Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 - First Dance

🎶
And when you touch me, I'm a fool
This game I know I'm gonna lose
Makes me want you more
🎶

Satu lagi makan siang bersama Alby dan mantan kekasih kami. Aku bisa melihat betapa bekas sepasang kekasih ini sangat senang ketika mengobrol, meski itu hanya seputar kerja sama mereka. Siapa lagi kalau bukan Alby dan Claudia? Mereka benar-benar sangat menikmati momen kebersamaan ini. Ah, aku benci berada di posisi di mana aku hanya menjadi pemerhati sekaligus pemberi simpati atas kandasnya hubungan mereka.

Aku merutuki Jeff yang hanya mampu tersenyum-senyum ketika memandang Claudia yang berbicara. Dia sungguh seperti seorang pria yang tak berhenti terpesona pada wanita-wanita cantik. Tidakkah dia menyadari situasi yang terjadi di sini? Aku tiba-tiba berharap dia peka dan akan menggagalkan rencana perjodohan demi mengembalikan Claudia kepada kekasihnya.

Sungguh sebuah keajaiban kalau itu sampai terjadi.

"Kau mau tambah Ravioli, Sayang?" Beruntungnya Alby masih memainkan peran sebagai kekasih dengan sangat baik. Karena jika tidak begitu, pengunjung restoran mungkin akan memandangku miris karena tidak diajak mengobrol sejak tadi.

"Nope. I'm full." Aku tersenyum manis kepadanya, anggap saja untuk memberi tahu Claudia dan Jeff bahwa kami pasangan yang bahagia. Bisa dibilang, aku mulai terlatih memainkan peran ini berkat hampir setiap hari makan siang bersama mereka.

Jika beruntung, setelah makan siang berakhir, aku bisa pulang dan mengerjakan beberapa job. Sayangnya, aku sudah kehilangan keberuntungan semenjak bertemu Alby. Dia merenggut semuanya dariku.

"Um, aku perlu ke belakang," ujarku pada Alby sembari melipat serbet yang sebelumnya menutupi pahaku.

Saat aku meletakkan sembarang serbet itu ke atas kursi, Alby meraih sebelah tanganku dan berkata, "Jangan buru-buru, aku akan menyusul." Lalu mengedipkan sebelah matanya.

Aku kaget dengan ucapannya. Tentu saja aku paham maksudnya, hal-hal kotor itu biasa dilakukan pasangan di kamar kecil jika ada kesempatan. Aku heran, tidakkah mereka merasa jijik?

Tadinya aku ingin mengelak, tetapi setelah mataku tak sengaja menangkap pemandangan Claudia yang mendadak murung—mungkin teringat insiden beberapa waktu lalu saat dia memergoki kami di toilet—membuatku jadi ingin ikut bermain-main dengan Alby. Lagi pula, Jeff sejak tadi tidak berhenti memperhatikan gerak-gerikku. Aku jadi risi, dan itulah alasanku ingin ke toilet. Sekalian saja kusajikan pertunjukan lovey dovey ini untuknya.

"Jangan sampai terlambat." Aku balas menggenggam erat tangan Alby sebelum melepaskannya dan pergi dari sana.

Setibanya di toilet, aku mencuci tangan dan menyapu sekitar bibirku yang agak lengket. Mungkin karena bumbu dari makanan yang kumakan tadi. Sekali lagi aku mencuci tanganku dan ketika kumatikan keran, sosok Alby muncul di belakangku. Aku melihatnya melalui cermin.

"Kau sungguhan ke sini." Aku hanya berkomentar begitu sembari menyapu air di tanganku dengan tisu. "Tidak bermaksud ingin membuatnya salah paham lagi, 'kan?"

"Well, dia sudah mengira begitu." Alby berjalan mendekat dan meletakkan kedua tangannya di pinggangku. Parahnya, aku tidak menghindar. Mungkin karena sudah terbiasa berada di sekitarnya dan lelah memprotesnya yang keras kepala. "Kenapa tidak sungguhan kita lakukan saja?"

Dia memandangku melalui cermin, dan aku tidak tanggung-tanggung lagi menunjukkan ekspresi betapa aku tidak senang akan perbuatannya.

"Menjijikkan," sahutku sembari menyingkirkan tangannya. "Apa yang kaulakukan di sini?" Aku bertanya setelah memutar tubuhku dan mendorong dadanya agar memberi kami jarak.

"Aku lupa memberi tahu kalau malam ini akan ada pesta amal. Ayah tidak bisa hadir, jadi aku yang harus menggantikannya."

"Maksudmu, pesta untuk beramal? Lalu uang yang terkumpul dipakai untuk apa? Berpesta, atau kalian para orang kaya memang benar-benar beramal?"

Aku tidak pernah tahu soal itu, jadi sekalian saja kutanyakan kepadanya. Hidupku tidak pernah enak sejak dulu.

"Kami bekerja sama dengan yayasan sosial. Tergantung dari penyelenggara acara akan menyumbangkan hasilnya ke lembaga mana."

Aku mengangguk-angguk dengan bibir mencebik. "Aku boleh tidak ikut? Kau tidak bertemu Claudia di sana, 'kan?"

"Yap. Tapi Paula akan curiga kalau aku tidak mengajakmu."

Aku menghela napas pasrah bercampur kesal. "Seharusnya kau tidak perlu memberi tahunya."

"Hm. Dia sudah menemukan kita dengan posisi yang intim."

"Takkan terjadi kalau kau membiarkanku pulang waktu itu."

Alby menghela napas dan menyugar rambutnya. Aku mulai mengingat itu sebagai kebiasaannya jika kalah berdebat denganku. Namun, aku tidak tahu apakah Alby juga bersikap demikian kepada orang lain atau tidak.

"Kau tidak bisa menolak karena Paula sudah menyiapkan gaun untukmu."

"Gaun lagi?" Aku melayangkan ketidaksukaanku pada bayangan tentang gaun. Terakhir aku mengenakannya, aku kedinginan. Kuharap selera Paula tidak seburuk Alby.

"Kau akan sangat cantik." Alby menepuk pelan lenganku dan keluar lebih dulu dari toilet.

Wajahku memanas. Ke mana Ava yang selalu berani melayangkan penolakan keras kepada pria?

🎶

Lagi-lagi aku terjebak di situasi ini.

"Warna kulitmu sangat bagus. Tidak terlalu putih, tetapi juga tidak gelap. Bagaimana menurutmu dengan gaun biru malam? Itu akan sangat cocok dengan tuxedo yang dikenakan Alby nanti."

Paula tidak berhenti mengoceh sejak tadi. Dia benar-benar antusias sekali melakukan semua ini untukku. Aku sampai ingat satu hari ketika aku dan Nate akan pergi ke festival Halloween di tengah komplek, aku begitu antusias mendadaninya, melukis wajahnya hingga ibunya sendiri tidak mengenali bahwa dia adalah Nate. Ya, mungkin itu juga yang Paula rasakan saat ini. Bahkan, kakak Alby ini langsung yang turun tangan untuk menata rambut dan merias wajahku.

"Kau tahu, Paula, aku serahkan semuanya padamu. Aku bukan orang yang ahli di bidangnya." Aku berujar pasrah, sepasrah-pasrahnya. Lagi pula, aku tidak memiliki hasrat untuk pergi bersama Alby, bagaimana mungkin aku akan sempat memikirkan akan berpenampilan seperti apa selain menyerahkan semuanya pada Paula?

"Aku tidak akan mengecewakanmu, Ava. Begitu Alby melewati pintu itu." Dia menunjuk pintu di sebelah kami. "Dia akan terpukau hingga rahangnya jatuh ke lantai."

Aku terkekeh karena itu sangat berlebihan. Mata Alby sudah terkunci pada kecantikan Claudia, mana mungkin dia akan terpesona pada yang lain—apalagi aku.

Paula mengepang rambutku sebelum menggulungnya dan diberi jepit perak bermodel mahkota di sebelah kiri. Kuharap Paula tidak memberiku gaun dengan punggung telanjang. Karena aku tidak akan mendapat perlindungan apa-apa dari rambutku yang ditata seperti ini. Untuk riasannya sendiri, Paula memilih warna gelap sebagai eyeshadow dan lipstik berwarna nude. Aku lega karena riasan ini tidak terlalu mencolok.

Sekarang giliran memakai gaunnya. Paula memberi tahu kalau gaunnya ada di kamar mandi. Jadi aku bergegas ke sana. Tahu apa kata yang terlintas di kepalaku saat melihatnya? Mahal. Kainnya sangat lembut, entah bahan apa. Aku sampai takut akan merusaknya jika kusentuh. Bagian dada sampai pinggangnya agak keras, seperti korset. Sampai akhirnya aku sadar kalau baju ini tidak berlengan. Aku meringis. Bagaimana jika gaun ini melorot ketika kukenakan? Roknya tampak lebar, aku iseng menyentuhnya lagi lalu kulebarkan, dan terkejut karena ada belahan yang sangat tinggi di sebelah kanan. Ya Tuhan, gaun ini sangat mengerikan.

Selera Paula sama buruknya dengan Alby.

Aku menurunkan jubah mandi yang kukenakan dan mulai mengenakan gaun itu. Aku tidak menyangka bagian atasnya akan sangat pas denganku, jadi aku tidak terlalu khawatir akan melorot. Sayangnya, aku kesulitan meraih ritsleting di punggungku. Jadi aku memanggil-manggil Paula untuk meminta bantuannya. Namun, takada jawaban. Akhirnya aku keluar, dan tahu apa yang kutemukan?

"Alby?"

Dia bergeming. Matanya memandangku dari atas sampai bawah. Sementara tanganku kesulitan menahan bagian atas baju agar tidak melorot. Mata Alby tertuju pada belahan di rok gaun ini dan aku segera menyembunyikan kakiku. Sialnya belahan rok ini nyaris memperlihatkan pangkal pahaku.

Paula tidak berbohong kalau kami akan sangat serasi. Maksudku, Alby sudah siap dan mengenakan tuxedo berwarna hitam dengan kemeja biru malam. Mungkin dua kakak beradik ini sudah merencanakannya.

"Hei, pervert, wajahku di sini." Aku memanggilnya seperti itu tanpa peduli Paula akan mendengarnya.

"Hm?" Muka malasnya tertuju ke wajahku sekarang.

"Di mana kakakmu?"

"Dia pergi karena ada telepon, dan aku diminta menunggumu di sini."

"Shit." Aku mengumpat pelan. Bisa-bisanya Paula pergi di saat genting seperti ini.

"Kau tidak perlu menahan bajumu seperti itu, ia takkan melorot." Alby menyindirku dengan senyumnya yang menyebalkan. Mungkin dia pikir aku terlalu kuno untuk pakaian seperti ini.

"Bukan itu masalahnya." Aku ingin mengatakan masalahku, tetapi takada Paula di sini. Alby pasti akan dengan senang hati menawarkan bantuan untuk itu. Sayangnya, aku tidak mengenakan apa-apa selain celana dalam dibalik gaun ini. Dia akan melihat punggung telanjangku sekali lagi.

"Ada masalah dengan gaunnya?"

Aku kesal Alby terlalu peka. "Ya. Aku tidak bisa meraih ritsletingnya."

"Sini, biar kubantu."

"Tidak. Bagaimana kalau ganti pakaian saja? Aku tidak akan membiarkanmu menyentuhku." Aku bersikap defensif dan sudah akan kembali ke kamar mandi seandainya Alby tidak bergerak cepat menutup pintu kamar mandi. Sekarang dia ada di belakangku, menjepitku di antara tubuhnya dan pintu kamar mandi. Sudah dua kali aku terjebak di situasi seperti ini.

"Kau ini terlalu paranoid." Dia meraih korset dan mempertemukan kedua sisinya di tengah-tengah punggungku. Setelah itu terdengar suara ritsleting ditarik ke atas. "Selesai."

Aku memutar badan dan mencicitkan kata terima kasih kepadanya. Dia menatapku tajam dan aku hanya bisa menunduk. Makin ke sini, aku mulai lemah akan tatapannya yang mengintimidasi.

"Kau tahu, Ava, kau cantik seperti ini. Aku sangat ingin menciummu, tapi ya ... kesepakatan itu menyebalkan."

Apa Alby sungguh merasa demikian? Hanya karena aku dirias dan memakai gaun yang seksi? Well, aku tidak bisa membiarkan itu sampai terjadi. Dia hanya menginginkan aku versi cantik, bukan aku yang sebenarnya. Alby, aku tidak akan tersanjung pada apa pun rayuanmu.

"Takkan pernah terjadi." Aku menyemburkan itu di depan wajah Alby dan berjalan ke luar kamar. Satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah menghindar sejauh-jauhnya dari Alby, meski aku tahu itu tidak mungkin.

🎶

Kami tiba di hotel tempat pesta amal berlangsung. Alby bilang tuan rumahnya adalah pemilik hotel tersebut. Aku tidak bisa membayangkan sekaya apa orang itu. Setiap hari uang mengalir ke kantongnya. Apa memang perlu mengumpulkan dana untuk beramal? Aku sungguh tidak mengerti apa yang ada di pikiran orang-orang kaya.

Alby menggamit lenganku dan tak membiarkanku menjauh darinya. Sebenarnya aku juga tidak benar-benar menolak, karena ini akan sangat membantuku berjalan di atas heels yang runcing. Menjadi cantik itu menyiksa, tetapi kenapa semua wanita berlomba-lomba melakukannya?

"Kenapa ada banyak orang muda di sini?" Aku bertanya ketika kami sudah berada di venue tempat acara berlangsung dan menemukan banyak pasangan seusia kami. Warna putih mendominasi ruangan. Furniturnya berkilau bagai kristal. Kemewahan tetap menyelimuti atmosfer di tempat ini. Bahkan wine mereka saja berkilau. Sekali lagi aku menyayangkan uang yang dipakai untuk berpesta alih-alih langsung didonasikan.

"Dad bilang kalau putra dari temannya juga akan bertunangan malam ini. Mungkin dia mengundang teman-temannya.

"Wow." Hanya itu yang meluncur dari bibirku.

Selama bermenit-menit berikutnya, kami berkeliling ruangan untuk mencari meja di mana nama belakang Alby tertera di atasnya. Namun, sebentar-sebentar harus berhenti karena ada banyak orang yang mengenal Alby dan menyapanya. Jabat tangan berlangsung beberapa saat sembari saling menanyakan kabar dan sedikit obrolan tentang bisnis. Itu melelahkan, tetapi Alby dengan profesionalnya merespons dengan jawaban yang cerdas.

Hingga akhirnya aku bisa istirahat di meja yang posisinya berada di barisan nomor tiga dari depan.

"Tidak minum?" Alby bertanya ketika dia baru menghabiskan minuman miliknya.

"Beralkohol?"

Tawa Alby menggema di telingaku meski saat ini musik jazz sedang dimainkan dan seorang pemandu acara sedang berbicara di atas panggung yang rendah. Entah hal menyebalkan apa yang akan Alby katakan setelah ini.

"Menurutmu lidahku bisa mengukur kadar persen alkohol pada wine?"

"Mungkin kau bisa membedakannya. Aku, kan, hanya bertanya." Aku bersungut-sungut. Wajahku kupalingkan ke depan panggung dan lampu ruangan tiba-tiba meredup, digantikan oleh beberapa lampu sorot yang bergerak menyapu ruangan.

"Kau mau menari seperti mereka?" Alby berbisik di telingaku.

Aku mengikuti arah telunjuknya dan menemukan banyak pasangan berdiri berhadap-hadapan dengan jarak sangat dekat sambil menggerakkan tubuh ke kiri dan kanan mengikuti alunan musik yang syahdu. Ini terlalu romantis untuk kami berdua, jadi aku menggeleng kuat untuk menolaknya.

"Hei, ayolah. I'm begging you." Alby sungguhan memohon, dia bahkan memandangku penuh harap.

"Aku tak bisa. Kau hanya akan kupermalukan."

"Tak masalah. Aku akan pastikan kau menari dengan baik di sana. Cukup ikuti langkahku." Alby mengulurkan tangan ke arahku. Melihat bahwa yang tersisa di meja hanya orang-orang tua, aku jadi menerima ajakannya. Tanganku baru mendarat di telapak tangannya, tetapi dia langsung menggenggamnya dengan erat dan lembut.

Alby menuntunku ke tengah-tengah ruangan. Lalu membawa tanganku agar melingkar di lehernya dan tangannya berada di pinggangku. Dia mulai bergerak ke kiri ke kanan, dan aku mengikutinya. Jarak kami lumayan dekat dan kami tidak berhenti saling memandang satu sama lain.

Ini pengalaman baru bagiku. Tidak pernah aku merasa seintim ini dengan seorang laki-laki, sekalipun Jeff pernah menjadi kekasihku. Namun, Alby memberi sensasi yang berbeda. Dia memancarkan aura yang tidak aku mengerti. Dia membuat sesuatu di dalam perutku bergejolak dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Apa ini yang dinamakan butterfly effect? Namun, aku tidak yakin apa alasannya sampai aku harus merasakan ini pada Alby. Apa mungkin karena tatapannya yang tak kunjung beralih dariku?

"Sampai kapan seperti ini?" Kulontarkan pertanyaan itu demi mengalihkan pikiranku dari sesuatu yang tidak-tidak.

"Sampai musiknya berakhir." Tangan Alby bergeser makin ke belakang hingga jarak kami terkikis perlahan-lahan.

"Biasanya tempo musik akan melambat sampai semua orang berpelukan. Namun, aku tidak yakin akan tahan berdekatan denganmu selama itu."

Aku mendengkuskan tawa, mencoba untuk menjadikan ucapannya sebagai gurauan. "Kenapa? Kau takut aku mendengar jantungmu yang menggila?" Padahal sebaliknya, aku yang takut itu terjadi.

"Kalau kau mau tahu, kita bisa berpelukan dan kau rasakan sendiri apa yang kurasakan padamu sekarang."

Aku menunduk, menghindari tatapannya. "Kau mencintai Claudia, 'kan?"

Hanya sekadar mengingatkan. Aku tidak ingin sesuatu terjadi di antara kami hanya karena terbawa suasana oleh musik yang mengiringi tarian orang-orang di tempat ini.

"Ya. Tapi ini bukan perasaan yang seperti itu." Alby menghapus jarak kami lagi. Kini aku kesulitan bergerak karena takut akan menginjak kakinya. Napas Alby bahkan berembus di wajahku.

"Kau sedang terbawa suasana."

Dia hanya mencebik dan membawaku berputar satu kali. Aku jadi tidak sengaja menemukan beberapa pasangan yang sudah berpelukan. Tidak kusangka menari seperti ini akan memberi efek yang luar biasa.

"Tidak. Aku sudah menginginkannya sejak tadi sore."

"Menginginkan ap—" Aku langsung bungkam begitu menyadari maksudnya. "Tidak. Kita sudah sepakat, Alby."

"Memangnya kau tahu apa yang kuinginkan?"

Wajah Alby mendekat, tetapi kurasa aku yang terbawa suasana di sini. Karena aku bahkan tidak menghindarinya, meski tahu kalau apa yang terjadi setelahnya adalah sesuatu yang akan sangat kusesali. Alby membuatku penasaran tentang bagaimana rasanya. Akalku mulai tidak sehat. Sebelum sesuatu benar-benar terjadi, aku berhasil mengembalikan kontrol diri dan mendorong punggungnya menjauh.

Pintu menuju balkon yang terbuka adalah tujuanku. Aku perlu udara segar yang tidak tercemari oleh sosok Alby. Sebelum benar-benar melewati pintu, aku meraih segelas sampanye dan menyesapnya sedikit-sedikit. Kuharap ini tidak seperti milik Alby, karena aku tidak ingin membuat heboh orang-orang di tempat ini jika tiba-tiba ditemukan pingsan.

"Sudah kuduga ada sesuatu yang terjadi di antara kalian."

Aku berjengit dan memutar badan ketika suara itu terdengar. Jeff bersandar pada jendela di samping pintu sembari menelusupkan kedua tangan dalam saku celananya.

"Apa maksudmu?"

"Kaukira aku bisa dibodohi? Hubungan kalian palsu. Aku sudah memperhatikan kalian selama beberapa hari terakhir." Jeff berkata penuh percaya diri, bahkan dia juga menyeringai karena itu.

"Kau tahu? Apa pun yang ada di antara kami sama sekali bukan urusanmu."

Dia mengangguk. "Apa kalian benar-benar saling mencintai? Dia tidak memandangmu seperti itu."

Aku tertawa remeh dan menyesap sampanyeku lagi hingga tandas. Bertemu Jeff adalah bagian terburuk dari malam ini.

"Apa untungnya mengetahui tentang itu, Jeff? Kenapa aku harus memberi tahu mantan tentang kehidupanku? Agar kaubisa menertawakanku?" Entah perasaanku saja atau sampanye membuatku lebih tenang menghadapinya. Aku berpikir untuk mengambil lagi nanti. "Dengar, Jeff. Aku menghargaimu yang masih memperhatikanku. Tapi kita sudah berakhir. Apa pun yang kulakukan, dengan siapa pun aku berkencan, apakah itu atas dasar cinta atau bukan, sama sekali bukan urusanmu."

Aku berjalan meninggalkannya dengan gelas kosong di tangan. Namun, kalimat terakhir yang dia ucapkan ketika aku melewatinya terus berdengung di telingaku.

"Aku tahu sesuatu terjadi di antara kalian. Dia akan menyakitimu, Ava."

Andai dia tahu, tidak akan ada yang terluka dalam kesepakatan kami jika perasaan tidak ikut terlibat. Ya, aku hanya perlu tidak menyukai Alby. Itu saja.

🎶

Aku nggak mau cuap-cuap dulu ah. Langsung aja nih kukasih cuplikan cerita Slow Motion karya Tasyayouth.

***

Okka berdiri dan berjalan menuju keluar kamar. Suara pintu yang terbuka terdengar. Manna dan pikirannya yang belum jernih mendoktrin tenggorokan untuk bersuara.

"Okka."

Lelaki itu menoleh ke belakang, mendapati Manna dan raut yang tak terbacanya.

"Anak ini ...."

"Saya sudah berkata akan menghargai keputusan kamu, 'kan?"

Manna mengigit bibir bawahnya, masih belum puas dengan jawaban Okka. "Apa itu artinya?"

"Saya akan berdamai dengan diri saya dan kamu harus bertanggung jawab dengan keputusan kamu."

"Lalu hubungan kita?"

"Kita sudah sepakat, 'kan?"

***

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
17 Agustus 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro