Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32 - Their Parents

Aku nyaris tertidur karena Alby menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandi. Dia bahkan lebih lama daripada aku yang seorang perempuan. Entah ritual apa yang dilakukannya di dalam sana. Atau mungkin punggungnya yang bertato itu perlu perhatian khusus? Maksudku, ya, agar warnanya tidak luntur. Aku tidak punya satu pun, jadi aku tidak tahu apakah bagian kulit yang bertato perlu perhatian khusus atau takada bedanya dengan kulit yang polos.

Mataku spontan melek ketika terdengar suara pintu kamar mandi dibuka. Alby keluar dari sana hanya dengan handuk yang melilit pinggangnya. Walau bukan kali pertama melihatnya dengan penampilan seperti itu, tetap saja aku akan tersipu. Bahkan sekarang aku masih membuang muka dan berencana untuk memejamkan mata lagi, berpura-pura tidur, mungkin?

Sayangnya, aku tidak mampu menahan mata ini agar tetap terpejam. Alby berdiri menghadap lemari dan membelakangiku, beruntung dia sudah memakai celana warna abu-abu selutut dan handuknya berpindah posisi jadi menggantung di leher. Aku tidak bisa membayangkan akan melihatnya telanjang di sana, tetapi aku yakin, Alby juga tidak akan seceroboh itu memamerkan tubuhnya secara cuma-cuma.

Alby bukan orang yang akan memberi keuntungan kepada orang lain tanpa ada timbal balik untuknya. Dia mungkin berpikir aku akan memanjakan mata jika dia melakukannya. Padahal, ya, aku tidak akan sudi membuang-buang waktu untuk memuja fisiknya yang sempurna. Yang sudah-sudah itu, khilaf. Ya, tidak sengaja.

"Aku sudah siap." Tahu-tahu Alby sudah berdiri di hadapanku, lengkap dengan kaos oblong kebesaran berwarna hitam.

Aku berdiri dan langsung disambut dengan aroma parfum Alby yang menguar, tetapi tidak menyengat. Rasanya, berdekatan dengan Alby makin berbahaya saja. Apa pun yang berkaitan dengannya selalu membuatku bereaksi. Seperti aroma tadi, misalnya.

"Kita sarapan di mana?" Interaksi yang sangat canggung sebenarnya. Aku tidak tahu harus bicara apa lagi selain terlintas pertanyaan itu di kepalaku.

"Paula tidak mengatakan apa-apa, kemungkinan kita hanya makan di vila," balas Alby sambil menggaruk hidungnya dengan telunjuk. Kurasa bukan hanya aku yang merasakan kecanggungan ini, dia juga.

"Oke, ayo." Aku baru berjalan satu langkah melewati Alby, tetapi dia menarik lenganku cukup kuat hingga punggungku menabrak dadanya. Apa dia pikir aku akan lari, sampai dia menarikku dengan sekuat tenaga seperti itu.

"Kita tidak bisa memamerkan kecanggungan ini kepada mereka."

Kurasa aku tahu apa maksud pembicaraan ini. Aku menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya, berusaha merilekskan badanku yang menegang karena dadanya yang bidang dan keras. Aku tidak akan bilang seperti papan karena tubuhnya tidak sedatar itu.

"Lalu?"

"Tubuhmu tegang," ujarnya seraya melingkarkan tangannya di leherku. Sekarang dadanya menempel sempurna dengan punggungku, takada jarak selain pakaian yang kami kenakan. Hangat tubuhnya membuatku enggan menjauh, tetapi akal sehat berhasil menyadarkanku bahwa ini tidak tepat.

"Kau tidak perlu sampai memelukku seperti ini, Alby." Aku mendengkus dan terdengar lumayan nyaring, biar saja dia tahu kalau aku tidak suka dengan apa yang diperbuatnya sekarang. Makin dibiarkan, dia makin sering mengambil kesempatan.

Alih-alih menjauh, dia justru menjatuhkan kepalanya di bahu kiriku. Embusan napasnya yang hangat terasa di leherku. Dia mencuri-curi kesempatan lagi, tetapi aku sudah lelah dan pasrah. Melarang terus hanya akan membuat Alby makin berulah.

"Bahumu sudah tidak setegang tadi," ujar Alby, tidak lama kemudian. "Sudah kubilang, terapiku akan berhasil."

Alby melepaskanku dan menyeringai tipis. Napasku tertahan sebentar ketika dia menatapku dengan lembut, seolah-olah memberi tahu kalau kami akan baik-baik saja. Sungguh sesuatu yang langka. Aku tidak tahu, dia memang benar-benar Saat itu pula aku sadar, kalau dia bukan sedang mencuri kesempatan, tetapi membantuku.

Dia terlalu sering melakukan hal-hal yang membuatku kesal, sampai-sampai aku tidak tahu kalau dia baru saja berbuat baik. Bisa dibilang, aku telanjur buta untuk melihat kebaikannya. Bahkan aku masih tidak percaya kalau dia sampai mencari kamar lain ketika aku protes sekamar dengannya.

"Jadi dirimu saja, mereka orang baik. Kalau mereka bertanya tentang hubungan kita, biarkan aku yang menjawab."

Aku mengangguk, itu sedikit melegakan meski aku agak waswas cerita seperti apa yang akan dikarang Alby nanti. Buktinya saja, Hyunjoo sampai mengira Alby dan aku sudah berbuat jauh.

"Kalau dia bertanya tentang keluargaku?"

Alby diam, bibirnya terkatup rapat dan dahinya agak berkerut. Kurasa aku mulai tahu apa seperti apa reaksi mereka nanti kalau aku bercerita dengan jujur. Oh, mungkin saat baru kukatakan bahwa aku pengangguran pun, pasti mereka akan langsung ilfeel padaku.

"Jangan memikirkan yang aneh-aneh, ini hanya sarapan, bukan acara perkenalan calon istri. Atau kau bersedia jadi istriku?" Dia mendekatkan wajahnya hanya untuk membisikkan, "Syaratnya mudah, kau hanya perlu membuatku melupakan Claudia, seperti aku yang berusaha membuatmu menerima segala bentuk sentuhan, Ava."

Aku spontan mendorong dadanya ketika suaranya yang sensual membuatku merinding. "Dalam mimpimu, Alby!"

🎶

Aku tidak berhenti menghirup napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Entah sudah berapa kali aku melakukannya, ini seperti saat aku akan diinterviu kerja di perusahaan Jeff dulu. Rasanya seperti aku memosisikan diriku di tepi jurang. Salah bergerak sedikit saja risikonya hidup atau mati.

Berlebihan memang, tetapi sejak aku melihat orangtua Alby sudah duduk di meja makan, aku berhasil dibuat seperti berada di tempat asing. Maksudku, semua orang tampak good looking.

Garis wajah ayah mereka sangat tegas, aku bisa melihat itu diturunkan pada Paula. Bentuk rahang mereka sangat mirip dan sangat dalam. Rambutnya ditata sangat rapi dan berkilau, ciri khas orang-orang kaya, takada satu bilah rambut pun yang berdiri tegak. Dan dia menjadi penyebab jantungku berdebar karena takut bercampur gugup, sampai-sampai aku meremas tangan Alby sekarang. Ekspresinya sangat dingin, hanya dengan ditatapnya mungkin air dalam gelas di hadapannya akan membeku.

Namun, es tidak akan selamanya membeku. Dia bahkan tersenyum hangat pada wanita cantik di sampingnya. Wanita yang aku yakin adalah istrinya itu tersenyum sangat manis pada seseorang dari room service hotel dan vila ini. Meskipun ada keriput di beberapa sudut wajahnya, tetapi tak sedikit pun mengurangi kadar kecantikannya.

Aku tak sedikit pun mengalihkan pandangan dari wajah menyejukkan Nyonya Mateo—well, aku tidak tahu namanya, tetapi aku yakin nama belakang Alby juga ada di namanya. Mulai dari wanita itu membantu petugas room service menata makanan sampai menyadari kehadiran kami.

Senyumnya mengembang, memamerkan deretan gigi yang putih dan sangat rapi. Kurasa aku juga akan banyak memujinya mulai sekarang. Wanita itu beranjak dari tempatnya dan menghampiri kami—tidak, tetapi menghampiri Alby. Tautan tangan kami terlepas ketika dia memeluk Alby, tentu saja pria di sampingku ini harus membalas pelukannya. Aku tidak tahu kenapa sampai merasa terharu melihat pemandangan itu saat ini.

Aku rindu Mom.

"Paula bilang kau nyaris tidak ikut. Kenapa?"

Aku langsung teringat sandiwaranya waktu itu, yang mengatakan kalau tidak akan pergi tanpa aku. Namun, kurasa kalau sudah sampai ke telinga ibunya, berarti dia serius waktu itu.

Alby melepaskan pelukan ibunya dan menarik tanganku mendekat. Aku tidak sempat mengelak karena ibunya telanjur menatapku. Dan parahnya, aku hanya bisa tersenyum kikuk untuk membalas keramahannya.

"Dia hampir tidak bisa ikut liburan, Mom. Tidak mungkin aku meninggalkannya di penthouse sendirian."

Ugh. Alby merangkulku dengan mesra dan aku tidak bisa melawan. Bahkan ketika dia secara tidak langsung mengatakan kalau kami tinggal bersama pun, aku berusaha keras untuk menahan senyumku. Dia terlalu berlebihan.

"Jadi dia yang diceritakan sama Paula?" Ibunya menyapukan pandangan padaku. Meski bukan tatapan menilai, tetapi aku merasa dia sedang menyimpulkan sesuatu tentangku. Aku benci situasi ini. Aku tidak tahu apakah dia belum cukup puas memelototiku, hingga sekarang mendekat dan meraih pergelangan tanganku. Tiba-tiba saja menelan ludah terasa seperti menelan gumpalan nasi, susah payah.

"Ava, 'kan? Paula selalu bersemangat kalau bercerita tentangmu."

Itu sambutan yang sangat tidak terduga. "Iya, Ma'am. Paula sangat baik padaku."

Aku takjub karena wanita ini masih tersenyum, seolah-olah kebahagiaan selalu menyertainya. Oh, tentu saja. Dia cantik, memiliki suami yang tampan dengan harta berlimpah. Belum lagi kedua anaknya sudah sukses dan tidak lagi merepotkan mereka.

"Namaku Susan Mateo dan pria itu Albert." Dia menunjuk pria yang masih mempertahankan wajah dinginnya. Aku jadi penasaran apa yang akan dia pikirkan tentangku.

"Senang bertemu dengan Anda, Mrs. Mateo."

"Kau bisa memanggilku Susan biar lebih akrab."

Aku mengangguk, sebagai isyarat bahwa aku akan mencoba nanti.

"Ayo, duduk." Susan berkata sembari menggandeng tanganku ke meja makan. Tentu saja Alby juga mengikutiku. "Alby, panggil Paula, Mom khawatir dia tertidur lagi. Sepertinya dia tidak tidur semalaman."

Padahal Alby baru akan duduk di sebelahku, tetapi dia sudah diminta pergi. Sekarang tersisa kami bertiga dan keheningan yang mencekam. Aku bahkan tidak berani melirik Albert yang tengah sibuk dengan iPad dan ada earpiece terpasang di sebelah telinganya. Aku sampai berharap dia tidak perlu melihat ke sini.

Sayangnya, takdir tidak berpihak kepadaku. Susan menyikut lengan Albert dan berkata agar dia menyapaku. Pria itu melepas earpiece-nya dan menatapku. Saat matanya yang nyaris tenggelam di cekungan kelopak mata itu tertuju padaku, aku sudah merasakan betapa orang ini memiliki pengaruh yang besar terhadap bisnis. Rasanya seperti dia sedang mempertimbangkan keuntungan apa yang akan didapat jika menerimaku. Ya, sangat mengintimidasi.

Aku pun tidak berharap akan diterimanya.

"Senang bertemu denganmu, Ava. Kuharap Alby tidak mengacaukan apa-apa kali ini." Albert bahkan tidak tersenyum saat mengatakannya, tetapi aku bisa merasakan kehangatan menjalari tubuhku saat mendengar suaranya. Mungkin dia bukan sepenuhnya es.

Namun, apa yang kudengar tadi? Alby tidak mengacaukan apa-apa? Apakah itu sesuatu yang buruk yang pernah diperbuatnya sebelum bertemu Claudia? Ingin sekali aku bertanya, tetapi cara mereka berdua menatapmu seolah-olah sudah memperingatkan agar aku tidak menanyakan apa-apa. Hingga yang bisa kulakukan hanya mengangguk dengan mempertahankan senyumku.

Aku terlalu banyak tersenyum hari ini, semoga saja wajahku tidak tampak sangat jelek.

"Dia bersikap baik kepadaku."

Albert hanya mengangguk sebelum berkata, "Maaf, Ava, tapi aku tidak bisa mengabaikan ini." Dia bahkan tidak menunggu responsku dan sudah tenggelam dengan iPad-nya.

Wow, jika setiap detiknya mereka selalu menghasilkan uang, aku akan mengerti kenapa mereka tidak menyia-nyiakan waktu. Bahkan semalam Alby juga mengerjakan sesuatu di laptopnya.

"Biarkan dia, Ava, dia memang gila kerja." Susan menyindir Albert, tetapi pria itu bahkan tidak menyadarinya sama sekali. "By the way, apa pekerjaanmu, Ava?"

Ini dia pertanyaan yang tidak pernah absen ditanyakan orang-orang yang baru kenal denganku. Dan untuk ukuran keluarga kaya seperti mereka sekarang, aku rasa sah-sah saja bertanya begitu, mungkin ingin anak-anaknya memiliki status sosial yang sama dengan mereka. Biar seimbang dan tidak timpang.

"Hanya freelancer di beberapa situs yang menyediakan jasa desain grafis. Aku kehilangan pekerjaan tiga bulan lalu dan belum dapat gantinya."

"Ah, begitu." Susan mengangguk dan menatapku dengan rasa simpati. Takada raut wajah kecewa yang kutangkap di sana, tetapi jika yang bertanya adalah Albert, pasti akan kudapatkan reaksi yang sebaliknya.

"Tapi aku sedang berusaha untuk bekerja lagi." Aku berucap impulsif. Dari banyaknya respons yang bisa kuucapkan kepadanya, aku tidak mengerti kenapa harus mencoba meyakinkannya saat ini. Apa aku sedang berusaha membuatnya menyukaiku?

"Kau akan mendapatkannya satu, Ava. Um, apa Alby merepotkanmu?" Dia bertanya sangat hati-hati. Aku rasa Paula juga pernah menanyakan hal serupa kepadaku dulu.

Andai aku tidak peduli pada kerendahan hati Susan sekarang, tentu saja aku akan membeberkan semua hal yang membuatku tidak bisa diam di rumah saja dengan tenang. Alby selalu menelepon dan memintaku datang dengan terburu-buru. Kemudian menjadi pendengar yang baik ketika dia mengobrol dengan mantan kekasihnya.

"Aku sudah tidak bisa membedakan mana yang merepotkan dan tidak, Susan. Kami saling membantu satu sama lain, kurasa. Dan aku menikmati momen kebersamaan kami."

Seharusnya Alby yang duduk di sini dan mengarang cerita seperti itu, bukan aku.

Bisa kutangkap kelegaan di wajah Susan, persis seperti seorang ibu yang melihat anaknya baik-baik saja setelah kabur dari rumah—perumpamaan yang aneh, tapi aku juga mendapati ekspresi itu di wajah ibunya Nate saat aku pulang.

"Kalau ada apa-apa, kau bisa memberi tahu kami, Ava."

Aku mengangguk kaku sebagai respons. Rasanya aku seperti baru diperingatkan kalau Alby adalah pria yang cukup berbahaya. Namun, aku tidak perlu mengkhawatirkan hal itu karena perjanjian di antara kami akan berakhir sebentar lagi. Aku hanya merasa yakin.

Situasi ini berhasil terselamatkan berkat kehadiran Paula dan Alby. Dia menyapa kami dan duduk di samping Susan. Sedangkan Alby duduk di sebelahku. Aku makin merasa asing berada di sekitar mereka, sekaligus iri karena keluarga ini sangat lengkap.

"Nilai saham sedang naik, JJ Company membuka siapa pun yang akan berinvestasi dengan mereka. Bagaimana menurutmu Alby? Sepuluh persen?"

"JJ Company tidak akan banyak membantu perusahaan kita, Dad. Mungkin coba tiga persen dulu. Jika kabar ini menjadi headline berita, orang-orang akan bertanya-tanya di bagian mana jasa mereka terlibat dalam perusahaan kita?"

Wow. Ini masih pagi dan Albert sudah mengajak Alby untuk berdiskusi tentang bisnis. Apakah orang-orang kaya selalu seperti ini saat sarapan?

"Butikmu bagaimana, Paula? Aku selalu khawatir orang itu akan memengaruhi bisnismu."

Bahkan Susan dan Paula pun juga membicarakan topik yang sama.

"Dia tidak akan berani macam-macam, Mom. Henley's Boutique seratus persen menggunakan uangku."

Perlukah aku mengingatkan mereka kalau ini adalah liburan dan bukan rapat bisnis? Karena jujur saja, aku mendadak transparan saat ini, tidak terlihat dan diabaikan.

***

Selamat hari Rabu.
Aku mau bilang kalau cerita ini nggak lagi update hari Selasa. Bukan ganti hari, sih. Tapi karena cerita Mikao-nya Kak Vita udah tamat, aku juga mau Ava-Alby segera menyusul, biar bisa bikin series baru lagi gitu. Hihi.
So, aku akan berusaha update sesering mungkin. Wish me luck!
Terima kasih sudah membaca sampai di sini~

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
17 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro