25 - Life is Hard
Aku kesulitan untuk fokus. Laptop yang menyala di atas meja sudah tidak kusentuh lagi, padahal aku memakainya untuk mencari referensi. iPad di pangkuanku pun tidak menampilkan apa-apa selain halaman kerja yang kosong.
Bisakah otak menyaring sendiri apa saja yang harus ada di pikiran? Misalnya, aku harus memikirkan bagaimana nasib berkas lamaranku, atau aku harus bisa lebih kreatif untuk mengerjakan desain. Sisanya bukan berarti tidak dipikirkan lagi, tetapi kuharap tidak membuat kacau seperti saat ini.
Alby, Claudia, Jeffrey. Tiga orang yang tanpa bertemu dengan mereka aku akan baik-baik saja. Beban pikiranku hanya akan berada di seputar pekerjaan. Oh, dan utang Dad yang banyak sekali. Namun, dua hal itu tidak akan sememusingkan ini, hidupku berjalan tanpa ada bumbu drama percintaan tiga orang itu.
Aku menyerah, kusandarkan tengkukku pada puncak sofa, hingga wajahku menatap langit-langit berwarna putih gading. Aku juga berusaha mengalihkan pikiranku, mungkin dengan sesuatu yang akan membuatku lelah dan lupa untuk memikirkan masalah lain, seperti melakukan sesuatu pada langit-langit rumah, tetapi catnya masih baik-baik saja.
"Satu minggu tanpa Alby seharusnya membuatmu senang, tapi yang kulihat mukamu kusut sejak kemarin. Besok dia berangkat, sebagai kekasih yang baik, apa kau akan mengantarnya?"
Aku mendelik ke arah Nate ketika bocah itu baru saja lewat di depanku, lengkap dengan handuk di lehernya. Dia baru saja mandi sore dan membuatku sangat kesal karena dia menghabiskan waktu lama di kamar mandi. Maksudku, aku juga sedang menunggu giliranku tiba untuk mendinginkan kepala. Mandi adalah jalan terbaik.
Namun, sekarang aku sudah telanjur malas.
"Dia pergi setelah menimbulkan masalah baru, Nate. Dan Jeffrey justru ikut terlibat. Aku ingin membuat Claudia cepat sadar kalau dia dan Alby masih saling mencintai, tapi--"
"Yang itu, aku sudah mendengarnya."
Aku memandang Nate bergantian dengan sekotak susu yang disodorkannya kepadaku, dia juga mengambil satu dari kulkas untuk dirinya dan sedang disesapnya hingga menghasilkan suara. Caranya meminum susu membuatku tergoda untuk menerima kotak susu darinya.
"Kurasa masalahnya bukan dari Alby. Kau tidak sadar sudah peduli padanya sampai repot-repot menemui Claudia. Sayangnya, kau memang mau kena sial hari itu dan bertemu Jeffrey." Nate mengganti saluran TV setelah mengempaskan tubuh di sebelahku. Tetesan rambutnya yang basah mengenai wajahku.
"Sudah saatnya kau memotong rambut," ucapku kesal sembari menyapu wajah.
"Hng. Kau mengganti topik pembicaraan, Ava," sahutnya dan memberiku lirikan yang menyebalkan.
Aku mendengkus dan kekesalanku kulampiaskan pada kotak susu. Sedikit lebih kuat lagi, aku bisa saja membuat kotak ini bocor dalam genggamanku.
"I'm a mess."
"Sayangnya kau tidak seseksi penyanyinya."
Aku mengernyit, karena dia lebih tidak nyambung lagi. "Siapa?"
"Bebe Rexha."
Aku tidak tahu Nate sedang berusaha menghiburku, atau dia hanya sedang menjadi si menyebalkan yang tidak akan berhenti mengganggu saudaranya. Apa pun tujuannya, aku tetap kesal.
"Aku pernah berpikir, mungkin sebaiknya aku menyusul Mom. Lagi pula, hidupku tidak jauh-jauh dari masalah, takada gunanya." Aku frustrasi. Dulu sering sekali aku mengeluh seperti itu pada Pete, dan dia berhasil merayuku agar tetap bernapas.
"Kau tidak akan melihatku sukses kalau begitu," celetuk Nate sembari menyikut lenganku. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi sekarang dia menatapku dengan sorot yang agak sedih. "Aku tidak punya siapa-siapa selain dirimu, Ava. Ibuku mungkin terlalu malu memperkenalkan anak haram ini kepada saudara-saudaranya."
Aku tidak suka ketika Nate bicara seperti itu. Aku memeluknya untuk menghibur.
"Hei, jangan berkata begitu. Kau lahir ke dunia adalah takdir. Tuhan sangat baik karena mempertemukan kita. Memangnya aku tega meninggalkanmu? Aku pasti akan mengajakmu kalau mau melakukannya."
Satu pukulan mendarat di kepalaku. Tidak terlalu keras, tetapi cukup mengganggu.
"Masa laluku sudah tidak cukup baik, aku ingin memperbaikinya dan punya impian untuk dicapai, Ava." Nate berucap miris. Aku jadi merasa bersalah sudah mengeluhkan masalahku kepadanya. Sebaiknya memang jangan mengeluh.
"Karena kau menolak, ya, aku tidak akan pergi," gurauku, berusaha memperbaiki suasana hatinya.
Kami diam beberapa saat, menikmati acara tentang desain interior di TV. Lebih tepatnya, hanya mata kami yang tertuju ke sana, sementara pikiran kami mungkin sudah melayang ke banyak hal.
Tidak sulit mencari kenyamanan untuk kami. Apalagi setelah cukup banyak waktu yang dihabiskan untuk kesibukan masing-masing. Setidaknya, kami tahu harus ke mana ketika sesuatu sedang mengganggu. Hidup untuk satu sama lain, walau berat dan kadang menyusahkan, tak peduli jauhnya jarak, kami akan kembali pada satu sama lain. Ini adalah hubungan persaudaraan yang seharusnya, kurasa.
"Hei, aku penasaran." Nate tiba-tiba bicara lagi.
"Hm?" Aku merasa terlalu nyaman bersandar di bahunya sampai hanya gumaman yang kukeluarkan.
"Apa kau tidak merasakan apa-apa setelah cukup lama bersama Alby? Kurasa pertemuan kalian terlalu intens. Mungkin saja ada sesuatu, benar?"
Aku meresponsnya dengan tawa remeh-temeh. Kuharap aku salah mendengar, tetapi Nate memang benar-benar mengatakannya, dan sekarang menancap di kepalaku seperti sebuah lelucon. Lucu, tetapi mengerikan.
"Aku bahkan enggan membayangkannya, Nate. Aku cukup sadar untuk tidak jatuh cinta dengan seseorang yang mencintai mantan kekasihnya."
"Oh, kalau dia sudah tidak mencintai Claudia lagi?"
Tawaku lenyap dan berganti menatapnya dengan mata memicing. Nate perlu tahu kalau aku tidak suka topik pembicaraan ini.
"Kenapa kita membicarakan ini?"
"Karena aku ingin tahu apakah hatimu sudah berfungsi dengan baik atau belum."
Nate mungkin hanya bergurau, tetapi itu berhasil menyentil sesuatu di dalam diriku. Apa itu terlihat dengan jelas? Apa aku benar-benar seperti aspal yang tidak pernah protes karena terus-menerus diinjak? Ya ... seperti tidak memiliki kemampuan untuk merasakan apa-apa.
"Aku akan mencintai seseorang. Nanti. Saat aku mengerti maknanya dan sudah pasti pria itu bukanlah Alby." Aku berucap tegas dan sangat yakin. Reaksi Nate hanya dahi yang berkerut dan mata yang mendelik tidak percaya. Karena ucapan adalah doa, mungkin aku akan sering mengucapkannya, sambil berharap semesta akan mengamini.
Aku. Tidak. Akan. Jatuh. Cinta. Dengan. Alby.
Huh, seperti tidak ada laki-laki yang lebih baik darinya saja.
"Hei, kauingat tetangga yang selalu meneriaki anjingku dan mengeluh sangat membencinya ketika menggonggong, kemudian memelihara tiga setelah milikku meninggal? Lalu dr. Bill yang mengaku tidak senang pelajaran anatomi saat masih sekolah, tetapi berakhir menjadi dokter bedah terbaik di Pennsylvania? Aku mendapat pelajaran dari itu semua, terlebih lagi setelah aku benci pelajaran matematika, dan aku harus bertemu dengan hitungan seumur hidupku."
"Kau terlalu banyak bicara," keluhku, sebab aku sudah sangat lelah berpikir saat ini.
"Jangan terlalu membencinya, itu bisa jadi bumerang untukmu hingga berbalik jatuh cinta kepadanya, atau dia tidak akan bisa kauhindari seumur hidup. Well, aku tidak sedang membual atau menakut-nakuti, tapi hukum alam bekerja seperti itu."
Nate dengan gaya sok pintarnya. Walau dia memang pantas bersikap seperti itu. Nilai akademiknya lebih unggul dariku, hingga aku harus menyembunyikan raporku agar tidak dibanding-bandingkan. Andai Mom masih hidup, dia tidak akan pernah melakukan itu kepadaku.
"Kau menang, Nate, kau bebas memilih menu makan malam ini."
Hanya itu cara terbaik untuk memintanya diam.
🎶
Hari kedua tanpa keberadaan Alby. Sejauh ini cukup menenangkan meski beberapa kali aku tidak sadar selalu memeriksa ponsel, mengira dia ada mengirim pesan dan aku tidak menyadarinya. Kemudian aku akan mengumpat begitu menyadari sikapku persis seperti sedang berharap dia akan menghubungiku. Aku tentu saja akan mengelak soal itu. Maksudku, ya, mungkin aku sudah terlalu terbiasa diganggunya, jadi perlu waktu untuk beradaptasi dengan situasi baru ini.
Aku membawa beberapa buku di tanganku ke kasir. Agak menyebalkan karena aku harus mengantre dan barisan di depanku lumayan panjang. Aku tidak akan berada di sini jika buku bacaanku belum habis kubaca.
Ya, aku membaca. Aku sendiri kadang tidak percaya aku melakukannya. Namun, ini bukan cerita roman picisan yang dibaca oleh banyak remaja untuk kemudian dibicarakan dengan teman-temannya, demi mencocokkan visualisasi karakter di kepala mereka. Sementara dua buku di tanganku berjudul Mastering Composition oleh Ian Robert dan Painting What (you want) to See oleh Charles Reid.
Selagi Alby tidak ada, aku ingin memanfaatkan waktu sebaik mungkin dan belajar melukis. Sebagai seseorang yang bekerja di dunia seni, aku tentu harus selalu meningkatkan kemampuanku. Ya ... selagi mulai banyak orang mengenalku di situs freelancer itu, aku tidak terlalu menantikan seseorang merespons berkas lamaran yang kusebar dulu.
Ponsel di saku jaketku berdering. Padahal aku sedang tidak mengharapkan seseorang menghubungiku di antrean seperti ini. Semua orang bisa mendengar pembicaraanku. Namun, ketika yang kutemukan justru kontak Termometer, aku tidak berpikir panjang lagi untuk menerimanya, kemudian menyingkir dari antrean. Aku akan menunggu lebih lama lagi setelah ini.
"Aku berharap kau membawa kabar baik, Alby. Seperti, ayo akhiri kesepakatan kita. Aku sungguh tidak sabar menantikannya."
Suara Alby tertawa membuatku kesal. Dia terdengar senang dan itulah yang membuatku merasa terganggu. Walau setelah mendengar suaranya, aku baru sadar kalau aku menunggu diganggunya sejak kemarin. Ya, kalau tidak, kenapa aku harus mengulum bibir untuk menahan senyum saat ini?
Gila, ya.
"Tentu saja aku akan memberi kabar baik."
Mataku berotasi berbarengan dengannya punggung yang kuempaskan ke salah satu rak buku. Aku sempat panik karena rak ini bergoyang.
"Baik untukmu, petaka untukku, Alby. Itu fakta."
"Tidak baik menjustifikasi sesuatu yang belum terbukti kebenarannya."
"Aku sedang mengantre di toko buku, Alby. Andai bukan karena kesepakatan yang sialnya kutandatangani itu, mungkin aku sudah mematikan telepon ini dan kembali ke barisan antrean." Aku menghela napas karena terlalu cepat bicara. "Katakan saja maksudmu, dan akhiri telepon ini. Aku selalu berharap kau sangat sibuk di sana sampai tidak bisa menggangguku."
"Aku sangat sibuk sekarang, Ava. Tapi aku punya waktu untuk ke kamar mandi. Orang-orang itu menyajikan kopi dingin, aku mengambil kesempatan berlama-lama di sini."
Aku ingin sekali tertawa di depan wajahnya sekarang, sampai terbatuk dan memerlukan segelas air untuk meredakannya. Itu tidak berlebihan, kurasa. Namun, cukup langka untuk pria seukuran Alby.
"Aku akan berterima kasih kepada siapa pun yang menyajikannya. Jadi, langsung ke intinya saja. Kau mau mengatakan apa?" Aku makin tidak sabar, terlebih lagi setelah menemukan kalau antrean di depan kasir sudah berkurang.
"Claudia berubah pikiran, asistennya menelepon Jacob kemarin, dia akan melanjutkan kontrak sampai game kami rilis di negara-negara Asia."
Aku tidak tahu bereaksi seperti apa. Di satu sisi, aku lega Alby sudah tidak galau dan merepotkan seperti beberapa hari lalu. Di sisi lain, aku merasa seperti ditarik kembali pada kenyataan hidup yang pahit. Berada di sekitar Alby makin menyadarkan betapa menyedihkannya garis takdirku.
Lagi-lagi Alby kebagian yang senang-senangnya, sementara aku dapat susahnya. Lagi pula, aku juga yang meminta agar Claudia tidak mengakhiri kontrak, sekarang aku justru menyesali risikonya.
Mungkin tindakanku waktu itu terlalu gegabah dan tanpa pertimbangan baik-baik.
"Ava, kau masih di sana?"
"Iya." Aku menjawab singkat. Rasa ingin mengakhiri obrolan ini makin besar saja.
"Apa Paula menemuimu?"
"Tidak."
"Hm. Dia masih berharap kau ikut pergi bersama kami. Tapi kau tahu, kan, kau tidak harus memenuhi kemauannya."
Aku hampir melupakan yang satu itu, mengingat tidak siapa pun membicarakannya beberapa hari ini. Tenang, Ava, kau sudah mempersiapkan jawaban untuk menolak Paula nanti.
"Dia cukup keras kepala, sama sepertimu."
Kudengar Alby terkekeh lagi.
"Percayalah dia orang baik."
"Aku tidak berkata dia jahat." Sekali lagi aku melirik kasir dan sekarang sudah kosong. "Aku harus mengakhiri teleponnya sekarang, Alby. Bye."
Aku mengakhiri sambungan telepon, menyimpan ponsel di saku jaket lagi, dan melesat menuju kasir. Aku punya rencana bagus untuk hari ini, kuharap tidak ada yang mengganggu. Sayangnya, Jeff tiba-tiba ada di depan mataku. Baru melewati pintu ketika aku menerima kembalian dari uang yang kubayarkan untuk membeli buku ini. Sungguh, pria itu ada di mana-mana.
Aku akan berpura-pura tidak menyadarinya dan lewat di sebelahnya sambil menunduk, seolah-olah perhatianku sedang tersedot oleh blurb buku yang baru saja kubeli. Ya, selagi pria itu belum melihatku.
"Ava."
Namun, aku lupa kalau takdir senang bermain-main denganku.
"Aku tidak cukup senang bertemu denganmu sekarang, Jeff. Bisa bertemu lain kali saja?"
Dia menahan lenganku ketika aku akan meneruskan langkah.
"Aku dari kafe seberang sana dan melihatmu ada di sini melalui jendela. Kuharap segelas kopi bisa membayar lima belas menit waktumu untuk mengobrol denganku?"
🎶
"Apa kau masih suka Frappuccino?" Dia bertanya sambil menyodorkan selembar kertas menu yang dilaminasi kepadaku.
"Aku takjub kau masih mengingatnya." Dan lebih takjub lagi karena aku menerima ajakan Jeff.
Pertama karena kopi, kedua dia memohon dan bicara cukup sopan. Aku yakin dia ingin membahas sesuatu yang penting. Setidaknya aku tidak sedang membuang-buang waktu untuk sesuatu yang akan kusesali setelahnya.
"Semua tentangmu, Ava, masih membekas di ingatan." Jeff tersenyum, senyum yang pernah membuatku merasa aman.
"Apa Claudia tidak cukup untukmu? Sampai kau berusaha untuk menggoda mantan yang kaupecat secara tidak masuk akal? Aku sungguh tidak mengerti bagaimana otakmu bekerja, Jeff."
Jeff masih mempertahankan senyumnya, kurasa dia tidak punya sesuatu untuk diucapkan.
"Dan sekarang aku di sini denganmu," ujarku lagi tanpa menahan kekesalan di nada bicaraku.
"Kau masih bersama Alby?"
Pertanyaan itu cukup mengagetkanku. Aku nyaris mengelak sebelum aku sadar kalau pria di depanku adalah Jeff.
"Ya. Kau berhak merasa terganggu dengan itu setelah apa yang kauperbuat kepadaku."
"Kau paham betul seperti apa aku."
Aku mendengkus. Tidak cukup senang melihatnya begitu tersanjung hanya karena sikapku. Padahal takada istimewanya sama sekali.
"Maaf, Jeff. Jangan bersikap berlebihan, harga dirimu jatuh di mataku saat ini. Oh, sebenarnya sudah tidak ada yang tersisa, kau tidak berharga." Aku tersenyum sinis kepadanya. "Katakan saja apa yang mau kaukatakan. Aku tidak tahan mencium aroma penyesalan yang bukan berasal dariku."
Minumanku tiba, itu berhasil menggagalkan Jeff bicara. Aku berterima kasih dan si pelayan pergi. Minuman kesukaanku jadi tidak ada rasanya karena dibeli menggunakan uang Jeff.
"Kau tahu Claudia tidak jadi membatalkan kelanjutan kontraknya dengan Alby, 'kan?"
Aku hanya mengangkat bahu, merasa lebih baik pura-pura tidak tahu daripada dia memintaku melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Memangnya apa lagi yang akan dia bicarakan selain memintaku untuk tidak menggagalkan rencana pernikahannya dengan Claudia.
"Ya ... dia baru memutuskannya kemarin, mungkin Alby belum memberitahumu."
"Itu urusan pekerjaannya. Meski kami bersama, aku tidak memiliki hak untuk ikut campur." Jeff, mungkin sudah cukup sadar kalau hubungan kami tidak serius, setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk bermain peran. Yang seperti tadi, misalnya.
"Kau benar." Jeff mengangguk-angguk, seperti baru disadarkan oleh sebaris kata-kata bijak. "Aku hanya ingin memintamu untuk lebih mengawasi mereka. Jangan sampai benih-benih cinta yang pernah mereka semai kembali tumbuh dengan subur."
Aku ingin sekali menertawakan Jeff saat ini, tetapi wajah memelas yang dia tunjukkan membuatku tidak sanggup melakukannya.
"Aku selalu di sisi Alby ketika mereka bertemu, Jeff. Apa itu cukup untuk membuatmu tenang?"
Kurasa isi kepala Jeff mulai kacau. Dia terdiam cukup lama, hingga cukup bagiku menyedot Frappuccino hingga tersisa setengahnya. Aku terlalu banyak bicara dan sekarang kehausan. Kuletakkan kembali minumanku ke atas meja ketika Jeff sudah siap dengan apa yang akan dia katakan. Tubuhnya dicondongkan ke arahku.
"Bagaimana kalau kaubuat Claudia juga membencinya?"
Mission impossible, eh?
*
*
*
Selamat hari Jumat, untuk waktu WIB, karena di aku WITA dan ini sudah hari Sabtu. Bulan ini kerjaanku lumayan padat sampai update ngaret terus. Hiks. Kuharap mingdep nggak kayak gini lagi. *fingers crossed*
Ya, segitu aja cuap-cuapnya, jangan lupa mampir ke cerita Song Series yang lain yes *luv*
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
22 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro