Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37 - Go Home

Hari yang kunantikan akhirnya tiba. Kendati demikian, aku tidak cukup senang menghadapinya. Kami akan kembali ke New York hari ini, dengan penerbangan siang. Setelah ini, aku akan sangat repot. Pertama, membawa pakaian dari Paula yang kupakai selama ini ke penatu. Meski sudah dicuci dengan jasa dari pihak penginapan, tetapi aku tidak merasa tenang kalau bukan aku sendiri yang akan membawa ke penatu dan mencucinya di sana.

Kedua, aku harus siap kembali dengan sandiwara yang jujur saja mulai memuakkan. Setelah dua minggu di sini bersama Alby dan keluarganya, aku merasakan kenyamanan yang tidak biasa. Keluarga Alby menerimaku dengan baik, dan Alby sendiri–asal kalian tahu–tidak pernah berhenti menggodaku.

Setiap malam selama seminggu terakhir, Alby selalu memelukku saat tidur. Sebenarnya aku juga tidak tahu sejak kapan dia melakukannya. Saat akan tidur dia memang menjaga jarak, tetapi begitu aku bangun di pagi harinya, aku selalu berhadapan dengan wajahnya dan tangannya selalu berada di pinggangku.

And yet, aku tidak benar-benar membenci dia melakukan itu.

Aku baru selesai mandi, sementara Alby sudah siap dan sekarang berada di luar bersama yang lainnya. Namun, kopernya masih di sini. Sedangkan aku masih harus membereskan bawaan setelah ini. Alby tidak memberi tahu kalau kami akan pulang hari ini, dan aku juga lupa menghitung hari. Dia sudah siap dari kemarin, mengemas barang-barangnya ketika aku sedang menemani Susan belanja.

Sekarang aku harus menghadapi kesulitan terbesarku. Ada alasan kenapa aku lebih suka memakai kaus atau kemeja. Aku benci blus karena tidak selalu memiliki kancing di depan. Dan blus yang ingin kukenakan sekarang, memiliki ritsleting panjang di belakang. Aku ingin menggantinya dengan yang lain, tetapi tidak ada lagi yang berlengan panjang seperti blus merah ini. Ini akan menghabiskan waktu yang banyak.

Tanganku sudah lelah berkali-kali berusaha meraih pengait ritsleting. Ketika berhasil kudapatkan, aku justru tidak mampu menariknya. Pada akhirnya, aku menyerah dan terduduk diam di kasur sambil memikirkan siapa yang bisa kumintai tolong. Aku berharap Paula ada di sini, karena jika aku menelepon atau mengirim pesan padanya, aku yakin dia akan mengutus Alby untuk datang. Mungkin yang akan dia pikirkan adalah, kekasihmu sedang dalam kesulitan, sana bantu dia.

Ponselku sudah berada dalam genggaman, tetapi sebelum sempat menyalakannya, seseorang memanggil diiringi dengan suara ketukan pintu. Bagus, aku cukup beruntung pagi ini, kurasa.

Dan coba tebak siapa yang berada di hadapanku sekarang begitu pintu terbuka? Dia memberiku senyuman yang sebenarnya tidak cukup pantas kuterima. Karena aku sudah berbohong kepadanya, berpura-pura demi kesenangan putranya sendiri.

Oh, Susan, aku tidak bisa berhenti memuji betapa indahnya matamu. Alby tidak salah menuruninya darimu.

"Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."

Aku tersenyum dengan sudut bibir yang nyaris bergetar. Mom pasti juga akan mengatakan hal yang sama seandainya dia masih hidup.

"Aku baik, hanya memiliki sedikit kesulitan untuk berpakaian." Aku menaikkan bagian bahu blus ini agar tidak melorot dan berujung memamerkan tali braku. Sopankah berpenampilan seperti itu di depan wanita yang penuh dedikasi seperti Susan?

Senyum Susan luntur dan tergantikan oleh wajah cemas. Dia berjalan memasuki kamar dan tetap membiarkan pintunya terbuka. "Ada apa dengan bajunya? Coba berbalik."

Dia sigap sekali memutar tubuhku. Padahal aku belum mengatakan keluhanku. Mungkin dia langsung sadar ketika aku menahan bajuku tadi.

"Aku hanya tidak bisa meraih ritsletingnya."

Tepat setelah aku menjawab demikian, Susan meraih pengait ritsleting dan menariknya hingga sampai ke lingkar leher. Tidak hanya itu, dia juga merapikan blus ini dan mengusap punggungku.

Dan, ya, aku tidak mampu menahan air mataku sekarang. Susan melakukannua seperti yang Mom lakukan padaku. Mungkin semua orangtua melakukan hal yang sama, tetapi untukku yang sama sekali tidak merasakan sentuhan ibu sejak Mom meninggal, situasi ini berefek sangat besar padaku. Aku bahkan tidak berani berhadapan dengan Susan. Dia akan melihatku menangis dan itu jelas akan lebih membuatnya repot.

Repot untuk menghiburku, misalnya.

"Selesai, Ava."

Aku baru berbalik untuk menatapnya setelah menyeka air mataku yang sudah menggenang. Dan aku tidak yakin mataku tidak akan terlihat seperti habis menangis. Walau hanya terharu dan menitikkan sangat sedikit air mata, hidungku sudah sangat merah. Tentu saja tidak akan kembali normal hanya dengan sekali usap.

"Ava menangis?"

"Hanya teringat ibuku. Dia selalu melakukan ini untukku." Suaraku lirih meski sudah memamerkan senyum terbaik. Apa yang kutampilkan, tidak mewakili apa yang kurasakan. Sedangkan aku tidak ingin menjadi beban tambahan jika tampak menyedihkan saat ini.

"Kau punya kami sekarang, Ava. Beri tahu kami apa saja kalau sedang susah." Susan menyentuh bahuku, memberi sedikit remasan di sana yang membuatku lagi-lagi teringat Mom. Sentuhan seseorang yang sudah menjadi ibu rupanya memiliki rasa yang berbeda dari orang biasa yang hanya sekadar ingin menenangkanmu.

"Boleh aku memelukmu?" Kalimat itu meluncur begitu saja, secara impulsif. Setelah dia merentangkan tangannya, baru aku sadar kalau permintaanku yang satu itu agak berlebihan.

Susan menarikku dalam pelukannya lebih dulu, sementara aku masih memproses pantaskah aku melakukan itu atau tidak. Aku baru mengenalnya dua minggu, atau mungkin tidak sampai dari itu. Tidak banyak yang kami bicarakan untuk bisa dibilang proses saling mengenal. Untuk mengobrol saja aku masih berharap dia yang memulai lebih dulu. Perlu keberanian ekstra untuk membalas pelukannya saat ini.

Susan benar-benar wanita yang hangat. Perasaanku turut menghangat. Dia merengkuhku dengan erat dan telapak tangannya yang mulai keriput mengusap punggungku dengan pelan. Aku tidak pernah lagi merasakan hal seperti ini sejak Mom meninggal. Tidak juga ketika ibu Nate berusaha menggantikan peran Mom dan beberapa kali memelukku ketika aku pulang ke rumah.

Aku tidak ingin menangis sekarang, tidak untuk mengotori baju yang dipakai Susan sekarang. Merindukan Mom sudah membuatku menangis di depan orang lain dan itu sangat buruk. Sebelum air mata yang sudah tergenang ini mengalir, aku buru-buru melepaskan pelukan kami, meski enggan.

"No need to cry, Honey. Kau akan menjadi bagian dari kami. Terlebih lagi dengan berada di sisi Alby, masalahmu adalah masalah kami juga." Susan meyakinkanku dengan senyumnya yang menawan. Lagi-lagi tatapannya mengingatkanku pada saat Alby menatapku waktu itu. Aku tidak berdaya setelahnya.

"Terima kasih, Susan. Aku akan mengingatnya."

"Aku akan sering-sering mengunjungi kalian." Susan menyentuh pipiku dan aku sempat terpejam untuk merasakan hangat telapak tangannya. Andai Mom masih hidup, mungkin akan sama keriputnya dengan Susan.

"Ayo selesaikan dirimu agar kita bisa menemui yang lainnya."

🎶

Perjalanan yang mengesankan itu berakhir di detik ketika pesawat mendarat di Bandara JFK. Aku tidak pernah tahu akan merindukan New York begitu udaranya kuhirup. Aroma padatnya aktivitas penduduk menyadarkanku akan hari-hari yang berat dan menyebalkan setelah hari ini. Aku lantas teringat untuk segera mengabari Claudia bahwa kami sudah kembali.

Namun, kenapa aku justru enggan mengeluarkan ponsel yang hanya berada di kantong jaketku saat ini?

Aku menatap pintu apartemen dengan tatapan nanar dan ingin sekali segera masuk ke sana. Sayangnya, Nate pasti masih terlelap dan tidak akan segera membuka pintu. Ketika orangtua Alby menyarankan agar kami istirahat dulu di penthouse putranya—mengingat sekarang masih pukul empat tiga puluh pagi, sekali lagi karena perbedaan waktu—aku menolak dan Alby harus mengantarku pulang. Bagusnya, dia tidak bisa memaksaku untuk tetap tinggal dan tidak bisa menolak juga.

Dengan harapan kecil, aku menekan bel sampai tiga kali dengan cepat. Jariku sudah siap ingin menekan tombolnya lagi, tetapi pintu di depanku sudah terbuka, menampakkan wujud Nate dengan rambutnya yang berantakan. Dia tidak mengatakan apa-apa dan memelukku. Aku bisa merasakan kalau dia merindukanku, dan tentu saja aku juga merindukannya.

"Perasaanku saja atau kau tampak lebih berseri-seri dari biasanya?" Alih-alih bertanya kabar, dia justru mengomentari penampilanku.

"Mungkin tidur berjam-jam di pesawat memberi dampak yang baik?" Sengaja aku membalas dengan sesuatu yang menyebalkan. Karena seorang Nate tidak akan pernah memujiku jika tidak menginginkan sesuatu.

"Jarang-jarang aku memujimu, jadi itu valid, Ava."

Aku tidak langsung menjawabnya. Namun, melakukan sesuatu yang kuinginkan sejak tadi; masuk ke apartemen dan membiarkan Nate yang menyeret koperku. Segera kuempaskan tubuh ke sofa dan melepas sepatu yang membungkus kaki. Senyaman-nyamannya sofa setengah kasur di pesawat, tidak akan pernah mengalahkan sofa tua di apartemenku sendiri.

"Kurasa aku benar-benar bersenang-senang di sana. Santorini dipenuhi dengan tempat-tempat wisata yang bagus. Setiap sudut kota benar-benar penuh estetika. Kau bisa berfoto di mana saja. Kita harus pergi ke sana sesekali, Nate."

Aku menunggu responsnya, tetapi yang Nate lakukan hanya berdiri di hadapanku sambil berkacak pinggang. Tidak bisa lagi kutahan dengkusan ketika menemukan dia menatapku penuh selidik, seperti sedang berusaha mengorek sesuatu dariku.

"Apa terjadi sesuatu di sana?"

"Ha?" Aku pura-pura bodoh ketika jantungku mendadak berdebar tidak karuan. Kuharap tubuhku bukan sedang bereaksi ketika tanpa sengaja momen bersama Alby membayang di kepala.

"Ayolah, Ava. Mungkin aku hanya saudara yang pernah tidak kauharapkan kehadirannya, tetapi kita terhubung dan berkat masa-masa sulit yang kita hadapi bersama, aku bisa merasakan auramu berbeda dari biasanya."

Kalau ini tentang apa yang mulai kurasakan pada Alby, maka Nate terlalu cepat menyimpulkan, menurutku. Aku bahkan belum bisa memastikan kalau memang menyukai pria itu, tetapi dengan Nate mulai menduga-duga seperti ini, aku khawatir itu justru menjadi sugesti dan apa yang kurasakan akan makin kuat.

Jatuh cinta dengan pria elite itu sama sekali tidak termuat dalam rencana hidupku. Apakah berciuman memang akan memberi efek seluarbiasa itu? Kesepakatan kami harus segera berakhir sebelum itu terjadi.

"Sekarang kau melamun," tegur Nate dengan senyumnya yang menyebalkan. Dia duduk di sebelahku dengan sebelah kaki dinaikkan ke kaki satunya.

"Tidak. Aku hanya sedang berpikir."

"Berpikir untuk membuat Alby juga jatuh cinta padamu?"

Nate pantas menerima pukulan untuk yang satu itu. Kurasa aku melakukannya terlalu keras sampai telapak tanganku terasa panas, aku yakin di punggungnya pun sangat merah saat ini.

"Gila, ya? Meskipun aku suka padanya, aku tidak akan pernah membiarkan dia tahu sampai kesepakatan kami berakhir."

"Kau tidak perlu memukulku untuk itu." Nate masih meringis, tangannya berusaha mengusap punggungnya sendiri meski tidak tepat sasaran.

"Tangan ini bergerak sendiri." Aku menunjukkan telapak tanganku yang kemerahan kepadanya. "Lagi pula, aku harus memikirkan bagaimana caranya agar Claudia segera mengakui kalau dia masih mencintai Alby."

"Tahu dari mana?"

"Dia mengakuinya sendiri. Dan kurasa Jeff juga tidak benar-benar mencintai Claudia. Tujuan mereka semata-mata sebagai bentuk bakti kepada orangtua. Yang mana aku tidak bisa benar-benar mengerti kenapa mereka mau melakukannya."

Aku menatap Nate dan dia hanya mengedikkan bahu. Mungkin dia juga sama tidak mengertinya denganku. Lagi pula, untuk dua orang yang sama-sama memiliki orangtua yang tidak bertanggung jawab seperti kami, keputusan untuk menurut tidak akan pernah kami ambil.

"Kalau kau sudah tahu perasaan Claudia, bukankah akan selesia kalau kau saja yang memberi tahu Alby?"

Aku menertawakan ide cemerlang Nate. "Percayalah, sudah kucoba, Nate. Tapi bukan itu yang Alby inginkan."

"Dia pria yang rumit." Bahkan Nate yang seorang pria pun mengakuinya. "Mungkin dia benar-benar terluka karena ditinggal Claudia. Aku akan mencoba untuk mengerti perasaannya. Dia seperti playboy, tapi tidak kusangka adalah pria yang setia."

"Aku lupa belum memberi tahu Claudia kalau kami sudah kembali."

"Dan kau tampak tidak ingin melakukannya."

Ya, itu benar. Seharusnya aku sudah melakukan itu sejak tadi, 'kan? Ketika niat itu muncul, ponselku sudah berada di tangan—seharusnya. Namun, aku bergeming. Apa yang akan terjadi jika kesepakatan ini berakhir?

Tentu saja kebebasan, Ava.

Mendadak apa yang kunantikan selama ini berubah menjadi sesuatu yang sudah tidak ada lagi hasrat untuk melakukannya. Aku baru saja menikmati permainan Alby, dan aku juga diterima dengan baik oleh keluarganya meski latar belakangku tidak cukup berkesan untuk mereka. Penerimaan semacam itu membuatku merasa ada dan utuh. Mereka memberiku pemahaman bahwa seseorang berhak dicintai karena dirinya, dan tidak bisa dipengaruhi oleh aspek di luar dirinya. Aku anggap itu adalah bonus.

Dan soal Alby, dia bilang hubungan kami hanya sebatas saat di Santorini. Namun, dia tidak menyatakan bahwa kami berakhir. Apa aku harus menunggunya, atau menganggap bahwa semuanya berakhir dan kembali ke sedia kala?

Aku akan memilih opsi kedua. Karena Alby cenderung memutuskan apa-apa tanpa memikirkan orang lain, sudah bisa dipastikan itu yang paling tepat. Apalagi selain menjadi partner kerja sama dengannya, aku tidak cukup penting untuk jadi seseorang yang pantas dia pertahankan. Dunia kami berbeda, gaya hidup kami pun tidak bisa disamakan.

Kenapa aku memikirkan semua itu sekarang?

"Nate, kurasa aku memang tidak ingin memberi tahu Claudia."

Tangan Nate mendarat di pundakku dan memberi remasan ringan di sana. "Aku tahu. Apa pun keputusanmu, aku akan tetap mendukungmu, Ava. Melihatmu tampak berseri-seri adalah hal terbaik yang terjadi selama aku mengenalmu."

"Jangan memberiku kesempatan untuk berharap. Seperti yang kubilang, aku tidak akan jatuh cinta padanya." Lagi-lagi aku mengelak. Meski menyebutkan katanya saja sudah membuatku bergetar.

"Jangan tahan dirimu untuk merasakannya, Ava. Kau akan temukan kalau itu adalah perasaan yang indah. Well, berdasarkan pengalaman meski pada akhirnya aku tidak berhasil mendapatkan perempuan itu."

"Kau pernah jatuh cinta?" Semburat merah yang muncul di wajah Nate tampak lucu dan aku jadi terkekeh karenanya. "Kenapa tidak ceritakan padaku?"

"Percuma. Kau tidak akan pernah mengerti yang kurasakan. Hatimu, kan, mati."

Ouch. Nate dan mulutnya terkadang bisa jadi senjata mematikan untuk menyerangku.

***

Akhir bab yang membagongkan. *lap ingus pake kain lengan baju*
Satu lagi bab yang penuh keabsurdan. Ditulis di saat-saat KIPI Pfizer menyerang. Nyeri banget.
Udah itu aja.

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
4 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro