Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 - Jealousy

Aku memandang setelan jas untuk wanita berwarna ungu muda di depanku, sambil sesekali membayangkan akan seperti apa penampilanku dalam balutan baju yang kusewa itu. Ada tali di bagian pinggangnya, untuk aku ikat sesuai ukuran lingkar pinggang. Setelan itu kugantung di ruangan penyimpanan baju-baju Alby. Dia mungkin akan melihatnya, tetapi aku tidak peduli. Atau mungkin dia akan melarangku pergi karena tidak mengajaknya. Takada kewajiban untuk mengajaknya ke mana pun aku pergi.

Oh, dan hanya karena aku tinggal sementara di sini, bukan berarti dia berhak melarangku melakukan apa yang kuinginkan.

Aku keluar dari ruangan tersebut dan saat berbalik setelah menutupnya, aku berjengit kaget karena menemukan Alby ada di hadapanku. Aku bahkan tidak mendengar dia datang setelah mengantar kedua orangtuanya ke apartemen milik mereka di Upperside. Iya, mereka tidak tidur di sini. Alby terlalu berlebihan sampai memintaku menginap, seminggu pula.

Namun, aku tidak benar-benar heran juga kenapa Alby memintaku tetap di sini, karena dua orang yang sudah berumur itu suka datang tanpa tahu waktu. Tahu-tahu muncul, bahkan pernah satu kali saat kami sedang berdebat. Parahnya, mereka hanya memaklumi itu dan mengatakan kalau pasangan akan sangat awet jika saling bersikap jujur, kalau marah, ya, marah; kalau ada yang ingin diungkapkan, ya, ungkapkan.

Tentu, kami akan awet sampai kesepakatan kami berakhir.

Kembali pada Alby yang belum beralih dari hadapanku. Tubuhnya yang tinggi membuat pandanganku sejajar dengan lehernya. Ketika jakunnya bergerak, tatapanku terpaku sesaat.

"Apa yang kaulakukan di sana?"

Tatapanku segera naik ke wajahnya dan menelan ludah setelah tahu matanya tersorot tajam ke wajahku. Aku menghela napas dan merotasikan kedua mataku. Seperti biasa, menunjukkan reaksi tidak suka setiap kali dia hendak bersikap bossy.

"Aku tidur di kamarmu, otomatis aku juga menyimpan baju-bajuku di sana." Aku membalas tatapannya, tanpa ragu.

Dia hanya mengangguk. Sungguh sesuatu yang langka menemukannya tidak terlalu banyak bicara seperti ini. Biasanya dia akan menginterogasi sampai aku muak.

"Ada pesta di bar, aku akan pergi ke sana dan kau harus ikut sebagai kekasihku."

Aku berdecak keras, terang-terangan menunjukkan betapa aku tidak senang pada rencananya. Dia bahkan tidak bertanya apa aku bisa ikut, tetapi langsung memerintahkan agar aku ikut. Ini perasaan yang aneh, aku menyukainya, tetapi membencinya juga. Aku ingin langsung mengiakan, tapi di satu sisi aku tidak ingin dia terlalu banyak mengontrolku.

Apa menyukai seseorang semerepotkan ini?

Selagi Alby belum melakukan apa-apa-seperti menahanku agar tidak pergi, aku melesat menjauhinya. Duduk di kasurnya jauh lebih nyaman daripada terus-menerus menahan napas agar tidak terbuai oleh aroma parfumnya. Oh, di bahkan sudah berpenampilan keren, siap untuk pergi ke bar yang dimaksudnya tadi.

"Kau tahu aku tidak bisa minum, 'kan?" Aku baru membalas setelah tubuhku mendarat di kasur. Seharusnya ia bisa mengerti kalau aku sudah mengenakan piyama, berarti sudah siap untuk tidur.

Namun, kita bicara tentang Alby, pria yang tidak akan peduli hal lain-lain selain kepentingannya sendiri.

"Kau hanya perlu mendampingiku, tidak perlu ikut minum." Alby masuk ke ruangan pengganti lemari-entah untuk mencari apa karena dia sudah siap pergi, kemudian kembali lagi dengan beberapa potong kain. Dia meletakkan pakaian itu ke pangkuanku. "Pakai itu. Dress code-nya merah. Aku akan tunggu di luar."

Begitu pintu ditutup, aku tahu sudah tidak ada kesempatan untuk menolak dengan alasan apa pun. Bahkan mungkin dia tidak akan percaya kalau kubilang kepalaku berdenyut saat ini; berdenyut karena tidak sanggup menghadapi sikapnya.

Aku mengangkat pakaian yang dilemparkannya padaku tadi; gaun merah yang kira-kira hanya sampai setengah paha, tidak terlalu terbuka, serta jaket kulit warna merah tua. Dia tahu betul seperti apa gaya berpakaianku. Dan entah dari mana dia mendapatkan baju ini, sebab aku tidak pernah memiliki itu sebelumnya. Bahkan keinginan untuk punya satu pun tidak-walau kuakui jaketnya sangat bagus.

Ya ... mau bagaimana lagi? Aku harus melakukannya meski enggan.

🎶

Kami tiba di bar setelah menempuh perjalanan cukup lama hingga aku terlelap beberapa saat. Alby sama sekali tidak mengajakku bicara hingga aku mengantuk, belum lagi kami berangkat nyaris tengah malam; waktu untuk tidur dan aku harus mengorbankannya demi keegoisan Alby.

Seorang petugas keamanan bar mencegat kami ketika Alby tidak menunggu barisan antrean yang panjang dan langsung menuju pintu. Aku tidak heran si petugas akan bersikap demikian. Tangan Alby bahkan sudah kutarik-tarik agar kami kembali dan ikut berbaris. Namun, dia tidak menghiraukan dan beralih menggandeng tanganku agar mengikutinya. Aku tidak tahu kuasa apa yang dimilikinya hingga dengan penuh percaya diri mendahului pengunjung bar yang lain.

Sekarang aku juga harus turut menanggung malu, apalagi beberapa orang pengunjung sudah meneriakkan protes agar kami ke belakang.

"Tamu VIP," ujar Alby sembari memamerkan layar ponselnya pada si petugas.

Petugas itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya menunjuk sebuah alat pemindai di sebelahnya. Alby menghadapkan layar ponselnya yang entah menampilkan apa ke alat tersebut, setelah mendengar suara 'bip' kecil dan lampunya menyala hijau, pria keamanan tadi mempersilakan kami untuk masuk.

Well, itu tidak terduga. Meski seharusnya aku sadar kalau pria peminum sepertinya sudah pasti memiliki akses khusus ke banyak bar. Alby benar-benar tidak tampak memiliki hambatan untuk mengakses apa saja yang dia inginkan. Itu mengerikan sekaligus tidak adil untukku yang ingin menghadiri acara saja harus menyewa pakaian.

Kami memasuki elevator dan Alby menekan tombol B3/VIP di samping pintu; satu-satunya ruang yang tidak membuat sakit mata. Takada lampu warna-warni yang menyala bergantian hampir setiap detik. Benar-benar bar yang didesain untuk pesta dan bersenang-senang.

"Kau akan bertemu dengan teman-temanku." Setelah cukup lama, dia baru bicara padaku. Aku tidak repot-repot menoleh, tetapi menatap pantulannya yang buram di dinding berbahan stainless ini.

"Lalu apa? Aku harus mengumumkan kalau aku sangat beruntung memilikimu?" Aku berdecih setelahnya. Menggelikan sekali membayangkannya. Padahal tidak ada Claudia-aku yakin karena, ya, wanita itu bukan tipe peminum. Dia lebih suka menghabiskan waktu berendam daripada berada di antara banyak orang. Tentu jika Alby tidak menularkan kebiasaan buruknya kepada Claudia.

"Itu akan membuatku senang, tapi tidak. Kau hanya tidak boleh jauh-jauh dariku."

"Memerintah lagi," cibirku pelan, tetapi kurasa Alby masih bisa mendengar itu. Terbukti dari kerutan di dahinya.

"Beberapa orang di sana tahu kalau kita bersama. Fakta bahwa aku selalu membawa kekasihku untuk datang ke pesta akan membuatnya mencari-cari ke mana perginya dirimu."

Aku tidak merespons, apalagi elevator sudah berhenti di lantai tujuan kami. Alby menggamit lenganku dan kami keluar dari sana.

Lampu-lampu berwarna merah, biru, dan ungu mendominasi. Musik-musik disko diputar sangat keras hingga rasanya gendang telingaku berdengung. Seperti kata Alby tadi, seluruh pengunjung di lantai ini mengenakan baju berwarna merah. Kelap-kelip gaun yang dipakai pengunjung wanita lain melengkapi betapa berkelasnya pesta yang diadakan di sini.

Aku tak berhenti menyapu seisi ruangan dengan mataku, padahal tahu kalau percuma mengenali satu per satu wajah asing yang sesekali menyapa Alby, atau sekadar berpapasan dengan kami. Bahkan sudah lebih dari cukup untuk menyadarkanku agar tidak mengharapkan hal lebih dari kesepakatan kami. Alby dengan dunianya, aku dengan duniaku, tidak akan pernah sama. Ya, Ava, rasa sukamu pada pria ini sebaiknya jangan dibiarkan terus berkembang.

Kami berhenti di depan meja bar dengan beberapa orang bartender yang sibuk mengocok minuman untuk pelanggan lain di bar ini. Aroma alkohol memenuhi hidung, aku jadi khawatir bar ini tidak menyediakan minuman tanpa alkohol.

"Aku tidak menemukannya." Suara Alby akhirnya mengalihkan perhatianku dari suasana bar.

"Siapa?" Kerongkongan yang kering membuat suaraku terdengar serak. Belum lagi aku harus menaikkan volume suara agar bisa didengar.

"Yang mengadakan pesta. Aku akan mencarinya. Kau pesan apa saja, aku akan kembali."

Benar-benar pria tidak bertanggung jawab. Alby langsung meninggalkanku begitu saja. Aku ragu dia akan ingat padaku kalau sudah bersenang-senang dengan teman-temannya. Dan dengan sangat terpaksa aku harus menatap punggungnya sampai aku tahu ke mana dia pergi. Meski harus beberapa kali berjinjit karena tubuhnya tenggelam di antara lautan manusia.

Aku terlalu sibuk melakukan itu, terus berjinjit dan melupakan kalau bot yang kukenakan memiliki hak yang sangat tinggi. Setidaknya aku tahu Alby ada di mana, agar ketika dia tidak kunjung menemuiku, aku yang akan menyusul ke sana. Rencana yang bagus, tetapi tidak sebagus keseimbanganku ketika seseorang lewat di belakang dan tidak sengaja menyenggol punggungku saat aku masih berjinjit.

Selama sepersekian detik sebelum aku hampir jatuh, aku sudah berencana untuk pulang setelah ini. Maksudku, bagaimana mungkin aku akan bertahan di sini setelah mempermalukan diri sendiri dengan jatuh tengkurap di depan banyak orang?

Dari banyaknya orang di tempat ini, aku tidak tahu kalau akan ada satu yang bersedia menolongku. Lengan kekarnya menahan pinggangku agar tidak jadi mendarat ke lantai. Itu membuktikan bahwa dia seorang pria. Begitu keseimbanganku kembali, aku segera menjauh dan bermaksud ingin berterima kasih. Namun, aku kembali disadarkan kalau dunia mungkin makin menyusut dari waktu ke waktu.

"Troy?" Nama itu tentu masih segar di ingatan karena belum terlalu lama sejak terakhir kami bertemu dan berkenalan.

"Ms. Clairine, tidak kusangka kita akan bertemu lagi sebelum aku menghubungimu." Dia tertawa ringan dan itu benar-benar terdengar renyah. Dagunya yang terbelah benar-benar menjadi poin utama dari fitur wajah Troy.

"Terima kasih sudah membantuku. Aku nyaris pulang kalau wajahku mencium bekas jejak sepatu kalian." Aku bisa bicara sesantai itu karena Troy juga kelihatannya pria yang ramah dan tipe orang yang menyenangkan. Aku tidak perlu khawatir berlebih dengannya.

"Kau harus bertemu denganku dulu sebelum melewati pintu itu," guraunya sambil menunjuk pintu keluar. "Tadinya aku ingin membayar minumanmu, tapi kita sedang di pesta orang, semuanya sudah dibayar." Dia sudah menumpukan kedua sikunya di atas meja bar.

"Aku tidak minum." Aku ikut melipat tanganku di sebelahnya.

Sekarang dia menatapku dengan sorot kaget sekaligus tidak percaya. "Serius?"

"Aku akan pingsan di sini kalau kau mau membuktikannya."

Troy ingin membalas, tetapi seorang bartender sudah lebih dulu bertanya dia ingin minum apa. Dan Troy menjawab, "Koktail tanpa alkohol dan sebotol whiski, please."

Dan dia kembali memusatkan perhatiannya padaku. "Tidak masalah, aku siap menangkapmu kapan saja. Oh, tentu jika kau datang sendiri ke sini."

Aku paham kalau itu adalah semacam kata-kata rayuan yang biasa biasa dilontarkan kepada orang asing yang mereka temui di bar atau tempat lainnya. Dan aku beruntung datang bersama Alby, ya, meski pria itu tidak tampak dalam jangkauan pandangan, tetapi bisa kujadikan alasan jika Troy menunjukkan gelagat yang agak berisiko untukku.

"Aku datang dengan kekasihku." Wajahku pasti aneh saat ini. Aku harus tersenyum meski enggan. Tentu akan memicu pertanyaan jika aku mengakuinya dengan wajah kecut, 'kan?

"Aku penasaran seperti apa pria yang berhasil mencuri hatimu."

Well, andai dia tahu bahwa hati itu dicuri untuk dihancurkan.

"Dia sedang bersama teman-temannya." Aku menjawab santai, sambil berharap dia tidak bertanya apa-apa lagi tentang Alby. Dan, ya, berhasil terselamatkan oleh bartender yang meletakkan minuman kami.

Sebentar kami diam untuk menikmati minuman yang sudah tersaji. Segelas koktail di tanganku awalnya kusesap sedikit saja, hanya untuk memastikan rasanya. Manis dan agak kecut, seperti rasa buah-buahan.

"Siapa?"

"Hm?" Aku memastikan lagi apakah Troy memang mengatakan itu kepadaku atau bukan.

"Nama kekasihmu, mungkin aku mengenalnya."

Aku berbalik, melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Sudah tidak banyak orang yang berdiri memenuhi ruangan hingga menghalangi pandanganku untuk melihat deretan sofa di seberang, atau mungkin orang-orang itu sudah memenuhi lantai dansa. Dengan begitu, aku bisa melihat dengan jelas di mana Alby duduk.

"Alby Mateo. Dia di sana." Aku menunjuk sebuah sofa berbentuk U yang diisi oleh empat orang pria dan dua wanita. Alby ada di sana, tertawa dan sesekali menyesap minuman dari botol yang dipegangnya.

Aku tidak pernah menemukan Alby tertawa sepuas itu. Selagi aku bersamanya, dia memang jarang bertemu teman-temannya dan kupikir aku memang tidak perlu menemui mereka juga. Bahkan saat ini pun aku berada di sini dengan percuma. Takada kaitannya dengan kesepakatan kami.

"Aku ingat dia, si jenius dari kelas sains, selebihnya buruk. Pernah satu kelas dengannya satu tahun saat SMA. Tunggu." Troy sekarang memandangku dengan dahi yang berkerut. "Apa kau juga seorang model?"

"Um, tidak. Aku hanya freelancer, seperti yang kau tahu."

Troy memandangku dengan tatapan tidak percaya. Dia juga lancang memandangku dari kaki sampai kepala.

"Aku tidak percaya kau berkencan dengannya." Ya, karena dia juga berkata begitu, sudah pasti aku dan Alby tidak akan cocok bersama. "Dia hanya mengencani model, itu sudah jadi rahasia umum."

Mendengar kata model selalu mengingatkanku pada Claudia.

"Apa selera seseorang tidak boleh berubah?"

Aku menyesap koktail lagi saat menatap wajah bersalah Troy. Mungkin tatapanku terkesan mengintimidasi saat ini.

"No offense, aku hanya terkejut. Oke?" Dia mengangkat sebelah tangannya yang tidak sibuk sebagai gestur kekalahan. Dan aku hanya tertawa kecil untuk menunjukkan bahwa aku tidak menganggap serius hal tersebut.

"Kenapa tidak ikut dengannya di sana?"

Aku tidak langsung menjawab, tetapi sibuk memikirkan alasan agar peran sebagai kekasih ini berjalan sangat baik. Jari-jariku menari di bibir gelas koktail sebelum menenggaknya lagi, kali ini hingga tandas.

"Aku tidak mengenal mereka. Belum pernah berkenalan dengan benar, lebih tepatnya. Dan aku tidak ingin membuat situasi menjadi canggung karena kekakuanku."

"Aku mengerti. Host pesta ini adalah orang kaya baru, dia memenangkan undian dan mengundang semua orang yang pernah satu angkatan dengannya." Troy memainkan jarinya ke arah sofa tempat Alby berada. Mungkin orang itu juga ada di sana.

Apa yang Troy bilang tadi? Menang undian dan menjadi orang kaya baru? Aku berharap akulah orang beruntung itu. Namun, aku tidak pernah percaya pada lotre. Mom sudah membuktikannya kalau aku tidak memiliki hoki yang bagus seperti orang-orang. Dan aku hanya bisa berkata, "Beruntungnya dia."

"Yap. Seberuntung kita ada di sini dan menikmati banyak hal secara gratis. Mau ke menari bersama? Rugi jika berada di sini, tapi tidak bersenang-senang."

Troy meletakkan botol minumannya dan menarik tanganku sebelum aku setuju untuk ikut dengannya ke dance floor.

Kami menyelip di antara padatnya menusia yang sibuk meliukkan badan mengikuti irama musik. Aku berusaha untuk tidak menabrak siapa pun, meski sulit dan tetap saja aku menyenggol bahu orang lain sesekali. Takada yang protes, itu melegakan. Kurasa mereka sudah setengah mabuk atau mengira hanya sedang bersenggolan dengan pengunjung lain yang sedang menari.

Troy melepaskan tanganku setelah kami berada di tengah lantai dansa. Tubuhnya langsung bergerak mengikuti tempo lagu dan memberiku isyarat agar mengikutinya. Aku hanya mengangguk ringan, seolah-olah menikmati musiknya, sedangkan tubuhku enggan diajak bergerak meski aku ingin mencoba ikut menari. Setidaknya untuk melepas kejenuhan. Sayangnya, aku tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini.

"Kau harus menikmati musiknya, Ava." Troy berseru di depan wajahku, hanya agar aku bisa mendengarnya.

Aku mengangguk kuat. "Sedang kulakukan!" Dan balas berseru, karena meski berhadapan, tetapi aku tidak yakin akan terdengar, apalagi dengan keberadaan speaker besar di sebelah kami.

"Bukan seperti itu." Troy meraih tanganku dan menyelipkan jari-jarinya di antara milikku. Kemudian dia bergerak dan mau tidak mau aku harus mengikutinya. "Pinggulmu juga harus bergerak, seperti ini." Dan pinggulnya mulai bergerak ke kiri dan kanan. Aku hanya tertawa, sambil tetap mempertahankan jarak aman. Troy terus bergerak maju, entah karena dia memang menari seperti itu atau, entahlah, aku tidak bisa mengartikan apa motifnya.

"Ayolah, kau tidak perlu ragu-ragu, Ava."

Dia maju lagi, tetapi kali ini sambil menari. Troy benar-benar menikmati alunan musik hingga mulai melangkah ke sana kemari. Anggukannya beriringan dengan ketukan musik. Troy mulai berputar, sesekali kehilangan keseimbangan dan nyaris menabrak orang-orang, termasuk aku.

Demi menghindar agar tidak ditabrak, aku pun mundur, tetapi kali ini berujung menabrak seseorang di belakangku dengan keras. Dada pria lagi. Dan aku tidak akan bertanya-tanya siapa orang itu, karena dari aroma parfumnya-yang kali ini berbaur dengan aroma alkohol dari minuman-aku tahu Alby sedang berdiri di belakangku.

Aku berbalik, sekaligus menyiapkan kata maaf jika ternyata aku salah menebak. Namun, ketika suaranya yang dalam dan serak-kurasa efek dia terlalu banyak minum, aku tidak lagi bisa mengusirnya selain merasakan sensasi mendebarkan ketika suara itu justru terdengar seksi di telingaku.

"Aku yakin kau bukan datang bersamanya."

"Ya, itu jelas. Kau tidak perlu mengingatkanku."

Alby berusaha meraih tanganku, tetapi aku berhasil menepisnya. "Mau apa?" Itu kedengaran sangat kasar, tetapi aku tidak peduli, bahkan jika Troy bisa mendengarnya sekalipun. Alby mengajakku ke tempat ini, mengabaikanku, lalu ketika aku berusaha untuk menikmatinya, dia datang lagi dan dengan mudah membuatku kesal.

"Kita cari tempat lain," ujarnya. Dia seperti ingin bicara lagi, tetapi Troy sudah lebih dulu menyela.

"Ava, kenapa kau-hei, Alby, aku mengingatmu dari kelas sains. Dan kurasa pria ini cemburu, Ava." Oke, informasi terakhir itu dibisikkan Troy padaku agar Alby tidak mendengarnya.

"Aku tidak mengingatmu, dan tanpa perlu izin darimu, kami harus segera pergi."

Ya, Alby mulai lagi dengan peran sebagai pacar yang protektif. Entah apa yang akan dia lakukan setelah membawaku pergi dari sini.

***

Setelah cukup lama, aku baru update lagi. Maaf, kinda busy yesterday.

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
10 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro