Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

33 - At the Beach

"Menurutmu, bagaimana Santorini?"

Setelah lima hari di sini, Paula baru saja menanyakan pendapatku. Obrolan remeh-temeh, benar, bukan? Sesuatu yang seharusnya sudah ditanyakan kepadaku berhari-hari yang lalu. Itu membuktikan kalau kami tidak banyak bicara. Semua orang sibuk. Kurasa mereka hanya belum siap meninggalkan pekerjaan, tetapi sudah terjadwal untuk liburan. Sedangkan aku, harus tetap setia mendampingi Alby di mana pun dia berada, meski pada akhirnya hanya sibuk dengan urusanku sendiri.

Kami baru pergi jalan-jalan hari ini. Setelah beberapa hari berwisata kuliner--kau tahu, makan siang ke resto a, makan malam ke resto b, begitu juga besoknya, ke tempat c, d, dan seterusnya, hingga kupikir kami sudah mengunjungi semuanya--hari ini kami pergi ke Pantai Kamari, lagi-lagi dengan diantar pria yang menjemput kami dari bandara kemarin.

Aku tersenyum pada Paula, yang baru saja datang dengan membawa segelas minuman dingin. Dia duduk di sebelahku dan meletakkan minumannya ke atas meja. Matahari cukup terik--sebagaimana musim panas, tetapi kami tidak perlu khawatir tentang kulit yang akan terbakar, karena meja-meja yang disediakan di sini memiliki payung besar yang terbuat dari daun kelapa kering.

"Kau membuktikan kebenaran dari ucapanmu saat membujukku. Um, Susan mana?"

Aku baru sadar, tadi Paula pergi bersama ibunya, tetapi kembali sendirian saja.

"Dad mengajaknya berkeliling, dan itu bagus. Kau pasti jenuh melihatnya terus membicarakan tentang perusahaan, bukan? Quality time-mu dengan Alby jadi berkurang."

Ha ha.

Aku tertawa dalam hati, meski yang kupamerkan pada Paula adalah senyum yang, kau tahulah, penuh sesal. Bagus saja kami tidak banyak bicara, aku bisa mengerjakan beberapa desain dari situs. Kalau bisa, aku ingin berterima kasih pada Albert sekarang.

"Aku bisa mengerti, tenang saja. Albert pasti jarang bertemu kalian, 'kan?"

Andai ada seleksi peran untuk film, mungkin aku akan lolos.

"Benar. Kau tidak perlu khawatir, hari ini kalian bisa bersenang-senang." Paula mengedipkan sebelah matanya sebelum mulai memainkan ponsel. Mode seriusnya baru saja menyala.

Aku mengalihkan pandangan ke laut biru agak gelap yang terhampar di depan kami. Airnya bening dan tidak keruh. Tampak gelap itu mungkin karena pasir di bawahnya yang berwarna agak hitam. Itu bukan sesuatu yang aneh, karena Santorini terletak di lereng gunung merapi yang sudah tidak aktif. Kurasa sisa-sisa material muntahan gunung merapi itu yang menjadikannya hitam.

Deru ombaknya sangat menggoda untuk didatangi, memanggilku untuk menenggelamkan diri di tengah-tengahnya. Sayangnya, aku tidak bisa berenang. Bermain-main di bagian terdangkalnya tidak akan membuatku puas. Hingga akhirnya aku hanya diam di sini, ditemani dua gelas limun, dan menonton orang lain bersenang-senang.

Aku mengeluarkan ponsel, bermaksud untuk mengabadikan pemandangan indah ini dalam jejak digital. Satu jepretan, dua jepretan, yang ketiga aku memperbesar tangkapan layar agar lebih banyak laut yang tertangkap kamera. Namun, aku justru menemukan Alby muncul ke permukaan laut dan berjalan mendekati pantai.

Alby benar-benar tahu cara menarik perhatian orang lain. Dengan hanya celana pendek dan tubuh yang kekar, dia berhasil menarik atensi para wanita berbikini di sana. Dia memang bukan yang tertampan, tetapi kurasa untuk saat ini memang tidak terlalu banyak pria yang ada di pantai. Secara tidak langsung, Alby tampak menonjol hari ini.

Aku menurunkan ponsel ketika Alby makin dekat dengan kami. Tentu aku tidak ingin dia jadi terlalu percaya diri karena mendapati ponsel ini mengarah kepadanya. Terkadang dia sangat sadar kalau dirinya tampan.

"Aku memperhatikanmu dari jauh dan kau tidak bergerak sedikit pun dari sini."

Aku mendongak untuk menatapnya yang masih meneteskan air, tetapi harus menyipit karena wajah Alby saat ini berlatarkan langit cerah.

"Aku suka di sini." Aku tahu itu jawaban yang konyol, dan kuharap dia tidak menyadari betapa aku sangat ingin menyentuh air laut.

Alby menyemburkan tawa yang menjengkelkan. Dia meraih handuk yang tersampir di salah satu kursi dan dia pakai untuk menyapu air dari wajah dan rambutnya.

"Kau bisa ke sana tanpa harus melepaskan pakaianmu," balasnya seraya menarik ujung gaun selututku hingga tersingkap sampai setengah paha. Spontan saja aku memukul tangannya dengan kuat. "Kau sendiri bilang tidak ingin memamerkan tubuh dengan bikini. Daripada berendam di bathtub, laut punya lebih banyak air dan luas."

"Ternyata kau masih ingat, ya." Itu sindiran, bukan pujian atau sesuatu yang bertujuan untuk menghargai. Paula sudah pergi entah sejak kapan, makanya aku berani bersikap seperti itu.

"Seharusnya kau bisa menikmati liburan ini, Ava. Kau pergi jauh-jauh dan hanya menonton. Aku sudah sengaja membiarkanmu sendirian agar kau bisa menentukan sendiri apa yang akan kaulakukan, tapi aku justru menemuimu di sini. Diam dan tampak menyedihkan."

Aku sudah menganggap itu adalah sikap kepedulian, tetapi kuurungkan karena pada akhirnya dia tetap mengejekku. Apanya yang menyedihkan? Aku bahkan tersenyum pada orang-orang yang lewat di depanku jika mata mereka melihat ke sini. Aku berusaha menjadi ramah di tempat orang.

"Aku hanya malas. Entahlah, aku merasa asing di sini. Sulit untuk membuat diriku lebih rileks."

Alby menatapku sedikit lebih serius. Cukup lama hingga aku menunduk. Aku hanya tidak kuat ditatapnya seperti itu terus. Sedikit lebih lama saja mungkin pertahananku akan goyah.

"Kau mengenalku dan Paula. Oh, aku bahkan kekasihmu. Kau bisa ceritakan apa saja yang membuatku tidak nyaman."

Aku berdesir dengan bagaimana cara Alby menatapku sekarang. Harusnya aku tetap menunduk, bukan justru tersedot dalam pusaran samudera di manik matanya. Hangat musim panas merambat padaku. Seluruh tubuhku bereaksi seolah-olah aku memang perlu tempat aman, nyaman—dan aku benci Alby berhasil membuatku merasakan kenyamanan itu ada padanya.

Namun, lagi-lagi aku harus ditampar oleh kenyataan tentang seperti apa hubungan kami yang sebenarnya. "Tidak ada siapa-siapa di sini, Alby, kau tidak perlu repot-repot terlalu peduli padaku."

"Kau hanya akan terus menolak ketika seseorang berusaha untuk peduli, ya?" Dia menatap laut dan tersenyum tipis. "Terbiasa hidup sendiri, setelah beberapa kali dikhianati tidak akan membuatmu menjadi sosok wanita yang kuat, Ava. Aku tahu, jauh di dalam dirimu, kau perlu seseorang yang akan menepuk pundakmu saat hidup benar-benar terasa berat."

"Tidak—" Aku ingin membantah, tetapi Alby sudah bicara lagi.

"Mulutmu akan terus berbohong, tetapi aku bisa merasakannya saat memelukmu atau bahkan menciummu. Kau merasa aman saat itu, meski akalmu bersikeras untuk menolak." Tangannya mendarat di pundakku dan dia meremasnya pelan.

Sentuhannya yang tiba-tiba itu berhasil memacu jantungku jadi bekerja lebih keras. Ini sesuatu yang baru, yang bahkan belum pernah kurasakan saat bersama Jeffrey dulu. Aku tidak ingin menganggap Alby berbeda dari pria lain, itu hanya akan membuatnya terasa lebih spesial daripada yang lain. Pokoknya, di akhir kesepakatan ini, tidak boleh ada perasaan yang terlibat.

"Kalau kau seperti ini pada wanita lain, Alby, mereka akan salah paham."

Alby mendekat, lalu berkata, "Saat ini ada tiga orang yang kupedulikan. Satu, Mom. Dua, Paula. Tiga, kau. Aku tidak bisa memikirkan orang lain lagi ketika kalian sudah ada di depan mataku."

Kan, dia mulai lagi.

"Di mana kau menempatkan Claudia?"

Wajah Alby langsung berubah muram. Seperti awan mendung yang bergerak cepat menutupi matahari yang sedang bersinar terik. Aku tentu ingat kalau dia tidak mau membahas tentang wanita itu selama liburan.

"Katakan namanya sekali lagi, atau aku akan melakukan sesuatu yang tidak membuatmu senang, Ava." Dia mengancam, tetapi aku justru tidak takut walau tahu dia tidak pernah bermain-main jika sudah seperti itu.

"Aku hanya ingin mengingatkan kalau tujuan kita adalah untuk membuat Claudia cembu—"

Ini yang akan terjadi jika bermain-main dengan Alby, mengabaikan peringatannya. Aku bungkam karena bibirnya mendarat di bibirku. Hanya menempel, tetapi dia melakukannya berkali-kali. Aku sampai harus mendorong dadanya menjauh sebelum dia menahan tengkukku lagi seperti yang terjadi malam itu.

"Hentikan, Alby!" Sebelah telapak tanganku mendarat di wajahnya ketika dia memajukan wajahnya lagi, sementara tangan yang satu lagi kupakai untuk menyapu jejaknya dari bibirku.

"Kau masih tidak bisa menerimanya, ya?" sahutnya dengan santai setelah menurunkan tangannya dari wajahku.

Wajahku memanas karena kesal, aku juga yakin pasti sudah merah. Sebenarnya, entah sejak kapan, aku sudah tidak lagi merasakan kengerian itu. Mungkin ciuman pertama kami sudah cukup untuk membuatku terbiasa. Takada lagi wajah Dad atau wanita-wanita telanjang yang membayang di kepalaku.

"Apa kau masih takut?" Kali ini nada bertanyanya sedikit lebih lembut. Kurasa dia benar-benar pria yang baik.

"Entahlah. Seharusnya aku pergi, 'kan? Bukan tetap duduk di sini."

Senyum Alby mengembang, yang pelan-pelan mulai mengobrak-abrik sesuatu di dalam diriku. Apa ini yang orang-orang sebut hati yang bergejolak?

"Senang mengetahuinya," ujarnya penuh kelegaan. "Dan soal Claudia, kita akan pikirkan nanti. Untuk saat ini, Ava, aku benar-benar ingin kita menikmati liburan. Jangan dulu membicarakan dia."

Dia sangat serius. Kurasa aku memang harus mengingatnya untuk tidak menyebut namanya lagi sampai kami kembali ke New York. Namun, karena sudah telanjur dibicarakan, aku ingin sekalian memenuhi rasa penasaranku.

"Um, Alby. Aku penasaran akan satu hal, masih tentang dia tentunya."

Alby menatapku sebentar sebelum menghela napas. Dia persis seperti orang yang pasrah pada apa pun yang akan menimpanya. "Apa?"

"Kalau Claudia sudah mengaku masih mencintaimu, apa yang akan kaulalukan padanya? Apa kalian akan kembali bersama?"

Karena Alby tidak kunjung menjawab, aku kembali bicara.

"Karena aku tidak mengerti apa yang kaurasakan. Terkadang kau masih tampak ingin kembali padanya, di sisi lain, aku merasa kau hanya ingin balas dendam. Ini seharusnya tidak jadi urusanku, tetapi aku hanya tidak tega kalau Claudia harus terluka. Biar bagaimanapun, dia temanku. Dia sudah cukup tertekan karena dijodohkan dengan Jeffrey."

Aku tidak tahu apakah aku bicara terlalu banyak, tetapi kurasa aku sudah cukup jelas memberi clue kalau Claudia masih mencintai Alby. Demi ombak yang tidak berhenti menyapu pasir di dekatnya, aku tidak suka membicarakan tentang Claudia.

"Kenapa kau bisa tahu sebanyak itu?"

Oh, perasaanku saja atau Alby memang mulai kesal?

"Um, kami berhubungan beberapa kali."

"Dan kau tidak memberi tahuku?"

Alby meremas handuk di tangannya. Dia melampiaskan kekesalannya di sana dan membuatku mulai takut. Sampai-sampai menelan ludah saja dengan susah payah.

"Haruskah?" Aku memberanikan diri membalas tatapannya.

"Aku merasa seperti orang bodoh, memainkan peran tanpa tahu apa yang dirasakan Claudia, bersama seseorang yang bisa dengan mudah memberi tahu dia kalau aku tidak rela melepaskannya. Atau, kau memengaruhinya agar tidak kembali padaku?"

Aku terperangah karena tuduhan tak berdasar yang dia lontarkan kepadaku. Bukankah dari awal dia tahu kalau aku berteman dengan Claudia? Sekarang kenapa dia semarah ini?

"Apa yang kaupikirkan tentangku, Alby, sama sekali tidak benar." Aku membalas dengan tenang. "Ya, kami bertemu dua kali. Dia menceritakan tentang alasan kenapa dia harus menerima dijodohkan dengan Jeffrey. Dan, ya, dia masih mencintaimu. Aku tahu semuanya. Tapi tidak semudah itu baginya untuk bisa kembali padamu."

Aku diam sebentar untuk melihat reaksi Alby. Dia masih memandang lautan dengan murka, seolah-olah wajahku ada di sana. Dia sedang marah padaku, tidak mungkin wajah Claudia atau Jeffrey yang dia bayangkan di sana.

"Mudah saja bagiku membuat kalian kembali, Alby. Aku hanya perlu menceritakan kalau kau belum bisa melepaskannya. Tapi tidak, karena apa? Aku menghargai kesepakatan kita, tidak mungkin aku memberi tahunya kalau kita hanya berpura-pura menjadi pasangan. Bukan hanya kau yang malu, tetapi aku juga."

Aku sudah bicara panjang lebar, tetapi Alby sama sekali tidak bereaksi apa-apa. Aku tahu dia marah, dan aku tidak mengerti apa yang terjadi padaku sekarang. Seharusnya aku tidak peduli, tetapi aku justru repot-repot mengatasi kesalahpahaman yang baru saja terjadi. Padahal ini bisa jadi peluang besar untuk Alby mengakhiri kesepakatan kami.

Dan lagi, ketika semuanya berakhir dan Alby memutuskan kembali dengan Claudia, aku akan tertinggal sendirian. Dia dapat senangnya, aku dapat malunya. Orang-orang akan mengasihaniku tanpa henti. Hingga akhirnya aku merasa sangat terganggu dan memutuskan untuk menjadi warga di negara lain.

Ya, Tuhan, kenapa aku jadi tidak tenang seperti ini?

"Aku minta maaf, Alby, mungkin tidak seharusnya kukatakan kepadamu, tapi aku mulai merasa tidak tenang dari hari ke hari. Aku mengkhawatirkan hatiku yang sudah mati." Khawatir akan jatuh cinta padamu, maksudku.

Alby diam sangat lama. Karena dia mengabaikanku sepenuhnya, aku merasa tidak ada artinya terus berada di sini. Jadi aku beranjak dari kursi, memasukkan beberapa barangku ke tas dan menyampirkannya di bahu.

"Kurasa kau sedang tidak ingin kuganggu, kalau nanti ditanya aku ada di mana, katakan saja aku sedang jalan-jalan."

Aku meninggalkan meja, tanpa tujuan. Yang kuinginkan sekarang hanya mencari tempat yang sunyi untuk menenangkan diri dari rasa bersalah yang tak berdasar.

***

This part is kinda weird and out of line. Huft.
Bagi perasaan kalian waktu baca bab ini, ya, biar aku kembali ke jalan yang lurus.

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
21 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro