36 - Getting Closer
Aku menemukan Alby sedang duduk di dekat pohon di pinggiran Pantai Caldera; pantai yang berada di dekat vila. Dia bersandar di batangnya dengan menghadap lautan. Aku agak terlambat menyusul karena harus mengambil jaket dulu di kamar dan cukup bersyukur tidak sampai kehilangan jejaknya.
Kurasa Alby juga setuju jika desiran ombak terdengar begitu menenangkan. Ketika jarak kami makin dekat, aku menemukan kalau dia terpejam. Sayangnya, aku tidak bisa menahan suara sandalku tidak berdesis di atas pasir, hingga dia menyadari kehadiranku.
Namun, dia sama sekali tidak melihat ke arahku, tidak juga menunjukkan tanda-tanda kalau dia merasa terganggu. Mungkin dia tidak benar-benar ingin sendiri saat ini. Walau sikapnya keterlaluan, tetapi aku merasa tidak enak karena acaranya jadi kacau.
Aku duduk di sampingnya, nyaris tak berjarak. Dan dia masih bergeming, seolah-olah seluruh pikirannya terhipnotis oleh hamparan laut yang memantulkan langit di depan kami. Aku bahkan tidak tahu sebenarnya untuk apa berada di sini; menghiburnya atau menghakiminya dengan menyebutkan kalau yang tadi itu adalah karma karena sudah menempatkanku pada situasi sulit. Sayangnya, aku tahu kalau Alby juga tidak akan bicara kalau tidak dipaksa.
"Kukira mereka akan membenciku." Aku mengucapkan apa yang ada dalam pikiranku. "Aku terus berpikir kalau keluargamu akan merasa jijik padaku. Namun, reaksi mereka justru di luar dugaan. Kurasa kita harus jujur kalau hanya bersandiwara, Alby."
"Hubungan bisa berakhir, apalagi kalau hanya berkencan. Mereka akan mengerti."
Kukira dia hanya akan tetap bungkam. Namun, nada bicaranya benar-benar tidak bersahabat. Berada di pantai memang dingin, tetapi seharusnya tidak sampai membuat sikapnya juga dingin, 'kan?
Baiklah kalau dia berpikiran seperti itu, aku tidak akan memaksa agar dia mau mengikuti saranku. Selain aku tahu itu akan sia-sia, waktuku juga akan terbuang.
"Sikapmu tadi, jelas-jelas menunjukkan betapa kau sangat ingin dimengerti, tetapi siapa pun tidak akan mengerti kalau kau bungkam. Kaubilang kita bisa saling mengandalkan. Aku hanya ingin tahu kenapa Albert mengatakan itu padamu." Aku bukan sedang bersikap sok tahu, tetapi instingku mengatakan kalau dia memang seperti itu.
"Bukan urusanmu."
"Aku sudah tahu kau akan merespons seperti itu," sahutku dengan tenang.
Pada akhirnya aku datang dengan sia-sia ke sini. Sampai kapan pun, aku dan Alby memang tidak akan pernah bisa satu frekuensi. Kami memang bukan dua orang yang ditakdirkan untuk bisa mengerti satu sama lain. Dan lagi-lagi aku kembali merasa dikecewakan oleh kenyataan.
Kami sama-sama diam selama beberapa saat kemudian, membiarkan suara kehidupan di pantai ini memeriahkan keresahan hati masing-masing. Ketika masa lalu yang selalu mengiringi ke mana pun sisa hidup menuju, takada yang bisa kulakukan selain menerima. Apa yang terjadi tadi sudah menjadi bukti. Bukan hanya aku yang mengalaminya, tetapi Alby juga. Tentu saja aku penasaran apa yang terjadi padanya dulu.
"Apa kau mau kembali ke vila?" Aku bertanya, padahal tahu dia akan menolak. Aku juga sekalian ingin memberi tahu kalau aku tidak akan berlama-lama di sini.
"Itu saja?"
Dahiku spontan berkerut karena responsnya. "Apa?"
"Kenapa menyusulku?" Setelah cukup lama, akhirnya dia menatapku.
"Karena ingin?" Maksudku, keinginan itu tiba-tiba muncul begitu melihatnya tersudut oleh tatapan maut sang ayah. Mungkin karena aku pernah merasakan hal yang sama, jadi perasaan ingin menemaninya muncul begitu saja.
"Apa mereka memintamu menyusul?"
Sekarang aku kesal dan mendengkus keras. "Mereka tidak memintaku ke sini, tapi kenapa aku repot-repot? Seharusnya aku di kamar sekarang, bersama iPad-ku dan menggambar, atau berbaring di kasur dan siap untuk tidur." Aku berucap sarkastik. Kepribadianku mungkin tidak sefeminin wanita lain, tetapi bukan berarti aku tidak bisa bersikap baik.
"Jadi, kau peduli padaku."
Tunggu, apa Alby baru saja tersenyum? Sudut bibirnya berkedut—aku melihat cukup jelas dalam jarak ini.
"Kukira kau perlu ditemani. Karena ternyata kau baik-baik saja, aku akan kembali ke vila." Aku berdiri setelahnya, tetapi Alby meraih tanganku dan kami saling tatap beberapa saat.
"Claudia tidak pernah kuperkenalkan pada orangtuaku."
Bisakah kuanggap kalau itu adalah tanda kalau dia mulai terbuka padaku? Ya, walau harus melalui momen-momen yang agak dramatis, setidaknya berjalan ke sini tidak sia-sia juga.
Aku duduk lagi dan bertanya, "Apa terjadi sesuatu?"
"Aku punya pengalaman buruk tentang berkencan dengan para model. Bukan sesuatu yang menyedihkan, tapi cukup untuk merusak nama keluarga."
Wow. Aku tidak tahu kalau pria seperti Alby akan melakukan sesuatu yang sefatal itu. Maksudku, coba lihat dirinya, tampan, gagah, dan memiliki aura pemimpin; seperti seseorang yang akan mendorong sekelompok orang untuk meraih sebuah pencapaian bagus. Itu yang terlihat di luar, tetapi di dalamnya, dia kacau.
"Apa yang kaulakukan pada mereka?" Jangan salahkan aku kalau ingin tahu sebanyak-banyaknya. Hampir semua tentangku sudah diketahuinya, aku menuntut bayaran di sini.
"Mereka yang menggodaku. Aku mengencani mereka karena mengaku suka padaku. Kami bertemu di bar, minum bersama, dan besoknya berakhir di kamar hotel. Kami akan saling berhubungan sampai paling lambat dua bulan."
Aku memicing seraya menarik tanganku dari genggamannya. "Kau playboy?"
Dia mendengkuskan tawa. "Apa playboy akan mengakhiri hubungan dengan kekasihnya dulu sebelum berpaling ke yang lain?"
"Tapi kau bermain-main dengan mereka."
"Dan mereka adalah pemburu uang. Ada beberapa yang mengadu hamil anakku dan menuntut uang tutup mulut sekaligus biaya untuk mengurus anak itu." Alby mendesis di ujung kalimatnya, bisa kurasakan kalau dia sangat kesal tentang itu. Namun, aku belum bisa mengasihani karena tidak tahu kebenaran dari ceritanya.
"Tidak heran kalau ternyata kau mesum, Alby. Hampir semua model kaucicipi," sindirku.
"Kaupikir aku akan ceroboh? Aku mengantar mereka ke dokter kandungun untuk mendapatkan kontrasepsi dan aku juga selalu pakai pengaman. Apa menurutmu itu belum cukup?"
Tanganku spontan mendarat di wajahnya ketika Alby menghapus jarak denganku. Aku tidak akan membiarkannya berhasil mencuri-curi kesempatan lagi kali ini. Sudah cukup jantungku nyaris copot karena ciumannya minggu lalu.
"Kecelakaan bisa saja terjadi."
Alby menyingkirkan tanganku dari wajahnya dan berdecak kesal. "Kalau hanya satu orang, aku akan percaya kalau itu terjadi."
Aku hanya mengerjap takjub dengan gaya hidup Alby. Dia benar-benar pria kota yang tidak akan melewatkan hal baik yang ada di depan matanya. Seperti yang dia katakan tadi, wanita-wanita itu yang mengejarnya. Kurasa itu yang menjadikan dia seperti sekarang, terjebak di antara hal-hal yang dianggapnya baik.
Ketika dia tahu terjebak di antara semua itu sama sekali tidak menguntungkannya, dia lebih dulu mengantisipasi dengan menghindari risiko, dan membiarkan orang lain terjebak lebih dulu demi membuatnya aman. Kurasa itu bisa menjadi alasan kenapa dia selalu menempatkanku pada situasi yang sulit.
"Lalu dikemanakan anak-anak itu?"
"Takada satu pun dari mereka yang hamil. Tapi ada yang nekat dan mengadu pada Dad. Dia langsung menganggap kalau bergaul di antara para model adalah hal buruk untukku. Lalu menyebutku tidak bisa mengontrol diri dari bersenang-senang." Kalimatnya diakhiri dengan suara ranting patah. Aku tidak tahu kapan benda alam itu berada di tangannya.
"Aku setuju dengan ayahmu. Terbukti dari kau yang selalu berusaha mengambil kesempatan dariku." Selagi mood-nya sudah membaik, aku sengaja menggodanya. Aku bukan tipe orang yang suka mengasihani orang lain.
"Kau harus melihat dirimu dengan kacamataku kalau mau tahu, Ava."
Caranya mengatakan itu dengan serius membuatku membuang muka. Meski tidak terucap satu kata pujian pun, tetapi aku yakin maksudnya baik. Aku membuang muka dan menarik lutut untuk dipeluk. Masih ada yang membuatku penasaran, tetapi aku masih ingat untuk tidak menyebutkan nama Claudia selama masih di sini.
"Sekarang kau menyamankan posisi, tidak jadi kembali ke vila?"
Mataku bergulir ke arahnya ketika dia membenahi posisi duduknya, yang menjadikan kami duduk bersisian tanpa jarak. Bahunya membentur milikku dan itu terasa hangat. Maksudku, di bagian lenganku itu, embusan angin tidak merembes masuk melalui serat-serat kain jaket.
"Setelah kupikirkan, akan lebih aneh kalau aku datang sendiri padahal kubilang kalau menyusulmu." Itu pemikiran yang spontan muncul, mungkin satu detik sebelum aku mengatakannya.
Alby tertawa, renyah sekali. Seolah-olah kekesalan yang membuatnya datang ke sini menguap begitu saja.
"Kau mulai memerankannya dengan baik."
Dia pikir aku sama sepertinya? Bersikap baik hanya untuk sandiwara? Sekarang mood-ku yang hancur, karena kepedulianku tidak berarti apa-apa untuknya. Ya, walau alasan yang kubuat tadi tidak menunjukkan rasa peduli sedikit pun, tetapi ketika aku baru datang tadi, tidakkah dia menyadarinya?
"Padahal aku sudah serius." Aku bergumam pelan sambil menggenggam pasir dan melemparnya sembarangan. Semoga rasa kesalku terwakilkan oleh butiran pasir itu.
Tawa Alby terhenti. Aku tidak tahu apakah dia bisa mendengar gumamanku tadi atau tidak.
"Maaf."
Aku menajamkan pendengaran dan mereka ulang kembali ucapannya di kepalaku, sekadar untuk memastikan kalau memang benar itu yang dia ucapkan. Namun, maaf untuk apa?
"Kenapa kau--"
Satu lagi kesempatan yang Alby curi dariku. Selagi kesadaranku masih belum direnggut oleh kenikmatannya; selagi tenagaku masih belum terkuras oleh permainannya, aku segera mendorongnya menjauh.
Aku menggeleng tepat setelah tanganku menutup mulut, menghalanginya untuk melakukan itu lagi. Namun, pelototanku sama sekali tidak membuatnya takut. Bahkan dia menurunkan tanganku dan menatapku dengan lembut. Sialnya, dia tahu bagaimana cara membuat wanita merasa semuanya akan baik-baik saja dengan melakukan itu.
Sebelah tangannya mendarat di tengkukku dan takada lagi yang bisa kulakukan selain menerimanya. Lagi.
🎶
Aku terbangun ketika terdengar suara ketukan di pintu. Cahaya yang merembes masuk dari jendela membuat mataku spontan menyipit. Ketika kulihat jam di atas nakas, rupanya kami bangun kesiangan. Mungkin si pengetuk pintu tadi adalah Paula, untuk membangunkan kami.
Tadinya aku ingin meregangkan badan, tetapi rasanya ruang gerakku terbatasi oleh kerasnya sesuatu yang menempel di belakangku. Pinggangku juga dililit oleh lengan kekar Alby. Tunggu, Alby?
Aku memutar badan dan menemukan wajahnya tepat di depanku. Hidung kami nyaris berbenturan seandainya aku tidak segera memundurkan kepala. Setelah berhari-hari tidur satu kasur, baru ini dia memelukku saat tidur. Aku cukup lega karena meski ada banyak kesempatan yang bisa dia manfaatkan, tetapi Alby tidak benar-benar melakukannya.
Di saat seperti ini, jantungku justru berdebar kencang.
"Berhenti menatapku, itu membuatku ingin memakanmu, Ava." Dia bahkan masih terpejam saat mengatakannya.
"Aku baru akan menyingkirkan tanganmu."
Baru aku menyentuh tangannya, dia justru mengeratkan pelukannya. Kalau seperti ini terus, dia bisa ikut merasakan debar jantungku.
"Oh, kurasa kau menekan tombol yang salah, Ava."
"Ayolah, Alby, kumohon lepaskan aku. Mereka sudah menunggu," pintaku sembari berusaha mendorong tangannya menjauh.
Mata Alby terbuka, dan dia menatap tepat di mataku. Ya, Tuhan, ditatap seperti itu membuatku spontan menelan ludah.
"Kau tidak berontak sejak tadi."
Oh, benar juga.
"Mungkin karena aku merasa nyaman?" Sial. Kenapa aku harus berkata jujur? Lihat bagaimana Alby tersenyum sekarang; puas dan sangat menggoda—menggoda untuk ditampar, lebih tepatnya.
"Aku akan melakukannya lebih sering kalau kau memang suka."
"Takkan ada situasi seperti ini lagi, Alby."
"Aku meragukan itu," sahutnya sembari menyamankan posisinya. Dia benar-benar menjadikanku sebagai gulingnya sekarang, terlebih ketika kakinya mendarat di kakiku.
Aku tidak tinggal diam, dengan tenaga yang sudah terkumpul banyak, aku mendorongnya menjauh. Namun, dia masih bergeming, usahaku tidak membuahkan hasil sedikit pun. Dan dia hanya tertawa-tawa ketika kepalan tanganku mendarat berkali-kali di dadanya yang berlapis piyama. Hingga akhirnya menyerah menjadi pilihanku.
"Apa posisi ini masih terasa menjijikkan untukmu?" Alby bertanya dengan suara pelan, nyaris seperti berbisik, dan napasnya berembus di telingaku hingga membuatku bergidik.
"Aku tidak memikirkan itu saat ini." Atau sebenarnya tidak pernah kupikirkan? Sebab jika tidak disinggung, aku tidak akan memikirkannya. Atau, lagi, aku hanya tidak ingin disamakan dengan wanita-wanita yang bercinta dengan Dad? Karena, ya, mereka tidak seharusnya bermesraan, seperti aku dan Alby yang tidak seharusnya melakukan itu.
Bisa kurasakan dia tersenyum meski tidak melihatnya. "Misiku berhasil. Aku yakin kau akan siap melakukan apa saja dengan kekasihmu kelak."
"Kekasihku kelak, ya?" Bahkan setelah berakhir dengan Jeffrey, aku belum memikirkan untuk mencari yang baru lagi. Menjadi kekasih Alby juga bukan keinginanku.
"Kau tidak mungkin sendiri terus, 'kan?"
Aku tidak menjawab, tetapi mengubah posisiku menjadi telentang tanpa membuat Alby melepaskan lingkaran tangannya. Namun, dia melakukannya sendiri tanpa diminta. Satu lagi yang perlu kuingat, Alby si pemaksa yang tidak suka dipaksa.
"Orangtuamu pasti sudah menunggu. Aku akan mandi lebih dulu," ujarku sembari beranjak dari kasur.
Aku tidak lagi memperhatikan apa yang Alby lakukan, karena sejak tadi, yang kuinginkan hanya menjauh darinya. Aku tidak yakin soal ini, tetapi ada gejolak yang muncul dan makin kuat dari waktu ke waktu saat kami bersama. Seperti ada satu mesin tua yang tiba-tiba mendapat dorongan untuk bergerak kembali. Jantungku saja sudah sangat mengkhawatirkan, organ mana lagi yang akan bekerja tidak normal jika terus-terusan berada di sekitar Alby?
Kupandangi cermin di kamar mandi, hanya untuk menemukan pantulan diriku sedang tersenyum malu-malu. Ini menggelikan, tetapi menyenangkan juga. Kalau ini yang orang-orang sebut rasa suka, kuharap yang kurasakan tidak sampai lebih dari itu.
Kesepakatan kami akan berakhir sebentar lagi, statusku juga akan kembali menjadi partner kerja sama dan bukan lagi kekasihnya--Claudia pun mulai memantapkan langkahnya. Kembalinya kami ke New York, ceritanya bukan lagi tentang Alby dan Ava, tetapi berganti menjadi Alby dan Claudia.
Namun, selagi masih tentang aku dan Alby, bolehkah aku menikmati momentumnya?
***
Tolong tegur aku kalau ada yang aneh 🥲
Itu aja.
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
1 Desember 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro