Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 - Uncomfortable

"Bagaimana rencana liburan musim panas kita?"

Peter membuka suara. Aku, dia, Hyunjoo, dan David sedang berkumpul di halaman belakang rumahnya. Orangtua Peter rajin sekali berkebun dan membuat lingkungan ini menjadi sangat asri dan sejuk. Aku langsung menuju ke sini begitu Hyunjoo mengirim pesan kalau mereka sedang berkumpul di sini.

Tentu saja setelah aku berbohong pada Claudia kalau Alby sedang membutuhkanku. Kalimat itu spontan terucap karena aku ingin sekali mengakhiri pertemuan kami. Aku tahu, rasanya aku jahat sekali, tetapi aku tidak bisa terus-terusan mendengar Claudia membicarakan tentang perasaannya kepada Alby. Bisa-bisa berujung aku mengasihaninya dan rencana untuk mempercepat berakhirnya misi pun gagal. Aku harus memainkan peran dengan baik agar Claudia percaya kalau kami memang bersama.

"Hawaii pasti akan sangat ramai, tapi aku sangat ingin ke sana."

Aku spontan menatap Dave ketika dia mengusulkan pantai terkenal itu sebagai destinasi liburan. Yang pasti, aku pasti akan absen ikut liburan kali ini. Memangnya pengangguran sepertiku punya uang berapa banyak untuk pergi berlibur ke sana?

Duh. Aku benar-benar merasa miskin.

Kalau boleh memilih, aku tentu akan ikut berlibur gratis bersama Alby, walau tidak tahu ke mana tujuannya.

"Ke tempat lain saja. Tapi aku belum mengajukan cuti. Entah Jeffrey akan menyetujuinya atau tidak. Dia tampak aneh akhir-akhir ini." Kebiasaan Hyunjoo, bicara sepotong dulu baru menyuap kukis. Padahal seharusnya dia sedang dalam program diet.

"Kenapa dengan mantan pacarnya Ava itu?"

Telapak tanganku melayang di lengan gelap Pete. Kuharap menyisakan merah di sana karena aku yakin sudah memukulnya dengan keras. Buktinya, Pete sampai meringis.

"Beberapa kali kehilangan fokus, agak labil. Entah apa yang dia pikirkan, padahal takada isu-isu jelek tentang pertunangan maupun rencana pernikahannya. Banyak yang menyimpulkan kalau dia sedang berusaha membesarkan nama majalahnya demi menyetarai popularitas Claudia." Hyunjoo menjelaskan sembari membuka bungkus camilan dengan kuat, seperti sedang melampiaskan kekesalannya.

Jeff benar-benar tidak profesional kalau isu itu benar. Mengingat bagaimana dia mendepakku keluar dari kantor, aku sadar dia bukanlah sosok yang profesional, yang melibatkan urusan pribadi ke dalam pekerjaan. Sejenak aku merasa bersyukur karena sudah diberhentikan. Tidak bisa kubayangkan kalau aku masih menemui wajahnya yang menyebalkan setiap hari

"Coba saja ajukan dulu, karena ini sudah mendekati akhir Juni, ambil libur untuk seminggu terakhir di bulan Juli, Chagi. Setuju, 'kan?"

"Chagi?" Aku mengulang lagi kata terakhir yang disebutkan Dave kepada Hyunjoo. "Dari mana asalnya kata aneh itu?"

"Itu tidak aneh, Ava, chagi artinya panggilan sayang dalam Bahasa Korea." Hyunjoo yang menjawab dengan logatnya yang khas. Terkadang aku lupa dia berasal dari Korea karena kebiasaannya sudah menyerupai wanita Amerika. Kecuali mata monolid-nya yang selalu mengingatkanku kalau dia berdarah Asia.

"Jadi, sudah ada keputusan kita akan ke mana?" Pete baru kembali dengan membawa dua botol kola dingin di tangannya. Aku tidak sadar kapan dia meninggalkan kami.

"Itu mudah saja, yang terpenting adalah cuti di-approve. Aku akan mengajukan satu minggu di akhir Juli, Hyunjoo juga sama." Dave membalas sekaligus mewakili Hyunjoo karena wanita itu sedang menyeruput jeli kemasan botol.

"Bagaimana denganmu, Ava? Aku tahu kau tidak punya alasan untuk tidak ikut." Pete tersenyum miring, membuatku merasa sedikit tersindir walau aku yakin dia tidak bermaksud untuk melakukannya.

Lagi-lagi status pengangguran memberi tekanan batin kepadaku.

"Akhir Juli, ya?" Aku berusaha mengingat rencana liburan keluarga yang Alby ceritakan kepadaku waktu itu. Sampai sekarang, aku belum punya alasan untuk menolak. Dan Alby tentu tidak akan membiarkan aku tidak pergi dengannya. Belum lagi Paula pasti akan turut serta membujukku agar ikut. Aku akan terpojok.

Alby hanya berkata kalau acaranya di bulan Juli, tetapi tidak memberi tahu detailnya kapan. Aku khawatir kalau aku setuju ikut liburan bersama ketiga temanku, liburan yang direncanakan Alby juga dilaksanakan di waktu yang sama.

Lagi pula, aku tidak benar-benar berniat untuk ikut liburan bersama teman-temanku. Alasannya tentu saja karena aku tidak ingin membuang-buang sisa tabunganku. Walau urusan keuangan tidak akan mereka terima sebagai alasan. Namun, aku tidak ingin membuat mereka repot dengan membayar keperluan tiket dan sebagainya. Toh selama ini aku selalu liburan musim panas bersama mereka, kupikir absen sesekali tidak akan menjadi masalah.

"Aku tidak yakin bisa ikut. Ada kemungkinan jadwalnya bertabrakan dengan rencanaku." Aku berharap mereka tidak menanyakan detailnya meski itu tidak mungkin. Aku hanya tidak siap menceritakan tentang Alby kepada mereka.

"Rencana apa?" Alis tebal Dave nyaris bertemu di atas hidung.

"Um, urusan pekerjaan. Aku mendapat kontrak untuk menjadi social media content creator sebuah distro baru." Aku tidak bisa menahan untuk tidak mengangguk dan tersenyum. Hyunjoo sampai memelototiku karena aku yakin dia merasa gelagatku agak aneh.

"Distronya ada di luar kota?" Pete makin membuatku tersudut.

"Um itu ... ." Ugh. Kenapa sulit sekali berbohong di depan mereka?

"Serius karena pekerjaan? Bukan diajak liburan sama pacar barumu?"

Aku agak kesal karena di saat seperti ini Hyunjoo justru lebih kritis. Padahal biasanya dia yang agak lambat menerima informasi atau paham akan sesuatu yang tidak disampaikan secara langsung.

"Ava sudah punya pacar lagi?"

"Kenapa tidak cerita?" Pete menyenggol tanganku sampai aku nyaris menumpahkan kola yang baru kuangkat mendekati mulut. Aku berakhir tidak jadi meminumnya.

Kalau sudah seperti ini, mana bisa aku mengelak lagi?

"Bukan pacar, tapi masih dalam proses pendekatan. Kami belum sampai pada tahap yang serius." Aku membalas asal-asalan, meski Hyunjoo sudah memicing ke arahku. Dia tampak tidak terima apa yang kuucapkan.

"Pria setampan itu tidak diakui. Kau keterlaluan, Ava." Wanita Asia itu memprotes sembari menyandarkan dirinya pada dada bidang Dave. Posisi itu tampak sangat nyaman untuknya.

"Dia tampan? Apakah lebih baik dari Jeffrey?" Dave bertanya lebih dulu. Tangannya mulai tidak bisa diam di atas rambut ikal milik Hyunjoo.

"Aku akan merestuimu kalau dia memang lebih baik dari Jeffrey, Ava." Pete menjatuhkan lengannya di pundakku cukup kuat, aku sampai tersentak dan nyaris menyemburkan kola di dalam mulut.

Mereka mulai lagi. Topik pembicaraan tentang Alby tidak akan berakhir kalau semua pertanyaan yang mereka lontarkan belum kujawab.

🎶

Hari ini aku menemani Alby lagi, di studio pemotretan dengan Claudia yang menjadi modelnya. Wanita itu berpose dengan beberapa properti yang mewakili game bergenre simulasi-RPG yang rencananya akan dirilis di bulan September. Sebenarnya masih dua bulan lagi, tetapi Claudia hanya memiliki jadwal tersisa di minggu ini sebelum berangkat ke California untuk pemotretan bersama brand lingerie terkenal itu.

Semenjak pengakuan Claudia minggu lalu, kami jadi tampak canggung. Mungkin dia merasa tidak enak kepadaku, padahal aku sama sekali tidak memikirkannya. Entah apa yang wanita itu pikirkan, aku tidak cukup peduli untuk tahu.

Aku beranjak dari sofa yang kududuki tadi dengan sebotol air mineral di tangan. Laptop dan tasku kubiarkan tergeletak di sana sementara aku menghampiri Alby. Pria itu turun langsung untuk mengarahkan pemotretan. Entah dia memang merencanakan sesuatu, atau dia hanya ingin berdekatan dengan mantan kekasihnya itu.

"Masih lama?" tanyaku pelan-pelan, agar hanya dia yang bisa mendengar. Aku juga menyodorkan botol air mineral yang kubawa kepadanya. Aku tentu tidak lupa untuk berakting sebagai kekasih yang baik untuknya.

"Thanks. Mungkin sebentar lagi." Dia membuka botol itu dan menenggaknya sampai tersisa setengah. "Paula ingin bertemu denganmu setelah ini. Membicarakan tentang liburan."

Aku menghela napas, agak pasrah. Kalau saudaranya sudah turun tangan, pasti aku tidak akan berhasil lepas dengan mudah. "Apa aku benar-benar harus ikut?"

Tangan Alby menyentuh daguku, mencubitnya dan menariknya pelan hingga bibirku yang terkatup harus terbuka sedikit. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu, parahnya aku tidak bisa menepis itu saat ini.

"Tentu saja, Sayang. Orangtuaku sangat mengharapkan kehadiranmu."

Menggelikan sekali panggilan itu.

Kuturunkan tangannya pelan-pelan agar Claudia tidak mencurigai apa pun dari gerakanku. "Kapan dan berapa lama? Kau tahu Nate tidak bisa kutinggal, 'kan?"

Alby meraih tanganku dan menggenggamnya. "Nate sudah dewasa, Ava. Kalau perlu aku akan meminta Jacob mengawasinya. Untuk waktu liburannya, mungkin dua minggu terakhir bulan Juli."

"Dua minggu? Itu terlalu lama."

"Too bad, tradisinya seperti itu, Ava."

Berbohong kepada Claudia saja sudah sangat buruk, nanti aku juga akan berbohong kepada orangtua Alby. Aku tidak bisa membayangkan akan seperti apa wajahku saat bertemu mereka nanti.

"Kenapa berpura-pura harus serumit ini, Alby?" Aku bertanya lirih, tetapi tetap memamerkan senyum, apalagi saat tahu kalau Claudia tengah memandang ke arah kami.

"Jalani saja, Ava. Takada yang rumit di antara kita. Kupikir sejauh ini kita berhasil. Dia memandang ke arah kita beberapa kali."

Jadi, Alby juga menyadari gelagat Claudia.

"Aku tidak siap berbohong kepada orangtuamu." Pada akhirnya kuakui itu kepadanya sebelum hal buruk telanjur terjadi.

Aku meninggalkan Alby dan kembali ke sofa. Laptop kuletakkan di pangkuan lagi dan aku mulai mengerjakan pesanan dari seseorang yang baru kuterima semalam. Tidak kusangka Alby menyusul, lalu duduk di sampingku.

"Kau menolak ikut liburan bersama kami?"

Aku mengedikkan bahu, lalu mematikan laptop dan kuletakkan di atas meja. Sudah tidak bernafsu lagi aku mengerjakannya karena Alby ada di sini. "Aku tidak tahu, Alby. Aku hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan orangtuamu."

"Aku tidak ikut kalau kau tidak menolak, Ava. Akan kuberi tahu Paula kalau kita tidak bisa bertemu."

Aku memandang Alby tidak percaya. Pria itu sudah mengetikkan sesuatu di ponselnya dan untuk kali pertama, aku merampas benda itu darinya. Baru sekali puka aku menyentuh barang yang berisi privasinya.

"Apa hanya mengancam yang bisa kaulakukan?" Aku memprotes. Ponselnya kusembunyikan di balik punggung ketika dia ingin mengambilnya lagi. Beruntungnya posisi sofa ini cukup jauh dari Claudia, dia tidak akan bisa mendengar obrolan kami.

"Seperti katamu, aku tukang mengancam, 'kan?"

Aku tidak pernah tahu Alby akan merasa kesal karena sindiranku selama ini. Wajah menyebalkannya itu berhasil menyembunyikan emosi sampai-sampai aku tidak berhenti mengatainya seperti itu.

"Tapi kau tidak harus batal ikut hanya karena aku."

Alby mendengkus bersama seulas senyum terpatri di wajahnya. "Reputasiku cukup buruk di mata mereka, Ava. Kalau aku tidak membawamu, mereka akan mengira aku hanya bermain-main denganmu."

"Bukankah kita memang hanya bermain?" Aku mengalihkan pandangan ketika Alby tampak tidak senang karena responsku.

"Setidaknya tujuanku bukan untuk bermain-main."

Aku mengedikkan bahu lagi. "Kau akan melukai perasaan mereka kalau tidak datang. Katamu, itu agenda rutin keluarga, 'kan?"

"Apa aku tidak boleh peduli dengan perasaanku?"

Aku nyaris berteriak ketika Alby mendorongku hingga berbaring di sofa dan dia berada di atasku. Dia masih cukup sopan karena menumpukan sebelah tangannya untuk memberi jarak di antara kami berdua. Sebelah tanganku dipeganginya di atas kepala, sementara tanganku yang masih menggenggam ponselnya bersembunyi di bawah punggung. Jujur saja, benda itu menyakiti punggungku.

"Apa yang kaulakukan?" Aku mendesis, sembari menyapukan pandangan ke sekitar, sekadar memastikan tidak ada ada yang melihat kami.

Alby mendekat dan berbisik, "Kembalikan ponselku atau kulakukan sesuatu yang tidak kauinginkan sekarang juga?"

"Ekhem."

Kami spontan menoleh ke sumber suara dan menemukan Claudia sudah berdiri tak jauh dari kami. Aku baru menyadari kalau Alby mungkin sudah tahu kalau Claudia sudah selesai dan berjalan ke sini. Makanya dia sampai melakukan hal mengejutkan ini.

"Maaf mengganggu kalian," ujarnya lagi ketika Alby menjauh dariku.

"Tidak masalah, kami sudah selesai." Alby menjawab. Aku agak lengah ketika berusaha untuk bangkit dan dia berhasil merampas ponselnya kembali.

Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk bermain-main dengannya, aku hanya mencegahnya agar tidak membatalkan pertemuan dengan Paula hari ini. Aku tahu wanita itu cukup sibuk untuk menyisihkan waktunya hari ini. Aku hanya ingin menghargainya.

"Ava, maaf, bolehkah aku bicara dengan Alby sebentar?" Claudia meminta izin kepadaku takut-takut.

"Seprivasi itukah yang mau dibicarakan?"

Claudia mungkin sudah menganggapku jahat sejak pertemuan kami kemarin. Jadi, aku memutuskan untuk meneruskannya. Apalagi Alby ada di sini, dia mungkin akan protes kalau aku tidak bersikap selayaknya seorang kekasih.

"Please, hanya sebentar."

"Aku akan menyusulmu," sahut Alby sembari meremas pelan pundakku.

Pria ini benar-benar tidak bisa menolak Claudia, ya. Dia benar-benar belum bisa melupakan wanita itu. Namun, kenapa aku harus merasa kesal? Apa aku masih tidak bisa melupakan pengakuan Claudia waktu itu? Bagaimana bisa efeknya bertahan lama padaku?

***

Selamat hari Selasa, Fellas.
Bagaimana kabar kalian? Semoga nggak seburuk suasana hati Ava di bab ini, ya.

Aku nggak bisa cuap-cuap banyak, segini dulu, jangan lupa mampir ke cerita Season Series lainnya.

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
21 September 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro