26 - Coming Back
Kau gila!
Aku ingin sekali merespons begitu pada permintaan Jeff yang tak masuk akal. Pertama, dia mantanku, which means, aku tidak punya alasan untuk bersikap baik kepadanya. Kedua, tidak ada hal baik terjadi kepadaku setelah hubungan kami berakhir. Ya, aku tidak lupa bagaimana aku kehilangan pekerjaan. Aku tidak akan pernah memaafkannya untuk itu.
Ketiga, dia benar-benar tidak tahu diri dan memohon agar aku bersedia membantunya. Dia sudah membuktikan kalau dirinya tidak mampu mengambil hati wanita. Wajahnya yang tampan, jabatan yang bagus, dan hidup yang mapan tidak menjamin dia akan berhasil menjerat hati wanita. Jeff tidak seberuntung Alby.
Aku enggan menatapnya, wajah Jeff hanya akan membuatku makin benci meski dia hanya diam dengan wajah memelas seperti itu. Satu lagi pria yang rela berkorban hingga menjatuhkan harga diri seperti ini demi tetap di sisi Claudia. Walau tujuan sesungguhnya bukan untuk romantisme. Bukan salah wanita itu memang, jadi aku tidak akan membencinya.
Situasinya yang salah.
"Apa kau sadar? Like ... a hundred percent sober?" Aku baru merespons setelah membuat Jeff mengira aku sedang mempertimbangkan untuk membantunya. Matanya sudah berbinar penuh harap, mungkin dia pikir aku tidak akan tega menolak.
"Aku tahu apa yang kulakukan." Dia membalas dengan tenang, mengabaikan bahwa aku baru saja menyindirnya. "
"Mereka bekerja sama, tidak mungkin kubuat saling membenci. Itu akan mengganggu profesionalitas mereka sebagai rekan bisnis. Belajar dari pengalaman, aku dipecat karena dianggap akan membalas dendam."
"Aku punya alasan kenapa aku harus melakukannya, Ava." Suara Jeff memberat saat mengatakannya. Mungkin ada sedikit rasa bersalah yang mulai merasukinya.
Aku tersenyum sinis, meski rasa sesak mulai menjerat dada. Tidak akan pernah kutanya apa alasannya, meski dia berusaha mengklarifikasi sikapnya sekalipun, aku tidak akan memakluminya. Saat itu, aku merasa benar-benar tidak dihargai.
"Aku tidak akan melakukan apa yang kauminta. Kau bisa cari orang lain untuk membantumu."
Aku menyesap Frappuccino-ku sambil menikmati wajah kecewanya. Jujur saja, itu hal terbaik yang terjadi sejak aku berada di sini. Anak tunggal sepertinya mungkin sering diwujudkan permintaannya, sampai-sampai dia tampak tidak mempersiapkan kata-kata andalannya untuk membujukku.
Ah, aku jadi ingat Alby. Dia tidak biasa ditolak, tetapi jago memaksa.
"Seharusnya mereka dipisahkan, 'kan? Bagaimana kalau mereka kembali bersama, hm?" Kepanikan itu benar-benar terpancar di wajahnya, meski dia berusaha tampak tenang, tetapi mata tidak pernah berbohong.
"Memang seharusnya seperti itu, 'kan? Toh mereka saling mencintai."
Jeff sudah mencurigai kalau hubungan kami tidak nyata. Sedangkan aku sedang malas berperan sebagai kekasih yang cinta mati pada Alby. Lagi pula, melihat kepanikan Jeff sekarang, aku yakin dia tidak akan mengatakan apa-apa kepada Claudia. Jeff tidak mungkin melepaskan wanita secantik dia.
"Bagaimana denganmu?"
Aku tersenyum menanggapinya. "Aku akan tetap memainkan peranku dengan baik, Jeff. Aku pun tahu apa yang harus kulakukan, pikirkan saja dirimu dan rencana pernikahan kalian. Kau hanya perlu percaya pada Claudia."
🎶
Aku tiba di rumah pukul enam sore. Setelah meninggalkan Jeff sendirian di kafe, aku pergi ke supermarket untuk belanja dan bertemu Hyunjoo untuk secangkir kopi lagi. Too much caffeine today. Namun, dengan begitu, aku bisa mendengarkan kisah panjang Hyunjoo tanpa mengantuk.
Kantong belanjaan kuletakkan di atas meja makan. Kemudian melepas jaket dan tasku untuk diletakkan di sebelahnya. Aku melakukan stretching sebentar, melemaskan otot-ototku yang tegang sehabis mengangkat kantong belanjaan yang terisi penuh. Semuanya akan cukup untuk dua sampai tiga minggu ke depan.
Nate berkata kalau hari ini dia menginap di rumah teman kampusnya. Aku jadi tidak perlu repot-repot memasak untuk makan malam dan berencana untuk memesan makanan cepat saji jika lapar. Setelah menyimpan belanjaan ke kulkas dan lemari pantri, aku akan mandi, lalu membaca buku yang kubeli tadi. Rencana yang bagus untuk malam ini.
Ponsel di tasku berdering singkat beberapa kali. Aku cepat-cepat meremas kantong belanjaan dan melemparnya ke bak sampah. Kuharap itu bukan Alby, karena aku ingin menikmati sisa waktu hari ini dengan tenang, bukan mengobrol dengannya dan berujung kesal.
Paula - [Sent you a photo]
Paula - [Sent you a photo]
Paula - [Sent you a photo]
Paula - Santorini akan membuatmu jatuh cinta.
Paula - Aku sedang memaksamu, jadi nikmatilah keindahannya.
Paula - Itu saat aku pergi ke sana tahun lalu.
Foto pertama diambil dari tempat tinggi, bangunan bercat putih berjejer di daratan yang miring, mirip pegunungan. Cahaya matahari saat senja dan kerlap-kerlip lampu yang menyala di beberapa bangunan tampak sangat memanjakan mata. Aku bisa merasakan suasananya yang menenangkan.
Foto kedua merupakan jalan setapak sempit yang dijepit oleh dua bangunan rendah. Lagi-lagi dinding bangunan itu bercat putih, tetapi atapnya berwarna biru. Tanaman merambat tumbuh cantik di dinding bangunan tersebut, bahkan ada yang tersambung dari bangunan satu ke bangunan yang lain, membentuk kanopi. Bunga-bunga kecil berwarna merah muda membuat tempat itu berkali-kali lipat lebih cantik.
Foto terakhir menampilkan seorang wanita dengan gaun panjang putih bermotif bunga warna-warni. Aku yakin wanita itu adalah Paula, karena warna dan model rambutnya sama, tetapi yang sekarang lebih panjang daripada di foto. Dia berdiri menghadap laut yang kebiruan. Airnya bening, menggodaku untuk merendam kaki di sana.
Untuk menggodaku, Paula berhasil. Santorini memang dikenal dengan keindahan kotanya. Aku pernah menambahkan kota itu ke dalam daftar destinasi wisata bersama Hyunjoo, tetapi rencana itu pupus setelah aku dipecat.
Di situasi seperti ini, tidak mungkin aku akan pergi jauh. Keuanganku terbatas, untuk belanja pun harus mempertimbangkan apakah sangat dibutuhkan atau hanya rasa ingin memiliki semata. Beruntungnya, kebutuhan Nate terpenuhi berkat pekerjaan yang dia miliki.
Aku mulai memikirkan balasan untuk Paula. Mungkin sesuatu yang membuat dia merasa usahanya kuhargai, tidak sampai membuatnya mengira aku akan setuju pergi liburan bersama mereka. Sayangnya, aku menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berpikir sampai ponsel di tanganku berdering keras.
Wanita itu tidak sabar menunggu dan memutuskan meneleponku. Dua bersaudara itu takada bedanya.
"Online dan sudah membaca pesanku. Apa yang membuatmu enggan membalas?"
Aku menyugar rambut ke belakang seraya mengembuskan napas agak pasrah. Tidak kusangka dia akan menunggu.
"Aku takjub dengan foto yang kaukirim." Aku membalas asal-asalan, berharap dia percaya.
"Aku sudah menduga reaksimu akan seperti itu." Paula tak bicara lagi, sementara aku juga enggan untuk mengatakan apa-apa. Keheningan menyelimuti sebelum akhirnya Paula bicara lagi. "Aku akan tunjukkan keindahan lainnya kalau kau ikut, semuanya ditanggung. Bagaimana?"
Andai aku mengenal Paula sebagai teman dan bukan saudara dari pacar pura-pura, atau liburan ini tidak melibatkan keluarga mereka, aku pasti akan menerimanya tanpa pikir panjang. Orang bodoh mana yang akan melewatkan liburan gratis seperti itu? Belum lagi kesempatan seperti itu tidak akan dua kali. Aku beruntung mendapatkannya satu.
"Aku belum tahu bisa atau tidak, Paula."
Bisa kudengar embusan napas frustrasi dari seberang sana.
"Aku akan minta Alby untuk memaksamu kalau begitu. Dia tidak akan membiarkan kekasihnya tetap tinggal."
Paula masih percaya kalau kami pasangan. Itu membuatku ingin sekali memberi tahu kalau kami hanya bersepakat. Seperti Nate, kupikir Paula berhak tahu itu sebagai saudara Alby. Cukup adil, kurasa.
"Alby tahu aku cukup sibuk musim panas ini."
"Bawa saja pekerjaanmu ke sana."
Alby tidak berbohong saat dia bilang Paula ingin sekali aku ikut. Namun, kalau Alby sendiri tidak ingin aku ikut, mana yang harus kuikuti? Tentu saja Alby. Sejak awal aku bersepakat dengannya, bukan Paula.
"Bisa kita bicarakan nanti, Paula? Ada deadline yang harus kuselesaikan."
"Alright, talk to you later."
Aku harus meminta Alby untuk memberi tahu Paula.
🎶
Satu minggu berlalu tanpa Alby berlalu begitu cepat rasanya. Sekarang aku ada di sini, ruang tunggu kedatangan untuk menjemputnya. Jacob yang seharusnya ada di sini, tetapi tidak bisa datang karena ada meeting yang harus dia datangi. Bukan pria itu yang memintaku datang ke sini, tetapi Alby.
Pria menyebalkan itu meneleponku tadi malam, aku sudah sengaja tidak merespons, agar dia mengira aku sudah tidur, tetapi dia tak berhenti menelepon. Sampai-sampai dia menelepon Nate untuk memberi tahu. Itulah alasan kenapa aku tidak pernah memperkenalkan Nate kepada Jeff dulu—di samping fakta kalau Jeff juga tidak berusaha mencari tahu, Nate akan dapat repotnya kalau ada saat-saat aku tidak bisa dihubungi.
Aku menguap sesekali. Jam enam pagi dan aku sudah tiba di sini. Saat di jalan pun aku sampai tertidur beberapa kali. Apartemenku dengan bandara berjarak satu jam perjalanan, di jalanan yang sepi dan dengan kecepatan konstan. Bayangkan saja aku berangkat jam berapa, bahkan bandara pun masih sangat lapang, hanya petugas yang bekerja di sana.
Jalan masuk kedatangan luar negeri tak berhenti kupandangi, sambil berharap Alby segera muncul dari sana. Dia berkata kira-kira jam enam sudah landing, tetapi sekarang sudah setengah tujuh dan belum tampak batang hidungnya. Aku tahu beberapa penerbangan kadang mengalami delay dengan alasan-alasan tertentu, tetapi aku enggan memaklumi karena yang kujemput adalah orang yang kuharap bisa dihindari segera.
"Aku sudah menduga kau ada di sini."
Suara itu terdengar bersama kursi panjang yang bergoyang sedikit. Si pemilik suara yang tidak asing itu duduk di sebelahku. Entah kutukan apa lagi yang menimpaku sampai aku sering sekali menemuinya akhir-akhir ini.
"Untuk hubungan pura-pura, kau terlalu berdedikasi, Ava." Dia bicara lagi. Awalnya aku enggan merespons, tetapi setelah mendengar ucapannya tadi, aku terpaksa harus mengatakan sesuatu untuk melawannya.
"Apa yang kau lakukan di sini? Mengharapkan sesuatu yang tidak akan berbalik memberikannya kepadamu? Kau jatuh cinta, Jeff, tetapi tahu dia tidak akan membalasmu. Malang sekali."
Jeff tidak merespons lagi. Mungkin ucapanku benar, dan dia sedang merenunginya. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah Jeff memang ada rasa dengan Claudia, atau hanya urusan bisnis. Namun, aku tidak sedang membual, dia memang tampak menyedihkan saat ini. Bahunya yang jatuh memohon untuk ditepuk-tepuk, wajah murungnya pun mengharapkan belas kasihan orang lain.
Kelihatannya memang sangat buruk, tetapi aku memang melihatnya seperti itu sekarang. Jeff tidak pernah tampak semenyedihkan ini. Jangan kira aku akan berbaik hati untuk menghiburnya. Diberi satu, dia akan minta lebih--tentunya kalau kalian mengerti maksudku.
"Kita memang menyedihkan," celetuknya.
"Kau? Iya. Jangan bawa-bawa aku. Kau hanya akan tampak menyedihkan kalau melibatkan perasaan, Jeff," sahutku tanpa sedikit pun menatapnya. Tatapanku lurus ke depan, pada sebuah kursi besi panjang yang kosong.
"Jadi kau tidak mencintainya."
Aku mendengkuskan tawa saat mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya, sama sekali tidak merasa panik kalau Jeff akan tahu tentang kesepakatan kami. Lagi pula, dia sudah menduganya, takada lagi alasan untuk menyembunyikan.
"Daripada membicarakan itu, aku penasaran kenapa kau ada di sini?"
"Sama seperti yang kaulakukan di sini."
Apa Claudia pergi bersama Alby?
Pertanyaan itu, entah kenapa membuatku merasa terganggu. Ini bukan tentang rasa cemburu, tetapi lebih ke perasaan kecewa. Aku meyakinkan seseorang dengan susah payah untuk kembali, tetapi mereka bisa dengan mudah sedekat itu tanpa rasa canggung. Walau aku yakin itu hanya untuk urusan bisnis, tetapi kenapa rasanya seperti usahaku sia-sia?
Pikiranku kacau sekali.
"Claudia menerima tawaran untuk mengiklankan sebuah produk di California tiga hari yang lalu. Sekarang aku juga menjemputnya pulang. Dia bercerita kalau di sana bertemu Alby, jadi aku sudah bisa menebak apa yang kaulakukan di sini."
Sedekat apa hubungan Jeff dan Claudia sampai wanita itu bercerita padanya? Ah, aku tidak akan bertanya. Lagi pula, mereka akan menikah, kehidupan pribadi satu sama lain tentu saja harus diceritakan. Komunikasi yang buruk banyak dijadikan alasan untuk bercerai--ada banyak orang yang menulis artikel tentang ini.
Aku tidak merespons Jeff. Tepatnya, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku tidak ingin apa pun yang kukatakan justru menjadi bumerang dan membuat Jeff bisa bicara lebih banyak. Sejauh ini Jeff sudah melakukannya, mencari celah dari apa yang kuucapkan dan berbalik dia tanyakan kepadaku. Lengah sedikit saja, dia bisa mengorek informasi dariku. Tidak heran dia berkecimpung di perusahaan majalahnya saat ini.
"Priamu sudah datang."
Aku menoleh ke pintu masuk ketika Jeff mengatakan hal menggelikan itu. Dalam kesepakatan, kami memang saling memiliki, tetapi untuk urusan hati, kami sama sekali tidak terkoneksi.
"Aku yakin kau harus menyambutnya dengan sebuah pelukan?" Jeff bicara lagi setelah beberapa saat aku bergeming di posisiku saat ini.
"Kau lebih berisik dari sekelompok wanita yang sedang bergosip, Jeff. Apa kau tidak lelah memancing emosi orang lain?"
Aku heran, bagaimana bisa aku bertahan dengannya selama bertahun-tahun dulu. Jeff benar-benar berbeda dari yang dulu kukenal. Berada di sekitarnya tidak lagi membuatku merasa nyaman. Rupanya perubahan status memiliki pengaruh yang sangat besar bagi seseorang.
"Kukira kau belum datang."
Aku mendongak menatap Alby yang sudah berdiri di hadapanku. Dia memakai kemeja abu-abu yang dilapisi jaket denim tebal warna biru tua. Celananya juga berbahan denim dengan warna senada dengan jaket. Rambut acak-acakan khas bangun tidur itu sama sekali tidak mengganggu ketampanannya. Payah, dia baru datang dan aku sudah memujinya.
"Aku tidak suka terlambat," sahutku sambil beranjak dari kursi.
Alby langsung merengkuhku dengan erat, menyelimutiku dengan aroma musk yang hangat. Aku nyaris lupa kalau Alby lancang melakukannya. Sayangnya, aku tidak bisa protes karena Jeff ada di sini dan sudah pasti sedang memperhatikan kami. Tentu saja Alby melakukannya untuk sandiwara. Meski aku sudah membocorkan kebenaran tentang kami kepada Jeff, aku tetap memainkan peran dengan baik.
"Aromamu menenangkan," bisik Alby, menghirup kuat-kuat udara di sekitar leherku. Sekarang aku menyesal tidak mengurai rambut.
"Jaga bicaramu, Alby, aku bisa menendangmu di sini, tidak peduli kalau Jeff akan melihat kita," desisku, mengancamnya.
"Jeff? Dia di sini?"
Oh, apa dia tidak sadar kalau Jeff ada di sini?
Aku mundur sedikit hingga pelukan kami terlepas, lalu menunjuk ke sebelah kiriku dengan lirikan mata. Dia mengikuti arah tunjukku dan bereaksi seperti baru melihat sesuatu yang aneh. Sungguh tidak kuduga, Alby benar-benar tidak menyadari keberadaan Jeff di sana.
"Abaikan saja, anggap aku tidak ada." Jeff sadar kami sedang memperhatikannya, tetapi bicara tanpa menatap kami.
"Ketika aku melihat wanita ini, hal-hal lain di sekitarku sudah tidak menarik lagi." Alby menarik tanganku hingga aku berdiri di sampingnya sekarang.
Aku spontan mengulum bibirku untuk menahan decihan. Kurasa Jeff juga merasa kalau kalimat itu sangat menggelikan, tetapi dia hebat dapat menahan reaksinya dan hanya menyisakan senyum.
"Ya. Aku pernah berada di posisimu. Sebaiknya jangan lepaskan dia, atau kau akan menyesalinya seumur hidup."
Jeff berlalu pergi setelah mengatakan itu. Entah perasaanku saja, atau saat melewatiku, dia sempat menyeringai. Aku tidak tahu apa maksudnya, apakah itu ejekan untuk sandiwara kami, atau sedang meremahkanku. Kata-katanya tadi memang membuatku tersanjung, tetapi kedengarannya agak sarkastik.
"Dia terlalu serius untuk itu."
"Jangan mengada-ngada," sahutku, setelah berhasil menebak apa yang dia pikirkan.
"Apa kau ada rencana hari ini?" tanyanya ketika kami mulai beranjak dari sana. Alby menjatuhkan lengannya di bahuku, merangkulku seperti sepasang teman dan kami berjalan beriringan.
"Pengangguran sepertiku memangnya punya kesibukan apa?"
Alby terkekeh mendengar responsku. Dia mendadak sangat ramah dan terasa asing. Apa California mengajarkannya beberapa hal?
"Ayo sarapan dan kita bicarakan tentang liburan ke Santorini."
"Hah?"
Terakhir yang kuingat, dia memintaku untuk menolak, tetapi sekarang? Ah, kelabilannya melampaui anak remaja.
***
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
26 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro