4 - Fated Encounter
🎶
Right now, I'm in a state of mind
I wanna be in like all the time
Ain't got no tears left to cry
🎶
Aku benar-benar berterima kasih pada Nate saat itu karena pulang lebih awal dari yang kuduga. International Food Festival dua pekan lalu sangat ramai di malam hari, hingga aku mengira Nate akan menikmati waktunya di sana sampai acara berakhir. Namun, dia memilih pulang jauh lebih awal untuk mencoba permainan baru yang dirilis hari itu dan memberiku alasan untuk pergi dari Alby. Gila saja dia ingin memanfaatkanku untuk kepentingan pribadinya. Andai dia Pete atau Dave, yang jelas-jelas adalah teman baikku, mungkin akan kupertimbangkan untuk membantu mereka.
Dan aku bertemu lagi dengan hari-hari paling membosankan untuk yang keempat puluh lima kalinya. Aku mungkin kurang kerjaan karena menghitung hari sejak aku dinyatakan berhenti dari perusahaan majalah Jeff, tetapi aku tidak bisa berhenti melakukannya selagi menunggu berkas lamaranku mendapat jawaban.
Aku kembali memeriksa email masuk lewat laptop yang sudah kupandangi tujuh jam lamanya. Tahu apa dampaknya? Aku memakai kacamata. Intensitas waktu memandang layar monitor menjadi jauh lebih banyak dibandingkan dengan saat aku masih berstatus sebagai karyawan Jeff. Tolong, jangan kira ini kacamata minus seperti milik Nate. Ini hanya kacamata anti radiasi yang kubeli semenjak mataku mulai sakit jika menatap layar. Lalu apa hasil dari memeriksa emailku sore ini?
You have no inbox.
Aku sudah membuat email khusus untuk pekerjaan mengingat email yang lama sudah dipenuhi dengan keperluan freelancer. Ini berarti aku akan menjadi freelancer lebih lama lagi. Padahal aku sudah bosan mendekam di ruangan seukuran enam belas meter persegi ini. Mungkin aku harus mendekor ulang kamarku, mengisinya dengan beberapa boneka, lampu kerlap-kerlip, atau menempel foto-foto di dinding, agar kamar yang hampa ini tidak turut membuatku tambah depresi. Karena cat dinding warna abu-abu dan furnitur yang didominasi dengan warna putih membuatku tambah tertekan dengan beban pengangguran. Aku perlu suasana baru.
Sedikit membelanjakan uang untuk sesuatu yang menyenangkan kupikir takmasalah. Anggap saja self healing. Aku akan minta Nate menemaniku jalan-jalan ke 5th Ave besok. Hanya dia yang bisa kuminta untuk menemaniku-well, teman-temanku bukan pengangguran, jadi mereka sudah pasti menolak jika kuajak pergi di hari kerja. Menunggu weekend? Di sana akan sangat padat dan aku tidak bisa leluasa melihat-lihat. Jangan sarankan aku untuk belanja malam-malam, karena-percayalah-malam adalah waktu terbaik bagi otakku bekerja. Aku rela begadang demi hasil terbaik. Dan lihatlah kantung mata yang mulai menghitam ini.
Aku menutup lemari kecil di kamar mandi setelah menyimpan kembali sabun muka yang isinya sudah tumpah sedikit di ujung tiga jariku. Mencuci muka tidak pernah semenyegarkan ini, terlebih setelah hampir seharian.
Selesai membilas muka, aku memandang pantulan wajah di cermin dengan menumpukan tangan pada pinggiran wastafel. Wajah yang lelah. Aku tersenyum, mulai dari senyum yang tipis sampai yang kupikir adalah senyum terbaikku. Semuanya tampak sangat konyol. Katanya tersenyum akan membuat seseorang tampak lebih cantik, tetapi itu tidak berlaku padaku. Itu yang membuat orang-orang sering mengira aku adalah wanita yang tangguh-karena meski jarang tersenyum, aku tidak tampak menyedihkan juga.
Ya, tangguh. Setelah banyak kejatuhan menimpaku-keluargaku, rasanya kesedihan itu bukan lagi sesuatu yang membuatku harus menguras air mata; bukan lagi sesuatu yang mengharuskanku untuk melamun lama-lama dan mogok makan agar dibujuk; dan bukan lagi sesuatu yang harus kusebarluaskan ke teman-teman terdekat agar mendapat rasa simpati. Tidak. Semua itu tidak berguna. Dikasihani hanya membuat seseorang tampak menyedihkan, dan aku tidak pernah suka merasa demikian. Kita hanya hidup sekali. Terlalu banyak hal baik yang terabaikan ketika waktu dihabiskan untuk berlarut-larut dalam kesedihan.
Namun, menangis ketika merasa sedih itu wajar, aku bukan melarang seseorang untuk menangis. Aku pun menangis, tetapi aku tahu batasnya.
Aku hampir membayangkan bagian terburuk dalam hidupku lagi seandainya Nate tidak memukul pintu kamar mandi dengan keras, seperti orang kesetanan kalau kubilang. Aku cukup berterima kasih dengan aksi barbarnya, karena aku bisa saja mendekam terlalu lama di sini.
Um, mungkin tidak. Karena kemudian dia berteriak keras memintaku untuk segera membuka pintu.
"Nate, kau bisa bicara pelan-pelan, 'kan? Aku hampir mati jantungan karena kaget!" Aku balas berteriak pada pintu. Maksudku, pada Nate, tetapi pintunya masih tertutup dan aku enggan beranjak dari posisiku sekadar untuk membuka.
"Oh God! Ava, aku sudah tidak tahan lagi!" Itu bukan lagi teriakan biasa, tetapi jeritan orang yang tersiksa. "Ayolah, aku tahu kau hanya berdiri di depan cermin, tapi kau sudah punya satu di kamarmu, 'kan?"
Meski tersiksa, tetapi dia masih bisa protes padaku. Aku tertawa geli, masih bergeming di sini dan menikmati kesengsaraannya. Nate cukup menyebalkan terkadang, kupikir takmasalah jika dia kubiarkan di depan pintu lebih lama lagi.
"Kau benar-benar menyiksaku!" teriaknya lagi, agak menggeram.
Aku lantas mencuci tangan lagi dan berjalan keluar. Nate sudah menempelkan dahinya ke dinding dengan dua tangan bertemu untuk mencengkeram kain bajunya di depan perut. Tubuhnya agak membungkuk, dan kakinya bergerak gelisih, seperti kaki ranting milik hewan yang beberapa kali kutemui bergoyang di permukaan air. Aku tidak tahu namanya, tetapi takperlu dipikirkan.
Nate melesat masuk ke kamar mandi sedetik setelah menyadari aku sudah berdiri di sebelahnya. Kloset dan bak mandi berada di satu ruangan yang sama, tetapi dibatasi oleh tirai plastik tebal. Pintu kamar mandi dibanting Nate dengan keras sampai aku khawatir engselnya akan rusak. Aku tidak tahu hal mendesak apa yang akan dia lakukan sampai seperti itu.
"Hei, Nate," panggilku dan dia balas dengan gumaman keras. Aku bersandar di sebelah pintu dan bersedekap. "Besok temani aku ke mal?"
Cukup lama aku menunggu sampai akhirnya Nate menjawab, "Buat apa?"
"I'm thinking about selling myself." Aku membalas cepat. Setelahnya terdengar suara air kloset membawa seluruh tabungan Nate menuju saluran panjang yang tidak akan pernah sudi kudatangi ujungnya. Kemudian pintu terbuka dan Nate muncul bersama wajah bengongnya yang melegakan-setelah melewati masa-masa tersiksanya tadi, tentu saja.
"Aku tahu cara paling mudah menjual dirimu tanpa harus pergi ke mana-mana."
"You silly. Itu pertanyaan retoris, tentu saja kau tahu jawabannya, belanja."
Nate menyipitkan mata saat menatapku dan membetulkan posisi kacamatanya yang turun di tengah batang hidung. Aku memperhatikan dia dengan saksama sampai menemukan bahwa ada retakan kecil di bagian kanan atas dekat bingkai kacamata. Aku lantas menggeram kecil. Itu kacamata yang baru kubelikan untuknya minggu lalu dan sudah rusak.
"Kau menghabiskan uangku, Nate." Aku bicara pelan, lebih seperti kepada diriku sendiri, tetapi mataku tertuju pada retak di kacamatanya.
"Hah?"
"Kacamatamu retak lagi. Tidak bisakah lebih berhati-hati sedikit? I'm still jobless." Aku mungkin tampak baik-baik saja, tetapi aku baru saja mengeluh pada Nate. Ya, hanya padanya aku akan mengeluh, menjadi sebenar-benarnya aku yang tidak mampu mengampu beban hidup.
Nate melepas kacamatanya dan mencari-cari retak yang kumaksud. Aku lantas menggunakan telunjuk untuk menunjuk karena dia takkunjung menemukannya. Nate memang terlalu abai pada hal-hal kecil.
"Sepertinya karena terjatuh dari nakas tadi." Nate memasang kacamatanya kembali. "You don't have to worry, Sist. Aku dipanggil untuk wawancara kerja besok," katanya sembari menyugar rambut dan menaikturunkan alisnya, seperti seorang pria yang sedang berusaha menarik perhatian wanita incarannya.
Tunggu, apa yang kudengar tadi?
"Wawancara kerja? Kuliahmu bagaimana?"
Aku tidak bisa terima kalau dia berhenti kuliah karena aku yang membayar uang per semesternya. Maksudku, aku bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya, tetapi dia tidak menyelesaikannya? Yang benar saja!
Mataku terpejam, aku berusaha menetralkan napas yang mendadak sesak karena pasokan oksigen di paru-paru didesak oleh emosi yang memuncak. Itu sungguh perasaan tidak mengenakkan.
"Tenang. Aku tetap menyelesaikan kuliahku dan menghasilkan uang sekaligus."
Nate tersenyum penuh arti dan ada ketulusan di matanya. Dia tidak pernah tampak seyakin ini seumur hidupnya.
"Kau tidak perlu bekerja, Nate. Fokus dengan kuliahmu saja. Pekerjaan apa yang mau menerima seseorang tak berijazah sepertimu?"
Sebenarnya aku sendiri tersindir dengan pertanyaan itu. Lalu kenapa tidak ada yang menerima orang berijazah sepertimu? Itu bisa saja dilontarkan oleh Nate jika suasana hatinya tidak tampak sebaik sekarang. Aku sudah tersenyum masam, mempersiapkan diri kalau-kalau Nate sungguhan mengatakannya.
"You'll find out soon. Yang pasti, aku perlu kau ikut denganku besok. Baru setelahnya kita pergi belanja."
Nate-dengan dagunya yang naik beberapa derajat- meninggalkanku yang mematung kebingungan. Maksudku, apa ada yang bisa kulakukan selain mengiakan?
🎶
Betul. Aku tidak pernah bisa menolak permintaan Nate, seaneh apa pun keinginannya. Di sinilah aku sekarang, berada di antara puluhan orang berpakaian formal hitam putih dengan berbagai model map di masing-masing pangkuan mereka. Aku tersesat di sini, seperti orang asing yang belum bisa diterima kehadirannya. Orang-orang tidak berhenti melirik ke arahku karena perbedaan yang sangat mencolok. Jaket hijau tuaku menjadi pusat perhatian di tempat ini. Aku enggan berada di sini lama-lama, tetapi Nate mendapat giliran terakhir. Menyebalkan.
Bicara soal Nate, aku spontan meliriknya. Kami duduk bersebelahan di tengah-tengah barisan kursi panjang. Dia tampak sangat gugup, dan itu membuatku tersenyum geli. Kupikir dia sedang merasa tertekan berada di antara orang-orang yang kelihatan cerdas. Maksudku, hampir semua pelamar memakai kacamata. Tidak mungkin jika mereka adalah pemain game seperti Nate, bukan?
"Bagaimana penampilanku?" Nate menanyakan hal itu berkali-kali sejak tadi pagi.
Jawabanku pun masih sama, "You look like nerd."
"Bukan itu yang kumaksud."
"Ya, ya, ya, kau tampak baik. Tenang saja."
Beberapa jam berlalu, sudah lebih dari setengah pelamar yang pulang. Rata-rata dari mereka masuk ke ruangan di hadapan kami dengan penuh rasa percaya diri, dan keluar dengan wajah yang pucat. Itu semakin membuat Nate gugup. Aku yakin sekali, takpeduli jika semalam dia sudah bertanya banyak padaku tentang pertanyaan yang akan ditanyakan oleh pewawancara.
"Hei, Nate, posisi apa yang kaulamar ini? Dan ini perusahaan apa?"
Jika orang-orang tampak setertekan itu setelah diwawancara, sudah pasti ini bukan untuk menempati jabatan yang biasa. Hebat juga Nate sampai dipanggil untuk wawancara. Entah portofolio macam apa yang dia lampirkan dalam berkasnya.
"Kau tidak tahu? Di depan tadi namanya terpampang sangat besar, dan ini perusahaan yang sangat terkenal."
"Mate Inc. aku tidak tahu perusahaan ini bergerak di bidang apa. Semacam dating app atau apa?"
Nate tidak meladeniku lagi dan sibuk berkomat-kamit merapalkan ayat-ayat dari jawaban pertanyaan paling banyak muncul saat wawancara kerja. Aku pun diam, enggan mengganggunya. Sekali lagi aku memutari ruangan dengan mataku, mengagumi bagaimana tempat ini dirancang.
Interiornya tampak sangat luar biasa dengan konsep futuristik. Baik itu ukiran dinding, langit-langit, sampai funitur, didominasi dengan warna abu-abu dan perak. Tempat ini seperti memiliki kemajuan teknologi yang lebih pesat daripada New York. Terkadang akan ada beberapa orang yang lewat dengan menggunakan hoverboard, bahkan yang membersihkan lantai pun bukan lagi seorang cleaning service, melainkan sebuah mesin yang bergerak otomatis untuk menyedot debu-aku penasaran siapa yang mengendalikannya.
Aku berdiri, ketika sebuah figura besar di salah satu sisi ruangan menarik perhatianku. Tidak ada yang luar biasa dari itu, hanya sebuah lukisan abstrak yang jika diperhatikan dengan baik akan menciptakan ilusi dalam kepala, tergantung dari sudut pandang setiap orang yang melihatnya-dan aku melihat wajah seorang wanita sedih. Itu adalah lukisan beberapa gambar yang dijadikan satu secara apik dengan pallete warna senada. Takada emosi yang tergambar dari lukisan tersebut-bukan berarti aku mampu menerjemahkan lukisan orang lain, aku hanya tidak bisa merasakan apa-apa dari itu. Pelukis mungkin sekadar menuangkan apa yang ada di kepalanya saja, tetapi mampu menghasilkan sebuah karya yang indah.
Aku memutar badan, berniat untuk menghampiri Nate kembali. Namun, aku justru menabrak seseorang lantaran mataku tak kunjung beralih dari lukisan tadi.
"Maafkan-" Oh, aku bertatapan dengan mata itu lagi. "-aku."
"Ternyata benar kau," balasnya dengan ... riang? Sebelah sudut bibirnya naik, membuatku nyaris mengumpat karena dia terlalu tampan. Terlebih lagi, saat ini dia berpenampilan sangat berbeda; mengenakan setelan jas, sebagaimana orang-orang yang sepantasnya berada di gedung elite ini. Semua wanita akan setuju jika pria yang mengenakan setelan formal seperti itu tampak jauh lebih menggoda-seperti yang dulu kurasakan terhadap Jeff.
"Aku merasa familier dengan model jaketmu meski warnanya berbeda dari yang kaukenakan tempo lalu. Dan gaya rambut itu tidak dimiliki oleh orang lain selain dirimu. Karena penasaran, aku datang untuk memastikan kalau kau memang benar Ava."
Aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini, tetapi lebih tidak menyangka lagi dia sampai ingat namaku. Dia tidak tampak seperti seseorang yang akan peduli dengan sesuatu yang asing di sekitarnya, apalagi sampai mengingatnya. Dia berhasil membuatku merasa sedikit ... spesial.
Aku mengatupkan kedua belah bibirku dan melebarkannya, memaksa agar tampak seperti seulas senyum. Namun, aku tidak bisa tersenyum dengan benar untuknya. Sulit untuk tersenyum kepada seseorang yang enggan kutemui.
"Hai." Aku menyapa dengan canggung. Mataku bergerak liar mencari-cari keberadaan Nate. Namun, dia tidak kutemukan di mana pun. Mungkin gilirannya sudah tiba.
"Aku jadi bersemangat mewawancara karena kau ada di sini. But-" Matanya serasa seperti menelanjangiku ketika bergulir dari atas ke bawah. "-you aren't dressed properly for a job interview."
Aku menggeleng. "Aku hanya menemani saudaraku di sini." Sial. Aku menjawabnya dengan sangat baik. Seharusnya kujawab saja dengan kasar agar dia ilfeel padaku.
Dia memicing, menatapku curiga. Aku tidak memercayaimu. Mungkin seperti itu maksud dari tatapannya. Dengan penampilanku yang bergaya edgy, dia pasti mengira aku wanita barbar yang punya niat buruk di tempat ini.
Nate lagi-lagi menyelamatkanku ketika kulihat dia baru saja keluar dari ruang wawancara. Aku langsung meneriakkan namanya dan melambaikan tangan. Alby memutar setengah badannya untuk mengikuti arah pandangku.
"Dia adikku, aku menemaninya wawancara hari ini. Jadi, apa pun penilaianmu terhadapku, lupakan saja," ujarku dengan bangga. Kupikir ini bukan perusahaan biasa, jadi aku tanpa sadar sudah memamerkan bahwa Nate layak bekerja di sini.
Dia—Alby, beralih menatap Nate dan tersenyum profesional. Pun mengeluarkan aura yang menunjukkan bahwa dia adalah orang berpengaruh di sini. Sekali lagi, aku mempertanyakan perusahaan ini bergerak di bidang apa.
"Siapa namamu? Aku ingat beberapa portofolio dari para pelamar, mungkin milikmu adalah salah satunya."
"Nathaniel Burnett, Sir." Nate membalas agak kaku, mungkin efek sehabis diwawancara tadi.
"Selamat, kau lolos." Alby mengulur tangannya dan Nate tampak semakin bingung, tetapi tetap membalas jabatan tangan Alby.
"Omong kosong macam apa ini?" Ucapanku berhasil memenggal penyatuan tangan mereka. Keduanya serempak memandangku penuh tanya. Dan aku hanya memusatkan perhatian pada Alby, memandangnya dengan emosi yang berkobar. Memangnya sepenting apa posisinya di perusahaan ini sampai sesukanya memutuskan sesuatu tanpa pertimbangan?
"Aku tidak bisa terima kau meloloskannya begitu saja. Nate punya kemampuan yang baik. Kau saja tidak ikut mewawancarainya. Jangan berbaik hati hanya agar aku terbujuk oleh rencanamu yang itu."
Dia membuka mulut, ingin bicara, tetapi aku lebih dulu menyela. "Kau secara tidak langsung sudah meremehkan kemampuannya."
Alby tersenyum kalem, sesuatu yang sangat tidak kuharapkan terjadi saat ini. Bagaimana mungkin dia setenang itu di depan seseorang yang kecewa akan keputusannya?
"Ya. Aku sudah membaca berkasnya, dia gamer yang andal. Aku tertarik karena seluruh pencapaiannya."
Sekarang aku merasa seperti kemampuan berpikirku disedot paksa. Aku hanya bisa melongo atas apa yang diucapkannya. Perlu waktu agak lama sampai aku dapat benar-benar memahami ucapannya. Mana mungkin seseorang diterima bekerja karena kemampuan bermain. Kecuali jika perusahaan ini merupakan rumah produksi game.
Ah, benar juga.
"Nate, sekali lagi, kau melamar sebagai apa?" Ugh. Pertanyaan yang tak kunjung dijawabnya sejak kemarin.
"Game Tester. Kukira aku sudah memberitahumu." Nate mengedikkan bahu ketika menjawabku.
Harusnya aku sadar, apa pun yang dilakukan Nate tidak akan jauh-jauh dari game, bahkan jurusan kuliah yang diambilnya saja IT, dengan tujuan agar suatu saat dia akan bekerja di sebuah perusahaan game. Oh, itu tercapai sekarang. Namun, aku tidak tahu apakah Alby sedang membual saat memutuskan menerima Nate, atau dia bersungguh-sungguh. Aku harus memastikannya.
"Alby, tolong jangan buat Nate mengira dia benar-benar dipekerjakan di sini. Aku ingin dia diterima karena kemampuannya, bukan karena sesuatu yang nantinya harus kubalas." Aku menatap Alby dengan tatapan jijik dari atas kepala sampai sepatu pantofelnya. Rasanya seperti direndahkan meski mungin dia tidak berniat seperti itu. "Nate, kita pulang."
Aku menarik tangan Nate, ingin membawanya pergi dari sini, tetapi seketika sadar bahwa orang-orang di sekitar sedang memperhatikan kami. Mereka didominasi oleh laki-laki, mana mungkin akan tertarik dengan Alby. Dadaku mendadak terasa sesak untuk bernapas, bukankah ini sangat memalukan? Aku jadi ingin cepat-cepat pergi dari sini.
"Hei."
Sayangnya, Alby tidak membiarkanku pergi, dia menarik tanganku hingga aku terpaksa menghentikan langkah. Dan lagi-lagi bersirobok dengan tatapannya yang sedalam samudra. Warna matanya sungguh mengingatkanku pada lautan; indah sekaligus menakutkan, karena aku tidak tahu apa saja yang ada di dalamnya.
"Aku tidak bercanda soal mempekerjakan saudaramu. Dia benar-benar kubutuhkan untuk proyek yang sedang berlangsung."
Dia menatapku dengan sangat serius. Aku merasa dia salah sasaran, karena Nate yang lebih berkepentingan dengannya, bukan aku.
"Nate, kupikir dia ingin bicara denganmu." Dan aku menyuarakan isi pikiranku sembari berusaha menghindari tatapannya.
Aku bernapas lega setelah tanganku terlepas dari genggamannya. Dan aku baru menyadari kalau sejak tadi napasku tertahan. Bekas tangannya masih menyisakan hangat di pergelangan tanganku, tak peduli jika jaket berbahan denim yang kukenakan lumayan tebal. Bagaimana bisa seorang Alby memberi efek sebesar itu padaku? Apa karena statusku yang melajang dan kurangnya skinship dengan pasangan? Konyol. Segera saja aku menggeleng untuk menyapu pemikiran itu dari kepalaku.
"Kau bisa mulai bekerja besok, temui aku, aku akan memberimu salinan dari file beta sekaligus akan kujabarkan padamu tentang apa saja kriteria yang harus kauisi."
Wow. Alby berhasil membuat Nate senang bukan main. Lihatlah bagaimana dia tersenyum, nyaris menenggelamkan matanya. Kalau Nate sudah seperti itu, bagaimana mungkin aku tidak turut merasa senang untuknya.
"Terima kasih-"
"Alby. Panggil saja Alby." Alby dengan cepat memotong ucapan Nate, tetapi matanya justru mengerling padaku. Dan aku langsung menyapu binar-binar yang tadi sempat menghiasi wajahku, takingin dia tahu kalau aku turut senang untuk Nate.
"Dan untukmu, Ava, aku masih menunggu jawabanmu." Aku belum sempat bereaksi atas ucapannya, tetapi Alby sudah mencondongkan tubuhnya ke arahku, kemudian berbisik, "Kata orang-orang, jika dua orang asing bertemu secara tidak sengaja sampai tiga kali, itu pasti berarti sesuatu."
Aku tersenyum masam begitu dia kembali menegakkan tubuh dan tersenyum tebar pesona padaku. Tidak kusangka jika waktu itu dia tidak main-main menawariku untuk menjadi pasangan pura-puranya. "Jawabanku tidak akan berubah, Tuan Termometer."
Dia mencebik, bersikap seolah-olah kecewa akan keputusanku. Namun, aku tahu dia tidak merasa demikian. Dia pandai berakting juga.
"Terserah. Sampai jumpa besok, Nate." Kemudian dia pergi, akhir yang cukup melegakan.
Sikapnya langsung berubah 180 derajat pada Nate. Kuharap, dengan hubungan mereka yang baru, sebagai atasan dan bawahan, tidak akan berpengaruh apa-apa terhadapku. Namun, lihatlah Nate, sudah mengerling padaku dan tersenyum miring seperti orang stroke.
"Ya. Dia memang pria yang kuceritakan kemarin. Jadi, diamlah."
***
Ya ampun. Hai, bertemu lagi dengan Tuteyoo. Ini ... bab teraneh. Setuju, nggak? Coba drop pendapat kalian di sini. *sobbing*
So, aku bawain cuplikan dari cerita Jadi Aku Sebentar Saja karya Kak VitaSavidapius yang update tiap hari Senin. Check it out!
***
Waktu seakan berhenti bagi Mika. Ini pertanyaan yang sulit dia jawab. Mau sekeras apa pun dia menolak, usahanya pasti sia-sia jika sudah menyangkut kata keluarga. Mika mengambil udara sebanyak-banyaknya dan menatap para orang tua bergantian. Akan lebih mudah jika dia punya kesempatan berbicara berdua dengan Miko.
Tapi percakapan terakhirnya dengan Miko saja tidak menemukan titik temu. Mika menggigit bibirnya lagi, dia harus cari aman.
"Mika ikut apa kata Bang Jat, aja."
Mika yakin lelaki itu punya pikiran yang sama dengannya. Susah menolak perjodohan tapi tak mungkin melanjutkan juga. Karena Mika tahu, Miko tak akan pernah mau mencintainya.
***
See you on next chapter~
Lots of love,
Tuteyoo
25 Mei 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro