23 - Bad Moment
⚠️ WARNING ⚠️
🎶
"Jadi, apa yang membuatmu berpikir Claudia ingin menghindarimu?"
Aku memecah keheningan setelah bermenit-menit berlalu tanpa Alby bicara sedikit pun. Aku mengerti suasana hatinya sedang buruk, tetapi aku ada di sini untuk membantunya. Tidak bisakah dia diajak bekerja sama? Walau dia meminta agar aku menginap, aku tidak akan melakukannya.
Lagi, aku tidak mendapat jawaban. Mau tak mau aku harus melihatnya, sebentar membelakangi mesin kopi yang baru saja kugunakan. Alby membiarkanku melakukan apa saja, dan minum kopi langsung terlintas di kepalaku. Aku memerlukannya untuk menghadapi kegalauan Alby. Dan kupikir Alby juga memerlukannya. Kafein bekerja cukup baik untuk memperbaiki suasana hati. Bagiku, dan aku tidak tahu apakah itu akan berlaku pada Alby juga atau tidak.
"Dia tidak akan melanjutkan kontrak kerja sebagai Ambassador dari game yang akan dirilis bulan depan. Setelah masa promosi berakhir, dia akan berhenti bekerja sama denganku. Alasannya bahkan tidak jelas. Aku tidak akan sekonyol ini seandainya kami masih bersama."
Akhirnya dia bicara juga. Dia sukses membuatku memandangnya iba. Mencintai seseorang sebegitu dalamnya mampu membuat pria seperti Alby tampak menyedihkan. Aku saja sampai mengasihaninya.
"Dia hanya tidak melanjutkan kontrak, bukan mengusirmu dari negara ini, Alby. Bukankah sikapmu ini agak berlebihan?"
Aku tidak bisa lama-lama memandangnya. Berjaga-jaga saja, dan tidak ingin menambah daftar pujian untuknya. Alby masih tidak mengenakan atasan. Tubuh atletis itu mampu mengalihkan perhatian siapa pun. Aku juga tidak mengelak kalau aku salah satunya.
"Hanya itu cara kami agar tetap berinteraksi, Ava. Kau pikirkan saja, memangnya siapa yang masih berhubungan dengan mantan untuk sesuatu yang tidak penting?"
Mungkin itu benar. Aku saja enggan melihat muka Jeff lagi. Ya ... sampai sekarang aku masih dendam kepadanya. Aku masih menganggur tanpa menerima satu pun panggilan untuk wawancara. Jeff mungkin sudah mengutukku untuk itu. Sekarang aku makin membencinya.
Namun, apa juga berlaku untuk pasangan yang terpaksa mengakhirinya? Maksudku, mereka dua orang yang saling mencintai yang terpaksa mengakhiri hubungan karena tuntutan orang tua salah satunya. Kalau rasa itu masih ada, bukankah sepantasnya diperjuangkan? Mungkin sudah dicoba, tetapi Alby gagal. Karena yang kutahu, Claudia tidak akan goyah semudah itu, apalagi jika sudah berkaitan dengan orangtuanya.
Aku memutuskan untuk tidak meresponsnya dan kembali sibuk dengan mesin kopi. Dua cangkir sudah terisi. Aku tidak tahu Alby suka kopi hitam atau harus ditambah krimer, aku malas bertanya dan menuang krimer hanya ke kopi milikku. Satu kopi hitam kuletakkan di atas meja bar di hadapannya.
"Permainan ini harus berakhir, 'kan? Maksudku, tidak ada lagi gunanya kalau dia sudah tidak bisa dibuat cemburu lagi."
Aku kembali menatap Alby, topik yang satu itu terdengar sangat menarik di telingaku; sesuatu yang sangat ingin kudengar sejak satu detik setelah aku menandatangani surat kesepakatan yang dibuatnya.
Jari-jariku saling bertaut, kemudian kuletakkan di bawah dagu sebagai tumpuan. Aku sungguh ingin dia meneruskan ucapannya tentang mengakhiri semua ini. Aku sudah rindu hidupku yang belum terkontaminasi oleh kehadirannya.
"Ya. Aku setuju. Kita hanya akan melakukan sesuatu yang tidak berguna kalau melanjutkannya." Lihatlah bagaimana aku mengangguk tadi, seperti seorang klien yang senang akan keuntungan yang ditawarkan kepadanya.
"Kau terlalu senang, Ava," sindirnya dengan wajah tidak senang.
Mungkin aku tidak sadar sudah tersenyum sangat lebar tadi. Memang aku bisa menahannya ketika yang kuinginkan tercapai?
"Ayolah, kau tahu, kan, aku selalu menolak kesepakatan ini? Mengakhirinya tentu saja membuatku senang."
Kupikir Alby perlu diingatkan lagi tentang bagaimana aku selalu menolaknya dulu. Meski pada akhirnya aku menerima dengan tujuan yang berbeda. Sayangnya, targetku pun menyerah dan tidak memperjuangkan cintanya. Aku tahu, itu menyebalkan. Rasanya baru kemarin Claudia menemuiku dan mengakui perasaannya, tetapi hari ini dia membalikkan semua itu dan akan pergi.
Kalau Claudia berpikir dia tidak bisa merebut kekasih temannya, aku harus berbuat sesuatu, ya ... untuk mengubah jalannya permainan ini.
Tunggu, apa aku berpikir kalau Alby tidak akan mengakhiri ini?
"Ava, bibirmu itu sudah menggoda meski kau hanya diam, apa kau harus menggigitnya seperti itu hanya untuk berpikir?"
Aku langsung mengulum bibir begitu Alby bicara seperti itu. Terkadang, jika berpikir, aku akan tidak sadar sudah menggigit bibir bawah. Dan aku tidak pernah tahu itu akan berujung menggoda seorang Alby. Ternyata aku hebat juga.
"Bibirku tidak melakukan apa pun, kau saja yang terlalu mesum, Alby." Aku berucap kesal, sampai-sampai rasanya ingin kupatahkan semua sumpit di dapur ini sebagai pelampiasan. Kopi yang masuk ke kerongkongan beberapa tegukan berhasil menahanku untuk tidak melakukannya.
Alby menaikkan sebelah sudut bibirnya, menyunggingkan senyum miring yang mampu membuat wanita mana pun akan menjerit. "Jeffrey pasti tersiksa selama empat tahun bersamamu tanpa melakukan apa-apa. Atau dia sangat mencintaimu."
"Cinta tidak bekerja seperti itu. Dia tidak akan melepasku kalau itu benar."
"Kau pernah dengar kalau cinta tidak harus memiliki, 'kan?"
Aku mendengkus, tiba-tiba merasa terhibur saat tahu kalau ucapan dan sikapnya selama ini justru berkebalikan. "Tapi kau ingin kembali bersama Claudia sampai membuat kesepakatan ini."
"Kau lupa, ya? Aku sudah bilang kalau ini adalah misi balas dendam, 'kan?"
Mataku berotasi dengan tidak sopan. "Balas dendam tidak akan membuatmu sekacau ini, Alby. Aku tahu kau masih ingin bersamanya."
Alby memandangku cukup lama, dia tidak mengatakan apa-apa. Sorot matanya yang tajam membuatku kesulitan bernapas dan seketika dapur terasa lebih mencekam. Rasanya seperti mata itu sedang menelanjangiku. Namun, aku masih sanggup untuk membalas tatapannya, menjadi adu tatap. Sampai akhirnya dia yang lebih dulu menggulirkan bola mata ke arah segelas kopi di bawah dagunya.
"Aku ingat sesuatu," ujarnya setelah menyesap kopi yang masih mengepulkan uap. "Mungkin akan kuselesaikan janji terapi untukmu dulu sebelum benar-benar kita akhiri. Kalau kau beruntung, kau bisa jatuh cinta padaku."
Buruk untukku karena mendengarnya saat sedang menelan ludah. Aku tersedak dan perlu beberapa saat untuk meredakannya. Satu-satunya air yang ada di dekatku hanya kopi, tidak mungkin kuminum untuk meredakan batuk. Sementara Alby juga tidak cukup peka untuk mengambilkan air putih untukku. Dia memang sialan, aku tidak akan bosan mengatakannya berulang-ulang.
"Kenapa aku yang jatuh cinta? Sejak awal kau yang terus berusaha menyentuhku, aku khawatir kau sudah menyukaiku lebih dulu. Lagi pula, aku tidak perlu terapi abal-abal darimu."
Alby tertawa sangat puas, seolah-olah dia tidak sedang terluka hari ini. Aku takjub karena suasana hatinya berubah 180 derajat dalam waktu yang sebentar saja.
"Terima kasih kau ada di sini. Kalau tidak, mungkin kau akan melihatku teler di bar lagi."
Aku tidak tahu kalau dia bisa berterima kasih juga.
"Berarti aku bisa pulang?" Takada hal lain yang kupikirkan selain itu. Lagi pula, kopiku sudah habis sekarang, takada alasan tetap tinggal.
"Tidak. Kau setuju untuk menginap, Ava. Takkan kubiarkan pulang." Dia hanya memintaku menginap, tetapi tidak menghiraukan penolakanku. Aku mulai berpikir kalau dia anak yang manja.
"Akan lebih nyenyak kalau aku tidur di apartemenku sendiri."
"Siapa yang bilang kau akan tidur malam ini?"
Sinyal di otakku mulai mengirimkan perintah ke tubuh agar bersiap pergi dari sini. Alby sudah terdeteksi sebagai bahaya. Trigger warning berdengung di kepalaku. Makin keras saja teriakan untuk pergi yang terdengar di kepalaku. Aku baru menebak-nebak apa yang ada di pikirannya, tetapi tidak terpikirkan satu pun yang baik-baik.
Dia Alby, semua tentangnya adalah petaka untukku. Tidak menutup kemungkinan dia akan berbuat sesuatu yang tidak pantas, 'kan?
"Kenapa kau setegang itu? Kita hanya menonton film, Ava. Aku perlu sesuatu untuk mengalihkan pikiranku dari Claudia." Dia terkekeh puas sekali.
Aku tersenyum konyol karena dugaanku salah semua. "Oke. Tapi tolong, pakai baju dulu."
🎶
Alby sialan.
Baru seperempat film, tetapi aku sudah menyumpahinya berkali-kali. Beberapa kali aku harus memejamkan mata ketika adegan menggelikan muncul. Sayangnya, hampir setiap lima menit film itu menampilkan adegan dua orang tanpa busana. Desahan-desahan memenuhi ruangan. Telingaku sampai berkedut karena volume TV-nya sangat nyaring. Andai ini di apartemenku, mungkin sudah kena tegur tetangga dan mengira aku yang sedang mendesah.
Parahnya, aku tidak bisa pergi. Alby menggamit lenganku dan membuat duduk kami tidak berjarak sama sekali. Pete pernah bercerita kalau menonton film seperti itu akan membuatnya terangsang dan bisa menimbulkan kepuasan tersendiri. Otak pria memang dipenuhi oleh hal-hal seperti itu, aku pernah membacanya di sebuah artikel di salah satu kolom majalah Jeff dulu.
Aku memejamkan mata lagi dan menyamankan posisi. Kepalaku terjatuh di atas sandaran sofa, membuat wajahku menghadap langit-langit. Aku bukan sedang menghindari adegan lainnya, tetapi berusaha untuk tidur. Walau suara-suara jeritan kenikmatan itu membuatku harus bergidik dibarengi dengan berdirinya rambut-rambut halus di sekitar tengkuk.
Aku heran, bagaimana bisa Alby setenang itu saat menontonnya. Bisa saja karena sudah terbiasa.
"Kau akan melewatkan bagian yang menarik jika tidur," celetuk Alby, tetapi aku mengabaikannya. Agar aku bisa tidur, aku tidak perlu meladeni ucapannya.
"Ava, aku serius, adegan itu hanya ada di paruh awal film." Satu tangan Alby berada di rahangku dan aku sekuat tenaga menahan geli karena jempolnya bergerak-gerak. Aku bisa saja menepisnya, tetapi aku juga ingin sekalian pura-pura tidur saja agar dia berhenti menggangguku.
"Aku tahu kau belum tidur, Ava. Berhenti pura-pura atau aku akan menciummu."
"Kau memang mesum, Alby. Kau tahu aku selalu tegang pada hal-hal seperti itu—tegang dalam artian yang mengerikan tentunya, tapi kau justru mengajakku menonton salah satunya." Aku berucap kesal setelah menjauhkan tangannya dari wajahku.
"Mau sampai kapan kau terus menghindar? Aku sedang berusaha membuatmu terbiasa sebelum melakukannya sungguhan."
"Gila." Kemarahan membuatku jadi berkali-kali lipat lebih kuat. Aku berhasil menarik tanganku dari gamitannya. "Sampai kapan pun itu tidak akan terjadi, Alby. Aku tidak sudi."
Aku menyibakkan selimut, sebentar kaget karena pakaianku berganti dengan piyama besar milik Alby. Dia memintaku menginap tanpa memberi kesempatan untukku mengambil baju. Jadi, aku memakai piyamanya lagi. Kali ini juga memakai celana yang panjangnya sedikit di bawah lutut, tidak seperti saat dia dengan lancang mengganti bajuku. Ada tali di lingkar pinggangnya, yang bisa ditarik agar pas di pinggangku.
"Kau mau ke mana?" tanyanya sambil meraih tanganku.
"Tidur. Aku tidak bisa menonton film itu lama-lama."
"Tidak, Ava."
Dia menarik tanganku cukup kuat hingga aku kembali duduk di sebelahnya. Entah sofa ini memiliki tombol atau bagaimana, sebab tiba-tiba saja sandarannya terjatuh hingga menyerupai kasur panjang sekarang.
Aku sudah terkejut karena itu, tetapi dibuat lebih terkejut lagi ketika Alby mulai menindih separuh tubuhku dan mendaratkan bibirnya di sekitar rahangku. Ini gila, aku berusaha mendorongnya menjauh, tetapi dia terlalu berat. Usahaku sia-sia.
Kepalaku tak berhenti bergerak, sebisa mungkin menghindari kecupan-kecupan yang mulai membanjiri wajahku. Tolong jangan katakan kalau Alby terangsang oleh film dan akan melampiaskannya kepadaku.
"Alby, menjauhlah!" jeritku dan mendorong dadanya lagi dengan tangan yang sudah tremor.
Sialnya Alby justru meraih kedua tanganku dan dia letakkan di atas kepalaku. Hanya dengan sebelah tangan saja dia mampu menahan tanganku di sana agar tidak bergerak. Sekarang dia memandangku dengan mata yang menggelap. Auranya memicu sinyal bahaya yang mengharuskanku untuk segera melarikan diri. Namun, aku sudah tidak berdaya sekarang.
"Kau bergetar. Relax, Ava. Aku tidak akan menyakitimu."
Tangan Alby yang lain berada di pinggangku dan mencengkeramnya sangat erat sampai aku terkesiap. Sekali lagi dia mendaratkan kecupan di sekitar rahang dan mulai menenggelamkan wajah di ceruk leherku. Aku memejamkan mata, sambil menggigit bibir bawahku untuk menahan agar tidak bersuara. Aku tidak munafik kalau aku cukup menikmati sensasinya. Namun, di satu sisi aku sadar kalau ini tidak benar.
Sekarang tangannya mulai bergerilya di perutku, mataku spontan terbuka. Alby mulai berbuat terlalu jauh. Aku menendang kakinya, tetapi meleset dan hanya bertemu udara.
Apa yang kulihat sekarang bukan lagi langit-langit ruangan, melainkan TV yang menayangkan kredit pada akhir film. Oke, film sudah berakhir, tetapi sejak kapan sandaran sofa ini masih berdiri tegak?
"Kau melewatkan bagian terbaik dari filmnya," ujar Alby dengan santai dan membebaskan tanganku dari gamitannya. Dia meraih remote dan mematikan TV.
Alby sangat tenang, sangat berbeda denganku yang gelisah bercampur kebingungan. Kuraba leherku dan takada apa-apa di sana. Walau aku tidak tahu apakah kecupan-kecupan akan menyisakan bekas di sana atau tidak. Namun, itu sudah membuktikan kalau aku hanya bermimpi. Syukurlah.
"Ada apa denganmu?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. "Kau tidur dan terbangun seperti orang yang baru saja berteleportasi ke tempat asing."
Tidak mungkin aku akan menjawab kalau baru saja bermimpi sedang melakukan itu dengannya. Alby akan senang dan rasa percaya dirinya akan meningkat drastis.
"Tidak ada, aku hanya menyesal tidak melihat akhir filmnya." Kuharap alasan itu bisa diterima.
"Aku berusaha membangunkanmu, tetapi tidurmu terlalu nyenyak, jadi kubiarkan. Ngomong-ngomong, bahuku penat karena kau bersandar di sana cukup lama. Mungkin kau bisa memijatnya sebentar?"
Kembali lagi Alby menyebalkan. Sebelah tangannya yang sedang mengusap bahu kupukul dengan kuat.
"Telepon saja tukang pijat profesional untuk melakukannya. Sudahlah, aku mau tidur." Setelah mengatakan itu, aku berniat pergi. Aku ingin melanjutkan tidurku yang terganggu oleh mimpi buruk. Hanya karena menonton film, aku sampai membawanya ke dalam tidurku. Apalagi bersama Alby. Bisa bayangkan betapa mengerikannya itu?
Namun, aku harus mengumpat pelan karena Alby lagi-lagi meraih tanganku. Aku sudah berpikir ini deja vu dan mimpiku tadi akan benar-benar terjadi. Bedanya, Alby tidak memakai tenaganya saat ini, dia hanya menahanku, tidak sampai menarikku kembali ke sofa.
"Apa lagi?" tanyaku setelah terpaksa kembali menatapnya.
"Terima kasih sudah menemaniku."
Dan itu adalah ucapan tertulus yang pernah kudengar darinya.
***
See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
10 Oktober 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro