Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27 - Real Girlfriend

"Oke, sekarang kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Ini kali ketiga kau melakukan-"

"Makan dulu, baru bicara."

Alby melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah menyumpal mulutku dengan sepotong sandwich. Tidak mengerti saja dia kalau aku sangat ingin cepat-cepat pulang saat ini. Sayangnya, apa dia pernah mau mengerti yang kuinginkan? Yang dia lakukan selama ini hanya membuatku terpaksa membiasakan diri dengan apa yang diinginkannya. Dia tidak akan peduli apa pun selain misinya membuat Claudia bertekuk lutut padanya dan memohon untuk kembali.

Kalau kuperhatikan, mood pria ini tampak sangat baik. Wajahnya semringah dan dia banyak tersenyum, bahkan pada seorang pelayan wanita yang baru saja menuangkan teh ke gelasnya. Wanita itu tersipu malu sebelum menatapku dan wajahnya spontan merengut. Aku merasa seperti kebalikan Alby saat ini. Apa karena penampilanku yang terlalu seadanya dan dirasa tidak pantas untuk duduk bersama Alby di sini?

Aku jadi sering merendahkan penampilanku semenjak mengenal Alby.

Suara dentingan sendok dan garpu yang diletakkan di atas piring kosong menarik perhatianku, itu pertanda kalau Alby sudah menyelesaikan sarapannya. Kurasa aku sudah bisa melayangkan protes sekarang.

"Aku sudah bisa bicara, 'kan?"

"Ya, silakan." Alby membalas dengan gaya sok formal ketika bibir cangkir belum menyentuh bibirnya.

Aku belum bicara lagi sampai jakunnya bergerak naik turun ketika teh di cangkir itu mengalir dalam kerongkongannya. Itu berhasil mengalihkan perhatianku selama beberapa saat dan dengan sekuat tenaga kusadarkan diri ini agar kembali fokus.

"Tentang liburan keluargamu, Paula sempat menghubungiku, dia masih memaksa--seperti yang kaukatakan. Aku tidak memberi jawaban pasti dan selama seminggu penuh memikirkan alasan untuk menolak." Aku menjeda untuk mengambil napas. "Aku belum menemukannya dan sekarang kau justru menyarankan agar aku ikut."

"Kau berubah-ubah, Alby, aku tidak bisa terus menuruti maumu." Aku masih bicara, bahkan ketika dia sudah membuka mulut, nyaris membalas kata-kataku.

Kurasa apa yang Alby ingin ucapkan telanjur tertelan bersama ludahnya sendiri. Dia sedang memikirkan respons untukku dan aku menunggunya dengan kalem, tidak, tetapi berusaha untuk tetap tenang. Karena, ya, aku tidak bisa dipermainkan terus seperti ini.

"Pada akhirnya aku tidak bisa menolak Paula. Dia sangat menyukaimu dan aku juga tidak punya alasan untuk menolaknya."

Oke, itu alasan paling yang tidak bisa kuterima. Pantas saja dia terus memintaku untuk memikirkan alasan menolak.

"Bagaimana dengan orangtuamu?" Satu-satunya alasan yang memberatkanku untuk ikut liburan.

Paula sendiri sudah berhasil membujukku, mudah saja mengiakan ajakannya, tetapi tidak untuk berbohong di depan orangtua mereka. Aku sudah memberi tahu Alby soal itu, tetapi seperti yang kalian tahu, dia tidak memberikan solusi apa-apa dan terus membuat keputusan yang berubah-ubah.

Kesepakatan ini seharusnya hanya untuk memanasi Claudia, tetapi kurasa urusannya sudah melibatkan banyak pihak. Belum lagi di samping ini, aku harus berurusan dengan Jeffrey dengan permintaan anehnya. Bisakah hidupku lebih tenang dari ini?

"Apa berpura-pura sulit untukmu?"

Memangnya liburan ini untuk siapa? Kenapa lagi-lagi dia menempatkan bebannya di pundakku? Tidak bisakah dia sekali saja membantuku? Setidaknya memberi tahu bagaimana aku harus bersikap di depan orangtuanya.

"Maaf, Alby, tapi aku tidak bisa ikut dan berbohong pada mereka. Aku juga tidak mungkin meninggalkan Nate sendirian selama dua minggu." Aku mengulum senyum dan membuang muka, sengaja tidak ingin melihat wajahnya kalau-kalau dia tampak memelas--meski aku tahu Alby lebih suka mempertahankan muka batunya, tanpa ekspresi.

"Kau harus ikut denganku, Ava. Aku tidak bisa menerima penolakanmu," tegasnya, tak ingin dibantah. Namun, itu sama sekali tidak membuatku gentar.

"Liburan itu tidak termuat dalam kesepakatan kita Alby, aku berhak menolak. Ini sudah di luar skenario kita." Aku menyesap minumanku untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. "Pembicaraan tentang liburan selesai, seharusnya kita membicarakan tentang Claudia, 'kan? Dia meneruskan kontrak, jadi apa rencana kita selanjutnya?"

Sebesar apa pun keinginanku untuk menghindari Alby, aku tetap sadar akan situasi yang terjadi saat ini. Aku terjebak dalam kesepakatan itu bersamanya. Aku akan bersikap profesional dari sekarang, ya ... sebagaimana bisnis seharusnya berjalan.

Aku akan membuktikan kalau aku tidak menyedihkan seperti Jeffrey yang berharap Claudia berpaling padanya. Karena hubungan palsu ini tidak akan melibatkan perasaan. Aku harus mempertahankan itu sampai hubungan kami berakhir. Walau aku sendiri tidak bisa menampik kalau beberapa kali bersamanya memicu jantungku bekerja lebih cepat. Namun, aku yakin itu hanya sebuah kepanikan, ya, tidak lebih.

"Aku memerlukanmu untuk ikut liburan, Ava. Ini serius, bukan sekadar untuk membohongi orangtuaku."

Aku menelan ludah susah payah, dan rasanya seperti gumpalan yang tersangkut di kerongkongan, ketika Alby dengan matanya yang berwarna hijau beradu dengan abu-abu menatapku begitu tajam dan dalam. Tatapannya seolah-olah menembus kepalaku dan mampu melihat apa yang ada di belakangku.

Alby masih memandangku, menantikan jawaban. Namun, aku hanya mengedikkan bahu, masih enggan membayangkan akan berhadapan dengan orangtuanya. Bayangkan saja betapa terintimidasinya aku jika bertemu mereka.

"Apa yang harus kulakukan agar kau bersedia ikut? Pertimbangkan ini untuk Paula, Ava. Dia perlu teman saat ini." Alby memohon. Kutegaskan sekali lagi, dia bahkan tampak memelas. Aku tidak tahu seberapa penting kehadiranku untuknya. Yang pasti, dia hampir membuatku terbujuk.

"Bisakah aku datang sebagai temanmu?"

"Tidak. Itu akan melukai perasaan Paula."

Kan, dia tidak akan peduli tentang apa yang kupikir atau rasakan.

Aku menopang kepalaku di atas meja, sengaja menunduk agar dia tidak menemukan betapa frustrasi dan kecewanya aku saat ini. Tidak bisakah waktu berputar kembali? Aku ingin menggagalkan pertemuan kami di festival dulu.

"Bagaimana kalau kau jadi kekasihku sungguhan? Dengan begitu kau tidak akan berbohong kepada siapa pun."

Aku spontan mengangkat kepala dan melayangkan pelototanku pada ide tidak warasnya. "Gila." Hanya itu yang bisa kuucapkan.

"Kalau kau keberatan berpura-pura, kita bisa sungguh-sungguh berkencan. Tenang saja, aku tetap akan menjaga batasan, itu hanya sebatas status."

Lihatlah bagaimana dia berusaha membujukku lagi, seperti seorang pebisnis dengan klien pentingnya. Formalitas yang dia tunjukkan membuatku nyaris mengiakan. Takada ruginya memang, tetapi keinginanku adalah segera terpisah dari Alby, bukan justru terjebak terus bersamanya dan anggota keluarganya.

"Kau benar-benar sesuatu, Alby. Memutuskan semuanya dengan cepat, tetapi besoknya menyesal dan membuat keputusan lain. Aku bukan barang yang bisa kaumainkan sesuka hati." Aku benar-benar marah sekarang, bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk pergi dari sini. Walau sebenarnya tawaran terakhir tidak merugikanku.

"Ava? Aku sangat serius kali ini."

"Kau tidak pernah memberi kesempatan orang lain untuk menolak, ya?"

Alby tersenyum. Kurasa dia sudah menganggap kalau aku setuju menjadi kekasih sungguhannya. "Tidak mudah jika urusannya denganmu."

🎶

Hari itu tiba; liburan bersama keluarga Alby. Ini benar-benar tidak mudah bagiku. Pertama, aku tidak bisa meninggalkan Nate, meski laki-laki itu berkali-kali meyakinkanku kalau dia baik-baik saja tanpa aku. Ah, itu membuatku sadar kalau adik kecilku sudah tumbuh dewasa. Dia mungkin sudah kuliah, tetapi aku selalu merasa dia masih membutuhkan perlindunganku.

Kedua, aku harus menolak ajakan liburan bersama Hyunjoo. Dia mengancam akan merajuk jadi aku meminta bantuan Alby untuk memberi tahunya. Seperti biasa, wanita itu akan luluh oleh bujukan pria tampan. Apalagi pria itu Alby, pria yang dia kira adalah kekasihku.

Sekarang aku menghadapi bagian terburuk dari semuanya. Paula menggeledah isi koperku dan mengisinya dengan baju-baju yang dia dapatkan dari Henley's Boutique, kalau kalian ingat, itu adalah butik yang pertama kali kukunjungi bersama Alby. Aku bahkan baru tahu kalau butik itu adalah milik Paula. Dia benar-benar sempurna, cantik, pintar, dan sukses. Siapa pun pria yang menikah dengannya kelak pastilah sangat beruntung.

"Kau yakin aku tidak perlu membantu?" tanyaku untuk yang ketiga kalinya. Sebab sejak tadi dia tidak mengizinkanku menyentuh pakaianku sendiri, hingga aku merasa gelisah sendiri di tempatku berpijak sembari melihat bagaimana baju-bajuku disingkirkan.

"Tenang saja, Ava, aku ingin liburan ini terasa sempurna untukmu. Tentunya dengan busana yang sesuai. Style-mu keren, tapi tidak akan sesuai dipakai di sana." Paula mengakhiri ucapannya dengan mengedipkan sebelah mata.

Aku tidak tahan lagi berada di sini. Belum lagi aku melihat Paula memasukkan gaun-gaun pendek yang terbuka di bagian punggungnya. Aku berharap itu hanya gaun tidur, bukan untuk dipakai berjalan-jalan.

"Bolehkah aku tunggu di luar saja? Mungkin memeriksa apa yang dilakukan Alby sekarang." Hanya alibi tentunya. Aku mana mungkin peduli pada apa yang pria itu lakukan sekarang.

"Itu bagus. Aku akan memanggilmu setelah semuanya siap."

Aku berjalan keluar kamar dan tak lupa menutup pintunya. Kukira aku tidak menemui Alby, tetapi setelah kudengar suara sumbangnya dari kamar yang pintunya terbuka di seberang, aku gagal membelokkan langkahku ke dapur. Dari ambang pintu aku menemukan Alby sedang memasukkan bawaannya ke koper, membelakangiku.

Punggung telanjangnya yang memamerkan tato burung itu benar-benar sangat menggoda untuk disentuh. Aku tidak pernah melihat keindahan yang sensual seperti itu. Alby benar-benar tahu cara memperindah dirinya. Aku sampai berpikir untuk membuat tato juga, yang kecil saja, mungkin di pergelangan tangan.

"Oh, sejak kapan kau berdiri di sana?" Alby spontan bertanya ketika membalikkan badan dan menemukanku berdiri di ambang pintu.

"Baru saja," dustaku, tidak ingin dia tahu kalau tatonya benar-benar sangat menggoda.

"Masuklah, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," suruhnya. Namun, aku bergeming.

"Katakan saja, aku tidak ingin kau mencuri-curi kesempatan." Di kepalaku, Alby sudah mendapat predikat sebagai pria mesum. Juga sebagai peringatan agar aku tidak terlalu dekat dengannya.

Alby berdecak. Sebelum aku sempat bereaksi, dia sudah menghampiriku dan menarik tanganku masuk. Gerakannya terlalu cepat, bahkan sampai menutup pintu. Napasku tercekat karena aroma khas Alby makin kuat menusuk hidungku.

Aku ingin protes, tetapi Alby sudah membungkam mulutku dengan telapak tangannya.

"Sebentar saja, aku ingin membicarakan tentang Claudia. Paula tidak boleh mendengar apa pun."

Oh, aku hampir lupa soal wanita itu karena terlalu sibuk memikirkan tentang liburan ini. Parah. Bisa-bisanya aku sampai terlena.

"Oke. Ada info baru tentangnya?"

"Aku bertemu dengannya beberapa hari lalu. Dia sedang ada pemotretan di sana. Kami mengobrol banyak hal dan sama-sama menikmati waktu kebersamaan kami." Alby tersenyum bahagia saat mengatakannya. Dia juga memandangku seolah-olah aku adalah Claudia, itu adalah tatapan memuja. Kupikir dia sedang membayangkan sosok wanita itu saat ini.

"Oke, aku tidak tahu apakah itu sangat penting sampai aku harus mengetahuinya." Aku tertawa kecil karena ucapanku sendiri.

"Aku belum selesai."

"Maaf, silakan lanjutkan."

Alby menghapus jaraknya denganku, sampai hanya tersisa satu langkah, kurasa. Sebelah tangannya bergerak naik pelan-pelan dan berhasil menyelipkan rambutku ke belakang telinga. Ujung jarinya yang tanpa sengaja bersentuhan dengan pipiku mampu menghantarkan desiran aneh ke seluruh tubuhku.

Tak hanya sampai di situ, tatapannya juga terasa membakar tepat di mana matanya mendarat. Aura yang dipancarkannya sungguh mewakili musim panas. Belum lagi dia hanya mengenakan celana jeans hitam panjang. Abs yang tercipta dengan rutin gym itu menyempurnakan fisiknya.

Cukup pujiannya, aku harus tahu atas motif apa dia bersikap seperti ini kepadaku.

"Seharusnya aku merasa senang saat itu. Tapi aku tidak merasakan apa-apa, Ava. Apa yang sudah kauperbuat kepadaku?"

Oh, tidak. Jantungku berdebar kencang sekali sampai aku khawatir dia mampu mendengarnya.

"Sekarang kau membuatku takut."

Alby tersenyum lagi. Dia berjalan mundur dan kembali berkutat dengan kopernya. Sekarang aku bisa bernapas lega sekaligus merasa kehilangan. Menyebalkan.

"Kurasa aku mulai terbiasa berada di sekitarmu, Ava." Dia memutar kepalanya hanya untuk menatapku. "Tekadku menjadi terapi untukmu semakin kuat saja rasanya." Dia tersenyum jenaka di akhir ucapannya, terang-terangan memamerkan kalau dia hanya sedang menggodaku.

"Aku tidak akan membiarkan kau menyentuhku meski itu hanya seujung kuku, Alby!" Aku memperingatkan. Entah seberapa sering aku mengatakan itu, aku tidak akan pernah bosan. Bahkan akan kulakukan terus sampai Alby mengurungkan niat mengerikannya itu.

"Aku merasa tertantang. Bersiaplah."

"Ava! Kopermu siap!" Teriakan Paula terdengar sangat jelas.

"Apa yang dia lakukan dengan kopermu?"

Tanganku sudah berada di gagang pintu saat Alby bertanya. Pria itu memandangku penuh rasa penasaran sekarang.

"Dia mengganti isi koperku dengan baju-baju darinya."

"Dan kau tidak mengelak."

Aku hanya mengedikkan bahu. "Dia sama keras kepalanya denganmu. Aku tidak bisa berkutik."

Senyumnya tersungging lagi. Dia suka sekali menghinaku dengan cara seperti itu akhir-akhir ini. Setelah pergi satu minggu, dia sama sekali tidak berubah, yang ada justru semakin menyebalkan.

"Kau tahu? Itu akan membuat liburan kita semakin menarik."

Memangnya apa yang tidak tampak menarik di matanya?

***

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
29 Oktober 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro