Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42 - Steamy Night

⚠️

🎶

Aku benar-benar merasa tidak enak pada Troy. Dia tidak cukup berbahaya untuk membuatku menghindarinya. Aku tidak setakut itu pada pria, aku hanya enggan mengetahui rasa ketertarikan mereka padaku. Aku bukan menganggap Troy sebagai salah satunya, tetapi sejak awal pertemuan kami, aku tidak cukup bodoh sampai tidak merasa kalau Troy sempat melontarkan pickup lines kepadaku. Walau di sisi lain aku juga berpikir dia hanya sedang bersikap ramah.

Sekarang, ketika aku mulai menikmati berada di tempat berisik ini, ketika aku berusaha memanfaatkan keuntungan dari berada di tempat ini; untuk bersenang-senang dan melepas ketegangan yang terus memicu emosiku, Alby datang dan merusak semuanya. Dari awal kemunculannya, dia memang pengacau.

Aku sampai tidak sempat berpamitan dengan benar dan dia sudah menyeretku keluar dari bar. Kami di basemen parkiran, berjalan cepat di antara deretan mobil-mobil mewah seperti kami adalah model yang sedang mereka saksikan aksinya. Aku benar-benar benci ketika dia menarik tanganku dan tidak mengatakan apa-apa. Apa dia lupa saat marah dia selalu berpotensi menyakiti orang lain? Lihat saja urat-urat tangannya yang menyembul ketika mencengkeram tanganku.

"Kita mau ke mana?" Sebenarnya, itu kali kedua aku bertanya padanya dan tidak akan kulakukan jika yang pertama sudah mendapat jawaban.

Alby tetap bungkam, dan kemarahannya kali ini tidak berdasar, persis seperti ketika dia menyeretku keluar dari acara pertunangan Jeff dan Claudia. Entah apa alasannya, aku masih tidak tahu sampai sekarang dan sudah lupa. Aku tidak akan mengingatnya lagi andai kejadian serupa ini tidak terulang lagi.

"Alby, pelan-pelan!" protesku ketika dia mempercepat langkahnya. Aku memakai bot berhak dan jujur saja aku sudah berkali-kali hampir kehilangan keseimbangan karena dipaksa berjalan cepat-cepat.

"Kau menyakitiku, Alby!" Aku berteriak dan dia melepaskan tanganku. Pria ini berbalik cepat dan aku segera melangkah mundur. Dia meraih tanganku lagi, tetapi aku menepisnya.

Aku bersandar pada BMW hitam yang entah milik siapa. Aku cukup beruntung karena barang mahal ini tidak memiliki alarm ketika seseorang menyentuhnya. Karena jujur saja, aku sangat memerlukan ini; mengistirahatkan kakiku sejenak dan menghirup napas sebanyak-banyaknya.

"Apa aku tidak boleh bersenang-senang?"

Oke, mari kita coba luruskan situasi ini. Aku hanya ingin tahu alasannya. Dan karena dia tidak kunjung bicara, aku yang akan melakukannya. Alby menatapku agak tajam, itu sudah berarti kalau dia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaanku.

"Apa hanya kau yang boleh tertawa, menikmati pestanya dan aku tidak? Kau yang membawaku ke sini, aku berusaha agar tidak merengek minta pulang tapi kau mengacaukannya, Alby. Selalu seperti itu." Mungkin aku sudah membentaknya, tetapi aku tidak peduli. Menyukai seorang pria seperti Alby ternyata sangat berat. Tidak pernah kumengerti apa maunya.

"Kau bersama pria itu dan aku merasa terganggu, Ava. Kau datang bersamaku, ingat?" Lihat, dia memainkan peran itu lagi dengan sangat baik. Rahangnya mengeras, bahkan bisa kudengar giginya bergemeletuk dalam jarak yang dekat ini.

"Kenapa? Kau cemburu?" Apa yang membuatnya merasa terganggu hanya karena aku bersama pria lain? Kesepakatan di antara kami bahkan tidak terdapat larangan untuk berteman dengan pria lain.

"Tidak." Wow, dia berhasil melukaiku dengan jawaban cepat itu, bahkan tanpa jeda waktu untuk berpikir. Bodoh sekali aku bertanya seperti itu.

Aku ingin tertawa, tetapi kuputuskan untuk menahannya. Dia harus tahu kalau aku benar-benar tidak tahan lagi dengan sikapnya. "Datang bersamamu bukan berarti aku harus di sampingmu sampai selesai, 'kan? Kau meninggalkanku dan aku sedang menikmati pestanya. Troy, pria itu, aku mengenalnya. Kami hanya menari bersama dan kau sudah menatapnya seolah-olah dia ingin mengambil sesuatu darimu."

"Ya. Benar, dia ingin mengambilmu dariku."

Oh, tidak. Jantung yang berdebar bisa menjadi bukti bahwa aku mulai lemah. Maksudku, perempuan mana yang tidak akan tersanjung pada ucapannya. Kata-katanya berhasil memunculkan dugaan-dugaan yang berujung pada ekspektasi. Namun, aku tahu situasi kami tidak seperti itu. Untuk memastikannya, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, sebelum akhirnya mendarat lagi ke wajah Alby.

"Kau tidak perlu berpura-pura, tidak ada siapa-siapa di sini, lagi pula tidak banyak yang tahu kalau kita berkencan."

"Menurutmu wajah ini sedang berpura-pura?"

Aku menatapnya lamat-lamat. Dia memang tidak sedang berpura-pura, kemarahan tercetak jelas di wajahnya yang mulai kemerahan. Setelah tahu dia benar-benar serius, lalu apa? Aku harus menurutinya lagi? Membiarkan dia terus bersikap bossy?

"Ya. Kau aktor yang baik, Alby. Aku pasti tidak akan berhenti memuji seandainya kau sedang memerankan film saat ini. Aku bahkan tidak pernah tahu kapan kau benar-benar peduli padaku atau hanya sandiwara."

Dia tidak menjawab, pun tidak mengalihkan pandangan dari wajahku, hingga aku harus berpaling.

"Tentu saja aku peduli padamu."

"Oh, benarkah? Kalau begitu tolong, tolong akhiri hubungan ini dan biarkan hanya kesepakatan yang berjalan di antara kita. Aku akan datang hanya jika ada Claudia. Itu saja yang kumau. Mohon kabulkan itu saja kalau kau memang peduli padaku."

Sungguh, aku tidak percaya kalau baru saja aku sedang memohon kepadanya.

🎶

Perjalanan pulang benar-benar mencekam. Baik aku atau Alby, tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Saat aku meninggalkannya di parkiran dan berdiri menunggu barangkali akan ada taksi dini hari yang lewat, ternyata dia menghampiriku bersama mobil mewahnya. Ketika pintu untuk penumpang depan terbuka di hadapanku, aku mengabaikannya dan memilih menempati bangku belakang. Setelah kejadian tadi, mana mungkin aku akan duduk di sebelahnya. Dia bahkan tidak memberi jawaban jelas kenapa menyeretku keluar.

Bagaimana bisa di dunia ini ada pria semacam Alby?

Elevator di depan kami terbuka ketika Alby menempelkan keycard-nya ke alat pemindai. Sejujurnya, aku bahkan tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan di sini. Kalau bisa, aku pulang, takpeduli matahari akan terbit tiga sampai empat jam lagi. Daripada keberadaanku tidak benar-benar berarti di sini, bukan?

Kudengar Alby menggeram ketika kami memasuki elevator. Matanya terpejam--aku tahu itu karena mencuri-curi pandang ke arahnya. Tangannya yang terkepal menarik perhatianku. Entah semarah apa dirinya saat ini, padahal aku yakin Troy bahkan tidak melakukan hal buruk yang memicu kemarahannya. Dia benar-benar berlebihan.

Elevator berdenting, aku sudah bersiap keluar dari sana begitu pintu terbuka, tetapi Alby menarik tanganku dan mendorongku ke dinding elevator, hingga akhirnya pintu elevator tertutup lagi. Itu mengejutkan, tetapi aku tidak bisa lebih terkejut lagi setelah mendengar apa yang dikatakannya setelah itu.

"Ya, aku cemburu melihatmu bisa tertawa selepas itu dengan pria lain. Padahal kau tidak pernah seperti itu saat bersamaku."

Aku tidak tahu harus merespons apa selain mendengarkan jantungku menggila. Mungkin aku tidak akan bereaksi berlebihan seperti ini andai dia sedang bergurau. Namun, lihat Alby. Matanya menyorot tajam ke mataku hingga aku harus menelan ludah dua kali. Berada di elevator yang memiliki pendingin di bagian atasnya ini mendadak membuatku kepanasan. Tidak, tetapi tubuh Alby yang mungkin memancarkan aura panas ini.

Lagi, aku menelan ludah dan berpaling muka. Tidak mungkin aku bisa tahan lama-lama ditatapnya seperti itu.

"Kita bukan apa-apa, Alby. Jangan membuat alasan untuk membenarkan sikapmu tadi. Itu tidak ada artinya."

Aku berusaha pergi, tetapi Alby mempersempit jarak kami. Napasku tercekat hanya karena aroma parfumnya membuatku mulai pusing. Tubuhku sudah tidak sanggup bereaksi ketika sebelah tangannya mencengkeram pinggangku dan yang satu lagi meraih tengkukku. Aku mulai menebak-nebak apa yang dilakukannya setelah ini. Namun, aku membeku. Akal sehatku bersikeras untuk menolak, tetapi hati yang bodoh ini justru menjerit agar aku tetap diam dan menunggu apa yang akan dilakukan Alby setelah ini.

"Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak mengambil keuntungan dariku." Aku mendorongnya dengan tangan yang bergetar. Sentuhannya berhasil menguras tenagaku, aku tak berdaya. "Please, Alby."

"Kau ingat kenapa aku mencium seseorang? Karena aku menyukainya. Sekarang aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Melihatmu setiap hari rupanya memberi efek buruk untukku."

Aku melotot, selebar yang kubisa. "Apa kau baru saja mengaku kalau—"

Dan dia membungkamku, bukan dengan tangan, tetapi dengan bibirnya. Aku tidak bisa berkutik dan Alby tidak memberiku kesempatan untuk menolak, melainkan memaksa agar aku menikmatinya.

Dia berhasil. Ini kali ketiga dan kurasa aku mulai mampu mengimbangi permainannya. Cengkeramanku pada jaket Alby melonggar dan tangan yang belum berhenti tremor ini merambat naik sampai jari-jariku saling bertaut di tengkuknya. Aku dibuat gila karena menarik tengkuknya mendekat.

Namun, di saat yang bersamaan, hatiku kacau. Di satu sisi aku berharap dia memang merasakan yang sama, tetapi sisi lainnya terus berusaha menyadarkanku kalau situasi ini salah. Menyukai Alby sama halnya dengan menyakiti diriku sendiri. Dia tidak pernah berkata kalau menyukaiku dan tidak juga mengaku sudah melupakan Claudia. Aku hanya dipermainkan, tetapi tubuhku tidak bisa menolak. Satu fakta menyakitkan itu membuat air mataku mengalir begitu saja ketika aku memejamkan mata.

Perutku bergejolak ketika dia mulai memperdalam ciuman dan memiringkan kepalanya. Aku akan membenarkan kalau dia adalah pencium yang andal tanpa harus membandingkannya dengan pria mana pun. Sekarang saja aku tidak lagi mampu mengontrol diriku. Bahkan ketika Alby mulai menuntun kakiku agar melingkar di pinggangnya pun, aku tidak berontak.

Entah bagaimana sekarang aku sudah mendarat di atas kasur dengan dia di atasku. Jaketku sudah tanggal dan Alby tidak memakai kemejanya lagi. Tanganku bergerak leluasa di punggungnya yang berlapis tato. Andai ada kaca di langit-langit kamarnya, mungkin aku bisa melihat betapa seksi punggungnya.

Aku kalut, mungkin sudah terbakar gairah hingga keringat mulai membasahi pelipisku. Ciuman Alby mulai turun, ke pipi, rahang, leher dan menyapu hampir seluruh permukaan kulit bahuku. Aku sempat berpikir apa dia tidak merasa jijik menciumi leherku yang berkeringat, tetapi dia sama sekali tidak terganggu akan hal itu.

"Alby—"

Aku nyaris mendesah ketika dia mulai menciptakan tanda kepemilikannya di leherku. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku menikmati permainannya. Itu sama sekali bukan aku. Sudah tiga titik yang dia tandai. Aku hanya berharap takkan ada jejak apa pun di sana. Walau mungkin itu sudah tercetak jelas di sana.

"Kau mengingatkanku padanya."

Gumaman Alby di rahangku itu berhasil mengembalikan kesadaran sepenuhnya. Rasanya hatiku baru saja dihantam oleh batu besar dan suara petir menyambar keras di telingaku. Mataku terbelalak dan napasku memburu. Apa yang sudah kuharapkan saat dia melakukan semua ini? Bahwa Alby juga menyukaiku?

Bodoh, Ava. Ingat kenapa kalian bisa berada di situasi ini; ingat apa yang membuat kalian bisa bersama; dan lagi, ingat kalau yang ada di pikiran itu hanya Claudia. Ya, hanya Claudia. Tidak ada space kosong tersisa untukmu. Alby hanya sedang memenuhi kebutuhan hormonalnya.

Semua teguran itu berdengung keras di telingaku. Ini salah. Aku tidak mampu mendorongnya menjauh, tetapi ketika Alby akan menciumku lagi, aku menoleh, membiarkan bibirnya mendarat di pipiku yang sudah basah oleh air mata.

Sialnya, aku menangis di saat seperti ini.

"Ava ... ." Kupikir dia juga terkejut, tetapi dia bahkan tidak memiliki niat untuk menjauh dariku. Yang ada justru menyapu air mataku dengan ibu jarinya.

"Hentikan, Alby." Aku meminta dengan lirih, masih tidak sanggup menatapnya.

Namun, yang Alby lakukan justru memelukku dan menghujani wajahku dengan kecupan-kecupan ringan. Aku bahkan tidak mengerti kenapa dia melakukannya.

"Aku bukan Claudia."

Dia menghentikan aktivitasnya. Separuh tubuhnya masih menindihku, tetapi kurasa dia hanya sedang menatapku saat ini.

"Jangan anggap aku sebagai dia, kami berbeda. Sangat. Dia berhasil mengambil hatimu, aku tidak. Dia jauh lebih unggul dariku. Dia sempurna, aku penuh kekurangan. Jangan samakan kami, apalagi meniduriku sementara di bayanganmu hanya ada wajahnya. Itu sangat menjijikkan."

Alby bergeming. Tidakkah sedikit saja dia merasa bersalah dan berusaha untuk meminta maaf?

"Bisakah menyingkir?" Aku meminta dengan ketus. Pria seperti Alby tidak pantas ditangisi dan aku senang karena amarah mulai menguasaiku.

"Maaf, aku tidak sadar sudah mengatakan itu. Dan aku tidak sedang menganggapmu sebagai dia, Ava. Sungguh."

"Lalu kenapa kau melakukannya?"

Kali ini aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Dia tampan, aku selalu berdebar hanya karena bertemu tatap dengannya, tetapi bukan untuk sesuatu yang seperti ini; bukan untuk membiarkannya menjadikanku sebagai fantasinya bersama Claudia.

Lihat, dia bahkan tidak punya jawaban untuk pertanyaan sederhana itu.

"Hentikan saja semuanya. Berhenti membodohi dirimu sendiri. Katakan saja kau masih menginginkannya. Pikirkan hal lain agar kalian bisa bersama selain membalas dendam. Kau pria dewasa, Alby, bukan lagi remaja labil."

Aku nyaris menangis lagi, tetapi tetap berusaha mati-matian menahannya. Entah sekacau apa diriku saat ini; baju yang tersingkap, rambut acak-acakan, lalu wajah yang sembap. Penampilan seperti ini tentu bukan sesuatu yang kuharap akan dilihat oleh orang lain.

Aku menutup wajahku, sekaligus dengan kasar menyapu jejak air mata di sana. Alby bahkan belum menyingkir, pinggang sampai kakinya masih menindihku dan aku benci mengetahui bahwa sesuatu yang tidak biasa di sana menunjukkan bahwa dia benar-benar sangat menginginkanku saat ini—dalam artian yang kotor, tentunya.

"Aku tidak bisa melepasmu, Ava. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sebelum semuanya selesai."

Akhirnya dia menyingkir dariku dan dengan cepat meraih kemeja yang entah aku atau dia yang melemparnya sembarangan ke lantai, lalu berjalan keluar kamar tanpa melihatku lagi. Sekarang aku tahu kalau dia benar-benar sedang menyiksaku. Apa salahku?

Kenapa harus aku yang saat itu bertemu dengannya di festival?

Kenapa harus aku yang menanggung semua akibat dari kandasnya hubungan mereka?

Kenapa juga harus aku yang menderita di sini?

Mom, katamu aku harus jatuh cinta pada orang yang tepat, tetapi jika aku terus merasa terluka, apa itu berarti Alby bukan target yang tepat?

Aku menangisi semuanya, apalagi ketika potongan-potongan kenangan buruk itu mulai berputar di kepalaku. Aku berusaha untuk tidur, tetapi semuanya tergambar jelas ketika aku terpejam. Aku menangis lagi, hingga lama-lama aku terlelap dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.

*
*

Aku buruk kalau nulis scene yang sedih-sedih, walau aku tahu yang di atas itu mungkin bukan salah satunya.
Sekali lagi, maafkan aku karena sudah menyuguhkan scene yang tidak berfaedah. Aku hanya menyesuaikan dengan latar tempat mereka walau di beberapa bagian masih belum tepat.
Terima kasih masih bertahan di bab ini.

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
12 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro