dibuat-buat. Aku mati-matian berusaha agar tidak tersanjung oleh sandiwaranya.

"Harusnya kau malu, menyeretku pergi di tengah-tengah acaranya semalam." Aku sadar itu bukan cara yang baik untuk bicara dengan kekasih, tetapi Hyunjoo mengenalku cukup baik, beginilah aku dan seperti inilah caraku bicara dengan Jeff dulu.

"Maafkan aku, Hyunjoo. Kami sama-sama panik dan tidak punya waktu untuk berpamitan semalam."

Bisakah Alby tidak bersikap sok tulus seperti itu? Hyunjoo sampai tidak bisa kesal dan justru terpesona pada ketampanannya.

"Bukan masalah. Aku bisa mengerti." Hyunjoo memang lemah pada pria tampan.

Di bawah meja, aku menendang pelan kaki Hyunjoo. Dia spontan menatapku yang sedang memberi kode agar dia meninggalkan kami sebentar. Aku tahu Alby berencana untuk membawaku pergi dan membicarakan kejadian semalam di tempat lain, tetapi aku sudah berjanji pada Hyunjoo untuk menemaninya seharian. Cara terbaik adalah dengan dia memberi kami waktu sebentar saja untuk mengobrol.

"Aku ke belakang sebentar, harus menelepon tunanganku."

Hyunjoo pergi setelah itu.

"Kenapa menyusulku ke sini?" Aku melepaskan Airpod yang tersemat di telingaku, sebagai bukti bahwa aku sedang sangat serius.

"Aku sudah mengatakan alasannya. Kenapa pergi tanpa memberi tahuku semalam?"

Aku berdecih. "Aku di sana hanya untuk diabaikan. Apa kau tidak malu pada Jeff? Pria itu bahkan tidak sepanik dirimu, padahal hanya anemia yang Claudia derita kambuh lagi." Aku menghela napas untuk menenangkan diri.

"Panik itu wajar." Alby bersandar dan bersedekap. Sorot matanya mendadak sangat serius. See, Alby baru saja menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Apa yang dia tunjukkan saat ada Hyunjoo tadi, semuanya palsu.

"Kau bilang hanya ingin membalas dendam dan sudah tidak melupakan perasaanmu padanya. Sikapmu menunjukkan yang sebaliknya."

"Ada masalah dengan itu? Kenapa kau sampai semarah ini?"

Pria ini benar-benar—

Aku ingin sekali berseru kalau dia melukaiku hanya dengan melihatnya begitu cemas pada Claudia. Namun, aku sadar itu adalah tindakan bodoh dan dia akan memanfaatkannya demi mendapat keuntungan. Di satu saat dia peduli, tetapi saat aku baru menganggap dia sedang berbuat baik, dia sudah mematahkannya.

"Dan pulang sendiri saat tengah malam itu berbahaya, kau tahu." Suaranya sangat rendah saat mengatakan itu, sampai lagi-lagi membuatku percaya kalau dia peduli.

"Seperti yang kubilang, tidak perlu bersandiwara saat hanya ada kita di sini," ucapku sembari mengedarkan pandangan ke seisi kafe. Tidak benar-benar hanya kami di sini, tetapi pengunjung lain menempati meja yang cukup jauh dari posisi kami.

Alby mencondongkan tubuhnya ke arahku sekaligus menghapus jarak wajah kami. Aku membanting punggung ke sandaran kursi, sengaja agar terlihat lebih berani meski hanya untuk menghindari wajahku terlalu dekat dengannya.

"Apa kau masih tidak bisa percaya kalau aku sungguhan peduli?" Dia terdengar sangat kesal.

Lengan kekarnya menjadi sasaran mataku sekarang. Kemejanya tampak sesak karena otot-ototnya berkontraksi. Kurasa itu mewakili betapa dia sangat kesal saat ini.

"Aku benci kita selalu berakhir dalam situasi menyebalkan ini." Kualihkan topik pembicaraan kami.

Alby berdecih dan seringai tercetak di bibirnya. "Siapa yang memulai? Kau, Ava. Kau selalu berperan seperti kekasih yang tersakiti hanya karena hal-hal sepele, seolah-olah apa yang ada di antara kita itu nyata. Itu menyebalkan karena aku harus jadi pihak yang selalu meminta maaf. Terkadang mungkin aku memang salah, tapi untuk saat ini?"

Wow. Alby berhasil menamparku, bolak-balik. Dan dia berhasil menyadarkanku, kalau sakit itu tidak akan ada jika aku tidak menyukainya. Dalam kasus ini, perasaan itu tidak berbalas dan dia juga tidak mengetahuinya. Alby mungkin sangat menyebalkan, tetapi seharusnya tidak sampai menyisakan sesak--seperti dulu, hanya kesal yang kurasakan.

Aku tentu tidak akan memberi tahu soal apa yang kurasakan. Dan ini bukan waktu yang tepat untuk merenungi semuanya karena Hyunjoo bisa kembali kapan saja. Aku hanya ingin mendengar kata maaf dari pria ini, misal maaf, aku mengabaikanmu semalam. Hanya itu dan kurasa akan membuatku sedikit merasa lebih baik.

"Fine. Aku anggap semuanya selesai." Aku membuka iPad-ku lagi dan mencoba untuk berkonsentrasi dengan proyek yang sedang kukerjakan. Namun, tidak cukup mudah dengan tatapan Alby yang belum beranjak dari wajahku.

"Bagaimana kau pulang kemarin? Apa taksinya datang terlambat? Kau menunggu lama?"

Hal-hal seperti itulah yang selalu berhasil membuat darahku berdesir meski aku sadar dia tidak benar-benar peduli. "Aku bukan anak kecil, Alby."

"Kenapa kau membawa semua barang-barangmu?"

Aku mendengkus keras, suaranya benar-benar mengganggu dan aku tidak bisa berkonsentrasi. "Kukira misi membuat orangtuamu senang sudah selesai?"

Dia menghela napas, baru satu kali kulihat sejak obrolan yang agak menyebalkan tadi. "Sabtu nanti akan ada pembukaan cabang distro Aleo di Manhattan. Dad menyukai perayaan, jadi dia membuat acara pembukaan di sana, seperti mini fashion show. Dan aku benci bagian di mana aku harus memberi sambutan."

"Oke, aku akan datang. Ada dress code khusus?" Aku tidak benar-benar bertanya, hanya ujaran sarkastik mengingat selama ini aku selalu memakai pakaian yang bukan milikku setiap menghadiri acara bersamanya.

"Akan kukirim ke rumahmu."

Wow, itu sangat cepat, singkat, dan padat. Tidak Alby, Paula, keduanya memperlakukanku seperti boneka; harus memakai apa yang mereka pilih untukku. Rasanya seperti mereka tidak benar-benar menerimaku apa adanya. Penampilanku harus disesuaikan agar tampak serasi saat bersama mereka. Well, setidaknya aku beruntung karena pada akhirnya baju-baju itu menjadi milikku.

Aku ingin bicara, tetapi kuurungkan karena dia sudah lebih dulu beranjak dari kursi, siap akan pergi.

"Itu saja. Selebihnya, akan kuinfo lagi, pastikan kau memeriksa ponselmu." Begitu saja dan dia benar-benar pergi.

Itu adalah sikap terdingin yang pernah kuterima dari Alby. Maksudku, dia pernah marah, bersikap menjengkelkan, tetapi ini yang pertama. Aku tidak tahu bagian mana yang membuatnya tidak senang, tetapi itu benar-benar tidak biasa.

Aku terlalu sibuk memandang punggung tegapnya yang berbalut kemeja saat berjalan ke luar kafe, sampai tidak sadar Hyunjoo sudah kembali.

"Sudah selesai, 'kan?"

Aku spontan memicing karena pertanyaannya. "Kenapa lama sekali?" Kalau saja Hyunjoo kembali lebih cepat, aku tentu tidak akan mengobrol terlalu banyak dengan Alby.

"Dave menelepon, mana mungkin aku mengabaikannya?"

Mataku hanya berputar sebagai reaksi yang pantas untuk seorang wanita yang sedang dimabuk cinta ini. Beruntungnya Hyunjoo, dari hari ke hari, dia makin berseri-seri karena mendapat cinta dari pria yang dicintainya. Aku jadi memikirkannya; kapan itu juga terjadi padaku?

"Ava, kau masih sibuk dengan proyek, 'kan? Dave menelepon lagi, setelah ini baru kita pergi."

Beruntunglah Hyunjoo, karena aku memang sibuk dengan proyek dan formulir tawaran kerja dari Troy--yang tentu saja tidak akan kusia-siakan.

🎶

Baju ini tidak benar-benar sangat mirip dengan yang biasa kukenakan. Maksudku, dari segi gayanya. Satu-satunya yang membedakan adalah, ini baju baru dan milikku sudah lumayan lama. Ah, distro milik Alby memang tidak menjual baju-baju yang feminin. Mungkin tujuannya agar dia tidak bersaing dengan Paula yang banyak menjual gaun.

Dari jam yang dijanjikan, Alby akan menjemputku setengah jam lagi. Jantungku berdebar meski hanya menantikan kedatangannya. Sejak pembicaraan di kafe waktu itu—well, sekitar beberapa hari yang lalu—kami tidak banyak berinteraksi atau bertemu. Dan aku juga tidak banyak memikirkannya meski kata-kata Alby waktu itu benar-benar menyayat hati. Namun, aku berhasil disadarkan agar tidak mengharapkan apa-apa darinya. Kuharap aku bisa menjadi si tulus yang tidak akan menuntut agar perasaannya dibalas.

Kami sudah di sini, di depan bangunan yang lumayan besar. Ini bahkan jauh lebih besar dari tokonya yang ada di 5th Avenue. Tidak heran kenapa Albert bersikeras untuk mengadakan perayaan di sini. Halamannya saja bisa dirancang menjadi panggung catwalk dengan barisan bangku penonton di sisi kiri kanan panggung.

Pepohonan dengan daun-daun yang sudah tidak sepenuhnya hijau lagi menjadi pagar di kiri dan kanan halaman toko ini. Ada pagar rendah di depannya dan bercat abu-abu. Meski memberi vibe yang modern, keberadaan semak-semak di antara pohon satu ke pohon lainnya memberi kesan natural. Di depan balkon lantai dua, terpampang jelas tulisan 'Aleo' dari lampu neon. Tentu saja akan menyala saat malam hari.

Dengan distro yang sebesar ini, aku jadi yakin kalau Alby dan keluarganya memiliki uang yang berlimpah. Di sini aku yang seorang pengangguran berdiri dan mendampingi si kaya dengan kaku. Oh, semua pengunjung saling menyapa. Mereka mengenal satu sama lain, bahkan satu-satunya yang kukenal, selain keluarga Alby, hanya Claudia. Dan tidak mungkin aku berlari ke van khusus para model untuk sekadar menyapanya.

"Kuharap kejadian terakhir tidak membuat kita tampak canggung."

"Aku sedang berusaha melupakannya."

"Baguslah. Claudia ada di sini, kupikir akan jadi momen yang pas untuk beraksi." Alby berbisik dan saat itu pula tangannya yang dingin membungkus tanganku. Aku tidak tahu bagaimana tangannya bisa sedingin itu, entah karena sudah menjelang musim gugur atau fakta bahwa dia harus memberi sambutan membuatnya grogi--walau kedengarannya agak mustahil.

Aku menatapnya dan menemukan dia sudah tampak tertekan. Bukan, dia bukan seperti orang menderita, tetapi kenapa dia tidak bisa tersenyum dan berkali-kali menghela napas?

"Kau gugup?" Aku iseng bertanya, meski tahu dia akan mengelak dan berlagak keren kemudian.

"Apa terlihat jelas?" Dia menatapku, dengan sorot yang meneriakkan kata tolong. Agak lucu sekaligus kasihan melihatnya seperti itu. Kukira dia cukup populer dan sudah terbiasa mendapat sorotan, tetapi melihatnya saat ini, sepertinya aku sudah salah menduga.

Aku tanpa sengaja mendengkuskan tawa yang sedang berusaha kutahan. "Serius?"

"Kau akan menjadi orang pertama yang tahu betapa desperate-nya aku di situasi seperti ini. Sudah kubilang, aku benci memberi sambutan." Alby bersedekap, tetapi tanganku masih berada dalam genggamannya dan itu berhasil menarik tubuhku hingga sisian tubuh kami saling membentur.

"Ada masukan?" Itu nada paling kasual yang pernah kudengar darinya. Aku jadi ingat kalau kami tidak pernah mengobrol dengan suasana yang santai. Maksudku, seperti kepada seorang teman.

Aku melihat ke sekeliling, lokasi ini mulai ramai meski masih banyak kursi yang kosong di kedua sisi panggung. Namun, dengan Alby yang belum mengajakku untuk duduk di salah satunya, kupikir acaranya tidak dimulai dalam waktu dekat.

"Jam berapa sambutanmu?" Karena dia tidak menyebalkan hari ini, kurasa aku bisa sedikit membantunya mengatasi demam panggung. Seandainya dia melakukan sesuatu yang memalukan, aku juga akan turut merasakan malu sebagai kekasih--palsu--nya.

"Jam sebelas, Paula yang mengatur semuanya."

Sekarang jam sembilan. Aku baru saja melihat arlojiku dan seketika cara Mom menenangkanku membayang di kepala. Aku berencana melakukan hal serupa kepadanya meski tahu kalau cara itu hanya berlaku untuk anak kecil. Namun, takada salahnya mencoba. Minimal agar Alby melepaskan tanganku.

"Masih ada waktu, mau ke sana sebentar?" Aku menunjuk ke belakangku dengan jempol. Tepatnya pada sebuah kedai minuman kecil di seberang jalan.

"Kau haus? Kami menyediakan minuman di sini."

Bola mataku spontan berotasi tanpa bisa ditahan. Kerutan di dahi Alby membuatku sebal. Tidak bisakah dia sedikit saja memahami kalau aku sedang berusaha bersikap baik? Well, aku memang tidak memberi tahu hal baik apa yang akan kulakukan untuknya, tetapi nada bicaraku bahkan sangat bersahabat sampai aku sendiri tidak percaya saat mendengarnya.

"Tidak bisakah menurut sekali saja?"

"Apa yang akan kaulakukan padaku?" Dia berdeham dan membungkuk untuk membisikkan, "Lakukan di sini saja kalau kau mau menciumku, Claudia sedang melihat."

Aku langsung melihat ke sisi panggung, di mana Claudia memang sedang berdiri di sana bersama beberapa model lain. Jujur saja, aku menyesal melakukannya. Gaya berpakaian kami sama saat ini, tetapi mereka tampak lebih bagus daripada aku.

"Apa dengan berciuman akan meredakan gugupmu?" Percayalah, aku sangat kesal saat menanyakan itu kepadanya, bahkan nyaris melupakan niat baikku untuk membantunya.

"Tidak."

"Then you should go with me."

Kali ini aku menyeret Alby ke tempat yang kumaksud. Bahkan, daripada sebuah ciuman, cara ini akan membuat Claudia lebih cemburu dan bertanya-tanya ke mana perginya kami. Aku sangat mengenalnya.

***

Aku berusaha memikirkan momen yang manis untuk mereka berdia di bab depan.
Wish me luck! Hehe

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
3 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro